Anda di halaman 1dari 11

Khoirul Himmi Setiawan

QOIDAH KETIGA:
KESULITAN DAPAT MENARIK KEMUDAHAN

Qoidah ini merupakan salah satu dari lima qoidah pokok yang
mendasari fiqih islam. Adapun kelima qoidah pokok tersebut adalah:
1. Setiap perkara tergantung maksudnya
2. Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
3. Kesulitan dapat menarik kemudahan
4. Bahaya harus dihilangkan
5. Adat (kebudayaan) yang dijadikan hukum
Qoidah pertama dan kedua telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.
Maka pembahasan sekarang adalah mengenai qoidah yang ketiga, yaitu
“kesulitan dapat menarik kemudahan”.

Urgensi dan Posisi Qoidah ini


Qoidah ini merupakan qoidah pokok yang sangat penting yang
diriwayatkan secara mutawatir dari banyak Imam, dimana mereka
mengumpulkannya dalam berbagai kitab fiqih. Aplikasi syari’at yang
diturunkan dari qoidah ini diantaranya dalam masalah ibadah, mu’amalah,
hukum, ketetapan, ahwal syahshiyyah dan bidang lainnya yang menyangkut
hubungan antara manusia dengan penciptanya, maupun hubungan antar
sesama untuk kebahagiaan dunia dan akherat.
Memang benar..., pemikiran tentang keringanan yang berlaku dalam
syariat tidak terlepas dari dua hal, yaitu:
1. Aturan syari’at itu sendiri pada dasarnya bertujuan untuk
memudahkan. Hal ini merupakan perintah syari’at yang umum.
2. Rukhsoh, yaitu adanya keringanan aturan syari’at ketika menemui
suatu halangan maupun kesulitan.
Penjelasan poin pertama menyatakan bahwa setiap perintah, ibadah,
dan syari’at dalam islam selalu memperhatikan fitrah dan kemampuan
manusia. Maka perintah syariat selalu memudahkan bukan memberatkan;
dan tidak pernah membebani umat islam diluar batas kemampuannya
sebagaimana yang digambarkan oleh para orientalis serta orang orang yang
benci dan dendam terhadap islam. Mereka menulis apa yang tidak mereka
ketahui tentang islam dan menunjukkan kebodohan pengetahuan mereka
tentang dasar-dasar syari’at islam. Sesungguhnya mereka semua tidak tahu
bahwa sesungguhnya hukum-hukum syari’at pada hakikatnya mengandung
banyak batasan dan keringanan.. Perintah Allah diturunkan dengan
mempertimbangkan karakteristik manusia, dimana adanya kesulitan akan
membatasinya dan dapat melaksanakan sesuai batas kemampuannya.
Khoirul Himmi Setiawan

Adapun poin kedua mengenai kerunganan yang berlaku dalam


hukum syara’, yaitu suatu hukum yang berlaku bilamana ditemukan udzur
atau halangan yang disebut rukhshoh. Adanya rukhshoh menunjukkan
bahwa islam adalah agama yang mudah dan memberikan kemudahan bagi
pemeluknya. Rukhshoh sendiri dihitung sebagai salah satu Qoidah Umum
dari qoidah-qoidah diniyyah yang utama, dan ditemukan dalam berbagai
aplikasi syari’at baik dalam lingkup aqidah, ibadah, mu’amalah, akhwal
syakhdhiyyah serta bidang syari’at lainnya1.
Berdasarkan fakta tersebut kita mengetahui bahwa syari’at islam
senantiasa berusaha menghilangkan kesulitan pada umatnya, dan
didalamnya tidak terdapat hukum yang mewajibkan sesuatu yang berat
diluar batas kemampuan manusia. Berangkat dari sini para fuqoha’ ber-
istinbath untuk merumuskan suatu qoidah yang berguna untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan hukum dan ketetapannya dengan
berdasarkan pada qoidah ini.
Untuk lebih memahami ruang lingkup qoidah ini dalam fiqih islam,
berikut ini akan dijelaskan pengerian qoidah secara bahasa dan isltilah, dalil-
dalil beserta contohnya, pembagian, serta cabang qoidah yang diturunkan
darinya.

