Anda di halaman 1dari 11

Ilmu Nasakh Wa-al Mansukh

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Miftakhul Munif, MA
Disusun Oleh :

Muhamad Zainal Arifin : 21.11.00090


Muhammad Ainun Najib : 21.11.00116

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH PATI
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Kita sebagai umat Islam, tidak boleh hanya mempelajari ilmu Alqur’an
melalui ulumul Qur’an tetapi juga bisa mempelajari, mendalami, serta
mengamalkan ilmu hadis Rasulullah melaluiulumul hadis. Karena hadis
Rasulullah berfungsi sebagai penyempurna dan penjelas dari isi Alqur’an.
Sedangkan ulumul hadis itu sendiri memiliki banyak cabang ilmu-ilmu
yang tentu saja masih berkaitan dengan ilmu hadis. Cabang-cabang ilmu
tersebut di antaranya adalah Ilmu Rijalal-Hadis, Ilmu Al-Jarh wa At-
Ta’dil, Ilmu ‘Ilal al Hadis, Ilmu Gharib al-Hadis, Ilmu Mukhtalif al-Hadis,
Ilmu Nasikh wa Mansukh, Ilmu Fann al-Mubhamat, Ilmu Asbab Wurud
al-Hadis, Ilmu Tashrif wa Tahrif, dan Ilmu Mushthalah al-Hadis. Perlu
diketahui bahwa hukum pada suatu hadis tidak mutlak benar dan berlaku
selamanya melainkan ada kalanya perubahan-perubahan atau
penyempurnaan-penyempurnaan. Dalam hal ini, cabang ilmu hadis yang
mempelajari permasalahan tersebut adalah ilmu nasikh mansukh hadis.
Dalam makalah kami ini, ilmu nasikh mansukh tersebut akan dibahas lebih
lanjut dan mendetail mengingat akan pentingnya kita mempelajari ilmu
hadis.
2. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dan latar belakang nasikh dan mansukhpada hadis ?
2. Cara mengetahui nasikh dan mansukh hadis ?
3. Pendapat ulama dan bentuk-bentuk nasikh dan mansukh?
4. Urgensi dan hikmah nasikh dan mansukh?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Latar Belakang Nasikh wa al-Mansukh


Secara etimologi nasikh di ambil dari kata naskh yang memiliki
dua arti, pertama; menghilangkan. Kedua; memindahkan. Berarti nasikh
adalah yang menghilangkan atau yang memindahkan Namun arti
menghilangkan atau menghapus lebih bisa digunakan dalam kaitannya
dengan arti terminologi. Adapun secara terminologi nasikh memiliki
banyak tafsiran, diantara ulama ada yang mendefinisikan ia adalah
penjelasan berakhirnya masa berlaku sebuah ibadah.
Menurut ulama yang lain ia adalah proses menghilangkan sebuah
hukum setelah ditetapkan. Namun banyak dari ulama kontenporer yang
ketika mendefenisikannya menitik beratkan pada definisi yang diutarakan
oleh imam al-Qaadhi, beliau menyatakan ia adalah hukum yang
menunjukan terhapusnya sebuah hukum tetap dengan hukum yang baru
berdasarkan sebab yang jika bukan karenanya makapastihukum (pertama)
itu tetap, juga karena keberadaan (hukum baru itu) terakhir.
Mungkin untuk definisi nasikh yang lebih luas dan mudah
dipahami adalah definisi versi Imam Qaadhi, saya yakin definisi ini lebih
tepat untuk diambil dalam pembahasan ini. Berdasarkan penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa nasikh adalah hukum penghapus atau hukum yang
menggantikan hukum terdahulu. Berarti istilah mansukh itu sendiri adalah
hukum yang dihapus karena adanya hukum baru. Jadi mengenai konsep
nasikh mansukh ringkasnya sebagai penghapus dan dihapus; yaitu hukum
baru menghapus hukum yang lama, seperti yang dikatakan dan dianut
oleh imam al-Suyuthi serta dikombinasikan dengan defenisi yang
disampaikan oleh imam Qadhi di atas.
Adapun imam al-Suyuti sebagaimana yang beliau pilihkan dalam
bukunya Tadriib al-Raawi beliau katakan : “Penghapusan Allah terhadap
suatu hukum lama dengan hukum yang baru” Berdasarkan penjelasan di
atas dapat disarikan bahwa ilmu nasikh mansukh adalah cabang ilmu
hadis yang membahas hadis-hadis yang tampak saling bertabrakan
maknanya, yang tidak mungkin dapat diharmoniskan antara satu dengan
yang lainnya. Maka otomatis peneliti harus menentukan salah satu hadis
sebagai nasikh (penghapus) dan hadis yang lain sebagai mansukh (yang
dihapus), tentunya yang pertama adalah hadits mansukh, sedangkan yang
datang belakangan sebagai nasikh. Jadi sederhananya, nasikh adalah yang
menghapus hukum lama karena adanya hukum baru, kemudian oleh Allah
hukum baru tersebut ditetapkan hingga hari kiamat bersifat abadi dan
bukan temporal.
Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak
pendewanan hadis pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul
dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri. Kelahiranya sebagai ilmu
dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah as-Sudusy (61-118) H.) dengan
tulisan beliau yang diberijudul “An-Nasikhwa’al-Mansukh”. Hanya perlu
disayangkan bahwa kitab tersebut tidak bisa kita manfaatkan, lantaran
tidak sampai kepada kita. Pada tahun-tahun yang berada diantara abad
kedua dan ketiga, bangunlah ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh
wa’ al-Mansukh.
Diantara sekian banyak kitab nasikh yang masyhur diabad ini ialah
kitab Nasikhu’al-Hadits wa Mansukhuhu”, buah karya al-Hapidh Abu
Bakar Ahmad bin Muhammad al-Atsram (261 H), rekan imam Ahmad.
Kitab yang terdiri dari tiga juz kecil-kecil itu juz ketiganya didapatkan di
Daru’l-Kutubi’l-Mishriyah. Kitab “Nasukhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”,
karya muhaddits Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad al-Bagdadi, yang lebih
populer dengan nama kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385) adalah kitab
nasikh dan mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita
manfaatkan. Kitab ini terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan
(manuskrip). Yang berada di Perpustakaan Ahliyah (nasional) di Paris dan
yang sebuah lagi disaimpan di Perpustakaan Escorial (Spanyol).
Kemudian setelah itu keluarlah kitab “Al-I’tibar fi-Nasikh wa’l-Mansukh
Mian’l-Atsar”. Karya al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa al-
Hazimy (548-584 H.). Beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang
terdahulu dalam ilmu ini, sehingga kitab yang disusunya sudah
mencangkup seluruh buah pikiran ulama-ulama itu. Sistematisnya diatur
menurut bab-bab fiqhiyah. Pada setiap bab fiqhiyah dikemukakan hadis-
hadis yang nampaknya berlawanan itu dengan tidak mengabaikan
pendapat-pendapat dari para ulama dan sekaligus nasikh dan mansukhnya.
Tidak sedikit pula kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam merajihkan
suatu pendapat atas pendapat lain. Pada tahun 1319 H. Kitab itu dicetak di
India, kemudian pada tahun 1346 H. Dicetak di Kairo dan pada tahun
yang sama dicetak di Halab dengan tahqiq Syaikh Raghib Ath-Thabakhi
al-Halaby.

2. Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh pada Hadis


a. Dengan penjelasan dari nash atau syari’ itu sendiri, yaitu keterngan dari
Rasul SAW
b. Dengan penjelasan dari para sahabat.
c. Dengan mengetahui tarikh keluarnya hadis serta asbabun wurud hadis.

3. Pendapat Ulama dan Bentuk Nasikh wa Mansukh


Para ulama banyak yang menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu
ini. imam Syafi’i adalah termaksud ulama yang mempunyai keahlian
dalam ilmu Nasikh wa Mansukh. Hal itu ketahui berdasarkan wawancara
imam Ahmad dengan Ibnu Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata
imam Ahmad: “Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan imam Syafi’i?”
“Tidak” jawabnya. “Celakalah kamu”, bentak imam Ahmad, “Kamu tidak
dapat mengetahui dengan sempurna tentang mujmal dan mufassal seta
nasikh dan mansukhnya suatu hadis sebelum kita semua ini tunduk
berguru dengan imam Syafi’i.” Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib RA pernah
bertemu dengan seorang qadli, lalu ditanyalah sang qadli itu. “Apakah
kamu mengenal nasikh dan mansukhnya suatu hadis?” “Tidak”, jawab
qadli itu. “Celakalah dirimu dan membuat pula celaka orang lain”,
berikutnya. Kata Az-Zuhry: “Mengetahui nasikh dan mansukhnya suatu
hadits adalah merupakan usaha yang memecahkan dan menghabiskan
energi para fuqoha. Adapun bentuk Nasakh dan Mansukh yakni :
1. Nasakh Hadis Dengan Hadis
Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan
dengan hadis, yaitu mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan
masyhur dan mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadis larangan
menziarahi kubur dan menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini
pada mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri yang
membenarkannya. Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadis dengan
hadis.
2. Nasakh Hadis dengan Alqur’an
Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya
nasakh hadis dengan Alqur’an. Walau bagaimanapun, imam al-Syafi’i
tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahwa nasakh seperti ini memang
berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan Kiblat dari Baitul
Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul Maqdis
sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan Alqur’an. Al-Hazimi
mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib. Daripada al-
Barra’bin Azib bahwa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari kalangan
Ansar dan baginda bersembah yang mengadap ke arah Baitul Maqdis
selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan. Hadis ini telah
dinasakhkan oleh ayat berikut yan artinya : Sesungguhnya kami sering
melihat mukamu mengadah ke langit, maka sesungguhnya kami akan
memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)
3. Nasakh Alqur’an Dengan Hadis.
Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis
dengan Alqur’an sementara imam Syafi’i mencegahnya.
Bagaimanapun golongan Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh
Alqur’an dengan hadis mutawatir dan masyhur kerana tersebar luas di
kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan
ayat wasiat kepada ibu bapak dan kaum kerabat. Diwajibkan ke atas
kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak
dan kaum kerabat secarama `ruf, ini adalah kewajipan atas orang-
orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180) Ayat ini telah dimansukhkan
dengan hadis: daripada Abu Umamah, katanya: “Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah
menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan hak
masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris
(orang yang berhak menerima pusaka).” Tetapi golongan yang tidak
mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahwa ayat wasiat itu
sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah al-
Maidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.[6] 4. Apakah
Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu Disetujui Oleh Semua, Oleh
karena penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu
sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadis
itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadis yang dikatakan
sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak. Walau
bagaimanapun terdapat juga, hadis yang disepakati oleh ulama sebagai
mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: “Banyak
hadis yang didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji
ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada
pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum
masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang
berkaitan dengan keadaan tertentudan hadis yang lain pula berkaitan
dengan keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan
menunjukkan nasakh.

