Anda di halaman 1dari 11

NASIKH MANSUKH DALAM DUNIA HADIS

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Qowaid Syarah Hadis

Dosen Pengampu Zulham Qudsi Farizal Alam, M.A.

Disusun Oleh :

1. Dichi Gangga Eric Agustian (2130410032)

PROGRAM STUDI ILMU HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dari mata
kuliah Qowaid Syarah Hadis yang diampu oleh Bapak Zulham Farizal
Alam,M.A. tepat pada waktunya. Tanpa adanya rahmat dan hidayah Allah SWT
tidak mungkin rasanya dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan benar.

Makalah ini memaparkan tentang Nasikh Wa Al Mansukh yang disusun


guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Qowaid Syarah Hadis di Institut Agama
Islam Negeri Kudus. Selain itu, kami juga berharap agar makalah ini dapat
menambah wawasan bagi pembaca dalam memahami materi tentang Nasikh Wa
Al Mansukh.

Kami sadar, makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
saran dan masukan perbaikan sangat kami harapkan untuk menyempurnakan
tugas-tugas serupa pada masa yang akan datang. Kami berharap, makalah
sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Kudus, 20 November 2022

Penyusun

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam. Al-Qur’an
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad kemudian diamalkan langsung
sebagai contoh dan penjelas terhadap isi kandungan Al-Qur’an agar para umat
Islam lebih mudah dalam memahaminya, yang kemudian amalan nabi tersebut
dinamakan Hadits.

Pada zaman sekarang, banyak sekali orang-orang yang berani berfatwa


atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan memahami Hadits-hadits Nabi SAW
tanpa menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar untuk melakukan hal tersebut.
Padahal, para sahabat Nabi SAW, Tabi’in dan para ulama telah mewasiatkan
untuk mempelajari semua aspek yang menjadi dasar untuk memahami ilmu-ilmu
syariat sebelum memutuskan dan mengemukakan suatu hukum. Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa para sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang
sangat mengenal dan memahami Al-Qur’an hingga proses diturunkannya, tetapi
tidak ada seorangpun dari mereka yang berani mengemukakan sesuatu hukum dan
mengatakan bahwa ini halal dan ini haram, disebabkan takut akan terjatuh dalam
perbuatan dosa dan takut akan menghasilkan perubahan pada sebagian hukum
yang belum diketahui dan belum didengar sebelumnya.

Kita sebagai umat Islam, tidak boleh hanya mempelajari ilmu Alqur’an
melalui ulumul Qur’an tetapi juga bisa mempelajari, mendalami, serta
mengamalkan ilmu hadis Rasulullah melalui ulumul hadis. Karena hadis
Rasulullah berfungsi sebagai penyempurna dan penjelas dari isi Alqur’an.

Sedangkan ulumul hadis itu sendiri memiliki banyak cabang ilmu-ilmu


yang tentu saja masih berkaitan dengan ilmu hadis. Cabang-cabang ilmu tersebut
di antaranya adalah Ilmu Rijal al-Hadis, Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil, Ilmu ‘Ilal al-
Hadis, Ilmu Gharib al-Hadis, Ilmu Mukhtalif al-Hadis, Ilmu Nasikh wa Mansukh,
Ilmu Fann al-Mubhamat, Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, Ilmu Tashrif wa Tahrif,
dan Ilmu Mushthalah al-Hadis.

Perlu diketahui bahwa hukum pada suatu hadis tidak mutlak benar dan
berlaku selamanya melainkan ada kalanya perubahan-perubahan atau
penyempurnaan-penyempurnaan. Dalam hal ini, cabang ilmu hadis yang
mempelajari permasalahan tersebut adalah ilmu nasikh mansukh hadis. Dalam
makalah kami ini, ilmu nasikh mansukh tersebut akan dibahas lebih lanjut dan
mendetail mengingat akan pentingnya kita mempelajari ilmu hadis. Semoga
makalah ini bisa bermanfaat bagi kita. Amin.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami temukan dalam membuat makalah ini
adalah :
1. Apa pengertian nasikh wa al mansukh?
2. Apa saja bentuk-bentuk nasikh wa al mansukh?
3. Apa saja rukun dan syarat nasikh wa al mansukh?
4. Bagaimana urgensi ilmu nasikh dan mansukh?
5. Apa saja kitab-kitab tentang nasikh dan mansukh?

