Anda di halaman 1dari 33

PENDAHULUAN

Ketika seseorang ingin mengambil hukum atau mengistimbatkan suatu hukum, maka
seseorang tersebut harus terlebih dahulu mengetahui seluk beluk bahasa arab. Begitu juga
harus memahami, tentang cara-cara mengatur sesuatu apakah dengan bentuk hakekat ataukah
dengan bentuk majaz (kiasan).

Oleh karena itu, ulama usul menaruh perhatian yang sangat besar sekali agar nash
atau dalil yang berbahasa arab bisa di pahami oleh orang yang ingin mengambil suatu hukum
dari nash. Untuk itu mereka telah menciptakan beberapa kaidah lughawiyah untuk bisa
memahami nash atau dalil. Agar hokum-hukum dapat dipetik dari dalil yang menjadi
pegangan hokum tersebut. Oleh sebab itu, seseorang yang ingin mengistinbatkan, hukum dari
dalilnya harus lebih dahulu mempelajari apa yang dinamakan ( turuqul isthimbati ) cara atau
method mengeluarkan hukum dari dalilnya.

Metode istinbath atau yang di sebut turuq al istinbath berasal dari kata thuruk dan
kata istinbath. Kata thuruk berasal dari kata bahasa arab bentuk jamak dari kata thariqun
yang artinya jalan, metode, atau cara. Adapun kata istinbath secara istilah sebagai mana di
dfinisika oleh seorang ahli bahasa arab dan fikih, muhamad ali al fayumi yaitu “ upaya
menarik hukum dari al quran dan sunah engan jalan ijtihad’. Dengan demikian, thuruk al
istinbath berarti cara menarik (menetapkan) hukum dengan cara ijtihad.

Metode istinbath dapat dilakumakn dengan tiga cara. Pertama, melihat aspek kebahsaan;
ke dua mengkaji maqosid syariah (tujuan hukum); dank e tiga, penyelesaianbeberapa dalil
yang secara lahiriah bertentangan di makalah ini kita akan membahasa tentang metode
istinbath yang pertama yang dilihat dari aspek kebahasaanya.
PEMBAHASAN

A. Metode Istinbath melelui aspek Kebahasaan

Objek utama yang akan dibahas di usuk fiqih adalah Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah. Untuk memahami onjek utama yang berbahasa arab tersebut, para ulama
telah menyusun hal yang akan di gunakan dalam penalaran fikih. Para ahli telah
membuat beberapa kategori lafal atau redaksi. Diantaranya masalah amar, nahi dan
takhyir, pembahasan lafal dari segi umum dan khusus, pemmbahasan lafal dari segi
mutlaq dan muqoyat, pembahasal lafal dari segi mantuk dan mafhum, dari segi jelas
dan tidak jelasnya, dan dari segi hakikat dan majaznya.

AMR

A. Pengertian Amr
Amr adalah bahasa arab yang artinya perintah, sedang menurut istilah adalah
suatu lafal yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan suatu
pekerjaan dari atasan kepada bawahan.
Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa amr itu tidak hanya ditunjuk pada
lafal yang memakai shigat amar, tetapi ditunjuk pula oleh semua bentuk kata yang
didalamnya mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang menggunakan
kata-kata yang berarti majaz.
Sekalipun demikian, yang terpenting dari arti amar adalah bahwa didalam kata
amar terkandung unsur tuntutan untuk mengerjakan.

B. Sighat Amr
Amr merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighatamr berbentuk
sebagai berikut:

1. Berbentuk fi’ilamr/perintah langsung. Misalnya, firman Allah:

َّ َ‫ار َكعُواْ َمع‬


َ‫الرا ِكعِين‬ َّ ‫ َوأَقِي ُمواْال‬-٤٣
َّ ْ‫صالَة ََوآتُوا‬
ْ ‫الزكَاة ََو‬
Artinya:
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang
rukuk.”
2. Berbentuk mudhari’ yang didahului oleh lam amr. Misalnya, firman Allah:
ِ ‫ط َّوفُوا ِب ْال َب ْي ِت ْال َع ِتي‬
‫ق‬ َّ ‫وره ُْم َو ْل َي‬
َ ُ‫ ث ُ َّم ْل َي ْقضُوات َ َفث َ ُه ْم َو ْليُوفُوانُذ‬-٢٩
Artinya:
Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka,
menyempurnakan nazar-nazar mereka dan melakukan thawaf sekeliling rumah tua
(Baitullah).

3. Dengan menggunakan isim fi’ilamr, seperti:


َ‫َّلذَاا ْهتَدَ ْيت ُ ْمإِلَىاللّ ِه َم ْر ِج ُع ُك ْم َج ِميعاًفَيُ َن ِّبئ ُ ُكم ِب َما ُكنت ُ ْمتَ ْع َملُون‬
ِ َّ ‫ض‬ َ ُ‫ َياأ َ ُّي َهاالَّذِينَآ َمنُواْ َعلَ ْي ُك ْمأَنف‬-١٠٥
َ ‫س ُك ْمالَ َيض ُُّر ُكم َّمن‬
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu; (karena) orang yang sesat itu tidak
akan membahayakanmuapabilakamutelahmendapatpetunjuk.HanyakepadaAllah kamu
semuaakankembali,kemudianDiaakanMenerangkankepadamuapayang telah kamu
kerjakan.

4. Dengan menggunakan isim mashdar pengganti fi’il, misalnya:


‫ين‬
ِ ‫اك‬ َ ‫ىو ْال َم‬
ِ ‫س‬ َ ‫ىو ْاليَت َا َم‬ ْ ‫سانا ً َوذ‬
َ َ‫ِيالقُ ْرب‬ َ ْ‫َاميثَاقَبَ ِنيإِس َْرائِيلَالَتَ ْعبُد ُونَإِالَّاللّ َه َوبِ ْال َوا ِلدَ ْينِإِح‬
ِ ‫ َ َوإِذْأ َ َخذْن‬-٨٣-
Artinya:
Dan (ingatlah) ketika Kami Mengambil janji dari Bani Israil, “Janganlah kamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-
anak yatim, dan orang-orang miskin.

5. Dengan menggunakan kalimat berita (kabar), misalnya:


‫صنَبِأَنفُ ِس ِهنَّثَالَثَةَقُ ُر َوء‬ َ ‫ َو ْال ُم‬-٢٢٨
ْ َّ‫طلَّقَاتُيَت ََرب‬
Artinya:
Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali
qurū’.

6. Berbentuk lafal yang searti dengan amar, misalnya:

• Lafal kutiba, seperti Al-Baqarah 183


ّ ِ ‫ يَاأَيُّ َهاالَّذِينَآ َمنُواْ ُك ِتبَعَلَ ْي ُك ُمال‬-١٨٣
‫صيَا ُم‬
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa.
• Lafal faradla, seperti an-nisa’ 24
ً ‫ضة‬ َ ‫ فَآتُو ُهنَّأ ُ ُج‬-٢٤
َ ‫ور ُه َّنفَ ِري‬
Artinya:
Berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban.

C. Pengaruh qarinah dalam amar


Dalam menanggapi persoalan sejauh mana pangaruhqarinah dalam amar, para ahli
hukum berbeda pendapat, diantaranya adalah:
1. IbnHazm dan kelompok al-Dhahiry berpendapat bahwa semua amar
menunjukkan arti wajib, sekalipun diikuti qarinah, kecuali ditemukan adanya nash
lain atau ijma’ yang dapat mengalihkan pengertian amar dari wajib.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa kata amar yang tanpa ada qarinah tetap
menunjukkan wajib. Jika ada qarinah ini maka dianggap sudah cukup bisa dipakai
untuk mengubah hakikat arti yang terkandung didalam amar.
Contoh:
‫س ًّمىفَا ْكتُبُوه َُو ْليَ ْكتُببَّ ْي َن ُك ْمكَاتِبٌبِ ْالعَدْ ِل‬
َ ‫ يَاأَيُّ َهاالَّذِينَآ َمنُواْإِذَاتَدَايَنتُمبِدَيْنإِلَىأ َ َجل ُّم‬-٢٨٢
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.(al-Baqarah: 282)
Pada ayat ini ditemukan adanya kasus tentang hukum pencatatan dan
persaksian dalam kasus utang-piutang, yang tertuang pada kalimat ُ‫فَا ْكتُبُوه‬arti yang
terkandung dalam kalimat ini diperselisihkan para ahli ushul, yaitu:
1. Kelompok al-Dhahiry berpendapat bahwa hukum yang terdapat didalam
perintah pencatatan dan penulisan dalam hutang-piutang adalah wajib, sebab
bentuk amar menunjukkan wajib. Dan arti ini tidak bisa menyimpang dari arti
amar secara lahiriyah, kecuali ada nash atau ijma’ yang mengalihkannya dari
wajib.
2. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum yang dapat diambil dari kata amar
adalah nadb, sebab kebanyakan masyarakat muslim dalam melakukan transaksi
kontrak jual-beli yang dilakukan dengan tidak kontan, tidak dilakukan oleh
mereka dengan percatatan dan penulisan, sehingga ijma’ kaum muslimin tersebut
dianggap sebagai indikasi (qarinah) yang menunjukkan bahwa amar tersebut tidak
menunjukkan hukum wajib.
Dengan demikian, untuk menentukan sesuatu yang dapat dianggap sebagai
qarinah, para ahli berbeda-beda, sehingga berakibat pada terjadinya perbedaan
dalam penetapan hukum, misalnya problem muth’ah bagi wanita yang diceraikan
suami dalam surat al-Baqarah: 236 yaitu,
ْ َ‫ َو َم ِت ّعُو ُه َّنعَل‬-٢٣٦
ُ‫ىال ُمو ِس ِعقَدَ ُره‬
Artinya:
Dan hendaklah kamu beri mereka mutah, bagi yang mampu menurut
kemampuannya.
Dalam menanggapi kasus ayat ini, kelompok imam syafi’I, hanafiyah, hanabilah
menganggap bahwa pemberian muth’ah kepada wanita telah diceraikan suami
adalah wajib, berdasarkan pada kemutlakan perintah. Begitu juga Ibn ‘Umar (dari
keempat sahabat), sa’id bin Musayyab dan imam Mujahid (dari kelompok
Tabi’in)

