b. Bahasa merupakan bagian dari tingkah laku manusia dan tingkah laku adalah susunan
reflek-reflek: maka bahasa dapat dianalisis berdasarkan kaidah stimulus dan respon.
"4
c. Prilaku manusia dalam berbahasa pada dasarnya bertolak dari dan terbentuk oleh
faktor-faktor sosial.
Dari dasar-dasar yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa teori ini memandang
bahasa atau ujaran sebagai tingkah laku yang dapat diamati, yang merupakan susunan
reflek-reflek yang muncul karena adanya hubungan stimulus dan respon dalam konteks
sosial.
' Bloomfield, op cit, hal.29: lihat juga Mukhtar Umar, op cit, hal.59-60 W Daniel Parera,
Kajian Linguistik Umum, Komparatif dan Tipologi Struktural, (Jakarta, Erlangga, 1991),
hal.77
964 Diwan, Vol. 5, Edisi 10, Desember 2013 Berkenaan dengan penggunaan ungkapan
bahasa, teori ini
mempunyai asumsi dasar yang melandasinya: 2
Pertama: harus ada bentuk-bentuk yang umum dan khusus pada semua situasi, sehingga
pada suatu ungkapan bahasa diucapkan, maka ia akan memberikan pengertian. Contoh
apabila dikatakan: Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bereksistensi”. Dengan
demikian tidak dapat lagi dikatakan “hewan itu juga bereksistensi”, karena pernyataan itu
tidak mencakup situasi umum yang berlaku bagi ungkapan yang pertama.
Kedua: harus ada bentuk-bentuk yang umum dari bahasa pada semua tanggapan (respon)
yang ditimbulkan oleh pengucapan dari ungkapan yang diajukan. Contoh seorang ayah
memarahi anaknya seraya mengatakan: “Pergi dan jangan injak lagi rumah ini”. Tanggapan
yang muncul akan berbeda-beda. Anak yang berperasaan halus akan menangis terisak-isak
sambil meminta maaf kepada ayahnya atas segala kesalahannya. Sebaliknya anak yang
bandel mungkin melawan dan atau menanggapi hardikan ayahnya itu dengan suara yang
lantang seraya menjawab misalnya: “Saya tidak mau pergi, bapak mau apa”.
3. Pendekatan Behaviorisme
Pendekatan kaum behaviorisme dalam menganalisa bunyi ujaran adalah sebagai berikut: '
5 Rizal Muntasyir, Filsafat Bahasa,Aneka Masalah Arti dan Pemecahannya, (Jakarta, Prima
Karya, 1988), hal.114 '8 Guntur Tarigan, Psikoilnguistik (Bandung, Angkasa, 1998),
hal.126-128
965 Diwan, Vol. 5, Edisi 10, Desember 2013 a. Ujaran sebagai perangsang
Pendekatan ini memandang bahwa ujaran adalah sebagai perangsang dari jawaban. Contoh
yang sering dipakai adalah ilustrasi Bloomfield dalam bukunya Language . Ia
menceeritakan kisah tentang dua orang yaitu Jack dan Jill yang sedang berjalan-jalan. Di
tengah jalan Jill merasa lapar dan melihat buah apel di pohon. Dia membuat suara dengan
laring, lidah dan bibirnya. Jack melompati pagar dan memanjat pohon apel itu, lalu
memetik buah apel dan memberikannya kepada Jill. Kemudian Jill memakan buah apel itu.
Bloomfield menganalisis rangkaian peristiwa di atas dan
membaginya menjadi tiga bagian dan urutan waktu sebagai berfikut: Pertama :peristiwa-
peristiwa praktis yang terjadi sebelum wicara, yaitu yang menyangkut penutur “Jill” yang
disebut stimulus dan diberi tanda S (huruf besar).