Pengertian Qoidah dan Penjelasannya


Kata al-Masyaqoh merupakan bentik masdar dari kata syaqqa atau
masyaaq; masyaqqot dalam bentuk jamak, diartikan sebagai “kesulitan yang
keluar dari kebiasaan yang berlaku”2. Kata tersebut ditemukan dalam firman
Allah: “dan binatang-binatang itu membawa bebanmu menuju negeri yang
tidak dapat kamu capai kecuali dengan kesulitan (susah payah)”3.
Kata al-Taisir secara bahsa berarti mudah dan lemah lembut. Adapun
pengertian bahasa yang umum dalam qoidah ini diartikan “kesulitan itu
menjadi alasan munculnya kemudahan”. Sedangkan pengertian secara istilah
adalah bahwa hukum syari’at yang berlaku, apabila dalam pelaksanaanya
terdapat kesusahan kesulitan bagi diri atau harta benda mukallaf, maka
syari’at memberikan keringanan untuk melaksanakan sesuai dengan batas
kemampuan mukallaf tanpa adanya kesulitan mapun kesusahan. Pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa kesulitan yang ditemukan oleh mukallaf
dalam melaksanakan perintah syara’ menjadi sebab syar’i adanya kemudahan
baginya.

1 Lihat: al-Muwafaqaat li al-Syatiby, Juz II/ 86.


2 Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, hal. 396 dan Mu’jam Lughat al-Fuqoha’, hal. 431.
3 Surat al-Nahl, ayat: 7.
Khoirul Himmi Setiawan

Dalil-Dalil Syar’i Qoidah Ini


Terdapat banyak ayat Alqur’an dan Hadist nabi yang menolak
kesulitan, berlakunya rukhshoh, serta ijma’ tentang tidak adanya perintah
yang memberatkan dan menyulitkan, yang mendukung qoidah ini. Dalil-dalil
tersebut diantaranya:
1. Dalil-Dalil dari Alqur’an al-Karim
Dalam surat al-Baqarah ayat 185 Allah berfirman: “Allah menghendaki
kemudahan atas diri kalian dan tidak menghendaki kesulitan”. Imam Jalaluddin
al-Suyuthi menyatakan bahwa ayat ini merupakan asal munculnya qoidah
utama yang mendasari banyak qoidah cabang, yaitu: “al-masyaqoh tajlib al-
taisir” yang merupakan salah satu dari lima qoidah utama yang
merupakan pondasi bangunan fiqih islam dan banyak qoidah cabang.4
Ayat berikutnya adalah “Allah tidak memberikan beban kepada manusia
kecuali sesuai kemampuannya, baginya pahala atas atas apa dikerjakannya dan
kepadanya dosa atas apa yang dikerjakannya pula, Ya.. Tuhan kami, janganlah
engkau siksa kami jika kami lupa atau bersalah, Ya..Tuhan kami, janganlah
engkau bebankan sesuatu yang tidak mampu kami tanggung”5.
Syaikh Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam ayat ini terkandung
pengertian bahwa setiap perintah dan larangan adalah sesuai dengan
kemampuan manusia, dan Allah tidak pernah memerintahkan sesuatu
diluar batas kemampuan manusia. Dengan demikian telah jelas bagi
orang-orang yang berpikir sebaliknya (orientalis-red)..., bahwa dari firman
Allah “Kecuali sesuai betas kemampuannya” menunjukkan bahwa setiap
perintah Allah berlaku bagi kondisi lapang dan mudah bukan pada
kondisi kesusahan dan kesulitan. Ayat tersebut memberikan garansi
bahwa setiap perintah Allah telah dipertimbangkan tanpa kesulitan dan
kesusahan dalam implementasinya6.
Ayat selanjutnya adalah: “Orang-orang yang mengikuti Rosul, Nabi yang
ummi, yang (namanya) mereka temukan termaktub dalam taurat dan injil, dia
menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran; mengahalalkan makanan
yang baik dan mengahramkan hal yang keji; serta melepaskan beban yang
memberatkan (menyusahkan mereka). Maka orang-orang yang beriman
kepadanya; menguatkan dan menolongnya; mengikuti cahaya (alqur’an) yang
diturunkan kepadanya; mereka itulah orang-orang yang beruntung”7
Ibnu Jarir al-Thabary menyatakan bahwa nabi yang ummi (nabi
Muhammad) telah menghilangkan perintah Allah yang sangat berat yang

