Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita hantarkan kepada Allah SWT sebab limpah rahmat serta
anugrah dari-Nya kami mampu menyelesaikan makalah kami dengan judul
“Nasikh Wal Mansukh” ini.
Sholawat serta salam tidak lupa kita limpahkan untuk junjungan nabi Muhammad
SAW yang telah menyampaikan wahyu dan petunjuk kepada kita.
Lalu dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari pembaca untuk
makalah ini supaya kami dapat perbaiki kembali. Karena kami sangat menyadari,
bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan.
Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak – banyaknya kepada setiap pihak yang
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini sampai
selesai.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kami berharap supaya makalah yang
telah kami buat mampu membearikan manfaat kepada setiap yang membacanya.

Kebumen,25 Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB 1 : PENDAHULUAN....................................................................................1
a. Latar Belakang..................................................................................................1
b. Rumusan Masalah.............................................................................................3
c. Tujuan Pembelajaran.......................................................................................3
BAB II : PEMBAHASAN......................................................................................4
A. Pengertian Nasikh Wal Mansukh....................................................................4
B. Pembagian Nasakh............................................................................................7
C. Urgensi Mengetahui Nasakh............................................................................9
D. Contoh Ayat – ayat yang di Nasakh..............................................................10
BAB III : PENUTUP............................................................................................15
a. Kesimpulan......................................................................................................15
b. Saran.................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al Qur’an adalah kalamullah merupakan mu’jizat bagi Nabi Muhammad SAW. Al


Qur’an merupakan tuntunan bagi umat manusia untuk mencapai bukan hanya
kebahagiaan di dunia saja, terlebih lagi adalah merupakan tuntunan untuk mencapai
kebahagiaan di akhirat. Dalam Al Qur’an terkandung banyak hikmah dan pelajaran. Al
Qur’an memuat ayat tentang cerita-cerita, seruan kepada umat manusia untuk beriman
dan bertaqwa, memuat tentang ibadah, muamalah, dan lain sebagainya. 1

Mengenai ibadah dan muamalah, prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu
bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta
2
mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan.

Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, dalam penjelasan Al Qur’an ada


yang dikemukakan secara terperinci, ada pula yang garis besarnya saja. Ada yang khusus,
ada yang masih bersifat umum dan global. Ada ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan
adanya gejala kontradiksi yang menurut Quraish Shibab para ulama berbeda pendapat
tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat tersebut. Sehingga timbul pembahasan tentang
Nasikh dan Mansukh.3

1
Al Qur’an dan Terjemanya; Tafsir Al Qur’anul Karim (Medinah Munawwarah: Mujamma
Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif, 1411 H) h.
23.
2
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, terj H Aunur Rafiq El-Mazni,(Cet
ke-4;Jakarta:pustaka Al Kautsar) h. 284.
3
M. Quraish Shibab. Membumikan Al-Qur’an (Bandung: PT Mizan Pustaka, 1994) h. 143.

1
Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 106 tentang nasikh dan mansukh
yaitu :

Artinya:

”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu” (QS. Al-Baqarah : 106).

Dari ayat tersebut timbul pembahasan nasikh dan mansukh dalam ayat-ayat Allah, baik
ayat-ayat dalam Al Qur’an, sunnah Nabi maupun ayat-ayat dalam kitab-kitab suci
terdahulu.

Sungguh, ayat-ayat Al-Qur’an merupakan serat yang membentuk tenunan


kehidupan muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena itu, sering kali
pada saat Al-Quran berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek
tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara
sepintas terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi, orang yang tekun mempelajarinya akan
menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama dengan keserasian
hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada
akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu
indah.4

Adapun ulama-ulama yang menerima adanya nasakh mereka berpendapat, nasakh


adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum
syara’. Dan ada pula ulama-ulama yang menolak adanya nasakh diantaranya Abu Muslim
al Isfahani.

