Anda di halaman 1dari 42

NASIKH MANSUKH

ANNISA AUFANI AZZAHRO

NIM : 04040222058

KELAS : C2

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Moh Ali Aziz, M.Ag

Asisten Dosen I

Ati’ Nursyafa’ah, M.Kom.i

Asisten Dosen II

Baiti Rahmawati, M.Sos

Asisten Dosen III

Moch. Husnan, S.Kom

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

UIN SUNAN AMPEL

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat, taufik, hidayah serta hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami
dengan lancar. Dalam penulisan makalah ini kami tidak
terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terimakasih kepada dosen pengampu,
dan semua pihak yang telah membantu selesainya
penyusunan makalah ini.

            Kami sadar bahwa sebagai manusia tentu


mempunyai kesalahan dan kehilafan. Oleh karena
itu kami selaku penulis makalah ini mohon maaf apabila
dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak
kesalahan.

            Semoga makalah ini dapat bermanfaat


bagi kami khususnya dan para pembaca yang budiman
pada umumnya.

i
                                   Surabaya, 16 September 2022

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................i
DAFTAR ISI...................................................................ii
BAB I...............................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................1
A. Latar Belakang......................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................2
C. Tujuan...................................................................2
BAB II.............................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................3
A. Pengertian Nasikh Mansukh.................................3
1. Syarat Nasikh dan Mansukh.............................8
2. Dasar Pengetahuan Tentang Nasikh dan
Mansukh....................................................................9
3. Macam-Macam Nasikh Mansukh...................11
B. Kontroversi Tentang Nasikh Mansukh...............14
C. Contoh-Contoh Nasikh Mansukh dalam Al
Qur’an.........................................................................19
BAB III..........................................................................31

iii
PENUTUP.....................................................................31
KESIMPULAN………………………………………33

DAFTAR PUSTAKA....................................................33

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pada dasarnya, al-Qur‟an merupakan firman


(“kata-kata”) Allah, yang memiliki satu kesatuan
yang utuh. Tidak ada pertentangan antara satu “kata”
dengan yang lainnya “seandainya al-Qur‟an ini
datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan
menemukan didalamnya ikhtilaf (kontradiksi). yang
banyak (QS. 4 ; 82). Masing-masing saling
menjelaskan, yufassiru ba’duhu ba’dho. Akan tetapi,
jika kita hadapkan ke realitas sejarah, al- Quran tidak
lepas dari kondisi sejarah yang menjadikan sebab
turunya sebuah ayat. Artinya, al-Qur‟an tidak akan
turun dalam vacuum historis. Hal ini terbukti dengan
adanya satu disiplin ilmu tafsir yang mencoba
membahas secara mendlam tentang itu, yaitu Ilm
Asbab al-Nuzul. Dalam konteks sejarah ini pula,

1
Nasikh-Mansukh menjadi bagian dari implikasi
tersebut.

Beberapa ulama sepakat bahwa ilmu tentang


Nasikh Mansukh ini sangat urgen untuk dijadikan
sebagai piranti dalam memahami al- Qur‟an. Begitu
juga, beberapa ulama meyakini bahwa setiap ayat al-
Qur‟an tidak ada kontradiksi. Artinya ayat yang
kelihatan bertentangan, pada dasarnya tidak
bertentangan. Oleh karena itu, perlu adanya metode
penafsiran untuk meluruskan ayat-ayat yang
kelihatan bertentangan tersebut, maka lahirlah
Nasikh-Mansukh. Makna nasikh wa Mansukh dalam
tulisan ini bukan bermakna “penghapusan ayat”,
melainkan penghapusan hukum.

2. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Nasikh


mansukh?
2. Adakah kontroversi yang muncul mengenai
nasikh dan mansukh?

2
3. Apa saja contoh nasikh dan mansukh dalam al-
quran?

3. Tujuan

1. Untuk mengetahui Nasikh mansukh


2. Untuk mengetahui kontroversi yang muncul
mengenai nasikh dan mansukh
3. Untuk mengetahui contoh nasikh dan mansukh
dalam al-quran

3
BAB II

PEMBAHASAN

Al- Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam.


Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan
untuk Al- Qur’an maupun sunnah, Al-Qur’an menurut
istilah (terminologi) ialah firman Allah yang berbentuk
mukjizat, diturunkan kepada nabi Muhammad SAW,
melalui malaikat jibril yang tertulis dalam di dalam
mushahif, yang diriwayatkan kepada kita dengan
mutawatir, merupakan ibadah bila membacanya,dimulai
dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-
Naas.

