“AL-QUR’AN”
Dosen Pengampu:
Dhuhariadin,S.HI, M.Ag.
`````Disusun oleh
Kelompok 11:
2019/2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang
telah melimpahkan rahmat dan keridhoannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
Al-Hadist dengan judul “Al Muhkam wa al Mutasyabih”.
Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
Al-Qur’an yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam menyelesaikan penulisan
makalah ini. Meskipun kami sudah semaksimal mungkin dalam penulisan makalah ini kami
sadar bahwa masih banyak kekurangan baik dari segi bahasa, isi, penulisan dan dari segi
lainnya.
Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan ilmu sehingga
menambah pengetahuan untuk teman-teman semua.
Kelompok 11
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................2
C. Tujuan................................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3
D. Fawatih As-Suwar.............................................................................................................7
A. Kesimpulan......................................................................................................................11
B. Saran................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................iii
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran, kalam Tuhan yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap aspek
kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman Al-Quran
dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercangkup dalam ulumul
quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulumul quran adalah ilmu yang
membahas tentang Muhkam Mutasyabbih ayat.
Sehubungan dengan persoalan ini, Ibn Habib An-Naisabari pernah mengemukakan tiga
pendapat mengenai kaitan ayat-ayat Al-Qur’an terhadap muhkam-mutasyabih.
Pertama, seluruh ayat Al-Qur’an adalah muhkam berdasarkan firman Allah dalam QS. Hud :
1, sebagai berikut :
)1( ٍي ر
ْ ِ م خَب
ُ ْ حكِي ْ ُ ن لَّد
َ ن ْ م ْ َ صل
ِ ت ِّ ُم ف
َّ ُ ه ث
ُ ُ ت ا يت
ْ م ْ ُب ا
َ ِ حك ُ َ لر كِت
َ ا
Kedua, seluruh ayat Al-Qur’an adalah mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. Az-
Zumar : 39, sebagai berikut :
ْ ُق
)39( ل يقَوْ م ِ اعملوا علي مكا نتكم اني عا مل فسوف تعلمون
Ketiga, pendapat yang paling tepat, ayat-ayat Al-Qur’an terbagi dalam dua bagian, yaitu
muhkan dan mutasyabih berdasarkan firman Allah dalam QS. ‘Ali Imran : 7, sebagai berikut :
و44ذين في قل44ا ا ال44بهت فام44ر متش44هو ا لذي انز ل عليك الكتب منه ا يت محكمت هن ا م الكتب و ا خ
خون فى العلم44بهم زيغ فيتبعون ما تشا به منه ابتغاء الفتنة وابتغاء ويله وما يعلم تأ ويله اال الله والر س
]1[يقو لون ا منا به كل من عند ربنا وما يذ كر اال اولواااللباب
Muhkam Mutasyabbih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam. Hal ini
dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian/pemahaman Al-
Quran. Jika kita tengok dalam Ilmu Kalam, hal yang mempengaruhi adanya perbedaan
pendapat antara firqoh satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah pemahaman tentang
ayat muhkam dan mutasyabbih. Bahasa Al-Quran ada kalimat yang jelas (muhkam) dan yang
belum jelas (mitasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran (tentang ayat muhkam
mutasyabih-red) terdapat perbedaan-perbedaan.
1
Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran khususnya
dalam ranah Muhkam Mutasyabbih, maka kelompok kami menyusun makalah yang
membahas tentang kedua hal tersebut dengan judul “ Al-Muhkam Al-Mutasyabih”. Untuk
keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang berhubungan dengan Muhkam
dan Mutasyabbih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya yaitu bab pembahasan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2.Dapat membedakan bagaimana sikap para ulama terhadap adanya ayat-ayat Al-Mutasyabih.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Manna’ Khalil Al-Qattan menjelaskan Muhkam dan Mutasyabih dalam buku studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, bahwa menurut bahasa Muhkam berasal dari kata حكمت الد ابة واحكمت
yang artinya “saya menahan binatang itu”, juga bisa diartikan,”saya memasang ‘hikmah’
pada binatang itu”. Hikmah dalam ungkapan ini berarti kendali.Muhkam berarti (sesuatu)
yang dikokohkan, jadi kalam Muhkam adalah perkataan yang seperti itu sifatnya. Mutasyabih
secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari 2 (dua) hal itu tidak dapat dibedakan
dari yang lain, karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak.