Kemudian diikuti oleh para ulama mutaakhirin. Diantara alasan mereka adalah
“sekiranya dalam Al Qur’an ada yang salah atau batal. Sedangkan dalam Al Qur’an
dinyatakan tidak ada kebatalan”.5

4
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Cet.1; Bandung: PT Mizan Pustaka 2007), h. 10.
5
Nashruddin Baidan, Wawasan baru ilmu tafsir h 178

2
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar
bagi para ahli ilmu, terutama fuqaha, mufasi dan ahli usul, agar pengetahuan tentang
hukum tidak menjadi kacau dan kabur, oleh sebab itu, terdapat banyak atsar (perkataan
sahabat dan tabi’in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. 6

B. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertin Nasikh Wal Mansukh?
b. Apa Pembagian Nasakh?
c. Apa Urgensi mengetahui Nasakh?
d. Apa Contoh ayat - ayat yang di nasakh?
C. Tujuan Pembahasan
a. Mengetahui Pengertin Nasikh Wal Mansukh
b. Mengetahui Pembagian Nasakh
c. Mengetahui Urgensi mengetahui Nasakh
e. Mengetahui Contoh ayat - ayat yang di nasakh

BAB II

6
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘uhmil Qur’an, h. 329.

3
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN NASIKH WAL MANSUKH

Secara etimologi kata Nasakh dipakai untuk beberapa pengertian: menghilangkan,


melenyapkan, atau menghapus, dapat juga berarti memindahkan (memindahkan sesuatu
dari suatu tempat ke tempat yang lain).

Kata Nasakh dapat juga berarti mengganti atau menukar, membatalkan,


menghapus, memindahkan dan sebagainya dinamakan nasikh. Sedangkan bagian yang
dihapus dinamakan mansukh.7 Sedangkan pengertian nasakh secara terminologi menurut
Manna’ Khalil al Qattan sebagaimana di kutib dalam buku Studi Ilmu-ilmu Al Qur’an
nasakh ialah “mangangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’
yang lain”.8

Menurut Muhammad ‘Abd Azhim al Zarqaniy sebagaimana dikutip Dr.Usman,


M.Ag dalam buku Ulumul Qur’an, bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapus
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian. 9 Mengenai nasakh, Al
Syatibi sebagaimana dikutip oleh DR. M Quraish Shihab mengatakan bahwa para ulama
mutaqaddimin (ulama abad ke 1 hingga abad ke 3 H) memperluaskan arti nasakh,
mencakup hal-hal, yaitu:

a. Pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian.


b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus
yang datang kemudian.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas
(samar), dan penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum
bersyarat.
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat. 10

Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqani seperti dikutip oleh Quraish Shihab
diantara para ulama tersebut ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang
ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain

7
Dr. Usman, M.Ag, Ulumul Qur’an, ibid h. 256-257.
8
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an h. 326.
9
Dr. Usman, M.Ag, Ulumul Qur’an, h. 258.
10
M. Quraish Shihab. Membumikan AL-Qur’an, h. 144

4
yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau
menahan diri pada periode mekkah disaat kaum muslim lemah, dianggap telah dinasakh
oleh adanya perintah atau izin berperang pada periode madinah karena kondisi mereka
sudah kuat. Bahkan ketetapan hukum islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada
masa sebelum islam termasuk dalam pengertian nasakh. 11

Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para ulama Muta’akhirin
(ulama setelah abad ke 3 H). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum
yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya
masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku ada
yang ditetapkan terakhir.12

Mengenai lingkup nasakh, Manna’ Khalil al Qattan menyimpulkan bahwa nasakh


hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas
maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna ‘amar
(perintah) atau nahi (larangan), jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan
akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian,
serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan
muamalah. Hal itu karena semua syari’at ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.
Sedang dalam masalah pokok (usul) semua syari’at adalah sama. 13

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam nasikh diperukan syarat-syarat
berikut:

1) Hukum yang dimansukh adalah hukum syara’.

11
Ibid
12
Ibid
13
Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, h 328. Lihat juga Syaikh Manna’Al-
Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, h286-287. Lihat juga Dr. Usman,M.Ag, Ulumul
Qur’an,h 260

5
2) Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih
kemudian dari kitab yang hukumnya mansukh.
3) Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu.
Sebab jika tidak demikian maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu
tersebut. Yang demikian tidak dinamakan naskh.14

B. PEMBAGIAN NASAKH

Umumnya para ulama membagi nasakh menjadi empat bagian, yaitu nasakh
sunnah dengan sunnah, nasakh sunnah dengan Al Qur’an, nasakh Al Qur’an dengan Al
14
Syaikh Manna’Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an h. 286

6
Qur’an, dan nasakh Al Qur’an dengan sunnah. Berikut penjelasannya seperti terdapat
dalam Al Qur’an dan tafsirnya.

a. Nasakh Sunnah dengan Sunnah


Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus
dengan dalil syara’ daru sunnah juga. Contohnya adalah larangan ziarah kubur
yang dinasakh menjadi boleh. Hadits seperti yang diriwayatkan At Tarmidzi :