A. Pengertian Nasikh Mansukh

Secara etimologis, menurut Subhi al-Shalih,


ada beberapa pengertian nasikh terutama ketika kita
merujuk pada beberapa ayat al- Qur‟an.1 Pertama,
1
Subhi al-Shalih. Mabahis fi Ulumi al-Qur‟an (Beirut :
Dar al-Ilm al-Malayain. 1977) hlm 259 – 260.
4
Nasikh diartikan sebagai Izalah, yaitu penghilangan.
Pengertian ini diambil dengan merujuk pada ayat
“Allah menghilangkan apa yang dimansuhkan oleh
setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya” (QS.
al-Hajj : 52). Kedua, Nasikh berarti pergantian
(tabdil). Hal ini merujuk pada ayat, “dan apabila
Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain sebagai
penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkan- Nya” (QS. al-Nahl : 101). Ketiga,
Nasikh diartikan sebagai tanasukh al- mawarits,
pemindahan warisan dari satu orang kepada orang
lain. Dan Ketiga, Nasikh diartikan sebagai al-Naql,
(menukil atau memindahkan).2 Salah satu ayat yang
menyinggung pengertian ini adalah inna kunna
astansikh-u ma kuntum ta‟malun (sesungguhnya
kami memindahkan amal perbuatan kedalam
lembaran-lembaran (catatan amal). Sementara

2
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an (Bandung : Mizan. 1998)
hlm 143. lihat juga Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri‟ al-Islam (Kairo :
Dar al-Ma‟arif. 1971) hlm 326.

5
Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus,
dipindahkan dan sebagainya.3

Secara terminologi, Manna al-Qattan


menyebutkan Nasikh adalah: Mengangkat
(menghapuskan) hukum syara‟ dengan dalil hukum
(khitab) syara‟ yang lain. Tetapi penghapusan ini
tidak termasuk al- bara‟ah al-ashliyah, yang bersifat
asli, kecuali disebabkan mati atau gila ataupun
penghapusan dengan ijma‟ atau qiyas. Sementara
Subhi al-Shalih menegaskan bahwa nasikh adalah
raf‟-u al-hukm-i al-syar‟-i bi dalil-i al-syar‟-i,
mencabut (mengangkat) hukum syar‟i dengan dalil
syar‟i pula.4 Oleh karena itu al-Syatibi memberikan
batasan terhadap nasikh ini ; Pertama, pembatalan
sebuah hukum yang terdahulu karena adanya
penetapan hukum kemudian. Kedua, pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang
bersifat khusus yang datang kemudian. Ketiga,
adanya penjelasan yang datang sesudah
3
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur‟an,
(Beirut : Muwassah. 1983) hlm 232
4
Subhi al-Shalih. Mabahis fi Ulumi al-Qur‟an, hlm. 261
6
ditetapkannya sebuah hukum, tetapi masih samar.
Keempat, penetapan syarat hukum terdahulu
terhadap hukum yang belum bersyarat. 5

Akan tetapi, batasan ini ditolak oleh sebagian


Ulama‟, karena luasnya batasan tersebut, sehingga
tidak jelas mana yang mukhassis dan mana yang
muqayyid. Lalu munculah batasan nasikh yang lebih
sempit, yaitu;,ketentuan-ketentuan hukum yang
datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut
atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan
hukum yang terdahulu. Sehingga hukum yang
berlaku adalah yang telah ditetapkan terakhir.6

Dari sini dapat kita lihat bahwa Nasikh-


Mansukh mensyaratkan;

1. Hukum yang di-mansukh adalah hukum


syara’.

5
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, CV. Pustaka Setia,
Bandung, 2000, hlm. 172.
6
Ibid, hlm. 174
7
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah
hukum syara‟ yang datang lebih kemudian,
yang hukumnya mansukh.
3. Hukum yang mansukh, hukumnya tidak
terikat atau dibatasi oleh waktu tertentu.7

Jika ketiga syarat tersebut, disepakati menjadi


grand desaind bagi adanya istilah Nasikh-Mansukh,
maka nasikh hanya belaku pada dataran perintah dan
larangan an sich, dan tidak terjadi pada khabar atau
berita, seperti janji (al-Wa’d), dan ancaman (al-
Wa’id), selama perintah dan larangan tersebut tidak
menyentuh pada persoalan pokok-pokok ibadah dan
mu‟amalah, aqidah, etika dan akhlaq.

1. Dan yang menjadi kriteria adanya nasikh-


mansukh ini adalah Karena adanya sebuah
hukum (syara‟).
2. Karena adanya pertentangan (ta‟arudl) antara
satu hukum dengan hukum lainnya.

al-Zarkasy, Badr al-Din Muhammad bin Abdullah, al-


7

Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid II. al-Zarqany), hlm. 271


8
3. al-Ayat al-Mansukhah itu turun lebih dulu
dari pada al-Ayat al-Nasikh.