Jadi, tasyabuh Al-Kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagainya
membetulkan sebagian yang lain.
1. Ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gamblang,
baik melalui takwil ataupun tidak. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang
maksudnya hanya dapat diketahui Allah, seperti saat kedatangan hari kiamat,
keluarnya dajjal, dan huruf-huruf muqatha’ah. (Kelompok Ahlussunnah)
2. Ibn Abi Hatim mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah ayat yang harus diimani
dan diamalkan, sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah ayat yang harus diimani,
tetapi tidak harus diamalkan.
3. Mayoritas Ulama Ahlul Fiqh yang berasal dari pendapat Ibnu Abbas mengatakan,
lafadz muhkam adalah lafadz yang tak bisa ditakwilkan melainkan hanya satu
arah/segi saja. Sedangkan lafadz yang mutasyabbih adalah lafadz yang bisa
ditakwilkan dalam beberapa arah/segi, karena masih sama (semakna-red).1
4. Menurut As-suyuti Muhkam adalah sesuatu yang jelas sedangkan mutasyabih
sebaliknya.
5. Menurut Imam Ar-razi Muhkam adalah ayat-ayat yang kuat baik maksud maupun
lafaznya, sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang lemah, masih berszifat
mujmal, memerlukan ta’wil, dan sulit difahami.
1
Abdul Jalal, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya, 2008, hlm 239
3
1. Menurut Manna’ Al-qatthan muhkam adalah ayat yang maksudnya ddapat diketahui
secara langsung tanpa memerlukan lain, sedangkan mutasyabih tidak seperti itu, ia
memerlukan penjelasan dengan menunjuk ayat yang lain.
“Dia-lah yang menurunkan al kitab (al qur’an) kepada kamu. Diantara isinya ada ayat-ayat
yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al qur’an dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-
orang yang hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat
yang mutasyabbih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari takwilnya. Padahal tidak ada
yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat semua itu dari sisi Tuhan kami”.
Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkam orang-orang yang berakal”.
Menurut Ibnu abbas dan mujahid (dari kalangan sahabat) berpendapat bahwa manusia
dapat mengetahui arti dan takwil ayat-ayat mutasyabihat. Mereka ini beralasan lafad الرسخون
diathofkan kepada lafad الله menurut mereka jika hanya Allah yang mengetahui dan
melimpahkan kepada manusia yang mendalami ilmuNya tentang ayat-ayat mutasyabihat baik
tentang pengertian maupun takwil berarti mereka sama saja dengan orang awam. Pendapat ini
didukung pula oleh Hasan al asy’ari. Melihat pendapat ini, penulis berpendapat bahwa alasan
4
mereka sangat logis sebab jika hanya Allah yang mengetahui maksudnya ayat-ayat
mutasyabihat dalam al qur’an, tentu saja al qur’an itu akan kering maknanya serta tidak
menjadi rahmat bagi alam semesta.
Walaupun ada ‘ulama yang mengatakan demikian, namun menurut sebagian besar ‘ulama
berpendapat bahwa ayat-ayat itu tidak dapat diketahui seorang pun kecuali Allah. Menurut
‘ulama ini kita sebagai ciptaan Allah tidak perlu mencari-cari takwil tentang ayat-ayat
tersebut tetapi kita harus menyerahkan persoalannya kepada Allah semata.
Dari 2 pendapat yang kontradiksi diatas, ada lagi ‘ulama yang berpendapat lain. Dalam hal ini
ar roghib al as fahani dia mengambil jalan tengah dari kedua pendapat diatas.
1. Ayat yang sekali tidak diketahui hakikatnya oleh manusia seperti waktu tibanya hari
kiamat:
2. Ayat yang dapat diketahui oleh manusia dengan menggunakan berbagai sarana
terutama kemampuan akal pikiran.
3. Ayat yang khusus hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang ilmunya
dalam dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka.
Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kaum salaf mensucikan Allah
dari makna lahir lafad dan menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah, lain halnya dengan
kaum khalaf mereka mengartikan bahwa kata istilah dengan maha berkuasa Allah dalam
menciptakan segala sesuatu tanpa susah.
