Anda di halaman 1dari 3

RESUME NASIKH DAN MANSUKH

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Dari segi etimologi, para ulama’ Ulumul Qur’an mengemukakan arti kata nasakh dalam beberapa
makna, diantaranya adalah menghilangkan, memindahkan sesuatu dari suatu tempat ke tempat lain,
mengganti atau menukar, membatalkan atau mengubah, dan pengalihan. Nasakh dalam istilah para ahli
ilmu ushul fiqh adalah membatalkan hukum syar’i dengan dalil yang datang kemudian, yang
menunjukkan pembatalan, secara tersurat atau tersirat, baik pembatalan secara keseluruhan ataupun
pembatalan sebagian, menurut keperluan yang ada. Atau: Melahirkan dalil yang dating kemudian yang
secara implisit menghapus pelaksanaan dalil yang lebih dulu.
Pengertian mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus/dihilangkan/dipindah ataupun
disalin/dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama’, mansukh ialah hukum syara’ yang diambil dari
dalil syara’ yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil
syara’ baru yang datang kemudian. Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum
syara’ pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya situasi dan kondisi yang
menghendaki perubahan dan penggantian hukum
Singkatnya dalam Al Qur’an dan Tafsirnya disebutkan nasikh ialah ayat yang menasakh dan
mansukh ialah ayat yang dinasakh.

B. Syarat-Syarat Nasikh dan Mansukh


Dalam pembahasan mengenai ayat-ayat nasikh dan mansukh, perlu diketahui syarat-syarat nasakh.
Syarat-syarat nasakh yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Adanya mansukh (ayat yang dihapus) dengan syarat bahwa hukum yang dihapus itu adalah berupa
hukum syara’ yang bersifat ‘amali, tidak terikat atau tidak dibatasi dengan waktu tertentu. Sebab,
bila terikat dengan waktu maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut.
2. Adanya mansukh bih (ayat yang digunakan untuk menghapus), dengan syarat, datangnya dari Syari’
(Allah) atau dan Rasulullah s.a.w. sendiri yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Sebab
penghapusan sesuatu hukum tidak dapat dilakukan dengan menggunakan ijma’ (konsensus) ataupun
qiyas (analogi).
3. Adanya nasikh (yang berhak menghapus), yaitu Allah. Kadang-kadang ketentuan hukum yang
dihapus itu berupa al-Qur’an dan kadang-kadang pula berupa sunnah.
4. Adanya mansukh ‘anhu (arah hukum yang dihapus itu ialah orang-orang yang sudah aqil-baligh atau
mukallaf), karena yang menjadi sasaran hukum yang menghapus dan atau yang dihapus itu adalah
tertuju kepada mereka.

Sedang ‘Abd. ‘Azhim al-Zarqaniy mengemukakan, bahwa nasakh baru dapat dilakukan apabila :
1. Adanya dua ayat hukum yang saling bertolak belakang, dan tidak dapat dikompromikan, serta tidak
dapat diamalkan secara sekaligus dalam segala segi.
2. Ketentuan hukum syara’ yang berlaku (menghapus) datangnya belakangan daripada ketetapan
hukum syara’ yang diangkat atau dihapus.
3. Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih
dahulu diturunkan ditetapkan sebagai mansukh, dan yang diturunkan kemudiannya sebagai nasikh.