Kedua: wicara
Ketiga: peristiwa-peristiwa praktis yang terjadi setelah wicara yaitu yang menyangkut Jack,
yang disebut respon praktis: dan diberi tanda
966 Diwan, Vol. 5, Edisi 10, Desember 2013 huruf R (huruf besar). Ketika Jill merasa lapar
dan melihat apel... Stimulus praktis (S)... ia mengadakan reaksi bahasa atau
wicara.....pengungkapan huruf (rr). Reaksi wicara Jill yang berujud gelombang bunyi di
udara mengenai gendang telinga Jack ....Stimulus bahasa (S). stimulus tersebut
mempengaruhi saraf-saraf Jack, sehingga ia melakukan respon praktis @. Rangkaian
peristiwa di atas digambarkan sebagai berikut:
b. Ujaran sebagai rangkaian asosiasi,
Ujaran adalah suatu rangkaian kejadian yang berhubungan satu sama lain. Oleh karena itu
kalimat tersusun sebagai untaian kata-kata yang masing-masing bertindak sebagai
jawaban yang mengikutinya. Selanjutnya bunyi-bunyi pada kata-kata sebagai
untaian perangsang-jawaban (stimulus — respon). 4. Kritik Terhadap Teori Behaviorisme
Pertama: asumsi dasar yang menekankan situasi umum yang khas suatu ungkapan bahasa
dilontarkan, ternyata mengandung kelemahan, sebab dalam kenyataannya sering dijumpai
suatu ungkapan yang sama tetapi duucapkan dalam situasi berbeda sehingga maknanya
berbeda. Umpamanya ucapan “awas”. Ungkapan ini dapat mengandung makna mengancam
atau
meminta seseorang untuk berhati-hati.
Kedua: asumsi dasar yang menekankan pada tanggapan (respon) yang juga berlaku umum
dan khusus yang ditimbulkan oleh
967 Diwan, Vol. 5, Edisi 10, Desember 2013 pengucapan Suatu ujaran tidak terlepas dari
kelemahan. Sebagai ilustrasi: seorang tuan rumah mendengar pintu rumahnya diketuk
pada malam hari, kemudian dia berseru “tunggu sebentar”. Tanggapan yang muncul dapat
saja berbeda-beda. Jika si pengetuk pintu adalah tamu atau keluarga pemilik rumah besar
kemungkinan dia akan menungunya. Tetapi bila si pengetuk pintu ternyata pencuri, tentu
ia akan mengambil langkah seribu.
Ketiga: teori ini didasarkan kepada percobaan yang dilakukan kepada binatang, kemudian
hasil percobaan itu diaplikasikan kepada manusia. Ini merupakan kesalahan besar karena
tidak semua yang cocok pada binatang akan cocok “pula untuk
diterapkan kepada manusia.
Perbandingan Pendekatan Referensial, Ideasional dan
Behaviorisme
Terdapatnya beberapa teori dalam studi makna dipengaruhi oleh perbedaan pandangan
dalam fungsi bahasa dan pengertian makna. Dari sudut fungsi bahasa: pendekatan
referensial umpamanya berpijak pada fungsi bahasa sebagai wakil realitas yang menyertai
proses berfikir manusia secara individual. Fungsi bahasa sebagai media dalam mengolah
pesan dan menerima informasi menjadi pijakan pendekatan ideosional: sedangkan
pendekatan behavioristik menjadikan fungsi bahasa sebagai fakta social yang mampu
menciptakan berbagai bentuk komunikasi
sebagai pusat pandang. "'
"7 Aminuddin, op cit, hal.55 968 Diwan, Vol. 5, Edisi 1 0, Desember 2013 Sedangkan dari
sudut pengertian makna pendekatan referensial dalam menghadapi makna lebih
menekankan pada fakta sebagai objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan
secara individual, sementara pendekatan ideosional lebih menekankan pada keberadaan
bahasa sebagai media dalam mengolah pesan dan
menyampaikan informasi.