5
C. Sikap Para Ulama Terhadap Ayat-ayat Muhkam Dan Mustasyabih.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat mutasyabih dapat
diketahui oleh manusia, atau hanya Allah saja yang mengetahuinya. Sumber perbedaan
mereka terdapat dalam pemahaman struktur kalimat pada QS. ‘Ali Imran : 7
Dalam memahami ayat tersebut, muncul dua pandapat. Yang pertama, Wa al-rasikhuna fi
al-‘ilm di-athaf-kan pada lafazh Allah, sementara lafazh yaaquluna sebagai hal. Itu artinya,
bahwa ayat-ayat mutasyabih pun diketahui orang-orang yang mendalami ilmunya. Yang
kedua, Wa al-rasikhuna fi al-‘ilm sebagai mubtada’ dan yaaquluna sebagai khabar. Itu artinya
bahwa ayat-ayat mutasyabih hanya diketahui oleh Allah, sedangkan orang-orang yang
mempelajari ilmunya hanya mengimaninya.2
Ada sedikit ulama yang berpihak pada ungkapan gramatikal yang pertama. Seperti
Imam An-Nawawi, didalam Syarah Muslim, ia berkata, “Pendapat inilah yang paling shahih
karena tidak mungkin Allah mengkhitabi hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada
jalan untuk mengetahuinya.”. Kemudian ada Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Ishaq Asy-
Syirazi yang mengatakan, “Tidak ada satu ayatpun yang maksudnya hanya diketahui Allah.
Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang
awam?”.3
Namun sebagian besar sahabat, tabi’in, generasi sesudahnya, terutama kalangan Ahlussunnah
berpihak pada gramatikal ungkapan yang kedua. Seperti pendapat dari :
1. Al-Bukhari, Muslim, dan yang lainnya mengeluarkan sebuah riwayat dari Aisyah
yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda ketika mengomentari QS.
‘Ali Imran ayat 7 : “Jika engkau menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat
mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, orang itulah
yang dicela Allah, maka berhati-hatilah menghadapi mereka.”
2. Ibn Abu Dawud, dalam Al-Mashahif, mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-A’masy.
Ia menyebutkan bahwa diantara qira’ah Ibn Mas’ud disebutkan : “Sesungguhnya
penakwilan ayat-ayat mutasyabih hanya milik Allah semata, sedangkan orang-orang
yang mendalami ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabih.”
2
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Pustaka Lentera Antar Nusa, Bogor, 2013, hlm 307
3
Ibid, hlm 308
6
3. Imam Malik pernah ditanya mengenai pengertian lafadz istawa. Ia mengatakan: Istawa
adalah diketahui. dan bagaimananya adalah sesuatu yang tidah diketahui. Bertanya
tentangnya adalah Bid’ah.4
Sedang Ar-raghib Al-Ashfahany mengambil jalan tengah dalam masalah ini. Beliau
membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahuinya menjadi tiga bagan:
1. Bagian yang tak ada jalan untuk mengetahuinya, seperti waktu tibanya hari kiamat.
2. Bagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadz-lafadz yang
ganjil, sulit difahami namun bisa ditemukan artinya.
3. Bagian yang terletak di antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh Ulama’ yang
mumpuni saja.
Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyabih terbagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Madzhab Salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan mengimani ayat-ayat
mutasyabih dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah sendiri (tafwidh ilallah).
1. Mereka menyucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil bagi Allah
dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an. Di antara ulama yang
masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik yang berasal dari ulama
mutaqaddimin.
2. Madzhab Khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya menakwilkan ayat-ayat
mutasyabih yang menyangkut sifat Allah sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan
keluhuran Allah. Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama muta’akhirin.
D. Fawatih As-Suwar
Istilah Fawatih as-Suwar terdiri dari dua kata yaitu fawatih dan as-suwar. Fawatih
merupakan jamak dari fatihah yang berarti pembuka. Sedangkan as-suwar adalah jamak dari
surah, yang berarti surah, dan as-suwar bermakna surah-surah. Dengan demikian, istilah
fawatih as-suwar secara harfiah berarti “pembuka surah-surah”. Berdasarkan makna harfiah
tersebut, maka secara istilah fawatih as-suwar berarti suatu ilmu yang mengkaji tentang
bentuk-bentuk huruf, kata, atau kalimat permulaan surah-surah al-Qur’an.
7
yang terpisah) karena posisi huruf tersebut cenderung “menyendiri”, tidak bergabung untuk
membentuk sebuah kalimat secara kebahasaan. Namun, segi pembacaannya tidak berbeda
dari lafaz yang diucapkan pada huruf hijaiyah.