C. Kontroversi Nasikh Mansukh


Konsep nasikh mansukh dalam al-Quran menimbulkan polemik para ulama. Berikut adalah
pendapat dari golongan yang menerima dan menolak nasakh mansukh :
1. Nasakh Mansukh dalam Perspektif Pendukungnya
Salah satu ayat yang menjadi basis pembangunan teori nasakh adalah firman Allah dalam surat al-
Baqarah ayat 106. Ayat tersebut dijadikan dasar naqli bagi mayoritas ulama yang mendukung
adanya nasakh dalam al-Quran. Mayoritas ulama tanpa keraguan menetapkan ayat-ayat yang
termasuk nasakh dan mansukh tetap berlaku, akan tetapi segi hukum yang berlaku menyeluruh
sampai waktu tertentu tidak dapat dibatalkan kecuali oleh syara`. Jadi menurut mereka, nasikh
mansukh bisa diterima oleh akal dan telah terjadi dalam hukum syara` sesuai dalil di atas.
1
2. Nasakh dan Mansukh dalam Perspektik Penolaknya
Golongan ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Quran berusaha mengkompromikan ayat-
ayat yang kelihatan bertentangan sehingga tidak perlu dinasakh. Kelompok penolak yang dipelopori
oleh Muslim al-Isfahani, menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak terdapat nasakh. Jika mengakui
adanya nasakh berarti mengakui adanya kebatilan dalam al-Quran.Abu Muslim al-Isfahani
mendasarkan argumentasinya pada al-Quran surat Fushilat ayat 42. Hukum-hukum yang dibawa al-
Quran bersifat abadi dan universal. Jadi tidak layak kalau di dalam al-Quran terdapat naskh

D. Pembagian Naskh
Umumnya para ulama’ membagi Nasakh menjadi empat macam :
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ulama-ulama sepakat mengatakan ini diperbolehkan dan telah terjadi dalam pandangan mereka
yang mendukung adanya naskh dalam Alquran. Misalnya ada ayat tentang iddah empat bulan
sepuluh hari yakni Q.S. al- Baqarah ayat 240. Ayat ini kemudian di nasakh oleh surah yang sama pada
ayat 234:
2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah
Menurut Manna’ Khalil al-Qhaththan nasakh ini ada dua macam:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad:
Jumhur ulama’ berpendapat, Al-Qur’an tidak boleh dinasakh oleh hadits ahad, sebab Qur’an
adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadits ahad dzanni, bersifat dugaan, di
samping tidak sah pula menghapuskan sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan yang
madznun (diduga).
b. Nasakh Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir.
Naskh demikian dibolehkan oleh Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Iman Ahmad dalam satu
riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Allah berfirman dalam surat an-Najm
ayat 3-4: Sedangkan asy-Syafi’i, Ahli Zahir dan Ahmad dalam riwayatnya yang lain menolak naskh
seperti ini, berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 106.
3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah shalat yang dahulunya menghadap baitul maqdis
berdasarkan sunnah kemudian dinasakh oleh ayat al-Baqarah: 144 untuk menghadap ka’bah. Tetapi
naskh versi ini pun ditolak oleh Syafi’i dalam salah satu riwayat. Menurutnya, apa saja yang
ditetapkan sunnah tentu didukung oleh Al-Qur’an, dan apa saja yang ditetapkan Al-Qur’an tentu
didukung pula oleh sunnah. Hal ini karena antara Kitab dengan sunnah harus senantiasa sejalan dan
tidak bertentangan.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat empat bentuk: 1) naskh mutawatir dengan mutawatir, 2) nasakh ahad
dengan ahad, 3) naskh ahad dengan mutawatir, 4) naskh mutawatir dengan ahad. Tiga bentuk
pertama dibolehkan, sedang pada bentuk keempat terjadi silang pendapat seperti halnya nasakh
Qur’an dengan hadits ahad, yang tidak didolehkan oleh jumhur. Contoh nasakh sunnah dengan
sunnah ialah mengenai larangan berziarah kubur pada waktu permulaan Islam. Kemudian Rasul
dengan hadisnya yang lain membolehkan ziarah kubur setelah masyarakat mengetahui hakikat
ziarah kubur.

E. Hikmah adanya Naskh dan Mansukh


Manna Khalil al-Qattan menjelaskan tentang hikmah adanya nasakh dalam al-Quran, yaitu :
1. Menjaga keselamatan hamba Allah;
2. Perkembangan tasyri` menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat Islam;
3. Cobaan dan ujian bagi Mukallaf untuk mematuhinya atau sebaliknya; dan
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat Islam. Sebab jika nasakh itu beralih kepada hal
atau perkara yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih kepada
hal atau perkara yang lebih ringan maka nasakh mengandung kemudahan dan keringanan.

2
3

Anda mungkin juga menyukai