QOIDAH KETIGA:
KESULITAN DAPAT MENARIK KEMUDAHAN
Qoidah ini merupakan salah satu dari lima qoidah pokok yang
mendasari fiqih islam. Adapun kelima qoidah pokok tersebut adalah:
1. Setiap perkara tergantung maksudnya
2. Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
3. Kesulitan dapat menarik kemudahan
4. Bahaya harus dihilangkan
5. Adat (kebudayaan) yang dijadikan hukum
Qoidah pertama dan kedua telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Maka pembahasan sekarang adalah mengenai qoidah yang ketiga, yaitu
“kesulitan dapat menarik kemudahan”.
berlaku bagi Bani Israil dalam Taurat seperti keharusan memotong kulit
yang terkena kencing; pengharaman kambing dan berbagai amalan wajib
lainnya telah dihapus oleh hukum Alqur’an8.
dan qodar Allah yang baik maupun buruk, adalah aqidah yang paling
benar dan mampu menenangkan hati. Akhlaq dan amalan dalam Islam
adalah yang paling sempurna, di mana sebaik-baik amal adalah
menyeimbangkan amalan agama, dunia dan akherat. Setiap amalan dalam
islam kesemuanya adalah mudah, dan setiap mukallaf mengetahui bahwa
dirinya mampu melaksanakannya, tanpa kesulitan dan keterpaksaan.
Aqidah islam merupakan aqidah yang mudah diterima akal dan fitrah.
Selain semua hal tersebut, syari’at islam yang dilaksanakan untuk
memenuhi hak Allah dan hak hambanya secara esensi adalah penuh
kemudahan, sebagaimana dinyatakan Allah: “Allah menghendaki
kemudahan atas diri kalian dan tidak menghendaki kesulitan”12. Oleh sebab itu,
jika seorang hamba menderita sakit, sedang bepergian atau hal yang lain,
maka berlaku keringanan hukum baginya dan gugurlah sebagian
kewajiban-kewajibannya. Segala puji bagi Allah yang menjadikan agama
ini penuh kemudahan dari seluruh aspeknya, dan menjaga pemeluknya
untuk mengamalkannya dari hal-hal yang memberatkan.
Hadis berikutnya juga diriwayatkan oleh Bukhori dari anas bin Malik
r.a. dari Nabi SAW. Bersabda: “Mudahkanlah dan janganlah mempersulit,
berilah kegembiraan bukan kebencian”. Nash hadis ini menunjukkan adanya
keringanan dan menyingkirkan masyaqoh dalam hukum islam.
Pembahasan ini tidak berhenti pada batasan keringanan semata, bahkan
rasulullah sendiri banyak meninggalkan perkara yang diperintahkan
karena khawatir menimbulkan masyaqoh pada umatnya, serta
memperintahkan umatnya untuk meringankan dan mencegah manusia
dari kesulitan.
Demikian pula sabda Nabi SAW.: “Jika tidak khawatir memberatkan kaum
mu’min maka niscaya aku wajjibkan kepada umatku untuk bersiwak setiap
hendak melaksanakan sholat”13. Dalam penjelasan hadis ini, Al-Dahluwy
berkata bahwa makna hadis ini adalah jika nabi tidak khawatir
memberikan beban dan kesulitan niscaya nabi mewajibkan siwak sebelum
melaksanakan sholat sebagaimana wudhu’.
Hadis-hadis yang menjelaskan qoidah ini sungguh sangat banyak
sekali. Kesemua hadis tersebut merupakan dalil yang jelas bahwa
perbuatan nabi termasuk batasan syar’i, dan menghilangkan kesulitan
dalam beragama yang dibangun berdasarkan hadis tersebut adalah
termasuk syari’at agama pula. Secara umum hadis-hadis tersebut
merumuskan tiga hal utama, yaitu:
Faedah Kedua
Sesungguhnya maksud syari’ menghilangkan masyaqoh adalah karena
kesulitan yang menimpa mukallaf dalam melaksanakan perintah dapat
menyebabkan kerusakan agama dan kerusakan duniawi, demikian jika
masyaqoh tidak terdapat satu dalil pun yang membahasnya atau berbeda
dengan apa yang diungkapkan nash, maka masyaqoh tersebut ditolak14.
Dalam hal ini masyaqoh yang ada tidak harus memenuhi tingkat
keterpaksaan, akan tetapi cukup pada tingkat timbulnya kesulitan dan
kesusahan yang sangat membutuhkan kemudahan dan keringanan dalam
melaksanakan perkara tersebut. Pada kasus tersebut belaku qoidah “Hajat itu
terbatasi pada tingkat dharurat”.