C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian nasikh wa al mansukh
2. Untuk mengetahui macam-macam nasikh wa al amansukh
3. Untuk mengetahui rukun dan syarat nasikh wa al amnsukh
4. Untuk mengetahui urgensi ilmu nasikh wa al mansukh
5. Untuk mengetahui kitab-kitab nasikh wa al mansukh

D. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diperoleh pembaca dalam penulisan makalah ini
agar para pembaca dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang Nasikh
Wa Al Mansukh.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nasikh Wa Al Mansukh
1. Pengertian Nasikh Wa Al Mansukh

Secara etimologi nasikh(‫)ناشخ‬di ambil dari kata naskh(‫)نسخ‬yang memiliki


dua arti, pertama; menghilangkan(‫)ازالة‬. Kedua; memindahkan(‫)نقل‬. Berarti
nasikh adalah yang menghilangkan atau yang memindahkan. Kedua arti
tersebut sering digunakan untukkonteks etimologinya, namun arti
menghilangkan atau menghapus pada umumnyadigunakan dalam
kaitannya dengan definisiterminology.
Adapun secara terminologi nasikh memiliki banyak tafsiran, di antara
ulama ada yang mendefinisikan ia adalah penjelasan berakhirnya
masa berlaku sebuah ibadah. Menurut ulama yang lain ia adalah proses
menghilangkan sebuah hukum setelah ditetapkan. Namun banyak dari
ulama kontemporer yang ketika mendefenisikannya menitik beratkan pada
definisi yang diutarakan oleh imam al-Qadi, beliau menyatakan:
“ ia adalah hukum yang menunjukan terhapusnya sebuah hukum tetap
dengan hukum yang baru berdasarkan sebab yang jika bukan
karenanya maka pasti hukum(pertama) itu tetap, juga karena
keberadaan (hukum baru itu) terakhir.”
Menurut sebagian ulama’ definisi nasikh yang lebih luas dan mudah
dipahami adalah definisi versi imam Qadi, saya yakin definisi ini lebih tepat
untuk dijadikan patokan dalam kajian ini.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa nasikh adalah
hukum penghapus atau hukum yang menggantikan hukum terdahulu.Nasikh
dan Mansukh secara berurutan ringkasnya dapat juga dikatakan sebagai
penghapus dan dihapus; yaitu hukum baru menghapus hukum yang
lama, seperti yang dikatakan oleh imam Suyuti dalam bukunya Tadrib al-
Rawi beliau katakan: “(naskh adalah) penghapusan Allah terhadap suatu
hukum lama dengan hukum yang baru. Definisi tersebut menjadi sempurna
jika dikombinasikan dengan defenisi yang disampaikan oleh imam Qadi di atas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ilmu nasikh
Mansukh adalah cabang ilmu hadits yang membahas hadits-hadits yang
tampak saling bertabrakan maknanya, yang tidak mungkin dapat diharmoniskan
antara satu dengan yang lainnya. Sederhananya, nasikh adalah yang
menghapus hukum lama karena adanya hukum baru, kemudian oleh Allah