D. Macam-macam Amr
Imam Ar-Razi berkata didalam kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah
sepakat menetapkan bahwa bentuk if’al dipergunakan dalam 15 macam makna
sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.

1. Ijab (wajib). Contoh firmannya:


َّ ‫ار َكعُواْ َم َع‬
َ‫الرا ِكعِين‬ َّ ‫ َوأ َ ِقي ُمواْال‬-٤٣
َّ ْ‫صالَة ََوآتُوا‬
ْ ‫الزكَاة ََو‬
Artinya:
Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.
(al-Baqarah: 43)

2. Untuk menunjukkan nadb (mandub = sunah). Misalnya:


ً‫ فَكَاتِبُوه ُْمإِ ْن َع ِل ْمت ُ ْم ِفي ِه ْم َخيْرا‬-٣٣
Artinya:
Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang Dikaruniakan-Nya
kepadamu. (an-Nur: 33)

3. Takdib (adab). Misalnya:


‫ضيَالله َع ْن ُهقَا َل‬ ِ ‫ير‬ َ ‫يالبَد ِْر‬ْ ‫ار‬ ِ ‫ص‬َ ‫ع ْقبَةَ ِب ْن َع ْمرواأل َ ْن‬
ُ ‫ َع ْنأ َ ِبي َم ْسعُ ْود‬: ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّىالل ُه َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫س ْو ُاللل ِه‬
ُ ‫ قَالَ َر‬:
‫س ِم ْن َكالَ ِمال ُّنب َُّو ِةاأل ُ ْولَى‬
ُ ‫ ِإنَّ ِم َّماأَد َْركَالنَّا‬، َ‫صنَ ْع َما ِشئْت‬
ْ ‫ِإذَالَ ْمتَ ْست َِحفَا‬
[‫] رواهالبخاري‬
Terjemah hadits:
Dari Abu Mas’udUqbah bin Amr Al Anshary Al Badryradhiallahuanhu dia berkata:
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya ungkapan yang
telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak
malu perbuatlah apa yang engkau suka. (Riwayat Bukhori)

4. Untuk menunjuki. Misalnya firman Allah:


َ ‫منر َجا ِل ُك ْمفَإِنلَّ ْم َي ُكون‬
‫َار ُجلَ ْينِفَ َر ُج ٌل‬ َ ْ‫ َوا ْست َ ْش ِهد ُوا‬-٢٨٢
ّ ِ ِ‫ش ِهيدَ ْين‬
Artinya:
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki- laki di antara kamu. (al-Baqarah:
282)

5. Ibadah (kebolehan). Contoh firman Allah:


‫طاأل َ ْبيَض ُِمن َْال َخي ِْطاألَس َْود ِِمن َْالفَجْ ِر‬
ُ ‫ َو ُكلُواْ َوا ْش َربُواْ َحتَّىيَتَبَيَّنَلَ ُك ُم ْال َخ ْي‬-١٨٧
Artinya:
Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan
benang hitam, yaitu fajar. (al-Baqarah :87

6. Tahdid (ancaman), contoh firman Allah:


‫ير‬
ٌ ‫ص‬ِ َ‫ ا ْع َملُوا َما ِشئْت ُ ْمإِ َّن ُه ِب َماتَ ْع َملُو َنب‬-٤٠
Artinya:
Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan. (Fushilat: 40)

7. Inzhar (peringatan), contoh firman Allah:


ِ َّ‫ير ُك ْمإِلَىالن‬
‫ار‬ َ ‫ص‬ِ ‫سبِي ِل ِهقُ ْلتَ َمتَّعُواْفَإِنَّ َم‬
َ ‫ُضلُّواْ َعن‬
ِ ‫ َو َجعَلُواْ ِللّ ِهأَندَادا ً ِلّي‬-٣٠
Artinya:
Dan mereka (orang kafir) itu telah menjadikan tandingan bagi Allah untuk
menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya Katakanlah (Muhammad),“Bersenang-
senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ke neraka.”

8. Ikram (memuliakan)
َ ِ‫ ادْ ُخلُوهَاب‬-٤٦
ِ ‫سالَم‬
َ‫آمنِين‬
Artinya:
(Allah Berfirman), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman.”
9. Taskhir (pehnghinaan)

َ‫ ُكونُواْ ِق َردَةًخَا ِسئِين‬-٦٥


Artinya:
Jadilah kamu kera yang hina!

10. Ta’jiz (melemahkan)


َ ‫ش َهدَاء ُكم ِّمندُو ِناللّ ِهإ ِ ْن ُك ْنت ُ ْم‬
َ‫صا ِدقِين‬ ُ ْ‫ورة ِّمن ِ ّمثْ ِل ِه َوادْعُوا‬
َ ‫س‬ُ ‫يريْب ِ ّم َّمان ََّز ْلنَا َعلَى َع ْب ِدنَافَأْتُواْ ِب‬
َ ‫ َو ِإن ُكنت ُ ْم ِف‬-٢٣
Artinya:
Dan jika kamu meragukan (al-Quran) yang Kami Turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.

11. Taswiyah (mempersamakan)


‫س َواء‬ ْ َ ‫ص ِب ُرواأ َ ْو َالت‬
َ ‫ص ِب ُروا‬ ْ ‫صلَ ْوهَافَا‬
ْ ‫ ا‬-١٦
Artinya:
Baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu.

12. Tamanni (angan-angan), misalnya Syi’ir arab:


Wahai sang malam!
Wahai kantuk, menghilanglah
Wahai waktu subuh! Berhentilah dahulu
Jangan segera datang
(Syi’ir Ummul Qais)

13. Doa (berdoa)


ُ‫يِل َ َحد ِّم ْنبَ ْعدِيإِ َّن َكأَنت َْال َو َّهاب‬
ِ ‫يو َه ْب ِلي ُم ْلكا ً َّاليَن َب ِغ‬
َ ‫ قَالَ َربِّا ْغ ِف ْر ِل‬-٣٥
Artinya:
Dia berkata, “Ya Tuhan-ku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan
yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha
Pemberi.”

14. Ihanah (meremehkan)


‫يز ْالك َِري ُم‬
ُ ‫ ذُ ْقإِنَّ َكأَنت َْالعَ ِز‬-٤٩
Artinya:
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang perkasa lagi mulia.”
15. Imtinan
َ‫ط ِيّبا ً َوا ْش ُك ُرواْ ِن ْع َمتَاللّ ِهإِن ُكنت ُ ْمإِيَّا ُهت َ ْعبُدُون‬
َ ً‫ارزَ قَ ُك ُماللّ ُه َحالال‬
َ ‫ فَ ُكلُواْ ِم َّم‬-١١٤
Artinya:
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah Diberikan Allah
kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.

E. Kaidah-kaidah amar

Kaidah-kaidah Amr yaitu ketentuan-ketentuan yang dipakai para mujtahid


dalam mengistimbatkan hukum. Ulama’ Ushul merumuskan kaidah-kaidah Amr
dalam empat bentuk, yaitu :

1. Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan.


Yang dimaksud kaidah diatas yaitu apabila ada perbuatan-perbuatan yang
sebelumnya dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah
tersebut bukan perintah wajib tetapi hanya bersifat membolehkan.

2. Pada dasarnya perintah itu menghendaki segera dilaksanakan.


Perintah yang adakalanya ditentukan waktunya dan adakalanya tidak. Jika
suatu perintah disertai waktu tertentu, misalnya tentang haji, seperti dalam
surat Al-Hajj 27 :
‫ وأذنفيالناسبالحجيأتوكرجاالوعلىكلضامريأتينمنكلفجعميق‬-٢٧
Artinya : “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”.
Jumhur ulama’ sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yang
berhubungan dengan waktu harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan dan tidak boleh diluar waktu. Bila diluar waktu, tanpa sebab yang
dibenarkan oleh syara’ maka akan berdosa.

3. Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali


mengerjakan perintah).
Contohnya perintah menunaikan haji, yaitu hanya satu kali seumur
hidup.Makaseandainya ada orang yang berpendapat perintah haji tersebut
dimaksudkan pengulangan (berkali-kali), maka orang tersebut harus mampu
menunjukkan qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan.
Menurut Ulama’ Qarinah dikelompokkan menjadi tiga :
• Perintah itu dikaitkan dengan syarat, seperti wajib mandi junub.
• Perintah itu dikaitkan dengan illat.
• Perintah itu dikaitkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai illat,
seperti kewajiban shalat setiap kali masuk waktu.
Dari paparan diatas tampak jelas, bahwa berulangnya kewajibannya itu
dihubungkan dengan berulangnya sebab.Dalam kaitannya dengan masalah ini
Ulama’ menetapkan kaidah.

4. Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memrintahkan pula segala


wasilahnya.Kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu
tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu yang lain yang dapat
mewujudkan perbuatan yang diperintah itu, misalnya kewajiban melaksanakan
shalat. Shalat ini tidak dapat dikerjakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu,
perintah shalat berarti juga perintah bersuci.

F. Dilalah dan tuntutan Amr

1. Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakaria Al- Bardisy bahwa:
“Jumhur sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya suatu
tuntutan yang secara mutlak selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari
ketentuan amar tersebut”
Juga berdasarkan kaidah:
“arti yang pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang
diperintahkannya).
Contoh, firman Allah:
ِ ِ‫ قَالَ َما َمنَ َع َكأَالَّت َ ْس ُجدَ ِإذْأ َ َم ْرت ُ َكقَ َاألَنَا ْ َخي ٌْر ِ ّم ْن ُه َخلَ ْقتَن‬-١٢
ِ ‫يمننَّار َو َخلَ ْقتَ ُه ِم‬
‫نطين‬
Artinya:
(Allah) Berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud
(kepada Adam) ketika Aku Menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik
daripada dia. Engkau Ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau Ciptakan dari
tanah.”
Ayat pertama bukan ditunjukkan untuk bertanya, tetapi merupakan pencelaan
terhadap iblis karena enggan bersujud kepada Adam tanpa alasan, ketika iblis
diperintah sujud.Bentuk perintah amr dalam ayat kedua yaitu, perkataan sujudlah
(usjuduu) dengan tidak disertai qarianah menunjukkan kemestian/keharusan.Kalau
tidak demikian, Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.

‫قَا َل‬،‫سلَّ َم‬ َ ‫والللَّ ِه‬


َ ‫صلىالل ُه َعل ْي ِه َو‬ َ ‫س‬ُ ‫ أَنَّ َر‬: ‫صلَ ِة‬ َ ِ‫شقَّ َعلَىأ ُ َّمت‬
َ ّ‫يِل َ َم ْرت ُ ُه ْم ِبال ِس َّواك ِع ْندَ ُك ِل‬ ُ َ ‫لَ ْو َالأ َ ْنأ‬
Artinya:
Bahwa rasulullah SAW telah bersabda: Seandainya tidak akan memberatkan bagi
umatku, tentulah aku perintahkan mereka bersiwak pada tiap-tiap hendak shalat. (Al-
hadits)

Hadits tersebut diatas mengandung pengertian bahwa karena adanya masyaqah


(kesulitan), maka tidak wajib bersiwak.Padahal ulama telah menyepakati bersama
bahwa siwak tetap disunahkan (nadab), namun nadabdisini bukanlah yang pokok,
tetapi hanyalah karena adanya qarinah, yaitu masyaqah.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah yang tidak ada qarinahnya dengan sesuatu hal
yang lain menunjukkan arti kemestian (wajib).

2. Menunjukkan anjuran (nadab) berdasarkan kaidah:


“Arti yang pokok dalam amr/suruhan itu ialah menunukkan anjuran (nadab).”
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti: shalat lima waktu,
adakalanya untuk anjuran (nadab), seperti shalatdhuha. Diantara kemestian dan
anjuran yang paling diyakini adalah anjuran.
Kesimpulannya, antara amr tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amr tadi
sudah tidak mutlak lagi.Atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan
tersebut, sehingga amr itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi
menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunah atau mubah dan sebagainya sesuai
dengan qarinah yang mempengaruhinya.
NAHI

Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan


yang mutlak. Seperti firman Allah:

‫َارى‬
َ ‫سك‬ُ ‫صالَةَ َوأ َ ْنت ُ ْم‬ ُ ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوا ََلت َ ْق َر‬
َّ ‫ب ال‬

Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam
keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)

Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:

a) Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:

ِ ‫ََل ت ُ ْف‬
ِ ‫سد ُْوا فِى ْاَلَ ْر‬
‫ض‬

Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).

b) Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu


perbuatan, seperti:

‫الربَوا‬ ‫َواَ َح َّل ه‬


‫ّللاَ َوح ََّر َم ِ ه‬

Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.(QS. Al


Baqarah: 275).

Kaidah-kaidah Nahi:

Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram,


seperti:

‫َو ََلتَ ْق َر بُوا ِ ه‬


‫الز َنى‬

Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).

Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:

a. Untuk do’a

‫س ْينَاا َ ْواَ ْخ َطأ ْ َنا‬


ِ َ‫َاخ ْذ َنا ا ِْن ن‬
ِ ‫َربَّنَا ََلتُؤ‬

“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.

b. Untuk pelajaran
ُ َ‫شيَا َء ا ِْن ت ُ ْب َدلَ ُك ْم ت‬
‫سؤْ ُك ْم‬ ْ َ ‫سئَلُ ْواع َْن ا‬
ْ َ‫ََلت‬

“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya


menyusahkan kamu”.

c. Putus asa

‫ََلتَ ْعتَذ ُِروا ا ْليَ ْو َم‬

“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”

d. Untuk menyenangkan (menghibur)

‫ّللاَ َمعَنَا‬
‫ََلتَحْ َز ْن ِإنَّ ه‬

“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”

Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:

‫ََل تُش ِْركْ ِب ه‬


‫الل‬

Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.

Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan


larangan dalam setiap waktu. Seperti:

‫َارى‬
َ ‫سك‬ُ ‫صلَواةَ َوا َ ْنت ُ ْم‬
َّ ‫ََلت َ ْق َربُواال‬

Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).

Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:

1. Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang
menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.

2. Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya,
larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.

3. Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya
larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat
Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.

4. Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan
dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at
yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.[12]
Muthlaq dan Muqayyad

 Pengertian Muthlaq
Menurut ulama ushul fiqh Muthlaq ialah :
‫لفظ خا ص لم يقيد بقيد لفظى يقلل شيو عه‬
Artinya : Suatu lafadz tertentu yang belum ada kaitan atau batasan dengan lafadz yang
mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Lafadz muthlaq tersebut bisa berupa kata benda seperti: buku,pensil,dll.Lafadz
ini menyatakan kesatuan suatu jenis tanpa dibatasi.Namun jika lafadz tersebut telah
dibatasi maka lafadz tadi menjadi lafadzMuqayyad,misal : buku tulis.Lafadz
Muqayyad tersebut memiliki arti yaitu luas jangkauannya telah terbatas sedikit dari
waktu yang masih muthlaq.1
Atau dalam kata lain lafadz Muthlaq dapat berarti lafadz yang menunjukkan
suatu hakikat tanpa suatu pembatas ( qayid ).Contoh : Q.S Al- Mujadalah : 3.
..‫و ال ين يظهر و ن من نسا بهم ثم يعو د و ن لما قا لو فتحرير ر قبة‬

Artinya : Dan orang-orang yang menzihar istri mereka,kemudian mereka hendak


menarik kembali apa yang mereka ucapkan,maka ( wajib atas mereka )
memerdekakan seorang budak.

Lafadz “ budak “ diatas tanpa dibatasi,baik itu yang mukmin maupun yang
kafir.2

 Pengertian Muqayyad

Muqayyad adalah lafadz yang menunjukan suatu hakikat dengan suatu


pembatas ( qayid ).

Dengan hal tersebut lafadz Muqayyad dapat dikatakan sebagai berikut :


‫لفظ خا ص قيد بقيد لفظي يقلل شيو عه‬
Artinya : Suatu lafadz tertentu yang ada batasan atau kaitan dengan lafadz lain yang
mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Hal ini dapat diartikan bahwa lafadz Muqayyad ialah lafazd Muthlaq yang
berkaitan dengan lafdz lain sehingga artinya lebih tegas dan terbatas dari waktu yang
masih muthlaq.

