Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesempurnaan Islam dibuktikan dengan diturunkannya Al-quran sebagai doktrin
langit yang maha suci kepada khotimu al anbiya Nabi Muhammad SAW dan di bumikan
kepada seluruh umat manusia sebagai petunjuk utama dan pertama dalam mengarungi hidup
dan kehidupanyang kemudian di ikuti dengan Sunnah nabi (hadits) setelahnya (Alquran). Bahwa Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran Hampir sudah
menjadi sebuah konsensus seluruh umat Islam (kecuali segelintir golongan yang dikenal
dengan sebutan kelompok Ingkar Sunnah). Sabda, tingkah laku, dan ketetapan Nabi Saw.
menjadi sebuah penjelas sekaligus penuntun kehidupan dan keberagamaan umat Islam di
seluruh penjuru dunia.
Posisi hadits sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran membuat kajian
tentangnya seakan tak pernah lapuk dimakan zaman. Sejak era khulafaurrasidin sampai hari
ini para cendikiawan muslim dari berbagai kolong langit masih terus mengkaji hadits dan
ilmu hadits. Salah satu kajian hadits yang selalu menarik perhatian para sarjana adalah kajian
yang berkaitan dengan Nsikh Manshkh. Meskipun kajian ini termasuk kajian klasik, akan
tetapi kajian ini memiliki daya tarik yang cukup luar biasa untuk dikaji di era modern ini.
Setidaknya hal ini bukan hanya disebabkan karena kajian ini merupakan wilayah kajian
hukum fikih (legal-formal), atau juga merupakan kajian-kajian teologis, maupun wilayah
kajian ushul fikih. Melainkan, disebabkan juga karena Nsikh Manskh juga merupakan
bagian dari salah satu metode dalam menyikapi hadits-hadits yang secara zhahir kontradiktif
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Apa maksud dari ilmu nasikh wal mansukh hadis?


Bagaimana metode mengetahui ilmu nasikh wal mansukh?
Apa saja urgensi mengetahui ilmu nasikh wal mansukh?
Apa saja kitab yang ditulis tentang ilmu nasikh wal mansukh?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa maksud dari ilmu nasikh wal mansukh hadis

2. Untuk mengetahui bagaimana metode mengetahui ilmu nasikh wal mansukh


3. Untuk mengetahui apa saja urgensi mengetahui ilmu nasikh wal mansukh
4. Untuk mengetahui apa saja kitab yang ditulis tentang ilmu nasikh wal mansukh

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Nasikh wal Mansukh Hadis

Secara etimologi kata adalah bentuk isim fail, sedangkan adalah


bentuk isim

maful dari

kata

kerja yang

mempunyai

beberapa

makna,

yaitu : ( menghapus),( membatalkan), ( mengganti), ( mengalihkan), (


memindah).1

Sehingga

seolah-olah

orang

yang menasakh itu

telah

menghapuskan

yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain. Sedangkan
Nasakh secara terminologinya dapat diartikan:


Yaitu khitab Allah yang menunjukkan hukum yang telah ditetapkan lebih dahulu
dengan gambaran bahwa seandainya tidak ada khitab kedua pasti hukum akan tetap berlaku
sebagaimana awal disyariatkannya. Atau secara sederhananya nasakh dapat diartikan:


Yang berarti pembatalan hukum syara yang ditetapkan terdahulu dari seorang
mukallaf dengan hukum syara yang sama yang datang kemudian.2
Menurut ulama ushul fiqh, nasikh adalah:


Pembatalan hukum syara oleh syari (pembuat syariah) dengan dalil syara yang
datang kemudian.3
Ilmu nasikh mansukh menurut ahli hadis adalah:


Ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang menasakh dan yang dinasakh.4 Ulama
kontemporer yang ketika mendefenisikan nasakh menitik beratkan pada definisi yang
diutarakan oleh imam al-Qaadhi, beliau menyatakan ia adalah hukum yang menunjukan
terhapusnya sebuah hukum tetap dengan hukum yang baru berdasarkan sebab yang jika
1 Mahmud Yunus, Kamus arab Indonesia, (Jakarta:Hidakarya Agung, 1990), hlm. 449-450
2 Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, (Ciputat:Logos, 1996), hlm. 182
3 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 37
4 Khon Abdul Majid , Ulumul Hadis (Jakarta:Amzah, 2008 ), hlm. 89

bukan karenanya maka pasti hukum (pertama) itu tetap, juga karena keberadaan (hukum
baru itu) terakhir.5
Mengenai konsep nasikh mansukh ringkasnya kami katakan sebagai penghapus dan
dihapus; yaitu hukum baru menghapus hukum yang lama, seperti yang dianut oleh imam alSuyuthi serta dikombinasikan dengan defenisi yang disampaikan oleh imam Qadhi di atas.
Adapun imam al-Suyuti sebagaimana yang beliau jelaskan dalam bukunya Tadriib al-Raawi
beliau katakan :
Penghapusan Allah terhadap suatu hukum lama dengan hukum yang baru6
Kedua pengertian diatas sebenarnya tidak berbeda, hanya saja pada definisi kedua
mengandung kemungkinan terjadinya naskh sebelum sebelum hukum yang dinasakhkan itu
dilaksanakan oleh mukallaf.
Selanjutnya, secara spesifik dijelaskan bahwa ilmu nasikhil hadits dan mansukhnya,
ialah:




ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling berlawanan maknanya yang tidak
mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia
sebagai Nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebahagian yang lain, dan
ia sebagai Mansukh (yang dihapuskan), karena itu hadis yang mendahului adalah mansukh,
dan yang terakhir adalah sebagai Nasikh.7
Ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan maknanya, kontradiktif yang tidak
mungkin dikompromikan, dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia
sebagai nasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagian yang lain, karena ia
sebagai mansukh (yang dihapus). Karena itu hadis yang mendahului adalah sebagai mansukh
dan hadis yang terakhir adalah sebagai nasikh dari beberapa devinisi di atas dapat
5 Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, Al-Itibar Fii al-Nasikh wa al-Mansukh
Min al-Aatsaar,( Haidar Abad- Dairatu al-maarif al-utsmaniyah 1359 H) , hlm. 6
6 Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawib (Beirut-Libanon :Muassasah al-Risalah, 2005), hlm.
464.
7 Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, (Bandung: Al-Maarif, 1970), hlm. 290

disimpulkan
menerangkan

bahwa,

ilmu

hadis-hadis

nasikh
yang

wal

mansukh

sudah

adalah

ilmu

yang

dimansukhkan

dan

yang

menasikhkannya. Yang tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang


terkemudian. Maka yang terkemudian itu dinamai Nasikh dan yang
terdahulu dinamai Mansukh.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat dipahami bahwa ilmu nasikh dan mansukh
adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bermakna kontradiktif antara satu
hadits dengan hadits lainnya yang diantaranya terdapat distance yang cukup lebar dan tak
bisa disatukan/dikompromikan secara hukum, sehingga harus ada yang dihapuskan. Karena
yang

terkemudian

dinamai Mansukh.

itu

dinamai Nasikh dan

yang

terdahulu

B. Ilmu Nasikh Wal Mansukh Hadis


1. Syarat syarat Nasakh
a. Adanya mansukh (yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu
adalah berupa hukum syara yang bersifat amali, tidak terikat atau dibatasi dengan
waktu tertentu.
b. Adanya mansukh bih (yang digunakan untuk menghapus) dengan syarat datangnya
dari syari (Rasulullah saw).
c. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), dalam kaitan ini yaitu Rasulullah saw.
d. Adanya mansukh anhu (arah hukum yang dihapus itu adalah orang-orang yang sudah
akil baligh atau mukallaf). Karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus atau
yang dihapus itu adalah tertuju pada mereka.
Sedangkan Abd Azhim al Zarqany mengemukakan bahwa nasakh baru dapat
dilakukan apabila :
a. Adanya dua hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan,
serta tidak diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
b. Ketentuan hukum syara yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan dari pada
ketetapan hukum syara yang diangkat atau dihapus.