Adapun definisi nasakh dalam istilah ulumul qur’an


yaitu, adanya dalil syariat yang datang belakangan
dari dalil syariat pertama, dan bertentangan dalam
hukumnya. Allah S.W.T. berfirman:

“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami


jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan
yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya.” (Q.S. Al-Baqarah: 106) .

Ibnu Al-Hajib mendefinisikan bahwa nasakh adalah


pengangkatan hukum syar’i dengan dalil syar’i yang
datang setelahnya. Nasakh dalam syariat Islam
adalah penjelasan habisnya masa belaku hukum
sesuai hekendak pemilik syariat, yaitu Allah S.W.T.

9
4. Syarat Nasikh dan Mansukh
Dalam penetapan adanya ayat yang dinasakh atau
ayat yang menasakh, Ada 5 syarat:

a. Pertama, kedua merupakan perkara dalam syariat


Islam.
b. Kedua, nasikh datang belakangan dari ayat yang
dinasakh
c. Ketiga, perkara dinasakh secara mutlak tanpa
batasan tertentu.
d. Keempat, ayat nasikh mewajibkan untuk
diketahui dan diamalkan
e. Kelima, nasikh dan mansukh merupakan hukum
yang dijelaskan secara tektual dalam dalil syar’i.

5. Dasar Pengetahuan Tentang Nasikh dan


Mansukh
Nasakh tidak dapat diketahui dengan
petunjuk akal atau qiyas. Akan tetapi nasakh
diketahui melalui petunjuk naqli. Di antara
caranya sebagai berikut:

Pertama, penukilan dari sahabat Nabi


dengan sanad yang shahih, dari Nabi saw. Hal ini

10
dikarenakan bahwa zaman proses naskh nash
adalah zaman risalah kenabian, tidak setelahnya.
Sandaran nasakh adalah wahyu. Alloh S.W.T.
berfirman:

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-


ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak
mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata:
"Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau
gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut
bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri.
Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika
mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang
besar (kiamat).” (Q.S. Yunus: 15).

11
Kedua, perawi menyebutkan
tanggal/waktu mendengarkan berita naskh.
Seperti; aku mendengar ini pada tahun
penaklukan mekkah. Atau perawi menukil nasikh
dan mansukh secara bersamaan, seperti:
diberikan keringanan bagi kami pada perkara ini,
kemudian setelah beberapa lama waktu, kami
dilarang tentangnya. Hal ini menunjukkan bahwa
hukum syariat islam yang telah ditetapkan tidak
dapat dinaskh melainkan dengan perkara yang
pasti. Penetapannya dengan perkara yang pasti,
maka pemberhentian hukumnya juga harus
dengan perkara yang pasti. Imam Al-Bukhari
mengambarkan kejadian naskh di zaman Nabi
saw kepada kita dalam buku shahihnya, yaitu
tentang tafsir firman Allah S.W.T.;

12
“Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau
tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka
(adalah sama saja). Kendatipun kamu
memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh
kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi
ampunan kepada mereka.” (Q.S. Al-Taubah: 80).

6. Macam-Macam Nasikh Mansukh


Imam Al-Syaukani menjelaskan dalam bukunya
macam-macam naskh; nasakh bacaan bukan
hukumnya, nasakh hukum bukan bacaannya, dan
nasakh keduanya (bacaan dan hukumnya).

Abu Ishaq Al-Marwazi, Ibnu Al- Sam’ani dan


ulama lainnya, mengkategorikan macam-macam
naskh menjadi 6 kategori. Berikut ini penjelasan
4 macam nasakh;

a. Ayat dinasakh hukumnya dan masih tetap


tulisan (lafadz) nya. Seperti ayat wasiat kedua
orang tua dan kerabat dinasakh dengan ayat
waris. Ayat iddah wanita yang ditinggal mati
suaminya selama satu tahun dinasakh dengan

13
ayat iddah selama 4 bulan sepuluh hari.
Hukunya dinasakh dan tulisan ayatnya
tetap/masih ada.
b. Ayat dinasakh hukum dan tulisannya, dan
hukum nasikh dan lafadznya masih
ditetapkan. seperti ayat menghadap kiblat
baitul maqdis dinasakh dengan ayat
menghadap kiblat Ka’bah. Ayat puasa Asyura
dinasakh dengan ayat puasa Ramadhan.
c. Dinasakh lafadz ayat dan hukumnya. Akan
tetapi ayat nasikhnya diangkat dan hukumnya
masih tetap. Seperti firman Allah, sbb:

“Dan (terhadap) para wanita yang


mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada
empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka

14
telah memberi persaksian, maka kurunglah
mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau
sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.”
(Q.S. Al-Nisa: 15)

Ayat di atas ini dinasakh dengan firman


Allah, yang artinya:
“Orang Dewasa lelaki dan perempuan (yang
telah menikah), apabila keduanya berzina,
maka rajamlah keduanya dengan pasti,
sebagai balasan dari Alloh S.W.T. “
Kalimat ini telah disebutkan secara shahih,
bahwa kalimat ini adalah ayat Alquran,
kemudian di nasakh lafadznya, dan masih
tetap hukumnya.