4. Urgensi dan Hikmah Memepelajari Nasikh wa Mansukh


Salah satu cabang pengkajian ilmu hadis yang terpenting utamanya adalah
yang berkenaan dengan hadis hukum yaitu Ilmu Nasikh dan Mansukh.
Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu
syarat ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang
dalil secara hukum khususnya hadis yang akan dijadikan asas hukum. Atas
dasar itulah al-Hazimy berkata :”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna
ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama di dalam melakukan
ijtihad itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil
naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil
yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya.
Memahami kitab hadis menurut arti literal adalah mudah dan tidak banyak
mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah
mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya.
Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti
yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan
manapula yang terkemudian dan lain sebaginya dari segi makna”. Para sahabat
memberi perhatian yang tinggi, hal ini diikuti generasi sesudahnya, seperti
dirwiyatkan dari Ali RA, dia pernah berdialog dengan seorang hakim,
kemudian Ali bertanya “Apakah engkau mengetahui nasikh dan mansukh”,
sang hakim menjawab “Aku tidak tahu”, kemudian Ali menegurnya dengan
berkata “Rusaklah engkau dan engkau telah menebar kerusakan” Terlihat
disini betapa Ali memperhatikan tentang urgensi nasakh dan mansukh, beliau
menegur seseorang yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan
kebijakan hukum namun tidak memiliki sejarah tentang proses produksi
hukum dalam hal ini nasikh dan mansukh.
Seorang ilmuwan hadis yang mengetahui nasakh dan masukh mempunyai
keunggulan, nasakh dan mansukh adalah ilmu yang rumit dan sulit
sebagaimana ungkapan al-Zuhri: “Yang paling memberatkan dan menguras
tenaga bagi ahli fikih adalah membedakan hadis yang telah dimansukh dari
dengan hadis yang manasihknya“. Imam Syafi’i seorang yang terkenal dengan
gelar penolong sunnah mempunyai peran yang besar dalam bidang ini, imam
Ahmad bin Hambal berkata kepada IbnuWarah ketika dia kembali dari Mesir,
“Apakah engkau telah menyalin kitab-kitab imam Syafi’i”, Ibnu Warah
dengan apologis mengatakan dia tidak melakukan hal itu, kemudian Ahmad
bin Hambal berkata “Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan, kita tidak
mengetahui mujmal dan mufashol hadits, nasikh dan mansukh hadis kecuali
setelah mengikuti majlis Asy-Syafi’i Pengetahuan tentang nasikh dan
mansukh mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar
pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau dan kabur. Karena itulah kita
temukan perhatian mereka kepada hadis sangat besar, imam Syafi’i, imam
Hambali dan para imam yang lain begitu menganggap penting ilmu ini, karena
dia termasuk ilmu yangdengannyapemahamanhadisakan menjadi benar dan
tidak sempit. Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama
sesudah mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya, imam-
imam juga menjelaskan hal ini kepada murid-murid mereka, menganjurkan
mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal pelik berkenaan
dengannya, mensistematisasikannya dan menyusun karya dalam bidang ini.
Sedangkan hikmah mempelajari nasikh dan mansukh yakni:
1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika hal itu
beralih ke halyanglebihberatmakadidalamnyaterdapat tambahan pahala, dan
jika beralih ke hal yanglebihringanmaka ia mengandung kemudahan dan
keringanan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sama seperti pada mata kuliah ulumul Qur’an, nasikh dan mansukh pada
hadis memberikan kepastian hukum pada sesuatu yang dicari hukumnya,
dengan kata lain mengganti hukum yang ada sudah ada, dengan hukum baru
yang lebih meyakinkan. Misalnya seperti contoh yang diuraikan diatas.
DAFTAR PUSTAKA

http://makalahfull.blogspot.com/2013/05/nasikh-mansukh.html http://ats-
tsiqah.blogspot.com/2011/11/ilmu-nasikh-wa-mansukh.html http://aam-
ezaam.blogspot.com/2012/02/nasikh-mansukh.html
http://bisritujang.wordpress.com/2012/12/15/nasikh-dan-mansukh/

Anda mungkin juga menyukai