Ketika seseorang ingin mengambil hukum atau mengistimbatkan suatu hukum, maka
seseorang tersebut harus terlebih dahulu mengetahui seluk beluk bahasa arab. Begitu juga
harus memahami, tentang cara-cara mengatur sesuatu apakah dengan bentuk hakekat ataukah
dengan bentuk majaz (kiasan).
Oleh karena itu, ulama usul menaruh perhatian yang sangat besar sekali agar nash
atau dalil yang berbahasa arab bisa di pahami oleh orang yang ingin mengambil suatu hukum
dari nash. Untuk itu mereka telah menciptakan beberapa kaidah lughawiyah untuk bisa
memahami nash atau dalil. Agar hokum-hukum dapat dipetik dari dalil yang menjadi
pegangan hokum tersebut. Oleh sebab itu, seseorang yang ingin mengistinbatkan, hukum dari
dalilnya harus lebih dahulu mempelajari apa yang dinamakan ( turuqul isthimbati ) cara atau
method mengeluarkan hukum dari dalilnya.
Metode istinbath atau yang di sebut turuq al istinbath berasal dari kata thuruk dan
kata istinbath. Kata thuruk berasal dari kata bahasa arab bentuk jamak dari kata thariqun
yang artinya jalan, metode, atau cara. Adapun kata istinbath secara istilah sebagai mana di
dfinisika oleh seorang ahli bahasa arab dan fikih, muhamad ali al fayumi yaitu “ upaya
menarik hukum dari al quran dan sunah engan jalan ijtihad’. Dengan demikian, thuruk al
istinbath berarti cara menarik (menetapkan) hukum dengan cara ijtihad.
Metode istinbath dapat dilakumakn dengan tiga cara. Pertama, melihat aspek kebahsaan;
ke dua mengkaji maqosid syariah (tujuan hukum); dank e tiga, penyelesaianbeberapa dalil
yang secara lahiriah bertentangan di makalah ini kita akan membahasa tentang metode
istinbath yang pertama yang dilihat dari aspek kebahasaanya.
PEMBAHASAN
Objek utama yang akan dibahas di usuk fiqih adalah Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah. Untuk memahami onjek utama yang berbahasa arab tersebut, para ulama
telah menyusun hal yang akan di gunakan dalam penalaran fikih. Para ahli telah
membuat beberapa kategori lafal atau redaksi. Diantaranya masalah amar, nahi dan
takhyir, pembahasan lafal dari segi umum dan khusus, pemmbahasan lafal dari segi
mutlaq dan muqoyat, pembahasal lafal dari segi mantuk dan mafhum, dari segi jelas
dan tidak jelasnya, dan dari segi hakikat dan majaznya.
AMR
A. Pengertian Amr
Amr adalah bahasa arab yang artinya perintah, sedang menurut istilah adalah
suatu lafal yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan suatu
pekerjaan dari atasan kepada bawahan.
Dari definisi tersebut, dapat difahami bahwa amr itu tidak hanya ditunjuk pada
lafal yang memakai shigat amar, tetapi ditunjuk pula oleh semua bentuk kata yang
didalamnya mengandung arti perintah, sebab perintah itu terkadang menggunakan
kata-kata yang berarti majaz.
Sekalipun demikian, yang terpenting dari arti amar adalah bahwa didalam kata
amar terkandung unsur tuntutan untuk mengerjakan.
B. Sighat Amr
Amr merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighatamr berbentuk
sebagai berikut:
D. Macam-macam Amr
Imam Ar-Razi berkata didalam kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah
sepakat menetapkan bahwa bentuk if’al dipergunakan dalam 15 macam makna
sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya.
8. Ikram (memuliakan)
َ ِ ادْ ُخلُوهَاب-٤٦
ِ سالَم
َآمنِين
Artinya:
(Allah Berfirman), “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera dan aman.”
9. Taskhir (pehnghinaan)
E. Kaidah-kaidah amar
1. Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakaria Al- Bardisy bahwa:
“Jumhur sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajibnya suatu
tuntutan yang secara mutlak selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari
ketentuan amar tersebut”
Juga berdasarkan kaidah:
“arti yang pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang
diperintahkannya).