3
hukum baru tersebut ditetapkan hingga hari kiamat, bersifat abadi dan bukan
temporal.
B. Macam-Macam Pembagian Nasikh Wa Al Mansukh
Sebagian ulama yang mengakui adanya nasakh dalam Al-Qur’an membagi
nasakh dari berbagai segi. Pertama; ditinjau dari segi dalil yang menjadi obyek
nasakh, maka nasakh terbagi menjadi :
1. ‫(بالكتاب الكتاب نسخ‬al-Qur’an di-nasakh oleh al-Qur’an ), misalnya,
dalam surat al-Baqarah: 240 disebutkan bahwa masa ‘iddah wanita yang ditinggal
mati suami adalah satu tahun. Hukum yang disebut dalam ayat ini kemudian
dihapus dan diganti oleh ketentuan yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 234
yang menyatakan bahwa masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah
empat bulan sepuluh hari:
2. ‫( نسخ بالسنة السنة‬sunnah di-nasakh oleh sunnah), misalnya, hadis
yang awalnya melarang orang berziarah kubur, namun kemudian
memperbolehkan.
3. Alquran di-nasakh oleh sunnah (‫) بالسنة الكتاب نسخ‬, misalnya tentang
ayat wasiat sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah: 180. Dalam
pandangan jumhurul ulama’, ayat ini di-nasakh oleh ayat waris, serta hadis Nabi:
‫ال وصية لوارث‬
Tidak ada wasiat bagi ahli waris.
4. Sunnah di-nasakh oleh Al-Qur’an (‫) بالكت]]]اب الس]]]نھ نسخ‬, seperti
perubahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Bait al-Haram sebagaimana dijelaskan
di atas.
Bentuk-Bentuk Nasikh Wa Al Mansukh
Pada berbagai referensi dan hukum jumhurul ulama’sebagian memecah
Nasakh menjadi tiga kategori, yakni :
1. Menghilangkan hukum/ketentuan dan teksnya secara bersama
Ayat-ayat pada bagian ini tidak boleh dilafalkan dan dilaksanakan lagi.
Misalnya pada “H.R Bukhari dan Muslim dari Aisyah”
yang berati: “Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur`an) adalah
sepuluh kali susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima susuan
yang diketahui. Setelah Rasulullah Saw. wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca
sebagai bagian al-Qur`an”.
Implikasi hadis tersebut ialah akan disebut saudara mahrom untuk dua
orang yang tidak seibu bilamana dua orang tersebut meminum ASI dari satu ibu
yaitu dengan jumlah sepuluh kali sedot. Lalu dalil itu dinaskh yang mengubah
dari 10 kali menjadi cukup 5 kali.

4
2. Penghilangan hanya pada hukum/ketentuannya sendiri sedang pada
teksnya tetap ada.
Contohnya, ayat yang membahas memprioritaskan untuk bersedekah
seperti yang tercantum pada Q.S. Mujadilah : 12 sebagai berikut :

Yang berarti: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan


pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih
baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan
disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha
Penyayang.“

Maka dalil diatas tersebut kemudian digantikan (di-Naskh) dngan ayat


setelahnya :

Terjemahaan : “Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu


memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah
salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah
Maha Mengetahui apa yang anda kerjakan.”

Disini terkandung hikmah mengapa hanya ketentuannya yang hilang


sedangkan teksnya tetap ada yaitu:
a. Masih adanya teks karena al-Qur’an ialah kalamulloh yang diwahyukan
Allah kepada Rasul untuk dibaca oleh umat beragama Islam. Maka selain dibaca
agar dapat mengetahui serta mengamalkan ketentuannya, juga akan memperoleh
pahala.
b. Tujuan utama naskh ialah guna memberi keringanan, maka dengan
masih adanya teks tersebut akan selalu menyadarkan umst muslim akan rasa
nikmat dan bersyukur karena kesulitan telah dihapus.
3. Penghilangan hanya pada teks/bacaan, sedang hukumnya tetaplah
sahih.
Contohnya pada ayat yang membahas perihal rajam. Pada mulanya, ayat
tersebut ialah berasal dari kalamullah yaitu ayat pada al-Qur`an. Bacaan ayat
tersebut dikatakan mansukh (telah digantikan), namun hukum/kententuannya
tetaplah sahih dan berlaku yaitu yang artinya: “Jika seorang pria tua dan wanita
tua berzina, maka rajamlah keduanya”. Terdapat dalam kisah zina yang
dilakukan orang tua lalu digantikan (diNaskh) yang mana telah dinyatakan oleh
Ubay ibnu Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl.