d. Ayat dinasakh lafadznya bukan hukumnya,


dan tidak diketahui ayat penasikhnya.8

8
Amri, R. (2017). Teori Nasikh-Mansukh dalam Alquran
( Pendekatan Tafsir Maudhu ’ i ). 17(2), 327–340
15
B. Kontroversi Tentang Nasikh Mansukh

Alquran merupakan sumber utama dalam


beragama umat Islam. Alquran diturunkan oleh
Alloh S.W.T. sebagai petunjuk bagi umat manusia
dan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa Allah
S.W.T. dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 2, dan
ayat ke 185. Petunjuk Alquran mencakup akhlak,
hukum, ibadah, akidah, dan kisah-kisah sebagai ibrah
bagi umat manusia.

Dalam memahami hukum syariat islam yang


terdapat dalam Alquran al- Karim, kaum Muslimin
sangat membutuhkan ilmu Ushul Tafsir, yang
membahas tentang dasar-dasar pemahaman Alquran
dan tafsirnya, termasuk pula pengetahuan dalam hal
nasikh dan mansukh. ilmu nasikh dan mansukh akan
mengarahkan kaum muslimin kepada jalan yang
benar sesuai kehendak Allah S.W.T.

Ketidaktahuan akan nasikh dan mansukh akan


menyebabkan kesalahpahaman dalam memahami
makna hukum yang diinginkan oleh Alloh dalam

16
firmannya. Diriwayatkan dalam sebuah Atsar bahwa
Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada seorang
Qadhi/hakim tentang pengetahuannya pada hal
nasikh dan mansukh. Orang itu mengatakan tidak ada
pengetahuan. Maka Ali bin Abi Thalib mengatakan
bahwa dia dapat mencelakakan diri sendiri dalam
memahami ayat dan mencelakakan orang lain dalam
fatwanya.

Persoalan Nasikh dalam al-Qur‟an ini, bermula


dari pemahaman ayat “seandainya al-Qur‟an ini
datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan
menemukan kontradiksi yang sangat banyak”. (QS. al-
Nisa ; 82). Ayat ini ingin mengatakan bahwa ayat-ayat
al-Qur‟an tidak mempunyai perbedaan-perbedaan yang
signifikan antara satu ayat dengan yang lainnya.
Sementara di tempat lain, al-Qur‟an mengatakan
“setiap ayat yang kami nasikh atau yang kami jadikan
(manusia) lupa kepadanya, tentu

17
kami ganti dengan yang lebih baik padanya atau yang
sebanding dengannya” (QS. al-Baqarah : 106).

Abu Muslim al-Asyfahani, menolak anggapan


bahwa ayat yang sepintas kotradiktif, diselesaikan
dengan jalan nasikh-mansukh. Lantas ia, mengajukan
proyek takhsis sebagai antitesa Nasikh-Mansukh.
Menurutnya al-Qur‟an adalah syari‟ah yang muhkam,
jadi tidak ada yang mansukh. “Tidak datang kepadanya
kebatilan al-Qur‟an baik dari depan maupun dari
belakang yang diturunkan dari sisi Tuhan Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS. al-Fushilat : 42).
Artinya, jika sekiranya didalam al-Qur‟an terdapat
ketentuan yang telah di-nasakh, maka sebagian hukum.

ayat al-Qur‟an juga akan dibatalkan. Sementara syari‟at


dalam al-Qur‟an itu bersifat kekal. Karena ia berlaku
sepanjang masa.

Fakhru al-razi dan Muhammad „Abduh, juga


termasuk yang memandang bahwa istilah Nasikh-
Mansukh tidak terdapat dalam al-Qur‟an. Alasan

18
mereka disandarkan pada ayat al-Qur‟an “Dan
bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu
kitab Tuhanmu. Tidak ada seorangpun yang dapat
merubah kalimat –Nya”. (QS. al-Kahfi : 27).Hanya
kemudian, Muhammad „Abduh menggunakan istilah
tabdil, penggantian, pengalihan, atau pemindahan ayat
hukum ditempat ayat hukum yang lain, bukan nasakh
dalam pengertian pembatalan.

Sementara itu, sebagaian Ulama‟ berkeyakinan


bahwa didalam al-Qur‟an terdapat pembatalan hukum,
Nasikh-Mansukh. Ibn Jarir menafsirkan ayat “dan
apabila Kami letakkan suatu ayat ditempat ayat lain
sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui
apa yang diturunkan-Nya”, sebagai “Kami angkat ia,
lalu Kami turunkan lainnya”. Sedangkan al-Syuyuti
mengartikannya sebagai “Allah menurunkan perkara
dalam al-Qur‟an kemudian mengangkatnya”.