Pendekatan behaviorisme merasa keberatan dengan kedua teori tersebut di atas karena
keduanya telah mengbaikan konteks social dan situasional yang oleh kaum behaviorial
dianggap berperan penting dalam menentukan makna. Di samping itu kedua teori tersebut
objek utama kajiannya tidak dapat diobservasi secara langsung, sedangkan pendekatan
behaviorisme mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung
dalam situasi tertentu. Satuan tuturan atau unit terkecil yang mengandung makna penuh
dari keseluruhan speech event yang berlangsung dalam speech situation disebut speech
act. ' penentuan makna dalam speech act harus bertolak dari berbagai kondisi dan situasi
yang memicu pemunculannya. Contoh unit ujaran yang berbunyi “masuk” dapat berarti:
a. “dalam garis” dalam permainan bulu tangkis
8 Dell, Hynees, Direction in sosiolinguistic (New York, Holt Linehot and Winston, Suc Suc,
1972), hal.56, dalam Aminuddin, ibid, hal.62 969 Diwan, Vol. 5, Edisi 10, Desember 2013 B.
Teori Kontekstual (4st! 4 511)
“Aliran kontekstual mengacu pada aliran strukturalisme kelompok Inggeris. Tokoh aliran
ini adalah J.R.Firth (1890-1951), sarjana linguistic bangsa Inggeris. Bukunya yang berjudul
The Tangues of Men and Speach (1964) dan Pepers in Linguistic 1934- 1951) sangat
berpengaruh di Inggeris. Sumbangannya terutama dalam teori sementik kontekstual dan
fonologi prosadi. begitu berpengaruhnya dia di bidang linguistic, maka muncullah aliran
yang disebut Firthianisme. '”
Yang dimaksud dengan teori kontekstual adalah salah satu aliran semantik yang
menyelidiki makna dalam bahasa dengan metode probabilitas, dan memusatkan diri pada
distribusi . formal bentuk bahasa dan ujaran dan hubungan antara ujaran atau wicara
dengan lingkungan fisik atau sosial. ?
Teori kontekstual ini diadopsi oleh Firth dari Malinouske seorang antropolog yang berasal
dari Polandia. Konsep contextual of situation B.Malinouski didasarkan kepada
pengalamannya ketika ia gagal menerjemahkan teks yang terdapat di Pulau Troberiand,
lalu ia merasakan bahwa kita tidak mungkin memberikan suatu makna tanpa mengetahui
situasi ketika seseorang mengucapkan suatu ungkapan. “. Kemudian teori ini berkembang
di tangan Firth. 0
Makna kata menurut pengamatan teori ini: adalah pemakaiannya dalam bahasa atau cara
mengemukakannya, atau peran
" Harrimurti, op cit, hal.55 2 hid, | 21 Abdul Karim Mujahid, al-dilalah al-Lughawiyah “Inda
al- “Arab, hal.158 970 Diwan, Vol. 5, Edisi 10, Desember 2013 yang dimainkannya. Oleh
karena itu menurut Firth makna tidak bisa ditebak kecuali dia berada dalam konteks
tataran bahasa. Di samping itu makna kalimat juga harus dilihat dari situasi dan konteks.
Kalimat
itu diucapkan, sekalipun yang non linguistic. ?
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa konteks itu bias berbentuk bahasa
(linguistic) atau bukan bahasa (non linguistic)
Goriys Keraf dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa mengklasifikasikan teori kontekstual
menjadi dua bagian, yaitu konteks linguistik dan non linguistik. Konteks non linguistic
mencakup dua hal yaitu hubungan antara kata dan barang atau hal dan hubungan antara
bahasa dan masyarakat. Sedangkan konteks linguistic adalah hubungan antara unsur
bahasa yang satu dengan unsur bahasa yang lain. Konteks ini mencakup hubungan antara
kata dengan kata dalam frase atau kalimat: hubungan antara frase dalam kalimat atau
wacana dan hubungan antara kalimat dalam wacana. 2
Menurut Firth yang dimaksud dengan konteks adalah unsur- unsur yang membentuk
situasi pembicaraan. Unsur-unsur itu antara lain: 4
1. Ciri-ciri yang relevan dari partisipan, orang-orang atau pribadi-pribadi yang terlibat
dalam kegiatan berbicara.
