Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
1. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak
dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada ketetapan
hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
3. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih
dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.
D. Pembagian Naskh
Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam :
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam pandangan mereka
yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat tentang iddah empat bulan
sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240. Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada
ayat 234:
2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah
Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua macam:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad:
Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Qur’an
adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni, bersifat dugaan, di
samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang
madznun (diduga).
b. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir.
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Iman Ahmad dalam satu
riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman dalam surat an-Najm
ayat 3-4: Sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh
seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 106.
3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya menghadap baitul maqdis
berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat al-Baqarah: 144 untuk menghadap ka’bah. Tetapi
naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang
ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu
didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan
tidak bertentangan.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) nasakh ahad
dengan ahad, 3) naskh ahad dengan mutawatir, 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk
pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh
Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh jumhur. Contoh nasakh sunnah dengan
sunnah ialah mengenai larangan berziarah kubur pada waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul
dengan hadisnya yang lain membolehkan ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat
ziarah kubur.
2
3