1
Ushul Fiqh Jilid II,Drs. H Kamal Muchtar dkk,hlm 54-63
2
Buku Paket Fikih MA Kelas XII Kurikulum 2013,hlm 164
Contoh Muqayyad terdapat pada Q.S.An-Nisaa : 92
‫وما كا ن لمؤ من ا ن يقتل مؤ منا اال خطئا و من قتل مؤ منا خطئا فتحر ير ر قبة مؤ منة‬
Artinya : Dan tidak layak bagi seorang muslim membunuh seorang mukmin
( yang lain ) kecuali karena bersalah ( tidak sengaja ).Dan barang
siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah ( hendaknya ) ia
memerdekakan budak yang beriman.
Lafadz tersebut disebut dengan Muqayyad karena pada lafadz “ budak “ diatas
dibatasi dengan lafadz “ yang beriman “.Maksud dari ayat tersebut jika seorang
mukmin melakukan perbutan pembunuhan dengan tidak sengaja ( tersalah ) maka
kaffarat/ diyat yang diterima salah satunya yaitu memerdekakan budak.Namun dalam
konteks ayat ini budak yang harus dimerdekakan adalah yang beriman / seorang
muslim.
 Hukum Muthlaq dan Muqayyad

Lafadz Muthlaq dan Muqayyad menunjukan kepada makna qath’i


dalalah.Karena itu bila lafadz tersebut Muthlaq maka harus diamalkan sesuai dengan
muqayyadnya.Hal ini berlaku selam belum ada dalil yang memalingkan artinya dari
Muthlaq ke Muqayyad dan dari Muqayyad ke Muthlaq.

Contoh :

1. Lafadz Muthlaq yang diamalkan sesuai dengan Muthlaqnya karena tak ada
dalil lain yang memalingkan artinya ke Muqayyad.
Q.S. An-Nisaa: 23 mengenai wanita-wanita yang haram dinikahi.
Disini terdapat lafadz ‫ وا مها ت نسا ئكم‬sesudah penyebutan
‫حر مت عليكم ا مهتكم وبنتكم‬
Lafadz ‫ ا مها ت‬adalah Muthlaq yang memberikan peringatan bahwa haram
menikahi ibu dari istri ( mertua ) baik ia telah mencampuri atau belum.
2. Lafadz Muthlaq yang ada dalil yang menyebutkan ia menjadi Muqayyad.
Q.S. An-Nisaa: 11 tentang kewarisan.
‫من بعد و صية يو صى بها اود ين‬
Lafadz ‫ و صية‬bermakna bahwa Muthlaq tanpa batas apakah wasiat itu
seperdua,sepertiga atau seluruh harta peninggalan.Akan tetai ada hadits
Rasulullah SAW yang mengabarkan bahwa Saad Ibn Waqqas bertanya
kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menjawab :
‫الثلث و الثلث كثير‬
Artinya : Sepertiga dan sepertiga itu banyak.
Hadits ini membatasi wasiat hanya sampai sepertiga,tidak boleh
lebih.Dalam ayat tersebut menjadikan ayat tersebut sebagai lafadz
Muqayyad karena dengan adanya hadits tersebut.
3. Lafadz Muqayyad yang tetap atas Muqayyad karena tidak ada dalil lain
yang menghapuskan batasannya.
Q.S. Al- Mujadilah : 3-4 tentang kifarat dzihar.
‫ فمن لم يجد قصيا م شهر ين من قبل ان يتما سا‬...‫فتحر يرر قبة من قبل ان يتما سا‬
Pelaksanaan kifarat dzihar dengan memerdekakanbudak dan puasa yang
diberi batasan yaitu dua bulan berturut-turut dan harus dilakukan sebelum
suami istri bercampur,maka inilah yang dinamakan Muqayyad.Dengan
adanya ketentuan tersebut maka kifarat tidak boleh dilaksanakan sesudah
suami istri bercampur dan tidak boleh tidak melaksanakan puasa tersebut.
4. Lafadz Muqayyad yang tidak menjadi Muqayyad lagi karena ada dalil lain
yang menghapuskan batasannya itu.
Q.S An- Nisaa : 23 tentang wanita yang haram dinikahi.
‫ور با ئبكم الال تي فى حجو ر كم من نسا ئكم الال تى د خلتم بهن‬
Lafadz ‫ ( ر با ئبكم‬anak tirimu ) adalah Muthlaq yang diberi batasan dengan
dua batasan,yang pertama ‫ ( الال تي حجو ر كم‬yang berada dalam
pemeliharaanmu ) dan yang kedua ibunya sudah dicampuri
( ‫) الال تي د خلتم بهن‬.
Batasan pertama tersebut memiliki makna bahwa batasan yang dapat
dijadikan pedoman dalam menharamkan menikah dengan anak tirinya
yaitu apabila anak tiri tersebut tinggal dalam pemeliharaan ayah tirinya
dan ibu kandungnya dan ayah tirinya telah mencampuri ibunya maka
haram untuk menikahi anak tiri tersebut.Pada batasan ini tidak menjadi
pegangan sebagai Muqayyad.
Batasan yang kedua yaitu apabila ayah tirinya tersebut telah mencampuri
ibunya maka haram hukumnya seorang ayah tiri menikahi anak tirinya
tersebut.
 Variasi Muthlaq dan Muqayyad
Jumhur ulama ( Hanafiyah dan Syafi’iyah ) berpendapat apabila obyek hukum
dan sebabnya sama maka yang muthlaq itu harus dibawa ke muqyyad, sebaliknya bila
hukumnya tidak sama maka yang muthlaq tidak dibawa kepada muqayyad kecuali ada
dalil-dalil yang lain.

Variansi antara dua nash yaitu muthlaq dan muqayyad teradapat pada
beberapa temapat yaitu :

1. Hukum dan sebabnya sam,maka muthlaq dibawa kepada muqayyad.


Contoh :
‫حر مت عليكم الميتة و الد م ولحم الخنز ير‬

Artinya : Diharamkan bagimu ( memakan ) bangkai dan darah

dan daging babi.( Q.S. Al-Maidah : 3 )


‫قل ال ا جد فى ما او حي الي حر ما على طا عم يطعمه اال ان يكن ميتة او دما مسفو حا او‬
‫لحم خنز ير‬

Artinya : Katakanlah : Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan


kepada sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya
kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi
( Q.S. Al-An’aam : 145 )

Lafadz ‫ الد م‬pada ayat pertama adalah muthlaq dan lafadz ‫ د ما مسفو حا‬pada ayat
kedua adalah muqayyad.Hukum memakan darah itu haram dan sebab
haramnya tersebut adalah keinginan untuk memakan darah tersebut.Karena
keduanya sama maka yang muthlaq dibawa ke yang muqayyad.Maka yang
muqayyad dijadikan sebagai penjelas bagi yanng muthlaq.Jadi darah yang
mengalir itu hukumnya haram.Sedang hati dan limpa tidak haram jika
dimakan.

2. Berbeda hukum atau sebab menurut Abu Hanifah yang muthlaq tidak
dibawa kepada muqayyad.Contoh:
Hukum kifarat pembunuhan dengantidak sengaja ( kekeliruan ) ialah
‫ ير ر قبة مؤ منةفتحر‬danhukum kifarat dzihar ‫فتحر ير ر قبة‬ialah kedua
hukumnaya sama yaitu memerdekakan budak,tetapi sebabnya berbeda
yaitu membunuh dengan tidak sengaja ( kekeliruan ) dan dzihar.
3. Berbeda hukum sama sebab, tidak dibawa yang muthlaq kepada muqayyad
kecuali ada dalil yang lain.Contohnya :
hukum berwudhu dan tayamum. Pada wudhu tangan wajib dibasuh sampai
siku ( Q.S. Al-Maidah : 6 ) sedangkan tayamum tidak diterangkan sampai
ke siku atau muthlaq (Q.S. An-Nisaa: 43 ).Disini sebanya sama yaitu
bersuci tetapi hukumnya berbeda yaitu membasuh tangan pada saat wudhu
sampai ke siku dan menyapu tangan saat tayamum.
4. Berbeda sebab dan berbeda hukum.Contoh :
Hukum potong tangan ( Q.S. Al-Maidah : 38 ) dan hukum mebasuh tangan
( Q.S. Al-Maidah : 6 ).Sebabnya juga berbeda yaitu yang pertama karena
mencuri dan yang kedua karena bersuci ( wudhu ).

Manthuq dan Mafhum

 Pengertian Manthuq

Manthuq adalah makna lahir yang tersurat ( eksplisit ) yang tidak mengandung
kemungkinan pengertian ke makna yang lain.

Menurut ahli ushul fiqh Mathuq adalah :

‫دال لة فى محل النطق على حكم المد كو ر‬

“ Penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa
yang disebut dalam lafadz itu “.

