PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesempurnaan Islam dibuktikan dengan diturunkannya Al-quran sebagai doktrin
langit yang maha suci kepada khotimu al anbiya Nabi Muhammad SAW dan di bumikan
kepada seluruh umat manusia sebagai petunjuk utama dan pertama dalam mengarungi hidup
dan kehidupanyang kemudian di ikuti dengan Sunnah nabi (hadits) setelahnya (Alquran). Bahwa Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran Hampir sudah
menjadi sebuah konsensus seluruh umat Islam (kecuali segelintir golongan yang dikenal
dengan sebutan kelompok Ingkar Sunnah). Sabda, tingkah laku, dan ketetapan Nabi Saw.
menjadi sebuah penjelas sekaligus penuntun kehidupan dan keberagamaan umat Islam di
seluruh penjuru dunia.
Posisi hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran membuat kajian
tentangnya seakan tak pernah lapuk dimakan zaman. Sejak era khulafaurrasidin sampai hari
ini para cendikiawan muslim dari berbagai kolong langit masih terus mengkaji hadits dan
ilmu hadits. Salah satu kajian hadits yang selalu menarik perhatian para sarjana adalah kajian
yang berkaitan dengan Nsikh Manshkh. Meskipun kajian ini termasuk kajian klasik, akan
tetapi kajian ini memiliki daya tarik yang cukup luar biasa untuk dikaji di era modern ini.
Setidaknya hal ini bukan hanya disebabkan karena kajian ini merupakan wilayah kajian
hukum fikih (legal-formal), atau juga merupakan kajian-kajian teologis, maupun wilayah
kajian ushul fikih. Melainkan, disebabkan juga karena Nsikh Manskh juga merupakan
bagian dari salah satu metode dalam menyikapi hadits-hadits yang secara zhahir kontradiktif
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa maksud dari ilmu nasikh wal mansukh hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Nasikh wal Mansukh Hadis
maful dari
kata
kerja yang
mempunyai
beberapa
makna,
Sehingga
seolah-olah
orang
telah
menghapuskan
yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan
Nasakh secara terminologinya dapat diartikan:
Yaitu khitab Allah yang menunjukkan hukum yang telah ditetapkan lebih dahulu
dengan gambaran bahwa seandainya tidak ada khitab kedua pasti hukum akan tetap berlaku
sebagaimana awal disyariatkannya. Atau secara sederhananya nasakh dapat diartikan:
Yang berarti pembatalan hukum syara yang ditetapkan terdahulu dari seorang
mukallaf dengan hukum syara yang sama yang datang kemudian.2
Menurut ulama ushul fiqh, nasikh adalah:
Pembatalan hukum syara oleh syari (pembuat syariah) dengan dalil syara yang
datang kemudian.3
Ilmu nasikh mansukh menurut ahli hadis adalah:
Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menasakh dan yang dinasakh.4 Ulama
kontemporer yang ketika mendefenisikan nasakh menitik beratkan pada definisi yang
diutarakan oleh imam al-Qaadhi, beliau menyatakan ia adalah hukum yang menunjukan
terhapusnya sebuah hukum tetap dengan hukum yang baru berdasarkan sebab yang jika
1 Mahmud Yunus, Kamus arab Indonesia, (Jakarta:Hidakarya Agung, 1990), hlm. 449-450
2 Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, (Ciputat:Logos, 1996), hlm. 182
3 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 37
4 Khon Abdul Majid , Ulumul Hadis (Jakarta:Amzah, 2008 ), hlm. 89
bukan karenanya maka pasti hukum (pertama) itu tetap, juga karena keberadaan (hukum
baru itu) terakhir.5
Mengenai konsep nasikh mansukh ringkasnya kami katakan sebagai penghapus dan
dihapus; yaitu hukum baru menghapus hukum yang lama, seperti yang dianut oleh imam alSuyuthi serta dikombinasikan dengan defenisi yang disampaikan oleh imam Qadhi di atas.
Adapun imam al-Suyuti sebagaimana yang beliau jelaskan dalam bukunya Tadriib al-Raawi
beliau katakan :
Penghapusan Allah terhadap suatu hukum lama dengan hukum yang baru6
Kedua pengertian diatas sebenarnya tidak berbeda, hanya saja pada definisi kedua
mengandung kemungkinan terjadinya naskh sebelum sebelum hukum yang dinasakhkan itu
dilaksanakan oleh mukallaf.
Selanjutnya, secara spesifik dijelaskan bahwa ilmu nasikhil hadits dan mansukhnya,
ialah:
ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling berlawanan maknanya yang tidak
mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia
sebagai Nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebahagian yang lain, dan
ia sebagai Mansukh (yang dihapuskan), karena itu hadis yang mendahului adalah mansukh,
dan yang terakhir adalah sebagai Nasikh.7
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan maknanya, kontradiktif yang tidak
mungkin dikompromikan, dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia
sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia
sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh
dan hadis yang terakhir adalah sebagai nasikh dari beberapa devinisi di atas dapat
5 Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, Al-Itibar Fii al-Nasikh wa al-Mansukh
Min al-Aatsaar,( Haidar Abad- Dairatu al-maarif al-utsmaniyah 1359 H) , hlm. 6
6 Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawib (Beirut-Libanon :Muassasah al-Risalah, 2005), hlm.
464.
7 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, (Bandung: Al-Maarif, 1970), hlm. 290
disimpulkan
menerangkan
bahwa,
ilmu
hadis-hadis
nasikh
yang
wal
mansukh
sudah
adalah
ilmu
yang
dimansukhkan
dan
yang
terkemudian
dinamai Mansukh.
itu
yang
terdahulu
8 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),
hlm.163
.