Faedah Ketiga
Jika Syari’ tidak menginginkan adanya masyaqoh dalam perintahnya, maka
bagaiamana menjelaskan maksud syari’ berkaitan dengan adanya beban berat
dan masyaqoh atas mukallaf?
Jawaban pertanyaan tersebut adalah bahwa memang terdapat beban
dan kesulitan dalam perintah syari’ tetapi harus dibedakan antara kesulitan
yang tidak dianggap sebagai masyaqoh, dan kesulitan yang dianggap sebagai
masyaqoh. Jika suatu perbuatan itu sudah menjadi keharusan dan rutinitas
seperti makan; minum; dan pekerjaan rumah tangga lainnya maka hal itu
tidak dianggap sebagai masyaqoh walupun dalam pelaksanaannya
menemukan beban yang cukup berat.
Dapat ditegaskan bahwa adanya masyaqoh dalam perintah syari’
tidaklah dimaksudkan untuk membebani semata, akan tetapi masyaqoh
tersebut justru menumbuhkan kemaslahatan pada diri mukallaf baik dalam
waktu seketika itu maupun untuk masa yang akan datang. Maka dapat
dipahami bahwa syari’ tidak bermaksud memasukkan masyaqoh atas diri
mukallaf baik dalam perintahnya maupun larangannya. Justru maksud syari’
adalah untuk menarik kemaslahatan dan menolak keburukan. Semua
perintah Allah bertujuan untuk mewujudkan kebaikan hambanya, maka
masyaqoh yang mungkin dialaminya ketika melaksanakan perintah adalah
masyaqoh yang ringan sehingga tidak berlaku qoidah al-Masyaqoh tajlib al-
Taisir ini, berdasarkan ayat “Allah menghendaki kemudahan atas diri kalian dan
tidak menghendaki kesulitan”.
2. Macam Rukhshoh
Para Fuqoha’ menyatakan bahwa macam rukhshoh ada 7 macam,
yaitu :
17
a) Rukhshoh Isqoth.
3. Pembagian Rukhshoh
Para fuqoha’ membagi rukhshoh menjadi lima bagian, yaitu:
a) Rukhshoh yang wajib dilakukan, seperti memakan bangkai karena
terpaksa, membatalkan puasa karena rasa haus dan lapar yang sangat
walaupun ia tidak bepergian karena takut merusak kesehatan.
b) Rukhshoh yang sunat dilakukan, seperti mengqoshor sholat dalam
perjalanan, berbuka puasa bagi musafir yang kepayahan atau orang
yang sedang sakit, dan kebolehan memandang wanita yang sedang
dipinang.
c) Rukhshoh yang mubah dilakukan, seperti salam.
d) Rukhshoh yang lebih utama dilaksanakan oleh mukallaf, seperti
menjama’, berbuka bagi orang yang terpaksa, dan tayamum ketika
menemukan air di mana harganya lebih mahal dari harga pasaran.
e) Rukhshoh yang makruh dilaksanakan, seperti mengqoshor sholat
ketika melakukan perjalanan kurang dari 3 marhalah (menurt sebagian
Khoirul Himmi Setiawan
18 Ahkam al-Maridh fi fiqh al-Islamy, hal. 38, 63, 69, 74, 79, 91, 96, 129, 154, 158.
19 Nadhriyyah al-Dharuriyyah al-Syar’iyyah hal 86.
Khoirul Himmi Setiawan
lain untuk menghindar, seperti adanya ancaman dari orang lain yang
membahayakan keselamatan dirinya. Misalnya adalah adanya ancaman akan
dibunuh, takut akan dipotong anggota tubuh atau hukuman yang sangat
berat jika tidak mau melaksanakan perbuatan yang diperintahkan orang
tersebut seperti mengucapkan kalimat kufur secara lisan namun tetap teguh
beriman dalam hati; menghina nabi muhammad secara lisan namun
bersholawat kepada beliau dalam hati; atau menyembah kepada salib dan
berhala dan lain-lain.
Semua hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan
secara mutlak, tetapi secara dhohir dibolehkan ketika seseorang dalam
kondisi terpaksa (ikroh), artinya melaksanakannya tidak diperbolehkan tetapi
hanya sekedar mencegah tanggung jawab dan menghilangkan dosa.20
20 Al-Muwafaqoth, Imam Suyuthi, Jilid I/220; al-Asybah wa al-Nadhair, Imam Suyuthi, hal.
78;79;82 dan lihat juga Bada’I al-Shanaa’I Jilid I/176.
21 Nadhriyah al-Dharuriy al-Syar’iyyah, Hal. 106.
24 Al-Furuq li al-Firaq Jilid II/149, dan al-Qowa’id al-Ushliyyah li Ibn al-Luham, hal. 30.