RAGAM AN-NASKH
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR
Biamillahirahmanirrahim
Puji syuur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah " RAGAM AN - NASKH” dengan
tepat waktu.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan ini. Ucapkan
teriaksih kami sampaikan atas perhatiannya. Terimakasih
Penulis
ii
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .......................................................................................... 14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
An-naskh, atau Pembatalan hukum syariat Islam yang lama
dengan hukum yang baru, merupakan salah satu cabang keilmuan dalam
'Ulum al-Qur'an yang menempati posisi penting. Konsep ini telah menjadi
topik hangat di kalangan ulama, dengan beberapa dukungan dan yang lain
menolaknya. Meskipun terjadi perbedaan pendapat, umumnya ulama
sepakat tentang terjadinya an-naskh dalam al-Qur'an.
Pendahuluan dalam an-naskh melibatkan pemahaman makna yang
terkandung dalam ayat-ayat yang seringkali dijadikan landasan utama
dalam menetapkan teori an-naskh. Pembahasan dengan tema ini menarik
karena hampir selalu berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur'an.
Dalam proses penelitian, para peneliti berusaha mengungkap makna an-
naskh dengan mengkaji ayat-ayat tertentu melalui pendekatan semantik
dan munasabah.
Dengan demikian, pendahuluan dalam an-naskh melibatkan pemahaman
makna ayat-ayat al-Qur'an yang sering dijadikan landasan utama dalam
menetapkan teori an-naskh, serta kajian terhadap ayat-ayat tersebut
melalui pendekatan semantik dan munasabah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Ragam An- Naskh?
2. Bagaimana Pembagian Naskh dalam Al-Quran?
3. Bagaimana Syarat -syarat Ragam An- Naskh?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengertian Ragam An -Naskh
2. Mengetahui Pembagian Naskh dalam Al-Quran.
3. Mengetahui syarat - syarat An- Naskh
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
menghilangkan hukum yang pertama. Dengan demikian mereka mempersempit
ruang lingkup nasakh dengan beberapa syarat, baik yang menasakh maupun yang
dinasakh. Lebih lanjut ulama mutaakhirin mendefinisikan nasakh sebagai berikut :
“Mengangkat (menghapus) hukum syara` dengan dalil hukum (khatab) syara`
yang datang kemudian”.
Atas dasar itu, dalil yang datang kemudian disebut nasakh (yang
menghapus). Sedangkan hukum yang pertama disebut mansukh (yang terhapus).
Sementara itu, penghapusan hukumnya disebut nasakh. Berdasarkan pengertian
itu, para ulama mutaakhirin lebih mempersempit makna nasakh dengan
mendefinisikan nya sebagai amandemen sebuah ketentuan hukum atau
berakhirnya masa berlakunya ketentuan hukum oleh hukum yang datang
kemudian, sehingga hukum yang terdahulu tidak berlaku lagi.
B. Pembagian Nasakh
Dari segi nasakh atau yang berhak menghapus sebuah nash (dalil/hukum),
nasakh dikelompokkan dalam empat bagian :
3
al-Quran yang telah dinasakh bacaannya tanpa menasakh hukum
yang terkandung di dalamnya.a.
b. Nasakh pada bacaan dan hukum yang terkandung di dalamnya.
Maksudnya bahwa terdapat ayat al-Quran yang sebelumnya telah
permanen dari sisi lafadz dan juga makna kemudian di nasakh,
baik itu lafadz maupun makna (hukum yang terkandung di
dalamnya). Contohnya riwayat Aisyah tentang persusuan, yaitu
penghapusan ayat yang mengharamkan kawin dengan saudara
persusuan, karena menyusu pada ibu dengan sepuluh kali susuan,
kemudian dinasakh dengan lima kali susuan. “Dari Aisyah, r.a.,
beliau berkata : Adalah termasuk (ayat alQuran) yang diturunkan
(yaitu ayat yang menerangkan) sepuluh kali susuan yang diketahui
itu menjadikan mahram (haram dikawini), maka lalu dinasakh
dengan lima kali susuan yang nyata. Maka menjelang wafat
Rasulullah saw., ayat-ayat itu masih termasuk yang dibaca dari al-
Quran.” (H.R. Muslim).
c. Menasakh hukum tanpa menasakh tilawahnya. Maksudnya, ada
beberapa ayat al-Quran yang hukumnya sudah tidak berlaku,
sedangkan bacaannya masih tetap dalam al-Quran. Contoh : sanksi
pezina yang mulanya dikurung di rumah sampai mati, berdasarkan
firman Allah surat an-Nisa ayat 45:
٤
ًْشا َٞص
ِ ّ ِبّلل ُٰ ِبٚعذَ ۤا ِٕى هن ٌُْ َٗ َم ٰف
ُٰ ِبًُّٚب َّٗ َم ٰفٞبّللِ َٗ ِى ُْ َ ّللاه ا َ ْعيَ هٌُ ِبب
ُٰ َٗ
Artinya: Dan (terhadap) Para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu
(yang menyaksikannya). kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan lain kepadanya”. (Q.S. an-Nisa : 45).