Aku dahulu telah melarang kalian untuk ziarah kubur, maka (sekarang) lakukanlah
ziarah, karena dapat mengingatkan akhirat.
b.
Perkataan Sahabat
Hadis diatas mansukh berdasarkan hadis yang juga diriwayatkan al Nasai:
Perkara yang terakhir dari (ketetapan) Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam
adalah meninggalkan wudhu dari makanan yang disentuh api.
Kedua redaksi hadith menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal:
dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan, yang pertama
menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau
makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan
ritual salat, sedang hadis kedua menerangkan kebolehan salat setelah memakan
makanan yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua memposisikan
diri sebagai Nasik, sedang hadis pertama mansukh.
Media pernyataan sahabat ini Ahli ushul mewajibkan adanya penjelasan bahwa hadits
kedua dalam kronologisnya datang setelah hadits pertam
c.
.
Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya. Dinasakh oleh hadis Ibnu
Abbas, Bawasanya Rasulullah berbekam sedangkan beliau sedang Ihram dan puasa.
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada
tahun 8 hijriah ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedangkan Ibnu Abbas
menemani Rasulullah dalam keadaan ihram pada saat haji wada tahun 10 hijriyah.
4. Ijma ulama. Seperti hadits yang berbunyi:
.
Barang siapa yang minum khamar maka cambuklah dia, dan jika kembali mengulangi
yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.
Imam An-Nawawi berkata, Ijma ulama menunjukan adanya naskh terhadap hadits
ini. Dan ijma tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukan
adanya nasikh.10
3. Urgensi Ilmu Nasakh wal Mansukh
Untuk bisa menyelami dalamnya syariat Islam, tentu pemahaman yang mendalam
dan universal terhadap hadits dan ilmu tentangnya merupakan keharusan yang tak
terbantahkan. Dalam kaitan ini, ilmu nasikh dan mansukh termasuk bahagian penting
dalam ilmu hadits yang harus dipahami. Karena seorang pembahas ilmu syariat tidak
akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa
mengethui dalil-dalil nash yang sudah dinasakh dan dalil-dalil nash yang menasakhnya.
Atas dasar itulah al Hazimy berkata : Ilmu ini termasuk sarana penyempurna
ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad. Itu
ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil
10 Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), hlm. 128
dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang
menasakhnya. Memahami khitab Hadits menurut arti literal adalah mudah dan tidak
banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah
mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara
jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu
ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain
sebaginya dari segi makna.11
Peran penting ilmu nasikh dan mansukh ini sehingga dimasukkan dalam sarana
penyempurna ijtihad cukup menyita perhatian para sahabat, para Tabiin, dan ulamaulama yang datang setelah mereka. Diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib melalui seorang
Qadli yang sedang memutuskan hukum, maka Ali bertanya kepadanya :
:
apakah kamu mengetahui Nasikh dan Mansukh?, Qadli berkata ; tidak
Mendengar jawaban Qadli, Ali lantas berkata :
engkau binasa dan engkau membinasakan pula orang lain12
Dari riwayat diatas terlihat bagaimana ali menganggap penting ilmu nasikh dan
mansukh dalam penetapan suatu hukum, tanpa ilmu nasikh dan mansukh, penetapan
hukum akan berdampak celaka, baik bagi penetap hukum tersebut maupun masyarakat
luas yang menjalankan ketetapan hukum itu. Karenaya, Pengetahuan tentang nasikh dan
mansukh mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar
pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau dan kabur. dan dengan ilmu nasikh dan
mansukhpemahaman hadis akan menjadi benar dan tidak sempit.
Sedangkan hikmah mempelajari nasikh dan mansukh yakni :
a. Memelihara kepentingan hamba.
b. Perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia.
11 Fatchur Rahman, Op Cit., hlm. 290
12 T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,
1981), hlm. 286-287
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika hal itu beralih ke hal
yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan13
menelaah hadis. Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadist boleh dinasakhkan
dengan hadist, yaitu mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan
mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadist larangan menziarahi kubur dan
menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadist
dan hadist sendiri yang membenarkannya. Oleh karena itu, nasakh ini dikatakan nasakh
hadist dengan hadist.
b.
.
Artinya:Daripada al-Barra bin `Azib bahawa perkara yang dilakukan oleh
Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari
kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama
enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadist ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut:
c.
Artinya:Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa (QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadist:
" : : ,
" , .
Artinya: Daripada Abu Umamah, katanya: Saya mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk
waris (orang yang berhak menerima pusaka).
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa
ayat, wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah alMaidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.
d.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan :
1. Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
bermakna kontradiktif antara satu hadits dengan hadits lainnya yang diantaranya terdapat
distance yang cukup lebar dan tak bisa disatukan/dikompromikan secara hukum,
sehingga
harus
ada
yang
dihapuskan.
Karena
yang
terkemudian
itu
B. Saran
Makalah yang penulis buat ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi buku reperensi,
penulisan apalagi kata-kata yang tidak terurai dengan baik. Penulis mengharap kritikan dan
masukan dari pembaca untuk perbaikan makalah ini kedepanya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran
Al Hadis
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung:Pustaka Setia, 2009
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits , Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, Bandung: Al-Maarif, 1970
Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, Al-Itibar Fii al-Nasikh wa al-Mansukh
Min al-Aatsaar, Haidar Abad- Dairatu al-maarif al-utsmaniyah 1359 H
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawib ,Beirut-Libanon :Muassasah al-Risalah, 2005
Khon Abdul Majid , Ulumul Hadis, Jakarta:Amzah, 2008
Mahmud Yunus, Kamus arab Indonesia, Jakarta:Hidakarya Agung, 1990
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010
Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005
Manna khalil al-Qattan, Mabahis fi, Ulum Aluran, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa,
2009
Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, Ciputat:Logos, 1996