‫ت نَهَ ْيتُ ُك ْم َع ْن ِزيَا َر ِة ْالقُب ُْو ِر فَ ُز ْور ُْوهَا‬


ُ ‫إِنِّ ْي ُك ْن‬
Artinya:
”Sesungguhnya aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka
(sekarang) ziarahilah kuburan.”
Dalam hal nasakh sunnah dengan sunnah ini Manna’ Khalil Al Qattan
mengkategorikan kedalam empat bentuk, yaitu :
 Nasakh mutawatir dengan mutawatir.
 Nasakh ahad dengan ahad.
 Nasakh ahad dengan mutawatir.
 Nasakh mutawatir dengan ahad.
Tiga bentuk pertama dibolehkan sedangkan bentuk keempat terjadi silang
pendapat. Namun jumhur ulama tidak membolehkan.15
b. Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh
dengan dalil Al Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap ke Baitul Maqdis
kemudian menjadi menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al
Qur’an surah Al Baqarah ayat 144. Namun nasakh seperti itu pun ditolak oleh
Syafi’i sebagaimana dikutip Syaikh Manna’ dari Al Itqan, menurut Syafi’i, apa
saja yang ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al Qur’an, dan apa saja yang di
tetapkan Al Qur’an tentu didukung pula oleh sunnah. Hal tersebut menurut beliau
antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan tidak bertentangan. 16
c. Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an kemudian dinasakh
dengan dalil ayat Al Qur’an pula. Tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Mereka yang berpendapat bahwa nasikh dan mansukh ada
15
Manna’Khalil al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, h. 336
16
Ibid

7
terdapat dalam ayat Al Qur’an, berdasarkan surah Al Baqarah ayat 106. Menurut
para ulama yang menerima adanya nasikh mansukh dalam Al Qur’an ini, bahwa
adanya nasikh dan mansukh dalam Al Qur’an dapat diterima akal karena Allah
Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang, sehingga hukum yang ringan pada
mulanya memang perlu ditetapkan, dan kemudian perlu diganti dengan hukum
yang tidak ringan lagi setelah orang-orang Islam menghadapi keadaan normal dan
dipandang sudah mampu menghadapi hukum yang tidak ringan lagi. Hal terebut
termasuk kebijakan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mengetahui. Tetapi
sebagian ulama lain berpendapat bahwa tidah ada nasikh mansikh dalam ayat-
ayat Al Qur’an. Menurut ulama-ulama ini Al Qur’an memang telah menasakh
kitab-kitab suci terdahulu, tetapi semua ayat Al Qur’an yang ada sekarang tidak
ada lagi yang mansukh. Hal tersebut menurut mereka sesuai dengan firman Allah
SWT dalam surah Fussilat/41 ayat 42. Yang artinya:“Yang tidak akan didatangi
oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang yang diturunkan dari
Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”.
d. Nasakh Al Qur’an dengan Sunnah
Nasakh jenis ini menurut Syaikh Manna’ terbagi dua, yaitu:
 Nasakh Al Qur’an dengan hadist ahad.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa hal itu tidak boleh, karena, hadist
ahad itu bersifat dzanni (relatif benar) sementara Al Qur’an bersifat
qath’ie (pasti benar).17
 Nasakh Al Qur’an dengan Hadist Mutawatir
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam
satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya
adalah firman Allah dalam surah An Najm ayat 3-4 yang artinya “Dan
tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)”. 18
C. URGENSI MENGETAHUI NASAKH

Ilmu nasikh-mansukh dalam penggalian ajaran dan hukum Islam dalam al-Quran
sangat penting untuk mengetahui proses tashri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam
sejalan dengan dinamika kebutuhan masyarakatnya yang selalu berubah, sejauhmana
17
Drs.H.M. Shalahuddin Hamid, MA, Study Ulumul Qur’an h. 309
18
Ibid

8
elastisitas ajaran dan hukumnya, serta sejauhmana perubahan hukum itu berlaku.
Disamping itu untuk menelusuri tujuan ajaran, dan illat hukum (alasan ditetapkannya
suatu hukum), sehingga suatu hukum dan ajarannya boleh diberlakukan secara longgar
dan ketat sebagaimana hukum asalnya sesuai kondisi yang mengitarinya atas dasar tujuan
ajaran dan illat hukum tersebut.

Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan manfaat yang
cukup besar bagi para ahli ilmu, terutama bagi mufassir, fuqaha, dan ahli ushul.
Tujuannya agar pengetahuan mereka tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh
sebab itu, terdapat banyak atsar (perkataan sahabat maupun tabi’in) yang mendorong agar
mengetahui masalah ini.19

Selanjutnya Al-Zarqani juga mengungkapkan bahwa mengetahui nasakh dan


mansukh adalah rukun pokok untuk mengetahui Islam dan juga sebagai petunjuk akan
kebenaran suatu hukum. Begitu urgennya masalah nasakh dan mansukh, maka para ulama
mujtahid telah membahas secara spesifik dan mendalam di berbagai kitab klasik dalam
bidang ilmu-ilmu Al Qur’an, ilmu-ilmu hadits, dan ilmu ushul fiqh. 20

D. CONTOH AYAT-AYAT YANG DINASAKH

As-Suyuthi menyebut dalam Al-Itqan sebanyak 21 ayat yang dipandangnya


sebagai ayat-ayat mansukh. Diantaranya ialah :

a. Ayat tentang Qiblat


19
Muhammad Zaini, M.Ag, ‘Ulumul Qur’an Suatu Pengantar h.65.
20
Ibid h. 66

9
Artinya:
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu meng-
hadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya)
lagi Mahamengetahui. (QS Al Baqarah:115)

Ayat tersebut di atas telah dinasakh oleh ayat berikut :

Artinya:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu
ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu
ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi
Al Kita (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
Haram it adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari
apa yang mereka kerjakan. (QS. Al Baqarah:144)

Menurut Syaikh Manna’ ayat pertama tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan shalat
sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut
dan darurat. Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan
dalam as-Sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan salat fardhu lima waktu.

10
Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis yang
ditetapkan dalam sunnah.21

b. Ayat tentang wasiat

Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al Baqarah: 180)

Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan An Nisa/4: ayat
11-12 dan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”22

c. Ayat tentang puasa

21
Manna Khalil al-Qattan, op. cit., h. 344.
22
Ibid h. 345

11
Artinya :
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(QS. Al Baqarah: 184)
Ayat ini telah dinasakh oleh ayat:

Artinya :

12
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).
Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
inggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”(QS. Al Baqarah: 185)

Hal ini berdasarkan keterangan dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim,
bersumber dari Salamah ibn Akwa: “Ketika turun surat Al Bawarah ayat
184, maka orang-orang yang ingin tidak berpuasa, mereka berencana
membayar fidyah, sehingga turunlah ayat sesudahnya yang
menasakhkannya.23

d. Ayat tentang ‘iddah

Artinya :

23
Muhammad Zaini, ‘Ulumul Qur’an suatu pengantar h.71

13
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia diantaramu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu)
diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari
rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa
bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka
berbuat ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Al Baqarah: 240)

Ayat ini telah dinasakhkan oleh ayat :

Artinya :
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa ‘iddahnya,
maka tiada dosa bagimu(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.”(QS. Al Baqarah: 234).

BAB III

14
PENUTUP

a. Kesimpulan

Nasakh ialah mengangkat atau menghapuskan hukum syara’ dengan dalil syara’.
Nasikh ialah dalil syara’ yang menghapus atau mengangkat suatu hukum, dan mansukh
ialah hukum syara’ yang telah dihapus atau diganti.

Nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan
tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna
‘amar(perintah) atau nahyi(larangan), tidak ada nasakh ayat tentang persoalan akidah, zat
Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, etika dan
akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.

b. Saran

Pentingnya mempelajari nasikh dan mansukh adalah untuk mengetahui proses


tasyri’ (penetapan dan penerapan hukum) Islam dan untuk menelusuri tujuan ajaran, serta
illat hukum (alasan ditetapkannya suatu hukum).

DAFTAR PUSTAKA

15
Al Qattan, Manna’ Khalil, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu
Qur’an. Bogor: PT Pustaka Litera Antar Nusa, 2011

M. Shalahuddin Hamid, MA, Study Ulumul Qur’an, Jakarta Timur: PT Intimedia


Ciptanusantara, 2002

Muhammad Zaini, ‘Ulumul Qur’an Suatu Pengantar, Banda Aceh: Yayasan Pena Banda
Aceh, 2005

Shihab, M Quraish, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan, 1994

Shihab, M Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996

Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an, terj H Aunur Rafiq El-
Mazni, Jakarta :pustaka Al Kautsar, 2006

Usman, Ulumul Qur’an, Yogyakarta : Teras, 2009

16

Anda mungkin juga menyukai