Ibn Katsir menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita


untuk menafikan Nasikh-Mansukh, karena ia
menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan
melakukan apa saja sesuai dengan keinginan-Nya. Hal

19
ini, pula ditegaskan oleh Quraish Shihab, bahwa Allah
tidak me-nasakh dalam arti membatalkan suatu hukum
yang dikandung oleh satu ayat, kecuali Allah akan
mendatangkan ayat lain yang mengandung hukum lain
yang lebih baik atau serupa.9

Berbeda dengan yang lain, al-Thabathaba‟i


mengatakan bahwa pertentangan antara dua Nash dalam
Naskh pada dasarnya merupakan pertentangan lahiriah,
bukan pertentangan hakikiyyah (esensi). Alasan al-
Thabathaba‟i ini didasarkan pada al-Qur‟an Surat al-
Nisa ; 82. Ia menegaskan Nasakh pada dasarnya bukan
termasuk (yang terjadi karena) pertentangan dalam
perkataan (qawl), dan ia juga tidak (terjadi karena)
pertentangan (ikhtilaf) dalam pandangan hukum,
melainkan terjadi karena pertentangan dalam mushdaq
(kriteria) dari segi dapat diterapkannya hukum pada
suatu hari, karena adanya mahslahat didalamnya. Dan
dari segi tidak dapat diterapkannya pada suatu hari yang

9
Syaifulloh, A. (2018). Nasikh Dan Mansukh:
Langkah Ulama’Dalam Memahami Al-Qur’an Dan
Hadis. Jurnal Studi Islam Dan Sosial, 1(1), 107–
127.
20
lain karena bergantinya kemashlahatan dari
kemashlahatan yang lain yang mewajibkan hukum yang
lain pula”. Oleh karena itu, al-Thabathaba‟i
beranggapan bahwa nasakh pada dasarnya tidak hanya
khusus terdapat pada hukum-hukum syari‟at,
melainkan juga dapat terjadi terhadap takwiniyyah
(persoalan-persoalan kosmo).

C. Contoh-Contoh Nasikh Mansukh dalam Al


Qur’an

Musthafa Muhammad Sulaiman dan yang


lainnya, membagi Nasikh-Mansukh menjadi empat
kajian ;

1. Nasikh ayat al-Qur‟an dengan al-Qur‟an.


2. Nasikh ayat al-Qur‟an dengan Sunnah.
3. Nasikh Sunnah dengan ayat al-Qur‟an.
4. Nasikh Sunnah dengan sunnah.

Contoh dari Nasikh ayat al-Qur‟an dengan al-


Qur‟an adalah kasus hukum iddah (masa tenggang)
bagi seorang wanita janda yang semula satu tahun
(QS. al-Baqarah: 240), beberapa waktu kemudian

21
ditetapkan bahwa masa tenggangnya hanya 4 bulan
10 hari (QS. al-Baqarah: 234). Juga bisa kita lihat
pada kasus penetapan hukum masalah arak (khamr),
yang pada mulanya al-Qur‟an hanya menyampaikan
tentang positif dan negatifnya khamr tersebut,
kemudian al-Qur‟an meminta kaum Muslimin untuk
tidak mabok ketika sholat (QS. al-Nisa: 43). Dan
terakhir al-Qur‟an menegaskan kepada kaum
Muslimin untuk tidak menggunakan atau meminum
khamr (QS. al-Maidah: 90 – 91).

Muncul persoalan, ketika kajian nasikh-


mansukh ini masuk pada wilayah nasikh al-Qur‟an
dengan Sunnah. Imam Malik, Abi Hanifah, dan
Imam Ahmad menerima Nasikh model ini, meskipun
hanya nasikh al-Qur‟an dengan Hadits Mutawatir.
Sementara Imam Syafi’i, Ahli Zahir, dan sebagian
kelompok Imam Ahmad menolaknya, karena alasan
tingkat kedudukan sunnah yang tidak sebanding
dengan al-Qur’an.

Adapun contoh nasikh sunnah dengan al-


Quran adalah ketika “tradisi” Nabi yang masih

22
berkiblat di Bait al-Maqdis, dan enam bulan
kemudian setelah hijrah ke Madinah, maka turunlah
ketetapan dari al- Qur‟an (QS. al-Baqarah: 144).
Juga kebiasaan Nabi yang telah menetapkan bulan
al-Syura sebagai bulan wajib puasa, lalu di kounter
oleh al-Qur‟an dengan turunnya sebuah ayat “maka
barang siapa yang melihat bulan ramadhan,
hendaknya berpuasalah ia” (QS. al-Baqarah: 185).
Akan tetapi, model ini pun ditolak oleh al-Syafi‟i,
karena apa saja yang ditetapkan oleh Sunnah tentu
didukung oleh al-Qur‟an, begitu juga sebaliknya,
ketetapan al-Qur‟an tentunya tidak bertentangan
dengan Sunnah. Sehingga antara al-qur‟an dan
Sunnah saling bersinergi, tidak kontradiktif.10