4 Al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil, Imam Suyuthi Hal. 41.


5 Al-Baqarah, ayat 286.
6 Fataw Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, Jilid XIV/ 137-138.

7 Al-A’raaf ayat: 157.


Khoirul Himmi Setiawan

berlaku bagi Bani Israil dalam Taurat seperti keharusan memotong kulit
yang terkena kencing; pengharaman kambing dan berbagai amalan wajib
lainnya telah dihapus oleh hukum Alqur’an8.

2. Dalil-Dalil dari Sunah Nabawiyyah


Kita dapat menemukan banyak hadis yang menjelaskan atau
mengisyaratkan pengertian qoidah ini. Rasulullah memberi karakteristik
Islam sebagai agama yang lurus lagi lemah lembut, berdasarkan riwayat
dalam shohih Bukhori berikut ini: Rasulullah SAW ditanya: Agama
manakah yang lebih dicintai oleh Allah? Rasul bersabda: Agama yang
lurus lagi lemah lembut9. Imam Suyuthi menyatakan bahwa agama Islam
dikatakan lurus lagi lemah lembut karena di dalam syaritnyanya penuh
kemudahan.
Imam Bukhori meriwayatkan dalam Shohihnya dari Abu Hurairah
bahwa Nabi SAW. Bersabda: “sesungguhnya agama itu mudah dan janganlah
seseorang mempersulit diri dalam beragama, maka luruskanlah, tolong
menolonglah untuk hari esok, dan berikan kegembiraan”10. Ibnu Hajar
mengungkapkan bahwa Agama Islam dikatakan sebagai agama yang
mudah didasarkan atas agama-agama terdahulu, di mana Allah
menghilangkan berbagai kesulitan dari syari’at agama terdahulu. Sebagai
gambaran adalah bahwa taubatnya umat terdahulu adalah dengan
membunuh diri mereka sendiri, sedangkan taubatnya umat muhammad
adalah dengan menghindari dan menghentikan perbuatan tersebut, niat
yang kuat tidak mengulangi kesalahan serta penyesalan yang sangat.11
Islam menyebutkan bahwa jika sesorang berbuat dosa kemudian
menghentikan, menghindari dan menyesali perbuatan tersebut, maka
Allah akan mengampuni dosanya sebagaimana dijanjikan Allah dalam
surat al-Nisa’ ayat 110: “Barang siapa berbuat keburukan atau mendzalimi diri
mereka sendiri kemudian memohon ampunan kepada Allah SWT, maka dia akan
menemukan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Terkait dengan hadis riwayat bukhori tersebut, Syaikh Abdul Rahman
bin Sa’dy menyatakan bahwa hadis ini begitu penting. Rasulullah
memulai hadis ini dengan kata “sesungguhnya agama islam itu mudah”, atau
dimudahkan dalam qoidahnya; aqidahnya; akhlaqnya; amalannya;
maupun dalam perintah dan larangannya. Aqidah islam yang merujuk
keimanan kepada Allah; malaikat; kitab-kitab Allah; para rasul; hari akhir

8 Tafsir al-Thabary, Jilid XIII/168.


9 Fath al-Bary I/93, lihat juga: Majmu’ al-Muhadzdzab fi qowa’id al-Madzhab, karangan Al-
Ala’I, hal 29, lihat pula: Qowa’id al-Fiqhiyyah karangan al-Nadwy, hal. 267.
10 Shohih Bukhori hal. 93