Contoh, firman Allah:
ِ ِ قَالَ َما َمنَ َع َكأَالَّت َ ْس ُجدَ ِإذْأ َ َم ْرت ُ َكقَ َاألَنَا ْ َخي ٌْر ِ ّم ْن ُه َخلَ ْقتَن-١٢
ِ يمننَّار َو َخلَ ْقتَ ُه ِم
نطين
Artinya:
(Allah) Berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud
(kepada Adam) ketika Aku Menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik
daripada dia. Engkau Ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau Ciptakan dari
tanah.”
Ayat pertama bukan ditunjukkan untuk bertanya, tetapi merupakan pencelaan
terhadap iblis karena enggan bersujud kepada Adam tanpa alasan, ketika iblis
diperintah sujud.Bentuk perintah amr dalam ayat kedua yaitu, perkataan sujudlah
(usjuduu) dengan tidak disertai qarianah menunjukkan kemestian/keharusan.Kalau
tidak demikian, Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.
َارى
َ سكُ صالَةَ َوأ َ ْنت ُ ْم ُ يَاأَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ا َمنُوا ََلت َ ْق َر
َّ ب ال
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam
keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:
ِ ََل ت ُ ْف
ِ سد ُْوا فِى ْاَلَ ْر
ض
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
Kaidah-kaidah Nahi:
a. Untuk do’a
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b. Untuk pelajaran
ُ َشيَا َء ا ِْن ت ُ ْب َدلَ ُك ْم ت
سؤْ ُك ْم ْ َ سئَلُ ْواع َْن ا
ْ َََلت
c. Putus asa
ّللاَ َمعَنَا
ََلتَحْ َز ْن ِإنَّ ه
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
َارى
َ سكُ صلَواةَ َوا َ ْنت ُ ْم
َّ ََلت َ ْق َربُواال
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).
1. Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang
menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2. Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya,
larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3. Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya
larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat
Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4. Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan
dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at
yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.[12]
Muthlaq dan Muqayyad
Pengertian Muthlaq
Menurut ulama ushul fiqh Muthlaq ialah :
لفظ خا ص لم يقيد بقيد لفظى يقلل شيو عه
Artinya : Suatu lafadz tertentu yang belum ada kaitan atau batasan dengan lafadz yang
mengurangi keseluruhan jangkauannya.
Lafadz muthlaq tersebut bisa berupa kata benda seperti: buku,pensil,dll.Lafadz
ini menyatakan kesatuan suatu jenis tanpa dibatasi.Namun jika lafadz tersebut telah
dibatasi maka lafadz tadi menjadi lafadzMuqayyad,misal : buku tulis.Lafadz
Muqayyad tersebut memiliki arti yaitu luas jangkauannya telah terbatas sedikit dari
waktu yang masih muthlaq.1
Atau dalam kata lain lafadz Muthlaq dapat berarti lafadz yang menunjukkan
suatu hakikat tanpa suatu pembatas ( qayid ).Contoh : Q.S Al- Mujadalah : 3.
..و ال ين يظهر و ن من نسا بهم ثم يعو د و ن لما قا لو فتحرير ر قبة
Lafadz “ budak “ diatas tanpa dibatasi,baik itu yang mukmin maupun yang
kafir.2
Pengertian Muqayyad
1
Ushul Fiqh Jilid II,Drs. H Kamal Muchtar dkk,hlm 54-63
2
Buku Paket Fikih MA Kelas XII Kurikulum 2013,hlm 164
Contoh Muqayyad terdapat pada Q.S.An-Nisaa : 92
وما كا ن لمؤ من ا ن يقتل مؤ منا اال خطئا و من قتل مؤ منا خطئا فتحر ير ر قبة مؤ منة
Artinya : Dan tidak layak bagi seorang muslim membunuh seorang mukmin
( yang lain ) kecuali karena bersalah ( tidak sengaja ).Dan barang
siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah ( hendaknya ) ia
memerdekakan budak yang beriman.