5
C. Rukun Dan Syarat Nasikh Wa Al Mansukh

Menurut sistematisasi tafsir dalam ilmu hukum hubungan norma hukum


antara keduanya harus dicermati dengan seksama agar tidak terjadi pertentangan
diantara satu kalimat dengan kalimat yang lain. Berdasarkan hal itu, maka dalam
“Nasikh wa al-Mansukh” ada sejumlah pilar yaitu rukun yang terdiri atas :
1. “Adat Nasikh”, ialah sebuah statement yang meyakinkan bahwa benar-
benar ada pembatalan suatu hukum yang sudah ada.
2. “Nasikh”, yang merupakan hukum/dalil atau ayat yang sifatnya “akan
menghapus” dalil atau hukum awal atau yang sudah ada.
3. “Mansukh”, ini merupakan suatu hukum atau dalil yang akan dihapus,
dibatalkan ataupun dipindahkan keberadaannya.
4. “Mansukh ‘anh”, yang berarti orang-orang yang harus mendapat beban
darihukum tersebut.
Serta syarat-syarat yang terdiri atas empat hal sebagai berikut,
1. Mansukh (dalil hukum yang dihapuskan atau dibatalkan) haruslah berupa
hukum syara’. Hukum syara’ merupakan aturan-aturan yang berasal dari
Allah SWT dan telah ditetapkan guna mengatur segala perbuatan ataupun
tingkah laku para mukallaf yang berupa wajib, sunnah, haram, makruh
ataupun mubah. Artinya bahwa suatu mansukh bukan berasal dari hukum
akal pikiran ataupun hukum yang diciptakan manusia.
2. Nasikh (dalil yang menghapuskan atau membatalkan) musti memiliki
selang waktu dari mansukh (dalil hukum yang lama). Nasikh ini juga wajib
berwujud dalil-dalil syara’ baik Al-Qur’anul Karim, Al Hadits, Qiyas
ataupun Ijma’.
3. Dalil baru (Nasikh) dan dalil lama (Mansukh) tersebut haruslah memiliki
pertentangan yang bersifat nyata (kontradiktif).
4. Sifat dari Nasikh (dalil yang menghapuskan atau dalil yang mengganti)
ialah mutawattir. Sebab dalil yang sudah terbukti secara pasti ketetapan
hukumnya, maka tidak bisa digantikan (dinasakhan) melainkan oleh
hukum yang juga secara pasti sudah terbukti.

6
D. Urgensi Ilmu Nasikh Wa Al Manshuk

Ketika terdapat hadist-hadist hukum yang bertentangan satu sama lainnya


dan tidak dapat dikompromikan, maka dibutuhkan ilmu nasikh dan mansukh
untuk menentukan hukum. Hadist yang lebih dahulu dihapus hukumnya oleh
hadist yang datang setelahnya.
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan suatu keharusan bagi
seseorang yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’at. Sebab seseorang tanpa
mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh, seseorang akan terjebak dalam
kesalahan dalam penentuan hukum.
Begitu juga seorang muslim yang mengamalkan suatu hadist tanpa
mengtahui kalau hadist itu mansukh (sudah terhapus hukumnya), berarti dia
telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak diperintahkan oleh syariat untuk
mengamalkannya.