Defini tersebut mengandung arti bahwa bila kita memahami suatu hukum
menurut apa yang tersurat secara jelas dalam lafadz itu,maka pemahaman tersebutlah
yang disebut dengan Manthuq.3

 Pembagian Manthuq
1. Manthuq Sharih (‫ ) المنو ق الصر يح‬yaitu manthuq yang petunjukannya terhadap
hukum muncul dari istilah lengkap yang resmi digunakan.Manthuq Sharih sering
disebut Ibarat Nash dalam kalangan Hanafiyah.
2. Manthuq Ghairu Sharih ( ‫ ) المنطو ق غير الصر يح‬yaitu mantuq yang penunjukannya
tidak muncul dari istilah yang resmi,tetapi dari kelazimannya.
3. Nash ialah lafadz yang bentuknya sendiri tidak jelas maknanya.Contoh :

3
Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,Prof.Dr. Amin Syarifuddin,hlm 121
‫فصيا م ثلثة ايا م فى الحج و سبعة اد ا ر جعتم تلك عشر ة كا ملة‬
“ Maka ( wajib ) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari ( lagi ) apabila
kamu telah kembali pulang, itulah sepuluh ( hari ) yang sempurna.” ( Q.S. Al-
Baqarah: 196 )
Penyifatan “ sepuluh “ dengan “ sempurna “ telah mematahkan kemungkinan
kata “sepuluh” itu diartikan secara majaz (kiasan).Inilah yang disebut nash.
4. Zahir ialah lafadz yang maknanya segera dipahami ketika diucapkan tetapi masih
ada kemungkinan makna makna lain yang lemah ( marjuh ).Contoh :
‫و ال تقر بو هن حتى يطهر ن‬
“ Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci.”( Q.S. Al-
Baqarah : 222)
Berhenti dari haid dinamakan suci ( tuhr ),berwudhu dan mandi pun disebut
“tuhr”.Namun penunjukan kata”tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih
tepat,jelas (zahir) sehingga makna yang rajih (kuat),sedangkan penunjukan kepada
makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
5. Mu’awwal adalah lafadz yang diartikan dengan mkana marjuh karena ada sesuatu
dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih.
6. Dalalah Iqtida’/ Iqtida’i Nass adalah kebenaran petunjuk lafadz kepada makna
yang tepat tapi bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan.Contoh:
‫حر مت عليكم امهتكم‬
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”(Q.S An-Nissa: 23)
Ayat tersebut memerlukan adanya kata yang tidak disebutkan,yaitu kata
“bersenggama”,sehingga makna uang tepat adalah “diharamkanatas kamu
(bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
7. Dalah Isyaroh adalah kebenaran petunjuk lafadz kepada makna yangtepat
berdasarkan isyarat lafadz.
 Pengertian Mafhum

Mafhum adalah makna yang ditunjukan oleh lafadz tidak berdasarkan pada
bunyi ucapan yang tersurat,melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.

Mafhum menurut istilah ulama ushul fiqh adalah :

‫د ال لة اللفظ فى محل النطق على ثبو ت حكم ما د كر لما سكت عليه او على نفي الحكم عنه‬
“Penunjukan lafadz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang
disebutkan terhadap apa yanng tidak disebutkan, atau tidak berlakunya hukum
itu.”

 Pembagian Mafhum
1. Bila hukum yang dipahami itu bersamaan dengan hukum yang secara jelas
disebutkan mafhum yang kemudian disebut sebgai mafhum muwafaqah
( ‫) المفهو م المو افقة‬.Mafhum muwafaqah dibagi menjadi 2,yaitu:
a. Mafhum Awali (‫) فحر الخطا ب‬,yaitu hukum yang berlaku pada yang tidak
disebutkan lebih kuat daripada yang disebutkan.
b. Mafhum Musawi (‫ ) لحن الخطا ب‬yaitu bila hukum yang berlaku pada yang
disebutkan sama kekuatannya dengan yang disebutkan.
2. Bila hukum yang tidak disebutkan berlawanan dengan hukum yang
disebutkan,mafhum ini disebut mafhum mukhalafah (‫) المفهو م المخا لفة‬disebut juga ‫د‬
‫ ليل الخطا ب‬.Mafhum mukhalafah terjadi bila hukum yang disebutkan disertai suatu
qaid baik dalam bentuk sifat,syarat,bilangan,batas watu, atau sebutan tertentu
(laqab).Menurut Jumhur ulama syarat-syarat berdalil dengan mafhum mukhalafah
selain dengan mafhum laqab adalah:
a. Mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalil manthuq.
b. Hukum yang disebutkan dalam manthuq tidak disebutkan sekadar merangsang
keinginan.
c. Hukum yang terdapat dalam manthuq tidak merupakan jawaban atas
pertanyan yang menyangkut hukum
d. Manthuq bukan dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku.
e. Dalil manthuq tidak disebutkan secra terpisah.
Lafaz dilihat dari kejelasan maknanya

Kalangan Hanafiyah sebagaimana dijelaskan oleh Adib Shalih yang dikutip oleh
Satria Effendi mengelompokkan lafaz dari segi kejelasan maknanya (dalalahnya) menjadi dua
macam. Pertama, lafaz yang artinya jelas meliputi empat tingkatan yaitu : zahir, nas,
mufassar,dan muhkam. Kedua, lafaz yang maknanya tidak jelas yang meliputi emoat
tingkatan juga yaitu : khafi, musykil,mujmal, dan mutasyabih.

A. Lafaz yang jelas dalalahnya


1. Zahir
Zahir secara bahasa berarti al-wuduh (jelas) secara istilah sebagaimana
dikemukakan oleh Abddul Wahab Khallaf ialah lafaz yang menunjukkan arti
secara langsung dari nas itu tanpa memerlukan penyertaan lain yang datang dari
luar untuk memahami maksu dari nas itu, akan tetapi bukan pengertian itu yang
menjadi maksud utama dari pengucapannya. Karena terdapat pengetianlain yang
menjadi maksud utama dari pihak yang mengucapkannya maka kata zhahir sangat
di mungkikan untuk menerima takhsis, ta’wil, dan nasakh.

Pada kasus kata tertentu, dimungkinkan terdapat dua pengertian


salah satunya pengertian yang ditunjukkan oleh redaksi tersebut bukan
merupakan tujuan utama dari pengucapnya dan itulah yang dikenal dengan
makna zahir dan makna yang satu lagi adalah makna yang menjadi tujuan
utama dari pengucapnya yang disebut dengan nas, contohnya firman Allah
SWT:

ِّ َ‫ َو أ َ َح َّل َّللاَّ ُ ال ْ ب َ ي ْ َع َو َح َّر م‬...


...‫الر ب َ ا‬

Artinya: Allah menghalalkanjual beli dan mengharamkan riba (QS, al-


Baqarah/2: 275).

Makna zahir dari ayat di atas yang secara cepat dapat ditangkap
pemahamannya adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Kata halal
dan haram telah jelas arti dan maksudnya tanpa membutuhkan qarinah dari
luar. Tetapi bukan makna itu yang menjadi tujuan utama dari konteks ayat
di atas. Tujuan utamanya atau makna nasnya adalah perbedaan antara jual
beli dan riba, karena ayat ini turun sebagai bantahan bagi orang musyrik
yang mengatakan bahwa jual beli itu sama dengan riba. Hukum yang jelas
(zahir) dimungkinkan akan menerima ta'wil (memalingkan dari makna
zahir-nya) mungkin juga menerima takhsis juga bisa menerima nasakh
(penghapusan hukum).

Lafaz zahir terkadang harus di ta‘wil untuk mencari makna yang


dapat di pahami. Yang dimaksud dengan :ta’wiladalah “ memalingkan arti
zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalih atau
bukti”. Contohnya kata‫اليد‬pada ayat berikut ini:

... ْ‫ق أ َي ْ ِّد ي ِّه م‬


َ ‫ ي َ د ُ َّللاَّ ِّ ف َ ْو‬...

Artinya: tangan Allah di atas tangan mereka ... (QS. al-Fath/48: 10)

Kata “yadun” pada ayat di atas memiliki dua arti masing-masing


arti zahir yang berarti tangan dan arti ta'wil yang berarti sulthan artinya
kekuasaan.

2. Nas

Secara bahasa arti nas berarti al-zuhur (jelas). Secara istilah, nas
bisa memiliki dua pengertian yaitu pengertian umum dan pengertian
khusus. Pengertian pertama sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafi'i,
nas adalah teks al-Qur’an dan hadis Rasulullah baik yang tegas maupun
yang tidak tegas. Berdasarkan pengertian ini, maka istilah nas
diperuntukkan untuk al-Qur'an dan hadis. Nas dalam pengertian kedua
(khusus), dan pengertian kedua inilah yang akan menjadi pokok
pembahasan, yaitu lafaz yang menunjukkan arti yang asli yang muncul
dari lafaz itu secara jelas, tidak mungkin mengandung makna lain,
pengertiannya cepat ditangkap ketika mendengar lafaz itu. Seperti kata
sepuluh (asyaratun) dalam ayat berikut ini:

َ ْ ‫ج ع ْ ت ُ ْم ۗ ت ِّ ل‬
ٌ ‫ك ع َ ش َ َر ة‬ َ ‫ص ي َ ا م ُ ث َ َال ث َ ةِّ أ َي َّا ٍم ف ِّ ي ال ْ َح ج ِّ َو س َ ب ْ ع َ ةٍ إ ِّ ذ َ ا َر‬
ِّ َ ‫ ف َ َم ْن ل َ ْم ي َ ِّج د ْ ف‬. .
َ ْ ‫اض ِّر ي ال ْ َم سْ ِّج ِّد ال‬
.... ‫ح َر ا ِّم‬ ِّ ‫ح‬ َ ُ ‫ك لِّ َم ْن ل َ ْم ي َ ك ُ ْن أ َ هْ ل ُ ه‬ َ ِّ ‫كَ ا ِّم ل َ ة ٌ ۗ ذ َٰ َ ل‬

Artinya: tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak


mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari
(lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna demikian itu (kewajiban membayar fitnah ) bagi orang-orang
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang
yang bukan penduduk Kota Mekkah) (QS. al-Baqarah/2: 196)

kata "asyaratun” dalam ayat di atas adalah nas karena maknanya


jelas dan pasti tidak mungkin sembilan atau sebelas. Contoh lain adalah
ayat tentang perbedaan hukum jual beli dan kemarahan riba:

ِّ َ‫ َو أ َ َح َّل َّللاَّ ُ ال ْ ب َ ي ْ َع َو َح َّر م‬...