Lafadz tersebut disebut dengan Muqayyad karena pada lafadz “ budak “ diatas
dibatasi dengan lafadz “ yang beriman “.Maksud dari ayat tersebut jika seorang
mukmin melakukan perbutan pembunuhan dengan tidak sengaja ( tersalah ) maka
kaffarat/ diyat yang diterima salah satunya yaitu memerdekakan budak.Namun dalam
konteks ayat ini budak yang harus dimerdekakan adalah yang beriman / seorang
muslim.
Hukum Muthlaq dan Muqayyad
Contoh :
1. Lafadz Muthlaq yang diamalkan sesuai dengan Muthlaqnya karena tak ada
dalil lain yang memalingkan artinya ke Muqayyad.
Q.S. An-Nisaa: 23 mengenai wanita-wanita yang haram dinikahi.
Disini terdapat lafadz وا مها ت نسا ئكمsesudah penyebutan
حر مت عليكم ا مهتكم وبنتكم
Lafadz ا مها تadalah Muthlaq yang memberikan peringatan bahwa haram
menikahi ibu dari istri ( mertua ) baik ia telah mencampuri atau belum.
2. Lafadz Muthlaq yang ada dalil yang menyebutkan ia menjadi Muqayyad.
Q.S. An-Nisaa: 11 tentang kewarisan.
من بعد و صية يو صى بها اود ين
Lafadz و صيةbermakna bahwa Muthlaq tanpa batas apakah wasiat itu
seperdua,sepertiga atau seluruh harta peninggalan.Akan tetai ada hadits
Rasulullah SAW yang mengabarkan bahwa Saad Ibn Waqqas bertanya
kepada Rasulullah SAW. Rasulullah SAW menjawab :
الثلث و الثلث كثير
Artinya : Sepertiga dan sepertiga itu banyak.
Hadits ini membatasi wasiat hanya sampai sepertiga,tidak boleh
lebih.Dalam ayat tersebut menjadikan ayat tersebut sebagai lafadz
Muqayyad karena dengan adanya hadits tersebut.
3. Lafadz Muqayyad yang tetap atas Muqayyad karena tidak ada dalil lain
yang menghapuskan batasannya.
Q.S. Al- Mujadilah : 3-4 tentang kifarat dzihar.
فمن لم يجد قصيا م شهر ين من قبل ان يتما سا...فتحر يرر قبة من قبل ان يتما سا
Pelaksanaan kifarat dzihar dengan memerdekakanbudak dan puasa yang
diberi batasan yaitu dua bulan berturut-turut dan harus dilakukan sebelum
suami istri bercampur,maka inilah yang dinamakan Muqayyad.Dengan
adanya ketentuan tersebut maka kifarat tidak boleh dilaksanakan sesudah
suami istri bercampur dan tidak boleh tidak melaksanakan puasa tersebut.
4. Lafadz Muqayyad yang tidak menjadi Muqayyad lagi karena ada dalil lain
yang menghapuskan batasannya itu.
Q.S An- Nisaa : 23 tentang wanita yang haram dinikahi.
ور با ئبكم الال تي فى حجو ر كم من نسا ئكم الال تى د خلتم بهن
Lafadz ( ر با ئبكمanak tirimu ) adalah Muthlaq yang diberi batasan dengan
dua batasan,yang pertama ( الال تي حجو ر كمyang berada dalam
pemeliharaanmu ) dan yang kedua ibunya sudah dicampuri
( ) الال تي د خلتم بهن.
Batasan pertama tersebut memiliki makna bahwa batasan yang dapat
dijadikan pedoman dalam menharamkan menikah dengan anak tirinya
yaitu apabila anak tiri tersebut tinggal dalam pemeliharaan ayah tirinya
dan ibu kandungnya dan ayah tirinya telah mencampuri ibunya maka
haram untuk menikahi anak tiri tersebut.Pada batasan ini tidak menjadi
pegangan sebagai Muqayyad.
Batasan yang kedua yaitu apabila ayah tirinya tersebut telah mencampuri
ibunya maka haram hukumnya seorang ayah tiri menikahi anak tirinya
tersebut.