8 Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),
hlm.163

c. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan penukilan hadits-hadits tersebut


sehingga yang lebih dahulu dinukilan ditetapkan sebagai mansukh dan yang
dinukilkan kemudaannya sebagai nasikh.9
2. Cara Mengetahui Nasakh wal Mansukh Hadis
Nasikh dan Mansukh dalam hadits dapat diketahui dengan salah-satu dari beberapa hal
berikut ini:
a.

Pernyataan dari Rasulullah, seperti sabda beliau,

.
Aku dahulu telah melarang kalian untuk ziarah kubur, maka (sekarang) lakukanlah
ziarah, karena dapat mengingatkan akhirat.
b.

Perkataan Sahabat




Hadis diatas mansukh berdasarkan hadis yang juga diriwayatkan al Nasai:




Perkara yang terakhir dari (ketetapan) Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam
adalah meninggalkan wudhu dari makanan yang disentuh api.
Kedua redaksi hadith menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal:
dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan, yang pertama
menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau
makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan
ritual salat, sedang hadis kedua menerangkan kebolehan salat setelah memakan
makanan yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua memposisikan
diri sebagai Nasik, sedang hadis pertama mansukh.

9 http://jun-aidiii.blogspot.com/2012/03/hadits-nasikh-wa-mansukh.html akses pada 08-01-15

Media pernyataan sahabat ini Ahli ushul mewajibkan adanya penjelasan bahwa hadits
kedua dalam kronologisnya datang setelah hadits pertam

c.

Mengetahui sejarah seperti hadits Syaddad bin Aus,

.
Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya. Dinasakh oleh hadis Ibnu
Abbas, Bawasanya Rasulullah berbekam sedangkan beliau sedang Ihram dan puasa.
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada
tahun 8 hijriah ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedangkan Ibnu Abbas
menemani Rasulullah dalam keadaan ihram pada saat haji wada tahun 10 hijriyah.
4. Ijma ulama. Seperti hadits yang berbunyi:

.
Barang siapa yang minum khamar maka cambuklah dia, dan jika kembali mengulangi
yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.
Imam An-Nawawi berkata, Ijma ulama menunjukan adanya naskh terhadap hadits
ini. Dan ijma tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukan
adanya nasikh.10
3. Urgensi Ilmu Nasakh wal Mansukh
Untuk bisa menyelami dalamnya syariat Islam, tentu pemahaman yang mendalam
dan universal terhadap hadits dan ilmu tentangnya merupakan keharusan yang tak
terbantahkan. Dalam kaitan ini, ilmu nasikh dan mansukh termasuk bahagian penting
dalam ilmu hadits yang harus dipahami. Karena seorang pembahas ilmu syariat tidak
akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil nash, dalam kaitan ini adalah hadits, tanpa
mengethui dalil-dalil nash yang sudah dinasakh dan dalil-dalil nash yang menasakhnya.
Atas dasar itulah al Hazimy berkata : Ilmu ini termasuk sarana penyempurna
ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad. Itu
ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil
10 Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005), hlm. 128

dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang
menasakhnya. Memahami khitab Hadits menurut arti literal adalah mudah dan tidak
banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah
mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara
jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu
ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain
sebaginya dari segi makna.11
Peran penting ilmu nasikh dan mansukh ini sehingga dimasukkan dalam sarana
penyempurna ijtihad cukup menyita perhatian para sahabat, para Tabiin, dan ulamaulama yang datang setelah mereka. Diriwayatkan dari Ali ibn Abi Thalib melalui seorang
Qadli yang sedang memutuskan hukum, maka Ali bertanya kepadanya :