...‫الر ب َ ا‬

Artihya: Allah menghalalkanjual beli dan mengharamkan riba” (Qs_ al-


Baqarah/2: 275).

Perbedaan hukum antara jual beli dan riba yang disebut oleh ayat
di atas disebut nas, karena sangat jelas dan mudah dipahami dari bunyi
ayat ini. Ayat ini turun untuk menolak secara tegas perkataan orang kafir
yang mengatakan jual beli itu seperti riba.

Dilihat dari segi dalalahnya nas lebih kuat dibanding dengan zahir,
oleh karena itu jika terjadi pertentangan antara nas dan zahir maka yang
dimenangkan adalah nas untuk diamalkan. Namun demikian, menurut
Abu Zahra bahwa _nas bisa menerima ta’wil sebagaimana zahir dapat
menerima nasakh.

Perbedaan antara nas dengan zahir:


a. Dalalah nas lebih jelas dibanding dalalah zahir.

b. Makna nas adalah makna asli yang dikehendaki dari lafaz itu
sedangkan zahir bukan makna yang dikehendaki.

c. Kemungkinan untuk di-ta’wil, nas lebih jauh dibandingkan dengan


zahir.

d. Ketika terjadi pertentangan antara nas dan zahir maka harus kembali
kepada makna nas.

Abu Zahra dalam bukunya Ushul Fiqh, menjelaskan pendapat


lama tentang kaitan makna zahir dengan makna nas. Kebanyakan ama
ushul fiqh dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah rnyamakan
zahir dengan nas. Namun sebagian yang lain masih dari angan Malikiyah
dan Syafi'iyah mengatakan bahwa zahir dan nas itu berbeda, nas tidak
menerima kemungkinan makna lain sedangkan zahir masih menerima
kemungkinan makna lain

Oleh karena itu ahli ushul kalangan Syafiiyah menjelaskan bahwa


zahir hanya sampai kepada tingkat zhan (dugaan kuat), artinya makna
yang jelas dan cepat untuk dipahami yang merupakan ciri dari makna
zahir tetapi masih ada kemungkinan untuk dipahami dengan pengertian
yang lain. Contoh kata 'Saya melihat macan’, kata macan pada contoh
terakhir ini bisa mengandung dua pengertian, pertama makna zahir
“macan” adalah binatang buas yang kuat dan berani. Kedua makna majaz
( ta'wil) yaitu seorang laki-laki yang pemberani.

3. Mufassar

Mufassar menurut ulama ushul fiqh adalah lafaz yang menunjukkan


kepada maknanya secara jelas dan terperinci yang tidak mungkin menerima
ta'wil (dipalingkan maknanya). Jika dibandingkan dengan nas, mufasssar
lebih jelas karena pada mufassar tidak berlaku takhsis.

Lafaz mufassar terbagi menjadi dua:

a. Menunjukkan maknanya secara jelas dan terperinci tanpa memerlukan


lagi penjelasan dari luar. Contohnya firman Allah SWTQS. an-Nuur/ 24:
4. Jumlah delapan puluh kali dera adalah mufassar karena maknanya
sudah jelas tanpa perlu ada penambahan dan pengurangan dan tidak perlu
di ta'wil. Hukuman delapan puluh kali dera inidiperuntukkan bagi pelaku
qazaf, yaitu seseorang yang menuduh orang baik berzina tanpa saksi.
b. Berupa mujmal (global), tidak jelas dan tidak terperinci, kemudian datang
penjelasan dari syariat sehingga menjadi jelas dan pasti dan tidak lagi
menerima ta'wil. Seperti perintah shalat, perintah zakat, perintah haji, dan
keharaman riba. Maka datang hadis-hadis Nabi berupa perkataan dan
perbuatan beliau yang menjelaskan perkara-perkara mujmal sehingga
hukumnya menjadi jelas dan dapat diamalkan. Perintah shalat dijelaskan
oleh hadis Nabi melalui hadisnya:

َ ُ ‫صلُّوا َك َما َرأ َ ْيت ُ ُمونِّي أ‬


‫ص ِّلي‬ َ

Artinya: “Shalatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku shalat." (HR.


Bukhari)

4. Muhkam

Muhkam sebagaimana didefinisikan oleh Abu Zahra adalah “kalimat


yang menunjukkan maknanya dengan jelas yang tidak menerima
kemungkinan ta'wil (dipalingkan kepada makna lain) dan tidak menerima
takhsis.” Lawan muhkam adalah mutasyabih.

Abdul Wahab Khallaf menegaskan bahwa lafaz muhkam tidak bisa


dibatalkan hukumnya, tidak dapat diganti karena maknanya yang sudah jelas
dan juga tidak dapat menerima nasakh karena lafaz muhkam berisi antara
lain:

a. Tentang ajaran-ajaran pokok agama yang tidak menerima


nasakh(penggantian) seperti ibadah kepada Allah dan beriman kepada kitab-
kitab dan Rasul.
b. Perbuatan-perbuatan utama yang tidak diperselisihkan seperti berbuatbaik
kepada kedua orang tua, berbuat adil dan sebagainya.
c. Hukum cabang (fiqh) yang diabadikan oleh syariat seperti status orang yang
menuduh orang baik dengan berzina (qazhif), maka kesaksiannya tidak dapat
diterima selama-lamanya dan hukum jihad yang abadi sebagaimana sabda
Nabi: “jihad itu berlaku hukumnya sejak dahulu sampai hari kiamat”

Tiga macam kandungan “muhkam” sebagaimana tersebut di atas telah


menunjukkan kepada pengertian secara qat’i, tidak berlaku baginya ta'wil dan
tidak ada dalil bahwa perkara-perkara itu telah dinasakh pada zaman Nabi.

o Tingkat Kehujahan

Keempat macam lafaz-lafaz yang menunjukkan arti yang jelas


sebagaimana dijelaskan di atas mulai dari zahir, nas, mufasssar, dan
muhkam, masing-masing memiliki tingkatan dalam kehujahannya. Maka jika
terjadi pertentangan antara nas dan zahir maka nas dimenangkan, karena nas
maknanya lebih jelas dibanding zahir dan juga karena nasmengandung
maksud utama pembicaraan sedangkan makna zahir bukan maksud utama
dari pembicaraan.

]ika terjadi pertentangan antara nas dan mufassar, maka mufassar


didahulukan dan dimenangkan karena mufassar dilihat dari dalalahnya lebih
jelas dibanding nas serta mufassar tidak menerima ta'wil karena sudah sangat
jelas. Demikian selanjutnya jika terjadi pertentangan muhkam dengan
mufassar maka yang dlmenangkan adalah muhkam karena dalalah muhkam
lebih jelas dan pasti dibanding mufassar. Maka jika diletakkan secara
berurutan dilihat dari kualitas kejelasannya maka yang menempati urutan
pertama adalah muhkam, kedua orangmufassar, ketiga nas, dan keempat
zahir.