Nasikh-Mansukh dalam al-Qur‟an


mempunyai tiga makna, Pertama, menunjuk pada
pembatalan hukum yang dinyatakan dalam kitab-

10
Fauzan, N. R. (2014). Urgensi Nasikh-Mansukh
Dalam Legislasi Hukum Islam. Istidal: Jurnal Studi
Hukum Islam, 1(2), 202–213.
23
kitab Samawi sebelum al-Qur‟an. Kedua, menunjuk
pada penghapusan sejumlah teks ayat-ayat al-
Qur‟an dari eksistensinya, baik penghapusan teks
dan hukum yang terkadung didalamnya sekaligus
(naskh al-hukm wa al-tilawah), maupun
penghapusan teksnya saja, sementara hukumnya
tetap berlaku (naskh al-tilawah duna al-hukm), dan
Ketiga, menghapus ayat-ayat yang turun lebih awal
oleh ayat-ayat yang turun kemudian atau
belakangan, tetapi teks atau ayat terdahulu masih
tetap terkandung didalam al-quran (naskh al-hukm
duna al-tilawah).

Pada kajian pertama, memberikan makna


bahwa semua syari‟ah sebelum Islam di nasikh oleh
syari‟ah Islam, termasuk Injil, Zabur, dan Taurat.
Tetapi asumsi ini bertentangan dengan ayat
mushoddiqullima baiyna yadaihi (QS. Ali Imran: 3).
Juga perintah al-Qur‟an untuk mengembalikan atau
merujuk kitab mereka sendiri ketika berhadapan
dengan persoalan hukum (QS. al-Maidah: 42), Umat
Kristen juga diminta untuk merujuk pada Injil (QS.

24
al-Maidah:50) karena Taurat dan Injil adalah Wahyu
Allah (QS. al-Maidah: 71).

Naskh hukm wa al-tilawah, yaitu hilangnya


teks al-Quran dan hukumnya. Ini terlihat apa yang
disampaikan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh
Muslim bahwa

“Diantara yang diturunkan kepada Nabi


adalah sepuluh kali isapan susuan yang diketahui
diharamkan. Kemudian ketentuan ini di nasikh oleh
“lima isapan susuan yang maklum”. Maka setelah
Nabi wafat, lima susunan ini termasuk ayat al-
Qur‟an yang di baca”.

Hadits yang disampaikan oleh Aisyah ini,


menurut Zarqani adalah sahih. Hal ini, justru
semakin mempertegas bahwa ada teks yang “hilang”
dalam mushaf Usman, meskipun setelah Nabi wafat
ayat ini masih dibaca oleh sebagian sahabat.11

11
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur‟an,
Beirut : Muwassah. 1983
25
Dalam laporan lain di sebutkan bahwa :

Abu Waqid al-Laithii berkata, "Ketika Nabi


(saw) menerima wahyu, kita akan mendatanginya
dan dia akan mengajarkan kepada kita apa yang
diwahyukan. Pada suatu hari (Saya mendatanginya)
dan dia berkata : “Sesungguhnya Allah berkata,
Kami menurunkan kekayaan untuk memelihara doa
dan bersedekah, dan sekiranya keturunan Adam
mendapati sebuah lembah, maka dia akan
meninggalkannya untuk mencari satu lagi seperti itu,
dan jika dia memperoleh yang satu lagi seperti itu,
dia akan mencari untuk yang ketiga, dan tidak ada
yang akan memuaskan perut keturunan Adam
kecuali debu, tetapi Allah lembut hati kepada sesiapa
yang lembut hati".

Laporan ini juga pernah disampaikan pertama


kali oleh Ubay bin Ka‟ab bahwa ayat ini merupakan
bagian dari teks al-Qur‟an. Kemudian oleh Abu

26
Musa yang dilaporkan melalui Sahih Muslim Adalah
:

diminta untuk merujuk pada Injil (QS. al-


Maidah:50) karena Taurat dan Injil adalah Wahyu
Allah (QS. al-Maidah/5 : 71).

Naskh hukm wa al-tilawah, yaitu hilangnya


teks al-Qur‟an dan hukumnya.12 Ini terlihat apa yang
disampaikan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh
Muslim bahwa

“Diantara yang diturunkan kepada Nabi


adalah sepuluh kali isapan susuan yang diketahui
diharamkan. Kemudian ketentuan ini di nasikh oleh
“lima isapan susuan yang maklum”. Maka setelah
Nabi wafat, lima susunan ini termasuk ayat al-
Qur‟an yang di baca”.