E. Kitab-kitab tentang Nasikh dan Mansukh


Sebagian ulama telah menyusun kitab tentang nasikh dan mansukh dalam
hadist, diantaranya:
1. Al-Nasikh wa al-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah al-Sadusi, namun
tidak sampai ke tangan kita sekarang.
2. Naikh al-Hadist wa Mansukhuhu, karya ahli hadist Iraq, Abu Hafsh Umar
Ahmad al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin.
3. Nasikh al-Hadist wa Mansukhuhu, karya al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad al-atsram.
4. Al-I’tibar al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar, karya Imam Abu Bakar
Muhammad bin Musa al-Hazimi al-Hamadani.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai pada pemaparan diatas, maka mampu disumpulkan bahwasanya pengertian
atau makna kata Nasikh Wa al-Mansukh sangat beragam yang dijelaskan oleh
para ahli fiqih ataupun ulama-ulama lain. Meskipun beragam, namun secara
keseluruhan bermakna sama yang pada intinya Nasikh yakni “sesuatu yang
menghapus atau yang membatalkan” yang berperan sebagai subjek. Sedang kata
Mansukh yakni “sesuatu yang dibatalkan atau dihapus” dan berperan sebagai
objek. Dan proses penghapusan tersebut disebut dengan Nasakh.
Karena berhubungan dengan sumber hukum Islam yang utama dan kedua, maka
dalam menasakh suatu dalil tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan bukan
orang yang sembarangan pula. Diperlukan rukun-rukun dan juga syarat yang
harus dipenuhi untuk bisa menasakhkan. Meskipun banyak ulama yang
bertentangan dengan pendapat tentang keabsahan Nasakh Wa al-Mansukh, perlu
ditegaskan bahwa dengan kemajuan dakwah juga perjalanan waktu maka Shar’i
hukum disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat ini.Banyak hikmah dapat
diperoleh dari studi Nasakh dan Mansukh. Disamping hal tersebut, studi satu ini
memiliki fungsi juga manfaat terutama bagi ahli fiqih (Fuqaha), mufassir, ataupun
usuli supaya pemahaman mengenai hukum tidaklah kacau. Kita juga dapat
memperdalam pemahaman sehingga menjadi lebih kuat iman kami dan yakin
bahwa Allah SWT tidaklah akan menguji seorang hamba-Nya di luar dari batas
kemampuan.
B. Saran
Kami sebagai penulis adanya makalah ingin memberikan saran kepada pembaca
agar pembaca lebih giat untuk mencari pengetahuan materi guna untuk menambah
wawasan tentang Nasikh Wa Al Mansukh.

8
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, A. (2016). NASIKH – MANSUKH IN AL-QUR’AN. PUTIH: Jurnal
Pengetahuan
Tentang Ilmu Dan Hikmah, 1(1). https://doi.org/10.51498/putih.v1i1.12
Malik, Abdul Rahman. “Abrogasi Dalam Alquran: Studi Nasikh Dan Mansukh”.
Jurnal
Studi Al-Qur’an 12, no. 1 (January 1, 2016): 98 - 113. Diakses pada 6 Maret
2022.
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jsq/article/view/3827.
Mun’im, Zainul “Teori Nasikh Mansukh Alquran Sebagai Pembeharuan Hukum
Islam (Studi
Pemikiran Abdullah Ahmed An-Na’i Dan Muhammmad Syahrur)” Skripsi
Fakultas
Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 2013.
Munawaroh, N. R. (2020, October 31). Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur'an.
https://doi.org/10.31219/osf.io/5tc3d
Rizal, Hasan Syaiful. (2016).
“Nasakh, Nasikh dan Mansukh”,
https://hsrshare.blogspot.com/2016/06/nasakh-nasikh-dan-mansukh.html, diakses
pada 5 Maret 2022.
Roki, Syaeful. (2020). Peta Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an Al-Karim. Al
Tadabbur:
Jurnal Ilmu Al Quran dan Tafsir, 5 (2).
Ulamai, Hasan Asyari. “Konsep Nasikh Dan Mansukh Dalam AlQuran” 7 (2016).
Wahyudin. (2021). “Konsep Wahyu, Nasikh Dan Mansukh, I'jaz Dan Tafsir
'ilmi.” OSF
Preprints. https://doi.org/10.31219/osf.io/6pxwv

Anda mungkin juga menyukai