B. Lafaz yang Tidak Jelas Dalalahnya


1. Khafi

Yaitu lafaz yang maknanya jelas akan tetapi ketika diterapkan kepada
kasus tertentu menimbulkan ketidakjelasan. Untuk menghilangkan
ketidakjelasan itu dibutuhkan pemikiran dan analisis. Lawan dari khafi
adalah zahir.
ً َ ‫َّار ق َ ة ُ ف َ ا ق ْ ط َ ع ُ وا أ َي ْ دِّ ي َ ه ُ َم ا َج َز ا ًء ب ِّ َم ا ك َ س َ ب َ ا ن َ ك‬
‫اال ِّم َن َّللاَّ ِّ ۗ َو َّللاَّ ُ عَ ِّز ي ٌز‬ ُ ‫ار‬
ِّ ‫ق َو ال س‬ ِّ َّ ‫َو ال س‬
ٌ ‫َح ِّك ي م‬

Ketidakjelasan itu dapat dimungkinkan karena bentuk kasus-kasus itu


tidak persis sama dengan kasus yang ditunjukkan oleh satu dalil.Contoh,
lafaz “saariq” dalam QS. al-Maidah/5: 38:

Artinya: Laki-laki yang mencari dan perempuan yang mencuri, potonglah


tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Makna “saariq” pada ayat di atas sudah jelas adalah pencuri yang
mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi di tempat yang layak.
Namun ketika kata “saariq” diterapkan kepada pencopet maka muncullah
ketidakjelasan, apakah pencopet yang dengan keterampilannya mampu
melalaikan orang lain sehingga ia mampu mengambil hartanya, maka apakah
pencopet yang seperti itu dapat dimasukkan ke dalam istilah pencuri yang
harus dipotong tangannya atau tidak, atau hanya di-ta'zir? Untuk
memecahkan masalah ini, maka dibutuhkan ijtihad. Menurut Abdul Wahab
Khallaf, berdasarkan ijtihad Yang didasari oleh dalalah nas disepakati bahwa
hukum pencopet harus dipotong tangannya seperti pencuri karena illat untuk
memotong tangan pencopet sudah terpenuhi sebagaimana pencuri.

2. Musykil

Musykil adalah lafaz yang tidak menunjukkan makna yang jelas maka
diperlukan qarinah (indikator) dari luar untuk menjelaskan maksudnya.
Musykil merupakan lawan dari nas.

penyebab ketidakjelasannya karena lafaz itu mengandung beberapa


pengertian yang tidak menunjukkan makna tertentu. Sehingga untuk
mengetahui pengertian mana yang dimaksud diperlukan indikator atau dalil
dari luar. Di antara lafaz musykil adalah kalimat musytarak, yaitu satu lafaz
yang mempunyai dua arti atau lebih di mana masing-masing arti
mengandung pengertian yang berbeda hakikatnya.
Contoh kata “quru”’dalam surat al-Baqarah/2 ayat 228:

ِّ ُ ‫ص َن ب ِّ أ َن ْ ف‬
...ۚ ‫س ِّه َّن ث َ َال ث َ ة َ ق ُ ُر و ٍء‬ ُ ‫َو ال ْ ُم ط َ ل َّ ق َ ا‬
ْ َّ ‫ت ي َ ت َ َر ب‬

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri ( menunggu)


tiga kali quru'.

Kata “quru’” pada ayat di atas memiliki dua makna yang berbeda
yaitu suci dan haid. Kemudian timbul pertanyaan, makna apa yang dimaksud
dari kedua makna tersebut? Imam Hanafi dan Hambali mengartikannya
dengan haid. Adapun imam Syafi’i dan Maliki mengartikannya dengan suci.
Masing-masing kelompok memiliki argumentasi. Imam Hanafi dan Hambali
mendasari pendapatnya di antaraya dengan hadis Nabi, artinya “bahwa
iddahnya seorang hamba sahaya perempuan itu dua kali haid.” Menurutnya
tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dan orang merdeka
tentang iddah. Artinya pada hadis tersebut Nabi menyebut masa iddah hamba
sahaya itu dengan dua kali haid bukan dengan dua kali sucian, ketentuan ini
juga berlaku untuk perempuan merdeka. Dengan demikian, quru pada ayat di
atas artinya haid bukan suci. Adapun Imam Syafi'i dan Maliki mendasarkan
pendapatnya lebih kepada argumentasi kebahasaanl yaitu keharusan
memuannaskan adad (bilangan) yang berbentuk mux zakkar. Maka setelah
kata “tsalaasatu” (muannas) mengharuskan kata setelahnya adalah muzakkar,
sesuai kaidah bahasa. Maka atas dasaritu' menurut keduanya yang tepat, kata
quru’ diposisikan dengan kata mm zakkar dan kata yang muzakkar itu adalah
kata “tuhrun” bukan kata “haidatun”. Dengan demikian, maka iddah
perempuan yang dicerai oleh suaminya dalam tiga kali suci."

3. Mujmal

Mujmal adalah lafaz yang mencakup kemungkinan segala keadaan


dan hukum yang terkandung di dalamnya. Lafaz mujmal tidak dapat
diketahui secara jelas tanpa adanya mubayyan (penjelas). Abdul Wahab
Khallaf mendefinisikan mujmal adalah “lafaz yang pengertiannya tidak dapat
dipahami dari lafaz itu sendiri apabila tidak ada qan‘nah yang
menjelaskannya”. Dengan kata lain mujmal adalah kalimat yang belum jelas.
Contohnya perintah shalat. perintah haji. keharaman riba yang terdapat dalam
al-Qur'an. Contoh-contoh yang tersebut terakhir ini semuanya adalah
termasuk kalimat mujmal yang membutuhkan penjelasan secara syariat
bukan secara bahasa. Jika terdapat lafaz mujmal dalam al-Qur'an maka sunah
berfungsi Untuk menjelaskannya.

Ditambahkan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwa di antara lafaz yang


dimasukkan ke dalam lafaz mujmal antara lain:

a. Lafaz yang disebut secara bahasa tetapi yang dikehendaki adalah "
makna syariat secara khusus, misalnya perintah shalat dalam
alQur'an. Kata shalat membutuhkan penjelasan khusus terkait
dengan rukun, syarat, dan caranya, maka kemudian dijelaskan oleh
hadis Nabi.
b. Lafaz yang gharib (asing) seperti kata “al-Qaariah”. Dalam alv
Qur'an surat al-Qaariah/ 101 ayat l yang kemudian kata itu div
jelaskan oleh Allah sendiri pada ayat selanjutnya.

ِّ ‫اس ك َال ْ ف َ َر‬


‫اش‬ ِّ َ ‫ك َم ا ال ْ ق‬
ُ َّ ‫) ي َ ْو م َ ي َ ك ُ و ُن ال ن‬3( ُ ‫ار عَ ة‬ َ ‫)و َم ا أ َ د ْ َر ا‬2(
َ ُ ‫ار عَ ة‬ِّ َ ‫) َم ا ال ْ ق‬1( ُ ‫ار عَ ة‬
ِّ َ ‫ال ْ ق‬
)5( ‫وش‬ ِّ ُ ‫) َو ت َك ُ و ُن ال ْ ِّج ب َ ا ُل ك َال ْ ِّع ْه ِّن ال ْ َم ن ْ ف‬4( ‫ث‬ِّ ‫ال ْ َم ب ْث ُو‬

Artinya: Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu?Tahukah kamu


Apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-
anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang
dihambur-hamburkan. (QS. al-Qaariah/ 101: 1-5)

`Qarinah yang menjelaskan lafaz mujmal pada ayat di atas


yaitu ayat kedua sampai kelima yang disebut dengan mubayyan. Yaitu
lafaz yang sudah jelas maksudnya, berfungsi untuk mengeluarkan
ketentuan dari Yang sulit menuju ketentuan yang jelas. Dengan kata
lain mubayyan adalah penjelas kata mujmal.

1. Macam macam Penjelasan bngt Lafaz Mujmal


a. Penjelasan dengan perkataan. seperti penjelasan tentang denda haji tumattu'.
yaitu puasa sepuluh hari. Tiga hari di tanah luci dan tujuh hari di rumah.
Contoh, (QS.a1-Baqarah/2: 196)
b. Penjelasan dengan perbuatan. Contohnya hadis nabi yang menjelaskan
bagaimana cara shalat dan haji.
c. Penjelasan dengan tulisan seperti ketentuan zakat dan diyat. Penjelasan
dengan isyarat, contohnya hadis Nabi, artinya “Aku dan orang yang
menanggung anak yatim seperti ini”. Ketika mengucapkan hadis ini Nabi
sambil menunjukkan ibu jari dan jari tengah.

2. Kaidah yang Berhubungan dengan Mujmal dan Mubayyan:


a. “Mengakhirkan penjelasan pada saat di butuhkan tidak dibolehkan."

Contoh, ketika Fatimah binti Hubaisy bertanya kepada Rasulullah, “Ya


Rasulullah saya ini wanita yang berpenyakit (istikhadah) Yang pelum mandi,
apakah saya harus shalat” Nabi menjawab: Darah itu hanya keringat biasa
bukan haid. Dari hadis ini dapat dipahami bahwa darah istikhadah tidak
mewajibkan mandi besar.

b. “Mengakhirkan penjelasan pada saat diperintahkan sesuatu dibolehkan"

Contoh: perintah tentang shalat, puasa, zakat, dan haji. Semuanya dijelaskan
secara bertahap dan mendetail. Tidak langsung dijelas' kan tetapi
penjelasannya diakhirkan.

4. Mutasyabih

Mutasyabih adalah lafaz yang tidak jelas maknanya dan tidak ada
indikator dari luar yang menjelaskan maknanya. Yang mengetahui
hakikatnya hanyalah pembuat syariat yaitu Allah SWT.