11 Fath al-Bary Jilid I/ 93-94, hadis no. 39 dari BAB Iman.


Khoirul Himmi Setiawan

dan qodar Allah yang baik maupun buruk, adalah aqidah yang paling
benar dan mampu menenangkan hati. Akhlaq dan amalan dalam Islam
adalah yang paling sempurna, di mana sebaik-baik amal adalah
menyeimbangkan amalan agama, dunia dan akherat. Setiap amalan dalam
islam kesemuanya adalah mudah, dan setiap mukallaf mengetahui bahwa
dirinya mampu melaksanakannya, tanpa kesulitan dan keterpaksaan.
Aqidah islam merupakan aqidah yang mudah diterima akal dan fitrah.
Selain semua hal tersebut, syari’at islam yang dilaksanakan untuk
memenuhi hak Allah dan hak hambanya secara esensi adalah penuh
kemudahan, sebagaimana dinyatakan Allah: “Allah menghendaki
kemudahan atas diri kalian dan tidak menghendaki kesulitan”12. Oleh sebab itu,
jika seorang hamba menderita sakit, sedang bepergian atau hal yang lain,
maka berlaku keringanan hukum baginya dan gugurlah sebagian
kewajiban-kewajibannya. Segala puji bagi Allah yang menjadikan agama
ini penuh kemudahan dari seluruh aspeknya, dan menjaga pemeluknya
untuk mengamalkannya dari hal-hal yang memberatkan.
Hadis berikutnya juga diriwayatkan oleh Bukhori dari anas bin Malik
r.a. dari Nabi SAW. Bersabda: “Mudahkanlah dan janganlah mempersulit,
berilah kegembiraan bukan kebencian”. Nash hadis ini menunjukkan adanya
keringanan dan menyingkirkan masyaqoh dalam hukum islam.
Pembahasan ini tidak berhenti pada batasan keringanan semata, bahkan
rasulullah sendiri banyak meninggalkan perkara yang diperintahkan
karena khawatir menimbulkan masyaqoh pada umatnya, serta
memperintahkan umatnya untuk meringankan dan mencegah manusia
dari kesulitan.
Demikian pula sabda Nabi SAW.: “Jika tidak khawatir memberatkan kaum
mu’min maka niscaya aku wajjibkan kepada umatku untuk bersiwak setiap
hendak melaksanakan sholat”13. Dalam penjelasan hadis ini, Al-Dahluwy
berkata bahwa makna hadis ini adalah jika nabi tidak khawatir
memberikan beban dan kesulitan niscaya nabi mewajibkan siwak sebelum
melaksanakan sholat sebagaimana wudhu’.
Hadis-hadis yang menjelaskan qoidah ini sungguh sangat banyak
sekali. Kesemua hadis tersebut merupakan dalil yang jelas bahwa
perbuatan nabi termasuk batasan syar’i, dan menghilangkan kesulitan
dalam beragama yang dibangun berdasarkan hadis tersebut adalah
termasuk syari’at agama pula. Secara umum hadis-hadis tersebut
merumuskan tiga hal utama, yaitu:

12 Surat al-Nisa’ ayat 110.


13 Shohih Muslim yang disyarahi oleh Nawawi, Jilid III/143.
Khoirul Himmi Setiawan

a) Sebagian besar mengandung kemudahan dalan agama dan


menghilangkan kesulitan atas diri umat.
b) Sebagian berikutnya mengandung perintah nabi tentang
keringanan dan mencegah dari memberatkan manusia.
c) Sebagian sisanya menjelaskan tentang perkara yang ditinggalkan
oleh Rasulullah karena khawatir memberatkan umatnya.
3. Diberlakukannya Rukhsoh sebagai petunjuk qoidah ini
Memang benar bahwa sebagian petunjuk (dalil) eksistensi qoidah ini
adalah adanya rukhshoh, seperti qoshor dan tidak berpuasa, jama’,
melakukan hal yang diharamkan karena terpaksa, serta seluruh rukhshoh
syara’ dan keringanan yang berasal dari qoidah ini menunjukkan secara
pasti akan kewajiban berlemah lembut dan memudahkan dalam masalah
hukum syara’.