5
http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/12/fawatih-al-suwar-materi-mata-kuliah.htm l diakses pada 7 November
2019, pukul 12.36 WIB.
8
E. Hikmah Keberadaan Ayat Mustasyabih Dalam Al-Qur’an
7 آل عمران...هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن ام الكتاب واخر متشابهات
a) Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan
ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah.
Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya
seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan
tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi
penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya untuk
mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
c) Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan
manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar
kekuasaan Allah SWT, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
9
Hikmah Ayat-Ayat Muhkam adalah sebagai berikut:
a) Menjadi rahmat bagi manusia, khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah.
Dengan adanya ayat-ayat muhkam yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan
faedahnya bagi mereka.
b) Memudahkan bagi manusia mengetahui arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi
mereka dalam menghayati makna maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-
ajarannya.
c) Mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-
Quran, karena lafal ayat-ayatnya telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula
untuk diamalkan.
d) Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi ajarannya, karena
lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat menjelaskan arti maksudnya, tidak harus
menuggu penafsiran atau penjelasan dari lafal ayat atau surah yang lain.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak
menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas.
Ulama berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara
bisa tidaknya manusia memahami/memaknai ayat-ayat mutasyabihat.
Sebab munculnya ayat muhkam mutasyabih terbagi menjadi tiga tinjauan yaitu,
Adanya kesamaran dalam lafadz, kesamaran makna ayat dan kesamaran makna dan ayat.
Fawatih as-suwar berarti suatu ilmu yang mengkaji tentang bentuk-bentuk huruf, kata,
atau kalimat permulaan surah-surah al-Qur’an.
Terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis
besar masuk pada tataran pemafaman dan penggunaan logika akal.
B. Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Pustaka Lentera Antar Nusa, Bogor, 2013.
Acep Hermawan, Ulumul Quran: ilmu Untuk Memahami Wahyu, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2011.
http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/12/fawatih-al-suwar-materi-mata-kuliah.html diakses
pada 7 November 2019, pukul 12.36 WIB.
iii
PERTANYAAN
SESI I
1. Candra Saputra
Jawaban : Ayat Muhkam berarti ayat Al-Qur'an yang jelas. Makna menurut bahasa,
muhkam berasal dari kata حكم –يحكم –حكماyang berarti memutuskan dua hal.
Makna menurut istilah, muhkam artinya suatu ungkapan yang maksud makna
lahirnya tidak mungkin diganti atau diubah. Jadi yang dimaksud dengam
Muhkam yang dikokohkan adalah Muhkam merupakan akurasi dan kualitas
tinggi pada lafaz-lafaz dan arti-artinya yang artinya semua berita-beritanya
benar dan bermanfaat, tidak megandung penipuan, konflik, maupun kata-kata
kosong yang tidak berguna. Semua hukumnya adil, tidak zalim, tidak
bersanggahan dan sebaliknya yaitu hukum yang tidak relevan.
2. Pratiwi Nurhayati
Pertanyaan : Didalam hikmah dari Al-Muhkam wa Al-Mustasyabih apa yang dimaksud dari
teguran bagi ayat mustasyabih?
Jawaban : Yang dimaksud sebagai teguran adalah pada zaman tu kaum Yahudi gemar
sekali untuk mengubah-ubah ayat dari Al-Qur’an sebagaimana Allah
menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu al-albabsebagai cercaan terhadap
orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya Allah
memberikan pujian bagi orang-orangyang mendalami ilmunya, yakni orang-
orang yang tidak mengikutihawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat
mutasyabih sehinggamereka berkata rabbana la tuzighqulubana. Mereka
menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
3. Riza Fansyuri
Jawaban :
ل الْغ ُُروب
َ ْ س وَقَب ْ َّوع الش
ِ م
ُ ُ َ ْ ك قَب
ِ ل طل َ ِّ مدِ َرب
ْ ح
َ ِح ب
ْ ِّ سب َ ما يَقُولُو
َ َن و َ صب ِ ْر عَلٰى
ْ فَا
a
Artinya: Maka BERSABARLAH kamu terhadap apa yang mereka katakan dan
BERTASBIHLAH sambil MEMUJI Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenam(nya). (Qaf:39)
4. Taufik Siregar