Variasi Muthlaq dan Muqayyad
Jumhur ulama ( Hanafiyah dan Syafi’iyah ) berpendapat apabila obyek hukum
dan sebabnya sama maka yang muthlaq itu harus dibawa ke muqyyad, sebaliknya bila
hukumnya tidak sama maka yang muthlaq tidak dibawa kepada muqayyad kecuali ada
dalil-dalil yang lain.
Variansi antara dua nash yaitu muthlaq dan muqayyad teradapat pada
beberapa temapat yaitu :
Lafadz الد مpada ayat pertama adalah muthlaq dan lafadz د ما مسفو حاpada ayat
kedua adalah muqayyad.Hukum memakan darah itu haram dan sebab
haramnya tersebut adalah keinginan untuk memakan darah tersebut.Karena
keduanya sama maka yang muthlaq dibawa ke yang muqayyad.Maka yang
muqayyad dijadikan sebagai penjelas bagi yanng muthlaq.Jadi darah yang
mengalir itu hukumnya haram.Sedang hati dan limpa tidak haram jika
dimakan.
2. Berbeda hukum atau sebab menurut Abu Hanifah yang muthlaq tidak
dibawa kepada muqayyad.Contoh:
Hukum kifarat pembunuhan dengantidak sengaja ( kekeliruan ) ialah
ير ر قبة مؤ منةفتحرdanhukum kifarat dzihar فتحر ير ر قبةialah kedua
hukumnaya sama yaitu memerdekakan budak,tetapi sebabnya berbeda
yaitu membunuh dengan tidak sengaja ( kekeliruan ) dan dzihar.
3. Berbeda hukum sama sebab, tidak dibawa yang muthlaq kepada muqayyad
kecuali ada dalil yang lain.Contohnya :
hukum berwudhu dan tayamum. Pada wudhu tangan wajib dibasuh sampai
siku ( Q.S. Al-Maidah : 6 ) sedangkan tayamum tidak diterangkan sampai
ke siku atau muthlaq (Q.S. An-Nisaa: 43 ).Disini sebanya sama yaitu
bersuci tetapi hukumnya berbeda yaitu membasuh tangan pada saat wudhu
sampai ke siku dan menyapu tangan saat tayamum.
4. Berbeda sebab dan berbeda hukum.Contoh :
Hukum potong tangan ( Q.S. Al-Maidah : 38 ) dan hukum mebasuh tangan
( Q.S. Al-Maidah : 6 ).Sebabnya juga berbeda yaitu yang pertama karena
mencuri dan yang kedua karena bersuci ( wudhu ).
Pengertian Manthuq
Manthuq adalah makna lahir yang tersurat ( eksplisit ) yang tidak mengandung
kemungkinan pengertian ke makna yang lain.
“ Penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa
yang disebut dalam lafadz itu “.
Defini tersebut mengandung arti bahwa bila kita memahami suatu hukum
menurut apa yang tersurat secara jelas dalam lafadz itu,maka pemahaman tersebutlah
yang disebut dengan Manthuq.3
Pembagian Manthuq
1. Manthuq Sharih ( ) المنو ق الصر يحyaitu manthuq yang petunjukannya terhadap
hukum muncul dari istilah lengkap yang resmi digunakan.Manthuq Sharih sering
disebut Ibarat Nash dalam kalangan Hanafiyah.
2. Manthuq Ghairu Sharih ( ) المنطو ق غير الصر يحyaitu mantuq yang penunjukannya
tidak muncul dari istilah yang resmi,tetapi dari kelazimannya.
3. Nash ialah lafadz yang bentuknya sendiri tidak jelas maknanya.Contoh :
3
Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,Prof.Dr. Amin Syarifuddin,hlm 121
فصيا م ثلثة ايا م فى الحج و سبعة اد ا ر جعتم تلك عشر ة كا ملة
“ Maka ( wajib ) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari ( lagi ) apabila
kamu telah kembali pulang, itulah sepuluh ( hari ) yang sempurna.” ( Q.S. Al-
Baqarah: 196 )
Penyifatan “ sepuluh “ dengan “ sempurna “ telah mematahkan kemungkinan
kata “sepuluh” itu diartikan secara majaz (kiasan).Inilah yang disebut nash.