4
Hukum dalam ayat tersebut tidak berlaku lagi dengan
turunnya surat an-Nur ayat 2 di bawah ini :
5
ُصَِ ُ ِبب َ ّْفه ِس ِٖ َِّ ُا َ ْس َب َعتَ ُا َ ْش هٖش ِ َُْ٘ َّهخَ َ٘فُٝ ََِْٝٗاىَّ ِز
َ ٌْ ٍُ ْْ هن
ْ َّخ َ َشبَّٝ ُزَ هس َُْٗ ُا َ ْص َٗا ًجبَٝ ُٗ
َُِّ ِٖ ُا َ ّْفه ِسْٜٓ ََب ُفَ َع ْيَِ ُ ِفْٞ هن ٌْ ُ ِفْٞ َعي
َ ُ ع ْش ًشاُۚ ُف ِبرَا ُ َبيَ ْغَِ ُا َ َجيَ هٖ َِّ ُفَ ََل ُ هجَْب َحَ َّٗ
َ ُ َُْ٘ ّللاهُ ِب ََبُحَ ْع ََيه
ُْۖشٞخ ِب ٰ َُٗ ف ِ ْٗ ُِب ْبى ََ ْع هش
Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari…”.
(Q.S. al-Baqarah : 234).
6
hadits bersifat dzanni, sementara al-Quran bersifat qath`i. Al-
Quran lebih kuat dari sunnah. Menurut asy-Syafi`i, sunnah tidak
sederajat dengan al-Quran. Pendapat ini didasarkan al-Quran
surat al-Baqarah ayat 106
ُٓ ٰ َ٘ َٖ ع ُِِ ْٱى
٣ٙ ُْط ه
َ ق ِ َٝ َٗ ٍَب
Artinya : “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-
Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (Q.S. an-
Najm: 3-4)”.
Memang secara syar`i terjadi nasakh dengan sunnah Nabi
Muhammad saw. sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 180.
7
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
(Q.S. al- Baqarah: 180)
Ayat tersebut dinasakh oleh sabda Rasulullah saw dari Umamah, menurut
riwayat empat perawi hadits, selain an-Nasa`i, dinyatakan hadits tersebut hadits
hasan menurut Ahmad dan at-Turmuzi, yaitu sabda Rasulullah. “Sesungguhnya
Allah SWT telah memberi bagian tertentu untuk yang berhak, maka tidak boleh
berwasiat kepada ahli waris”. (HR. Tirmidzi).
ٌُْ ْث ٍَب هم ْْخ هُ هٞاً ُۖ َُٗ َح ُِ َط َُش ْاى ََس ِْج ُِذ ْاى َح َش
ْ لش َُ َٖ ه َٗ ْج ُِ َ٘ َج ف
َُ ْث خ ََش ْج ُ هِٞ َح ُْ ٍِ َٗ
ٌُْ ٖظ َي هَ ْ٘ا ٍِ ْْ هَ َُِِْٝل اىَّ ِز
ُ َّ هن ٌُْ هح َّجتُ اْٞ َعي ُ َّ َ َط َشُٓ ُۖ ِىئ
ُ ِ َّْ هن َُُْ٘ ِىيَٝ َل
َ بط ْ فَ َ٘ىُّ ْ٘ا هٗ هج ْ٘ َٕ هن ٌُْ ش
َُۖ ُٗ هن ٌُْ َٗىَ َعيَّ هن ٌُْ ح َ ْٖخَذ ْهْٞ َعي
َ ُْٜ َٗ ِله ِح ٌَُّ ِّ ْع ََ ِخٜ ْ َٗ ٌُْ َٕل ح َ ْخش َْ٘ ه
ُْ ِّ َْ٘ اخش ُ َ َف
Artinya: Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu
ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka
palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia
atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka
janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). Dan
agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat
petunjuk.
8
turun kewajiban puasa di bulan Ramadhan, maka puasa asy-Syura tidak
wajib lagi, ada yang berpuasa dan ada pula yang tidak berpuasa”. (HR.
Bukhari-Muslim).
1. Nasikh harus terpisah dari masnukh.Kalau tidak terpisah, seperti sifat dan
istisna, maka tidak dikatakan nasakh.
2. Nasikh harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan mansukh. Karena
itu, qur’an bias dinasakh dengan qur’an dan hadist mutawatir. Demikian
pula hadist mutawatir dinasakh dengan qur’an dan hadist mutawatir pula.
3. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’.Kalau nasikh bukan dalil syara’,
seperti mati maka tidak disebut nasakh. Tidak adanya hokum terhadap
orang yang sudah mati dapat diketahui akal tanpa petunjuk syara’.
