Segala puji syukur kita hantarkan kepada Allah SWT sebab limpah rahmat serta
anugrah dari-Nya kami mampu menyelesaikan makalah kami dengan judul
“Nasikh Wal Mansukh” ini.
Sholawat serta salam tidak lupa kita limpahkan untuk junjungan nabi Muhammad
SAW yang telah menyampaikan wahyu dan petunjuk kepada kita.
Lalu dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari pembaca untuk
makalah ini supaya kami dapat perbaiki kembali. Karena kami sangat menyadari,
bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak – banyaknya kepada setiap pihak yang
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini sampai
selesai.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kami berharap supaya makalah yang
telah kami buat mampu membearikan manfaat kepada setiap yang membacanya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB 1 : PENDAHULUAN....................................................................................1
a. Latar Belakang..................................................................................................1
b. Rumusan Masalah.............................................................................................3
c. Tujuan Pembelajaran.......................................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN......................................................................................4
A. Pengertian Nasikh Wal Mansukh....................................................................4
B. Pembagian Nasakh............................................................................................7
C. Urgensi Mengetahui Nasakh............................................................................9
D. Contoh Ayat – ayat yang di Nasakh..............................................................10
BAB III : PENUTUP............................................................................................15
a. Kesimpulan......................................................................................................15
b. Saran.................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu
bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta
2
mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.
1
Al Qur’an dan Terjemanya; Tafsir Al Qur’anul Karim (Medinah Munawwarah: Mujamma
Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1411 H) h.
23.
2
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, terj H Aunur Rafiq El-Mazni,(Cet
ke-4;Jakarta:pustaka Al Kautsar) h. 284.
3
M. Quraish Shibab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994) h. 143.
1
Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 106 tentang nasikh dan mansukh
yaitu :
Artinya:
”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu” (QS. Al-Baqarah : 106).
Dari ayat tersebut timbul pembahasan nasikh dan mansukh dalam ayat-ayat Allah, baik
ayat-ayat dalam Al Qur’an, sunnah Nabi maupun ayat-ayat dalam kitab-kitab suci
terdahulu.
Kemudian diikuti oleh para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah
“sekiranya dalam Al Qur’an ada yang salah atau batal. Sedangkan dalam Al Qur’an
dinyatakan tidak ada kebatalan”.5
4
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Cet.1; Bandung: PT Mizan Pustaka 2007), h. 10.
5
Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir h 178
2
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar
bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasi dan ahli usul, agar pengetahuan tentang
hukum tidak menjadi kacau dan kabur, oleh sebab itu, terdapat banyak atsar (perkataan
sahabat dan tabi’in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. 6
B. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertin Nasikh Wal Mansukh?
b. Apa Pembagian Nasakh?
c. Apa Urgensi mengetahui Nasakh?
d. Apa Contoh ayat - ayat yang di nasakh?
C. Tujuan Pembahasan
a. Mengetahui Pengertin Nasikh Wal Mansukh
b. Mengetahui Pembagian Nasakh
c. Mengetahui Urgensi mengetahui Nasakh
e. Mengetahui Contoh ayat - ayat yang di nasakh
BAB II
6
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘uhmil Qur’an, h. 329.
3
PEMBAHASAN
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqani seperti dikutip oleh Quraish Shihab
diantara para ulama tersebut ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang
ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain
7
Dr. Usman, M.Ag, Ulumul Qur’an, ibid h. 256-257.
8
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an h. 326.
9
Dr. Usman, M.Ag, Ulumul Qur’an, h. 258.
10
M. Quraish Shihab. Membumikan AL-Qur’an, h. 144
4
yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau
menahan diri pada periode mekkah disaat kaum muslim lemah, dianggap telah dinasakh
oleh adanya perintah atau izin berperang pada periode madinah karena kondisi mereka
sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada
masa sebelum islam termasuk dalam pengertian nasakh. 11
Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama Muta’akhirin
(ulama setelah abad ke 3 H). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum
yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku ada
yang ditetapkan terakhir.12
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam nasikh diperukan syarat-syarat
berikut:
11
Ibid
12
Ibid
13
Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, h 328. Lihat juga Syaikh Manna’Al-
Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, h286-287. Lihat juga Dr. Usman,M.Ag, Ulumul
Qur’an,h 260
5
2) Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih
kemudian dari kitab yang hukumnya mansukh.
3) Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu.
Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut. Yang demikian tidak dinamakan naskh.14
B. PEMBAGIAN NASAKH
Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh
sunnah dengan sunnah, nasakh sunnah dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan Al
14
Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an h. 286
6
Qur’an, dan nasakh Al Qur’an dengan sunnah. Berikut penjelasannya seperti terdapat
dalam Al Qur’an dan tafsirnya.
7
terdapat dalam ayat Al Qur’an, berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut
para ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al Qur’an ini, bahwa
adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an dapat diterima akal karena Allah
Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada
mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum
yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan
dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal terebut
termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui. Tetapi
sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidah ada nasikh mansikh dalam ayat-
ayat Al Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al Qur’an memang telah menasakh
kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat Al Qur’an yang ada sekarang tidak
ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah
SWT dalam surah Fussilat/41 ayat 42. Yang artinya:“Yang tidak akan didatangi
oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari
Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
d. Nasakh Al Qur’an dengan Sunnah
Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
Nasakh Al Qur’an dengan hadist ahad.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa hal itu tidak boleh, karena, hadist
ahad itu bersifat dzanni (relatif benar) sementara Al Qur’an bersifat
qath’ie (pasti benar).17
Nasakh Al Qur’an dengan Hadist Mutawatir
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam
satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya
adalah firman Allah dalam surah An Najm ayat 3-4 yang artinya “Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)”. 18
C. URGENSI MENGETAHUI NASAKH
Ilmu nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam al-Quran
sangat penting untuk mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam
sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejauhmana
17
Drs.H.M. Shalahuddin Hamid, MA, Study Ulumul Qur’an h. 309
18
Ibid
8
elastisitas ajaran dan hukumnya, serta sejauhmana perubahan hukum itu berlaku.
Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan ditetapkannya
suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh diberlakukan secara longgar
dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan
ajaran dan illat hukum tersebut.
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat yang
cukup besar bagi para ahli ilmu, terutama bagi mufassir, fuqaha, dan ahli ushul.
Tujuannya agar pengetahuan mereka tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh
sebab itu, terdapat banyak atsar (perkataan sahabat maupun tabi’in) yang mendorong agar
mengetahui masalah ini.19
9
Artinya:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu meng-
hadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya)
lagi Mahamengetahui. (QS Al Baqarah:115)
Artinya:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu
ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu
ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi
Al Kita (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
Haram it adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang mereka kerjakan. (QS. Al Baqarah:144)
Menurut Syaikh Manna’ ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan shalat
sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut
dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan
dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan salat fardhu lima waktu.
10
Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis yang
ditetapkan dalam sunnah.21
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Baqarah: 180)
Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan An Nisa/4: ayat
11-12 dan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”22
21
Manna Khalil al-Qattan, op. cit., h. 344.
22
Ibid h. 345
11
Artinya :
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 184)
Ayat ini telah dinasakh oleh ayat:
Artinya :
12
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).
Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”(QS. Al Baqarah: 185)
Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim,
bersumber dari Salamah ibn Akwa: “Ketika turun surat Al Bawarah ayat
184, maka orang-orang yang ingin tidak berpuasa, mereka berencana
membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya yang
menasakhkannya.23
Artinya :
23
Muhammad Zaini, ‘Ulumul Qur’an suatu pengantar h.71
13
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al Baqarah: 240)
Artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya,
maka tiada dosa bagimu(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.”(QS. Al Baqarah: 234).
BAB III
14
PENUTUP
a. Kesimpulan
Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’.
Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan mansukh
ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti.
Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna
‘amar(perintah) atau nahyi(larangan), tidak ada nasakh ayat tentang persoalan akidah, zat
Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, etika dan
akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
15
Al Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an. Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011
Muhammad Zaini, ‘Ulumul Qur’an Suatu Pengantar, Banda Aceh: Yayasan Pena Banda
Aceh, 2005
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, terj H Aunur Rafiq El-
Mazni, Jakarta :pustaka Al Kautsar, 2006
16