Hadits yang disampaikan oleh Aisyah ini,


menurut Zarqani adalah sahih.(Amri, 2017) Hal ini,
justru semakin mempertegas bahwa ada teks yang

12
Dainori. (2019b). Nasikh Mansukh Dalam Studi
Ilmu Alquran. Jurnal Instika, 2(1), 1–19.
27
“hilang” dalam mushaf Usman,(Dainori, 2019a)
meskipun setelah Nabi wafat ayat ini masih dibaca
oleh sebagian sahabat.

Dalam laporan lain di sebutkan bahwa :

Abu Waqid al-Laithii berkata, "Ketika Nabi


(saw) menerima wahyu, kita akan mendatanginya
dan dia akan mengajarkan kepada kita apa yang
diwahyukan. Pada suatu hari (Saya mendatanginya)
dan dia berkata : “Sesungguhnya Allah berkata,
Kami menurunkan kekayaan untuk memelihara doa
dan bersedekah, dan sekiranya keturunan Adam
mendapati sebuah lembah, maka dia akan
meninggalkannya untuk mencari satu lagi seperti itu,
dan jika dia memperoleh yang satu lagi seperti itu,
dia akan mencari untuk yang ketiga, dan tidak ada
yang akan memuaskan perut keturunan Adam
kecuali debu, tetapi Allah lembut hati kepada sesiapa
yang lembut hati".

28
Laporan ini juga pernah disampaikan pertama
kali oleh Ubay bin Ka‟ab bahwa ayat ini merupakan
bagian dari teks al-Qur‟an.(Ruslan, 2019)Kemudian
oleh Abu Musa yang dilaporkan melalui Sahih
Muslim Adalah:

“Kami pada ketika pernah mengucapkan satu


surah yang menyerupai dalam panjang dan tegas
seperti (Surah) Bara'at. Meskipun saya lupa, tetapi
saya ingat bagian ini : "jika ada dua buah lembah
penuh dengan kekayaan, untuk keturunan Adam, dia
akan inginkan sebuah lembah ketiga, dan tiada apa
yang akan memenuhi perut keturunan Adam kecuali
debu”

Akan tetapi dalam riwayat Bukhari dari Ibn


Zubayr, ayat diatas hanya disebut sebagai hadits
Nabi, bukan wahyu al-Qur‟an. Juga menurut
analisis Schwally, penggunaan kata ibn Adam dalam
redaksi ayat diatas merupakan ungkapan yang asing
bagi al-Qur‟an.

29
Imam Muslim juga meriwayatkan dalam
Shahih-nya ;

“Bahwa Abu Musa pernah menghabarkan


kepada mereka biasa membaca suatu surat yang
panjangnya meyerupai musabbihat, tetapi yang bisa
diingatnya adalah ayat “Hai orang-orang yang
beriman, mengapa kalian katakan apa yang tidak
kalian lakukan? Maka dituliskan sebuah kesaksian
dileher-lehermu dan kalian akan ditanya tentangnya
dihari berbangkit”.

Demikian pula Imam Bukhari juga pernah


meriwayatkan dari Anas Ibn Malik yang menceritakan
bahwa sehubungan dengan orang-orang yang wafat
dalam pertempuran Bi‟r Ma‟una, turun suatu ayat al-
Qur‟an yang pada masa belakangan dihapus. Teks ayat
tersebut adalah “sampaikan kepada kaum kami
bahwa kami bertemu Tuhan kami, dan Dia ridla
kepada kami dan kami pun ridla kepada-Nya”.13
13
Rokim, S. (2020). Peta Nasikh dan Manshukh
Dalam Alquran Al-Karim. Al Tadabbur: Jurnal
30
Laporan-laporan ini, semakin mempertegas
bahwa ada teks-teks yang di nasikh, untuk tidak
dikatakan sebagai teks yang (di) hilang (kan).
Bahkan sejumlah riwayat mengatakan bahwa surat
al-Ahzab, yang didalam mushaf Usmani hanya 73
ayat, dikabarkan pada mulanya memiliki sekitar 200
ayat atau sepanjang surat al-Baqarah. begitu juga
surat al-Taubah dan surat al-bayyinah, dikabarkan
pada awalnya memiliki jumlah ayat yang lebih
banyak dari mushaf Usmani. Yang lebih fantastik
adalah ungkapan al-Thabrani bahwa Umar ibn
Khattab pernah mengatakan kalau al-Qur‟an itu
terdiri dari 1.027.000 kata atau ayat.14

“Al-Thabrani dari Umar menyebutkan bahwa al-


Qur‟an itu terdiri dari satu juta dua puluh tujuh ribu
huruf maka barang siapa yang membaca setiap
hurufnya akan mendapat bidadari”

Ilmu Alquran Dan Tafsir, 5(02), 307–320.