4. Zahir ialah lafadz yang maknanya segera dipahami ketika diucapkan tetapi masih
ada kemungkinan makna makna lain yang lemah ( marjuh ).Contoh :
و ال تقر بو هن حتى يطهر ن
“ Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci.”( Q.S. Al-
Baqarah : 222)
Berhenti dari haid dinamakan suci ( tuhr ),berwudhu dan mandi pun disebut
“tuhr”.Namun penunjukan kata”tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih
tepat,jelas (zahir) sehingga makna yang rajih (kuat),sedangkan penunjukan kepada
makna yang pertama (berhenti haid) adalah marjuh (lemah).
5. Mu’awwal adalah lafadz yang diartikan dengan mkana marjuh karena ada sesuatu
dalil yang menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih.
6. Dalalah Iqtida’/ Iqtida’i Nass adalah kebenaran petunjuk lafadz kepada makna
yang tepat tapi bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan.Contoh:
حر مت عليكم امهتكم
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”(Q.S An-Nissa: 23)
Ayat tersebut memerlukan adanya kata yang tidak disebutkan,yaitu kata
“bersenggama”,sehingga makna uang tepat adalah “diharamkanatas kamu
(bersenggama) dengan ibu-ibumu.”
7. Dalah Isyaroh adalah kebenaran petunjuk lafadz kepada makna yangtepat
berdasarkan isyarat lafadz.
Pengertian Mafhum
Mafhum adalah makna yang ditunjukan oleh lafadz tidak berdasarkan pada
bunyi ucapan yang tersurat,melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.
د ال لة اللفظ فى محل النطق على ثبو ت حكم ما د كر لما سكت عليه او على نفي الحكم عنه
“Penunjukan lafadz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang
disebutkan terhadap apa yanng tidak disebutkan, atau tidak berlakunya hukum
itu.”
Pembagian Mafhum
1. Bila hukum yang dipahami itu bersamaan dengan hukum yang secara jelas
disebutkan mafhum yang kemudian disebut sebgai mafhum muwafaqah
( ) المفهو م المو افقة.Mafhum muwafaqah dibagi menjadi 2,yaitu:
a. Mafhum Awali () فحر الخطا ب,yaitu hukum yang berlaku pada yang tidak
disebutkan lebih kuat daripada yang disebutkan.
b. Mafhum Musawi ( ) لحن الخطا بyaitu bila hukum yang berlaku pada yang
disebutkan sama kekuatannya dengan yang disebutkan.
2. Bila hukum yang tidak disebutkan berlawanan dengan hukum yang
disebutkan,mafhum ini disebut mafhum mukhalafah () المفهو م المخا لفةdisebut juga د
ليل الخطا ب.Mafhum mukhalafah terjadi bila hukum yang disebutkan disertai suatu
qaid baik dalam bentuk sifat,syarat,bilangan,batas watu, atau sebutan tertentu
(laqab).Menurut Jumhur ulama syarat-syarat berdalil dengan mafhum mukhalafah
selain dengan mafhum laqab adalah:
a. Mafhum mukhalafah tidak bertentangan dengan dalil manthuq.
b. Hukum yang disebutkan dalam manthuq tidak disebutkan sekadar merangsang
keinginan.
c. Hukum yang terdapat dalam manthuq tidak merupakan jawaban atas
pertanyan yang menyangkut hukum
d. Manthuq bukan dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku.
e. Dalil manthuq tidak disebutkan secra terpisah.
Lafaz dilihat dari kejelasan maknanya
Kalangan Hanafiyah sebagaimana dijelaskan oleh Adib Shalih yang dikutip oleh
Satria Effendi mengelompokkan lafaz dari segi kejelasan maknanya (dalalahnya) menjadi dua
macam. Pertama, lafaz yang artinya jelas meliputi empat tingkatan yaitu : zahir, nas,
mufassar,dan muhkam. Kedua, lafaz yang maknanya tidak jelas yang meliputi emoat
tingkatan juga yaitu : khafi, musykil,mujmal, dan mutasyabih.