:
apakah kamu mengetahui Nasikh dan Mansukh?, Qadli berkata ; tidak
Mendengar jawaban Qadli, Ali lantas berkata :


engkau binasa dan engkau membinasakan pula orang lain12
Dari riwayat diatas terlihat bagaimana ali menganggap penting ilmu nasikh dan
mansukh dalam penetapan suatu hukum, tanpa ilmu nasikh dan mansukh, penetapan
hukum akan berdampak celaka, baik bagi penetap hukum tersebut maupun masyarakat
luas yang menjalankan ketetapan hukum itu. Karenaya, Pengetahuan tentang nasikh dan
mansukh mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar
pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau dan kabur. dan dengan ilmu nasikh dan
mansukhpemahaman hadis akan menjadi benar dan tidak sempit.
Sedangkan hikmah mempelajari nasikh dan mansukh yakni :
a. Memelihara kepentingan hamba.
b. Perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia.
11 Fatchur Rahman, Op Cit., hlm. 290
12 T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,
1981), hlm. 286-287

c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika hal itu beralih ke hal
yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan13

4. Kitab-kitab Tentang Nasikh wa Mansukh


Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh ini sudah ada sejak periode hadis pada awal
abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam ilmu yang berdiri sendiri, kelahirannya
sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Diamah As-Sadusi (wafat 118 H), kemudian
pada rentang abad ke dua dan ketiga bangunlah ulama-ulama menulis kitab nasikh
mansukh. Diantara kitab-kitab terseut yang masyhur adalah:
a. An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Diamah As-Sadusi (wafat 118 H),
namun tidak sampai ke tangan kita.
b. Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad AlBaghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
c. Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad
Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari tiga jilid kecil,
juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah dengan nomor 1587
d. Al-Itibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah
Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H)
e. An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin Ali, atau yang lebih
dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.14
5. Bentuk Nasakh Yang Berkaitan Dengan Hadits
a.
Nasakh Hadist Dengan Hadist
Para ulama hadis sepakat menyatakan bahwa sabda Nabi tidak bertentangan
satu dengan yang lainya, apabila terjadi pertentangan maka dalamhal ini telah terjadi
kekeliruan.15 Oleh sebab itu untuk mengatasi kekeliruan ini dibutuhkan ilmu dalam
13 Manna khalil al-Qattan, Mabahis fi, Ulum Aluran, (Bogor : Pustaka Litera AntarNusa,
2009), hlm 339
14 Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung:Pustaka Setia, 2009), hlm. 120
15 Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Ciputat: PT Mutiara Sumber Widya, 20100, hlm. 368

menelaah hadis. Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadist boleh dinasakhkan
dengan hadist, yaitu mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan
mutawatir dengan ahad. Contohnya ialah hadist larangan menziarahi kubur dan
menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini pada mulanya thabit dengan hadist
dan hadist sendiri yang membenarkannya. Oleh karena itu, nasakh ini dikatakan nasakh
hadist dengan hadist.
b.

Nasakh Hadist Dengan al-Quran


Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui adanya nasakh hadist
dengan al-Quran. Walau bagaimanapun, Imam al-Syafii tidak menerimanya. Jumhur
berhujah bahawa nasakh seperti ini memang berlaku dengan mengemukakan contoh
perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke
arah Baitul Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadist bukan al-Quran. AlHazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra bin `Azib:


.
Artinya:Daripada al-Barra bin `Azib bahawa perkara yang dilakukan oleh
Rasulullah s.a.w. apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari
kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul Maqdis selama
enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Hadist ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut:

Artinya:Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka


sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah
mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil
Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa
yang mereka kerjakan(QS. Al-Baqarah: 144)

c.