14
Dainori. (2019b). Nasikh Mansukh Dalam Studi
Ilmu Alquran. Jurnal Instika, 2(1), 1–19.
31
Riwayat ini kemudian didukung oleh riwayat
Ibn Umar, putra Umar Ibn Khathab:

Sungguh seorang diantara kamu akan berkata


“Saya telah mendapatkan al-Qur‟an yang lengkap”,
dan tidak mengetahui taraf kelengkapannya.
Sesungguhnya banyak bagian al-Qur‟an yang hilang
(dzahaba), dan karena itu seharusnya ia berkata
“Saya telah mendapatkan yang masih ada”.

32
BAB III

PENUTUP

Dari pemaparan materi yang telah dibahas pada bab


sebelumnya maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah:

1. Nasikh menurut Manna al-Qattan adalah


Mengangkat (menghapuskan) hukum syara‟
dengan dalil hukum (khitab) syara‟ yang lain.
Tetapi penghapusan ini tidak termasuk al-bara‟ah
al-ashliyah, yang bersifat asli, kecuali disebabkan
mati atau gila ataupun penghapusan dengan ijma‟
atau qiyas.
Mansukh ialah hukum yang diangkat atau
dihapuskan. Seperti ayat mawaris atau hukum
yang terkandung di dalamnya, yaitu
menghapuskan hukum wasiat kepada kedua orang
tua atau kerabat sebagaimana akan dijelaskan.
2. Kontroversi dalam al-quran mengenai nasikh
mansukh al-Thabathaba‟i mengatakan bahwa

33
pertentangan antara dua Nash dalam Naskh pada
dasarnya merupakan pertentangan lahiriah, bukan
pertentangan hakikiyyah (esensi).
3. Contoh dari nasikh mansukh dala ayat alquran:
Pada kajian pertama, memberikan makna bahwa
semua syari‟ah sebelum Islam di nasikh oleh
syari‟ah Islam, termasuk Injil, Zabur, dan Taurat.
Tetapi asumsi ini bertentangan dengan ayat
mushoddiqullima baiyna yadaihi (QS. Ali Imran:
3). Juga perintah al-Qur‟an untuk mengembalikan
atau merujuk kitab mereka sendiri ketika
berhadapan dengan persoalan hukum (QS. al-
Maidah: 42), Umat Kristen juga diminta untuk
merujuk pada Injil (QS. al-Maidah:50) (Fauzan,
2014) karena Taurat dan Injil adalah Wahyu Allah
(QS. al-Maidah: 71).15

15
Ruslan. (2019). Nasikh dan mansukh alquran
menurut Dr. Hamka. Journal of Islamic and Law
Studies, 3(2), 17.

34
DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasballah, Ushul al-Tasyri‟ al-Islam (Kairo : Dar al-


Ma‟arif. 1971
al-Zarkasy, Badr al-Din Muhammad bin Abdullah, al-
Burhan fi Ulum al-Quran, Jilid II. al-Zarqany.
Abu Ishaq al-Syatibi, a-Muwaffaqat (Beirut : Dar al-
Ma‟arif. 1975
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur‟an,
Beirut : Muwassah. 1983
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an Bandung :
Mizan. 1998.
Subhi al-Shalih. Mabahis fi Ulumi al-Qur‟an Beirut :
Dar al-Ilm al-Malayain. 1977.
Amri, R. (2017). Teori Nasikh-Mansukh dalam Alquran
( Pendekatan Tafsir Maudhu ’ i ). 17(2), 327–340.
Bakar, A. (2016). Kontraversi Nasikh dan Mansukh
dalam Al-Qur’an Oleh Abu Bakar. Madania, 6 : 1,
47–64.
Dainori. (2019a). Nasikh Mansukh Dalam Studi Ilmu
Alquran. Jurnal Pemikiran Dan Ilmu Keislaman, 2,
1–18.
Dainori. (2019b). Nasikh Mansukh Dalam Studi Ilmu
Alquran. Jurnal Instika, 2(1), 1–19.

35
Fauzan, N. R. (2014). Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam
Legislasi Hukum Islam. Istidal: Jurnal Studi
Hukum Islam, 1(2), 202–213.
Rokim, S. (2020). Peta Nasikh dan Manshukh Dalam
Alquran Al-Karim. Al Tadabbur: Jurnal Ilmu
Alquran Dan Tafsir, 5(02), 307–320.
Ruslan. (2019). Nasikh dan mansukh alquran menurut
Dr. Hamka. Journal of Islamic and Law Studies,
3(2), 17.
Syaifulloh, A. (2018). Nasikh Dan Mansukh: Langkah
Ulama’Dalam Memahami Al-Qur’an Dan Hadis.
Jurnal Studi Islam Dan Sosial, 1(1), 107–127.

36
37

Anda mungkin juga menyukai