Ciri-ciri ini dapat berwujud
2 Mukhtar Umar, op cit, hal.69 2 Gorys Keraf, diksi dan Gaya Bahasa, (Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hal.32-33 | “ Mahmud s'ran, op cit, hal.311: Gorys Keraf, ibid: lihat
juga Mujahid, op cit, hal.158-159 971 Diwan, Vol. 5, Edisi 10, Desember 2013 a. Aksi verbal
dari partisipan yang berarti setiap orang yang terlibat akan mempergunakan bahasa yang
sesuai dengan situasi atau kedudukan sosialnya masing-masing
b. Aksi non verbal dari partisipan yang berarti tingkah laku non bahasa (gerak gerik,
mimik dsb) yang mengiringi bahasa yang digunakan juga
dipengaruhi oleh status social partisipan
2. Objek-objek yang relevan, yang berarti bahwa pokok- pokok pembicarakan juga akan
mempengaruhi bahasa para partisipan. Kalau objek pembica-raan hal mengenai
Tuhan, moral, keluhuran akan dipergurnakan kata-kata yang berkonotasi mulia. Kalau
objeknya adalah setan, kejahatan, koropsi, akan diperguranakan kata-kata yang
berkonotasi jelek. Bidang ilmu akan mempergunakan kata- kata ilmiah, bidang sastra
akan men enekan kata-kata khusus untuk kesustraan.
3. Efek dari aksi verbal, efek yang diharapkan oleh partisipan juga akan mempengaruhi
pilihan kata. Bila seseorang menginginkan suatu perlakuan yang baik dan manis, maka
kata-kata yang digunakan juga akan sesuai dengan: efek yang diinginkan.
c. Menjelaskan jenis-jenis fungsi ucapan seperti harapan, perintah, larangan dan lain seb
againya.
b. Menurut Firth teori ini menjauhkan diri dari meneliti hal yang bersifat mentalistik dan
menganalisis kalimat dengan menganggapnya sebagai ujaran, pebuatan dan
kebahasaan yang dapat diamati dalam kehidupan social. 1
c. Dalam melakukan analisis linguistic dia tidak keluar dai konteks bahasa. -
?5 Mahmud Sir'an, op cit, hal.312 7 Mukhtar Umar, op cit, I hal. 73 974 Diwan, Vol. 5, Edisi
10, Desember 2013 Walaupun teori kontekstual ini memiliki kelebihan sebgaimana
digambarkan di atasa, namun dia tidak terlepas dari kelemahan dan
tantangan di antaranya:
a. Firth tidak mengemukakan teori konprehensif tentang kalimat, hanya teori semantik
sementara makna terdiri dari hubungan- hubungan kontekstual, fonetik, sintaksis dan
semantic
b. Firth tidak memberikan batasan dalam pemahaman istilah konteks dan urgensinya.
Begitu pula pembicaraannya tentang situasi masih samar-samar.
c. Teori ini tidak berguna bagi orang yang secara kebetulan bertemu dengan kata-kata
yang maksudnya tidak bisa
b. Makna kolokasi dibatasi oleh kecocokan kata. Misalnya kata “cantik” hanya dapat
digunakan untuk gadis dan tidak untuk pemuda. i
Cc. Makna kolokasi dibatasi oleh ketepatan. Misalnya sudut siku- siku pasti 90 derjat.
2 Mansur Pateda, op cit, hal.110 976 Diwan, Vol. 5, Edisi 10, Desember 2013 Namun
kadang-kadang dalam konteks linguistic dapat muncul pengertian tertentu akibat
perpaduan antara dua buah kata. Misalnya: “rumah ayah” mengandung pengertian “milik”
“rumah batu” mengandung pengertian “dari atau bahannya dari” “membelikan ayah”
mengandung pengetian “untuk”
Ciiri-ciri teori kolokasi:
a. Teori ini hanya mementingkan konteks linguistic atau konteks verbal. Seperti kata
“malam” bisa disatukan dengan “gelap” dan “siang” dengan “terang”.
c. Suatu kalimat belum sempurna maknannya (meaning full) bila tidak dibentuk/disusun
sesuai dengan kaidah sintaksis (nahu). Menjaga kolokasi antara kata-kata yang
terdapat dalam kalimat dapat diterima oleh yang punya bahasa. (akseptabel)