Makna zahir dari ayat di atas yang secara cepat dapat ditangkap
pemahamannya adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Kata halal
dan haram telah jelas arti dan maksudnya tanpa membutuhkan qarinah dari
luar. Tetapi bukan makna itu yang menjadi tujuan utama dari konteks ayat
di atas. Tujuan utamanya atau makna nasnya adalah perbedaan antara jual
beli dan riba, karena ayat ini turun sebagai bantahan bagi orang musyrik
yang mengatakan bahwa jual beli itu sama dengan riba. Hukum yang jelas
(zahir) dimungkinkan akan menerima ta'wil (memalingkan dari makna
zahir-nya) mungkin juga menerima takhsis juga bisa menerima nasakh
(penghapusan hukum).
Artinya: tangan Allah di atas tangan mereka ... (QS. al-Fath/48: 10)
2. Nas
Secara bahasa arti nas berarti al-zuhur (jelas). Secara istilah, nas
bisa memiliki dua pengertian yaitu pengertian umum dan pengertian
khusus. Pengertian pertama sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafi'i,
nas adalah teks al-Qur’an dan hadis Rasulullah baik yang tegas maupun
yang tidak tegas. Berdasarkan pengertian ini, maka istilah nas
diperuntukkan untuk al-Qur'an dan hadis. Nas dalam pengertian kedua
(khusus), dan pengertian kedua inilah yang akan menjadi pokok
pembahasan, yaitu lafaz yang menunjukkan arti yang asli yang muncul
dari lafaz itu secara jelas, tidak mungkin mengandung makna lain,
pengertiannya cepat ditangkap ketika mendengar lafaz itu. Seperti kata
sepuluh (asyaratun) dalam ayat berikut ini:
َ ْ ج ع ْ ت ُ ْم ۗ ت ِّ ل
ٌ ك ع َ ش َ َر ة َ ص ي َ ا م ُ ث َ َال ث َ ةِّ أ َي َّا ٍم ف ِّ ي ال ْ َح ج ِّ َو س َ ب ْ ع َ ةٍ إ ِّ ذ َ ا َر
ِّ َ ف َ َم ْن ل َ ْم ي َ ِّج د ْ ف. .
َ ْ اض ِّر ي ال ْ َم سْ ِّج ِّد ال
.... ح َر ا ِّم ِّ ح َ ُ ك لِّ َم ْن ل َ ْم ي َ ك ُ ْن أ َ هْ ل ُ ه َ ِّ كَ ا ِّم ل َ ة ٌ ۗ ذ َٰ َ ل
Perbedaan hukum antara jual beli dan riba yang disebut oleh ayat
di atas disebut nas, karena sangat jelas dan mudah dipahami dari bunyi
ayat ini. Ayat ini turun untuk menolak secara tegas perkataan orang kafir
yang mengatakan jual beli itu seperti riba.
Dilihat dari segi dalalahnya nas lebih kuat dibanding dengan zahir,
oleh karena itu jika terjadi pertentangan antara nas dan zahir maka yang
dimenangkan adalah nas untuk diamalkan. Namun demikian, menurut
Abu Zahra bahwa _nas bisa menerima ta’wil sebagaimana zahir dapat
menerima nasakh.
b. Makna nas adalah makna asli yang dikehendaki dari lafaz itu
sedangkan zahir bukan makna yang dikehendaki.
d. Ketika terjadi pertentangan antara nas dan zahir maka harus kembali
kepada makna nas.
3. Mufassar
4. Muhkam
o Tingkat Kehujahan
Yaitu lafaz yang maknanya jelas akan tetapi ketika diterapkan kepada
kasus tertentu menimbulkan ketidakjelasan. Untuk menghilangkan
ketidakjelasan itu dibutuhkan pemikiran dan analisis. Lawan dari khafi
adalah zahir.
ً َ َّار ق َ ة ُ ف َ ا ق ْ ط َ ع ُ وا أ َي ْ دِّ ي َ ه ُ َم ا َج َز ا ًء ب ِّ َم ا ك َ س َ ب َ ا ن َ ك
اال ِّم َن َّللاَّ ِّ ۗ َو َّللاَّ ُ عَ ِّز ي ٌز ُ ار
ِّ ق َو ال س ِّ َّ َو ال س
ٌ َح ِّك ي م
Makna “saariq” pada ayat di atas sudah jelas adalah pencuri yang
mengambil harta orang lain dengan cara sembunyi di tempat yang layak.