Nasakh al-Quran Dengan Hadist


Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadist dengan alQuran sementara Imam al-Syafii menegahnya. Bagaimanapun golongan Hanafiyyah
hanya mengharuskan nasakh al-Quran dengan hadist mutawatir dan masyhur kerana
ianya tersebar luas di kalangan manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah
dengan ayat wasiat kepada ibu bapa dan kaum kerabat.


Artinya:Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa (QS. Al-Baqarah: 180)
Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadist:

" : : ,
" , .
Artinya: Daripada Abu Umamah, katanya: Saya mendengar Rasulullah s.a.w.
bersabda: Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menentukan kepada setiap orang yang
mempunyai hak akan hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk
waris (orang yang berhak menerima pusaka).
Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab bahawa
ayat, wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu ayat 11 surah alMaidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.
d.

Apakah Semua Hadist Yang Dimansukhkan Itu Dipersetujui Oleh Semua


Oleh kerana penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan, tentu sekali
ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu hadist itu dimansukhkan
ataupun tidak. Tidak semua hadist yang dikatakan sebagai telah mansukh dipersetujui
oleh semua pihak. Walau bagaimanapun terdapat juga, hadist yang disepakati oleh ulama
sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut: Banyak hadist yang
didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada
hadist yang berbentuk `azimah dan ada pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini
mempunyai hukum masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadist yang
berkaitan dengan keadaan tertentu dan hadist yang lain pula berkaitan dengan keadaan
yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan menunjukkan nasakh. 16

16 http://udhadotme.wordpress.com/2014/11/18/nasikh-dan-mansukh-hadis/ akses 08-01-15

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan :
1. Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang
bermakna kontradiktif antara satu hadits dengan hadits lainnya yang diantaranya terdapat
distance yang cukup lebar dan tak bisa disatukan/dikompromikan secara hukum,
sehingga

harus

ada

yang

dihapuskan.

Karena

yang

terkemudian

itu

dinamai Nasikh dan yang terdahulu dinamai Mansukh


2. Cara mengetahui nasakh wal mansukh dengan perkataan dari Rasulullah, perkataan
Sahabat, dari sejarah dan ijma ulama.
3. Adapun hikmah mengetahui ilmu nasakh wal mansukh adalah:
a. Memelihara kepentingan hamba.
b. Perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan
dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
c. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
d. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat.

B. Saran
Makalah yang penulis buat ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi buku reperensi,
penulisan apalagi kata-kata yang tidak terurai dengan baik. Penulis mengharap kritikan dan
masukan dari pembaca untuk perbaikan makalah ini kedepanya.

DAFTAR PUSTAKA
Al Quran
Al Hadis
Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung:Pustaka Setia, 2009
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits , Jakarta: Bulan Bintang, 1980
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mustalahul Hadits, Bandung: Al-Maarif, 1970
Ibnu Musa, Muhammad Abu Bakr Zainud Dien, Al-Itibar Fii al-Nasikh wa al-Mansukh
Min al-Aatsaar, Haidar Abad- Dairatu al-maarif al-utsmaniyah 1359 H
Jalaluddin al-Suyuthi, Tadriib al-Raawib ,Beirut-Libanon :Muassasah al-Risalah, 2005
Khon Abdul Majid , Ulumul Hadis, Jakarta:Amzah, 2008
Mahmud Yunus, Kamus arab Indonesia, Jakarta:Hidakarya Agung, 1990
Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010
Manna al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2005
Manna khalil al-Qattan, Mabahis fi, Ulum Aluran, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa,
2009
Nasrun Harun, Ushul Fiqh I, Ciputat:Logos, 1996

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Ciputat: PT Mutiara Sumber Widya, 2010


T.M Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang,
1981
http://udhadotme.wordpress.com/2014/11/18/nasikh-dan-mansukh-hadis/
http://jun-aidiii.blogspot.com/2012/03/hadits-nasikh-wa-mansukh.html

Anda mungkin juga menyukai