Para ulama sepakat bahwa dalam al-Qur’an terdapat ayat mutasyabih,


hal ini didasari oleh firman Allah SWT:

َ ُ ‫ت ه ُ َّن أ ُمُّ ال ْ ِّك ت َا بِّ َو أ‬


..ٌ . ‫خ ُر مُ ت َش َا ب ِّ هَ ات‬ َ ‫ك ال ْ ِّك ت َا‬
ٌ ‫ب ِّم ن ْ ه ُ آ ي َ ا‬
ٌ ‫ت ُم ْح ك َ َم ا‬ َ ْ ‫ه َُو ا ل َّ ِّذ ي أ َن ْ َز َل ع َ ل َ ي‬
Artinya: Dia-lah yang menurunkan Alkitab (al-Qur'an) kepada kamu.
Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi
alQur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (QS. Ali Imran/ 3: 7)

Namun mereka berselisih dalam menentukan kriterianya.

a. Menurut Ibnu Hazm sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Zahra bahwa tidak
ada lafaz mutasyabih dalam al-Qur’an kecuali huruf-huruf tertentu seperti
“Alif laam miim”, sumpah (qasam) Allah seperti kata “wa al-syamsi” (demi
matahari), dan sebagainya.
b. 'Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka sepakat dengan apa Yang
dikemukakan oleh Ibnu Hazm di atas namun menurut pendapat kedua ini
bukan hanya itu saja lafaz mutasyabih. tetapi juga terdapat pada ayat-ayat
yang mengandung pengertian “keserupaan” antara Allah dengan makhluknya
seperti kata “yadun” dan “ainun” . Pada masing-masing dua ayat yaitu Al-
fath/48 : 10 dan Thaha/20:39

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ayat


mutasyabih terdapat pada huruf-huruf yang ada pada awal surat dalam
alaQur'an, sumpah Allah dalam al-Qur’an dan ayat-ayat yang artinya secara
zahir mengandung keserupaan antara makhluk dan Tuhan. Adapun pada ayat
ahkam tidak terdapat mutasyabih.

Tentang kehujahan lafaz mutasyabih, Wahbah Zuhaeli menjelaskan


bahwa terdapat dua pendapat ulama dalam menghadapi ayat mutasyabih:

a. Menurut ulama salaf, ketika menghadapi lafaz mutasyabih adalah


menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT, mengimani secara zahir-nya
dan tidak diperkenankan untuk membahasnya dengan ta’wil Pendapat
pertama ini didasari oleh firman Allah SWT:

Artinya: Dialah yang menurunkan Alkitab (al-Qur 'an) kepada kamu. di


antara ( isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat. Itulah pokok-pokok isi al-
Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat (QS. Ali Imran/ 3: 7)

Berdasarkan ayat di atas, kelompok pertama ini menegaskan bahwa


hanya Allah dan orang yang mendalam ilmunya ( raashihin fi ilmi) yang
mengetahui ta'wil-nya. Sikap orang yang mendalam ilmunya tidak serta-
merta menta’wil, tetapi menyerahkan maknanya kepada Allah dengan tetap
mengimani tanpa membahasnya.

b. Menurut ulama khalaf, diperbolehkan untuk men-ta’wil ayat mutasyabihat


yang sejalan dengan makna bahasa, dengan tetap menjaga sifat kesucian
Allah. Maka menurut kelompok kedua ini kata “yadun” dalam al-Qur’an
surat al-Fath ayat 10. Kata “yadun” pada ayat di tersebut yang berarti tangan
dapat di-ta’wil dengan kekuasaan.

Kata “wajhun” dalam alQur'an surat al-Qashas/28 ayat 88. Kata “wajhun”
pada ayat di atas yang berarti wajah (muka) di-ta'wil dengan zat. Pendapat
kedua yang menegaskan bahwa ayat mutasyabih dapat menerima ta’wil
mendasarkan pendapatnya kepada firman Allah al-Qur'an surat Ali Imran
ayat ketujuh. Menurutnya bahwa orang yang mendalam ilmunya mampu
untuk melakukan ta'wil ayat mutasyabih.

Secara prinsip kedua pendapat di atas mengandung kesamaan, Yaitu


bertujuan untuk memelihara kesucian Allah terhadap makhluk perbedaan
keduanya terletak pada cara. Kelompok pertama 1ebih berhati-hati dengan
tidak men-ta’wil, cukup menyerahkan dan mengimani sedangkan pendapat
kedua men-ta'wil sehingga dapat di mengerti secara rasional.

Lafaz Dilihat dari Penggunaannya

1. Makna Hakiki dan Majazi

Yang dimaksud hakiki yaitu lafaz yang menunjukkan makna aslinya


sesuai dengan dibentuknya lafaz tersebut. Contohnya ketika Nabi tiba di Kota
Madinah beliau disambut dengan kalimat “talaa al-badru alaina. ..” kata al-
badru, arti hakikinya adalah bulan purnama. Contoh lain adalah kata “al-
asad” memiliki arti hakiki hewan buas yaitu singa.

Adapun majaz yaitu lafaz yang digunakan untuk makna selain makna
aslinya karena ada hubungan antara keduanya (makna asli dan bukan asli )
dan terdapat indikator yang tidak mungkin lafaz itu dimaknai secara hakiki

Terkait dengan makna hakiki para ulama membaginya kepada tiga macam :
1. Hakiki bahasa: yaitu lafaz yang menunjukkan makna sesuai dengan
dibentuknya kata itu seperti kata matahari, bulan dan bintang Ketiga nama
makhluk di atas dibuat untuk benda yang memiliki sinar.
2. Hakiki syariat: Yaitu lafaz yang menunjukkan makna yang dikehendaki
oleh syariat, seperti: shalat, haji, zakat, clan puasa. Semua istilah ini dibuat
untuk nama-nama ibadah tertentu yang sudah terkenal.
3. Hakiki urfi, yaitu lafaz yang maknanya dibentuk oleh kebiasaan yang
berlaku. Contoh, mobil digunakan untuk nama alat tranfortasi yang sudah
populer, kata fiqh digunakan oleh ulama fiqh, had dan mahiyah digunakan
oleh ahli mantiq.

Contoh Makna Hakiki dan Majas dalam Al-Qur’an

a. Contoh Makna Hakiki:


‫س ا ل َّ ت ِّ ي َح َّر مَ َّللاَّ ُ إ ِّ َّال ب ِّ ال ْ َح ق ِّ ۚ ذ َٰ َ ل ِّ ك ُ مْ َو صَّ ا ك ُ مْ ب ِّ هِّ ل َ ع َ ل َّ ك ُ ْم ت َع ْ ق ِّ ل ُ و َن‬
َ ْ ‫َو َال ت َ ق ْ ت ُ ل ُ وا ال ن َّ ف‬

Artinya: dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah
(membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya) (QS. al-An'am/ 6: 151)

Kata membunuh dalam ayat di atas menghendaki makna hakiki bukan majasi,
yaitu membunuh dalam arti yang sebenarnya, dengan menghilangkan nyawa
seseorang.

b. Contoh Makna Majasi:


ِّ ِّ ‫ج ا َء أ َ َح د ٌ ِّم ن ْ ك ُ مْ ِّم َن ال ْ غ َا ئ‬
‫ط‬ َ ‫أ َ ْو‬

Artinya: atau kembali dari tempat buang air (kakus) (QS. al-Maidah/5:6)

Arti hakiki dari kata “al-ghait” pada ayat di atas adalah kakus (tempat buang
air). Tetapi yang dikehendaki bukan makna hakiki melainkan makna majasi dari kata
itu yaitu buang air karena ada qarinah yang menunjukkannya, yaitu jika semata-mata
datang ke kakus tanpa buang air tidaldah membatalkan wudhu.

Hukum yang berlaku bagi makna hakiki dan majasi adalah kaidah
“Apabila suatu kalimat memiliki kemungkinan makna hakiki dan majasi,
maka yang diutamakan adalah makna hakiki kecuali ada indikator yang
mengharuskan kalimat itu bermakna majasi.” Alasannya karena hakiki adalah
makna yang asli sedangkan majasi adalah makna tidak asli (pinjaman), maka
tidak layak mengguna kan makna tidak asli (majasi) jika masih
memungkinkan menggunakan makna hakiki (hakiki).

2. Muradif dan Musytarak

Khalid Ramadhan Hasan memasukkan lafaz muradif dan musytarak


ke dalam lafaz dilihat dari penggunaannya.

1) Pengertian Muradif dan Musytarak Muradif ialah:

Artinya: “Dua kata atau lebih untuk arti yang satu.”

Dalam bahasa Indonesia, muradif disebut dengan sinonim. Contoh:

 Pendidik (guru) :‫مدرس‬,,‫استاذ‬

Adapun musytarak ialah:

Artinya: “satu lafaz menunjukkan dua arti atau lebih)."

Contoh;

 ‫ذهب‬: pergi, hilang

Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Muradzf dan Musytarak

a. Mendudukkan dua muradif pada tempat yang lain itu diperbolehkan jika
tidak ada ketetapan syara.
b. Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk
beberapa maknanya itu diperbolehkan.

Anda mungkin juga menyukai