Namun ketika kata “saariq” diterapkan kepada pencopet maka muncullah
ketidakjelasan, apakah pencopet yang dengan keterampilannya mampu
melalaikan orang lain sehingga ia mampu mengambil hartanya, maka apakah
pencopet yang seperti itu dapat dimasukkan ke dalam istilah pencuri yang
harus dipotong tangannya atau tidak, atau hanya di-ta'zir? Untuk
memecahkan masalah ini, maka dibutuhkan ijtihad. Menurut Abdul Wahab
Khallaf, berdasarkan ijtihad Yang didasari oleh dalalah nas disepakati bahwa
hukum pencopet harus dipotong tangannya seperti pencuri karena illat untuk
memotong tangan pencopet sudah terpenuhi sebagaimana pencuri.
2. Musykil
Musykil adalah lafaz yang tidak menunjukkan makna yang jelas maka
diperlukan qarinah (indikator) dari luar untuk menjelaskan maksudnya.
Musykil merupakan lawan dari nas.
ِّ ُ ص َن ب ِّ أ َن ْ ف
...ۚ س ِّه َّن ث َ َال ث َ ة َ ق ُ ُر و ٍء ُ َو ال ْ ُم ط َ ل َّ ق َ ا
ْ َّ ت ي َ ت َ َر ب
Kata “quru’” pada ayat di atas memiliki dua makna yang berbeda
yaitu suci dan haid. Kemudian timbul pertanyaan, makna apa yang dimaksud
dari kedua makna tersebut? Imam Hanafi dan Hambali mengartikannya
dengan haid. Adapun imam Syafi’i dan Maliki mengartikannya dengan suci.
Masing-masing kelompok memiliki argumentasi. Imam Hanafi dan Hambali
mendasari pendapatnya di antaraya dengan hadis Nabi, artinya “bahwa
iddahnya seorang hamba sahaya perempuan itu dua kali haid.” Menurutnya
tidak ada perbedaan antara perempuan hamba sahaya dan orang merdeka
tentang iddah. Artinya pada hadis tersebut Nabi menyebut masa iddah hamba
sahaya itu dengan dua kali haid bukan dengan dua kali sucian, ketentuan ini
juga berlaku untuk perempuan merdeka. Dengan demikian, quru pada ayat di
atas artinya haid bukan suci. Adapun Imam Syafi'i dan Maliki mendasarkan
pendapatnya lebih kepada argumentasi kebahasaanl yaitu keharusan
memuannaskan adad (bilangan) yang berbentuk mux zakkar. Maka setelah
kata “tsalaasatu” (muannas) mengharuskan kata setelahnya adalah muzakkar,
sesuai kaidah bahasa. Maka atas dasaritu' menurut keduanya yang tepat, kata
quru’ diposisikan dengan kata mm zakkar dan kata yang muzakkar itu adalah
kata “tuhrun” bukan kata “haidatun”. Dengan demikian, maka iddah
perempuan yang dicerai oleh suaminya dalam tiga kali suci."
3. Mujmal
a. Lafaz yang disebut secara bahasa tetapi yang dikehendaki adalah "
makna syariat secara khusus, misalnya perintah shalat dalam
alQur'an. Kata shalat membutuhkan penjelasan khusus terkait
dengan rukun, syarat, dan caranya, maka kemudian dijelaskan oleh
hadis Nabi.
b. Lafaz yang gharib (asing) seperti kata “al-Qaariah”. Dalam alv
Qur'an surat al-Qaariah/ 101 ayat l yang kemudian kata itu div
jelaskan oleh Allah sendiri pada ayat selanjutnya.
Contoh: perintah tentang shalat, puasa, zakat, dan haji. Semuanya dijelaskan
secara bertahap dan mendetail. Tidak langsung dijelas' kan tetapi
penjelasannya diakhirkan.