4. Mansukh tidak dibataskan kepada sesuatu waktu.Seperti kebolehan makan
dan minum pada malam hari puasa dibataskan kepada waktu fajar. Kalau
sudah terbit fajar, makan dan minum tidak dibolehkan lagi. Meskipun
9
menghapuskan kebolehan makan dan minum , namun ,tidak disebut
nasakh. Hukum pertama dengan sendirinya akan hilang, apabila waktu
yang disebutkan telah habis.
5. Mansukh harus hukum-hukum syara’.Yang bisa dibatalkan (mansukh)
hanyalah hukum syara’.Tidak semua nas-nas Qur’an dan hadist dapat
dinasakh. Ada nas-nas yang sudah pasti dan tidak bisa dinasakh sama
sekali, yaitu :
a. Nas-nas yang berisi hukum-hukum pokok, baik yang berhubungan
dengan kepercayaaan dan pokok-pokok ibadah, atau
yangberhubungan dengan pokok-pokok keutamaan, seperti adil,
kejujuran dan lain-lain, atau melarang perbuatan-perbuatan yang hina
seperti mempersekutuan Tuhan, membunuh, mencuri dan lain-lain.
b. Nas-nas yang berisi hukum-hukum yang abadi seperti firman Tuhan:
“Jangan kamu terima persaksian mereka selamanya”. (An Nur ayat 4)
c. Nas-nas yang berisi pemberitaan sesuatu kejadian baik yang lewat
ataupun yang akan datang, seperti peristiwa Musa dengan Fir’aun,
akan datangnya kiamat dan lain-lain. Ketiga macam nas tersebut sama
sekali tidak bisa dinasakh
Nasikh dan mansukh tidak satu jenis.Yang sudah disepakati ialah, Qur’an
dinasakh dengan Qur’an karena sama-sama qot’i dan hadist dinasakh dengan
hadist pula, sebab sama-sama zhanni. Hadist mutawattir bisa menasakh Qur’an.
Termasuk satu jenis juga, karena sama-sana qot’i. Jadi yang dimaksud dengan
sejenis, ialah sama-sama qot,i atau sama-sama zhanni. Yang belum disepakati :
10
Adanya hukum baru sebagai pengganti hukum yang dibatalkan. Hukum
yang ada pada nas yang dinaskhkan adakalanya :
11
َ ٌْ ُ ٍَبُ َُٕ ٰذى هنٚع ٰي
َُُْٗ ُٗىَ َعيَّ هن ٌُْح َ ْش هن هش ْ َٗ ِىخ ه ْن َِيه
ٰ ٘اُاى ِعذَّة ََُٗ ِىخ ه َن ِب هش
َ َُٗاُّللا
12
pertama, ialah memberi kemurahan bagi orang-orang yang sakit
atau bepergian untuk berpuasa Ramadhan pada hari-hari lainnya.
Ayat
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ragam an-naskh adalah konsep dalam ilmu Al-Qur'an yang mengacu pada
Pembatalan atau penggantian hukum atau ayat dalam Al-Qur'an dengan hukum
atau ayat yang lain. Dalam konteks ini, kesimpulan tentang ragam an-naskh dapat
diambil dari berbagai sumber yang membahasnya. Beberapa kesimpulan yang
dapat diambil termasuk:
1. Naskh adalah bagian dari ilmu fiqh yang melakukan pembatalan terhadap
pelaksanaan suatu hukum.
2. Naskh al-Quran adalah dalil Al-Quran yang menghapuskan hukum dalil
syar'i atau lafazhnya.
3. Ada berbagai macam naskh dalam Al-Quran, antara lain naskh tilawah
dan hukum, naskh hukum sedang tilawahnya tidak, dan naskh lainnya
4. Naskh terbagi dalam beberapa kategori, seperti naskh Al-Quran dengan
Al-Quran, naskh Al-Quran dengan Sunnah, naskh Sunnah dengan Al-
Quran, dan naskh Sunnah dengan Sunnah.
14
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuffin, (2007). Ushul Fiqh, jilid I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Kahar Mansykur, (2001) Pokok-pokok Ulumul Qur`an, Jakarta : Rineka Cipta.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu
dalamKehidupan, (Bandung : Mizan, 2004), h. 143. 26
Manna Khalil al-Qattan, (2001) Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj. Mudzakir,
Yogyakarta : Pustaka Lentera, 2001.
Moh. Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Semarang : RaSail Media Group,
2002)
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma`sum, dkk, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 2008), h. 193-142.
Rachmat Syafe`i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm.
88. Lihat juga Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran, terj.
Mudzakir, (Yogyakarta : Pustaka Lentera, 2001), h. 334
Supiana dan M. Karman, (2002) Ulumul al-Quran dan Pengenalan Metode
Tafsir, Bandung : Pustaka Islamika.
15