4. Mutasyabih
Mutasyabih adalah lafaz yang tidak jelas maknanya dan tidak ada
indikator dari luar yang menjelaskan maknanya. Yang mengetahui
hakikatnya hanyalah pembuat syariat yaitu Allah SWT.
a. Menurut Ibnu Hazm sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Zahra bahwa tidak
ada lafaz mutasyabih dalam al-Qur’an kecuali huruf-huruf tertentu seperti
“Alif laam miim”, sumpah (qasam) Allah seperti kata “wa al-syamsi” (demi
matahari), dan sebagainya.
b. 'Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka sepakat dengan apa Yang
dikemukakan oleh Ibnu Hazm di atas namun menurut pendapat kedua ini
bukan hanya itu saja lafaz mutasyabih. tetapi juga terdapat pada ayat-ayat
yang mengandung pengertian “keserupaan” antara Allah dengan makhluknya
seperti kata “yadun” dan “ainun” . Pada masing-masing dua ayat yaitu Al-
fath/48 : 10 dan Thaha/20:39
Kata “wajhun” dalam alQur'an surat al-Qashas/28 ayat 88. Kata “wajhun”
pada ayat di atas yang berarti wajah (muka) di-ta'wil dengan zat. Pendapat
kedua yang menegaskan bahwa ayat mutasyabih dapat menerima ta’wil
mendasarkan pendapatnya kepada firman Allah al-Qur'an surat Ali Imran
ayat ketujuh. Menurutnya bahwa orang yang mendalam ilmunya mampu
untuk melakukan ta'wil ayat mutasyabih.
Adapun majaz yaitu lafaz yang digunakan untuk makna selain makna
aslinya karena ada hubungan antara keduanya (makna asli dan bukan asli )
dan terdapat indikator yang tidak mungkin lafaz itu dimaknai secara hakiki
Terkait dengan makna hakiki para ulama membaginya kepada tiga macam :
1. Hakiki bahasa: yaitu lafaz yang menunjukkan makna sesuai dengan
dibentuknya kata itu seperti kata matahari, bulan dan bintang Ketiga nama
makhluk di atas dibuat untuk benda yang memiliki sinar.
2. Hakiki syariat: Yaitu lafaz yang menunjukkan makna yang dikehendaki
oleh syariat, seperti: shalat, haji, zakat, clan puasa. Semua istilah ini dibuat
untuk nama-nama ibadah tertentu yang sudah terkenal.
3. Hakiki urfi, yaitu lafaz yang maknanya dibentuk oleh kebiasaan yang
berlaku. Contoh, mobil digunakan untuk nama alat tranfortasi yang sudah
populer, kata fiqh digunakan oleh ulama fiqh, had dan mahiyah digunakan
oleh ahli mantiq.
Artinya: dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah
(membunuhnya) kecuali dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya) (QS. al-An'am/ 6: 151)
Kata membunuh dalam ayat di atas menghendaki makna hakiki bukan majasi,
yaitu membunuh dalam arti yang sebenarnya, dengan menghilangkan nyawa
seseorang.
Artinya: atau kembali dari tempat buang air (kakus) (QS. al-Maidah/5:6)
Arti hakiki dari kata “al-ghait” pada ayat di atas adalah kakus (tempat buang
air). Tetapi yang dikehendaki bukan makna hakiki melainkan makna majasi dari kata
itu yaitu buang air karena ada qarinah yang menunjukkannya, yaitu jika semata-mata
datang ke kakus tanpa buang air tidaldah membatalkan wudhu.
Hukum yang berlaku bagi makna hakiki dan majasi adalah kaidah
“Apabila suatu kalimat memiliki kemungkinan makna hakiki dan majasi,
maka yang diutamakan adalah makna hakiki kecuali ada indikator yang
mengharuskan kalimat itu bermakna majasi.” Alasannya karena hakiki adalah
makna yang asli sedangkan majasi adalah makna tidak asli (pinjaman), maka
tidak layak mengguna kan makna tidak asli (majasi) jika masih
memungkinkan menggunakan makna hakiki (hakiki).
Contoh;
a. Mendudukkan dua muradif pada tempat yang lain itu diperbolehkan jika
tidak ada ketetapan syara.
b. Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk
beberapa maknanya itu diperbolehkan.