4. Dalil Ijmak tentang tidak adanya perintah yang memberatkan.


Sesungguhnya ijma’ tentang tidak adanya perintah yang memberatkan
menunjukkan tidak adanya tujuan syari’ (Allah) untuk membebani
umatnya, walaupun dalam kenyatannya keadaan tersebut justru
bertentangan dan berbeda dengan kondisi normal, di mana seharusnya
hal itu dilarang. Jika Allah mewajibkan sesuatu maka hal itu dapat
dilepaskan dengan sebab adanya kesulitan dan masyaqoh. Hal itu
ditetapkan dengan tujuan memudahkan.

Faedah-Faedah yang Penting


Faedah yang Pertama:
Apakah kekuatan masyaqoh yang mampu menarik kemudahan? Dan apakah
kekuatan kemudahan yang dimaksud dalam qoidah ini?
Jawaban dari pertanyaan tersebut bahwa masyaqoh dibedakan
menjadi dua: pembagian yang pertama, yaitu masyaqoh yang tidak
meniadakan ibadah secara umum seperti masyaqoh dingin pada wudhu dan
mandi; masyaqohnya puasa dalam keadaan panas yang sangat dan siang
yang terlalu lama; masyaqohnya bepergian yang tidak dapat ditinggalkan
untuk haji dan jihad; masyaqoh ijtihad dalam mencari ilmu dan
perjalanannya; masyaqohnya hukuman rajam pada pezinaan. Semua contoh
masyaqoh tersebut tidak dapat menggugurkan ibadah dalam tiap-tiap
masanya dan tidak pula mencegahnya serta tidak mungkin melepaskan
perintah yang berlaku.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa massyaqoh jenis ini tidak dapat
melepaskan perintah dan tidak diwajibkan adanya takhfif (keringanan),
karena takhfif tersebut dapat disalahgunakan.
Khoirul Himmi Setiawan

Pembagian yang kedua, yaitu masyaqoh yang dapat melepaskan


ibadah secara umum, yang dibedakan menjadi beberapa tingkatan:
a) Tingkatan Awal
Yaitu masyaqoh yang besar seperti rasa takut akan keselamatan jiwa
dan fungsi anggota badan. Maka masyaqoh ini termasuk yang
diperbolehkan mendapatkan rukhshoh dan keringanan berdasarkan
qoidah ini (al-Masyaqoh tajlib al-Taisir).
b) Tingkatan Kedua
Yaitu masyaqoh ringan, seperti sakit pada jari tangan; atau sakit
kepala dan penyakit ringan lainnya, maka hal itu tidak ada
pengaruhnya sama sekali serta tidak ada keringanan terhadapnya
karena tercapainya kemaslahatan ibadah lebih utama daripada
sekedar menolak mafsadah akibat sakit tersebut.
Jadi, masyaqoh yang diterima dalam qoidah ini adalah masyaqoh yang
berbeda secara esensi dengan maksud utama penerapan hukum tersebut.
Banyak hukum syara’ dimana maslahatnya justru ada pada masyaqoh yang
menimpa pelakunya seperti qishosh; hudud; mencari ilmu dan perjalanan
menggapainya serta kesabaran menempuhnya. Contoh masyaqoh tersebut
tidak termasuk mendapat keringanan dan kemudahan.

Faedah Kedua
Sesungguhnya maksud syari’ menghilangkan masyaqoh adalah karena
kesulitan yang menimpa mukallaf dalam melaksanakan perintah dapat
menyebabkan kerusakan agama dan kerusakan duniawi, demikian jika
masyaqoh tidak terdapat satu dalil pun yang membahasnya atau berbeda
dengan apa yang diungkapkan nash, maka masyaqoh tersebut ditolak14.
Dalam hal ini masyaqoh yang ada tidak harus memenuhi tingkat
keterpaksaan, akan tetapi cukup pada tingkat timbulnya kesulitan dan
kesusahan yang sangat membutuhkan kemudahan dan keringanan dalam
melaksanakan perkara tersebut. Pada kasus tersebut belaku qoidah “Hajat itu
terbatasi pada tingkat dharurat”.

Faedah Ketiga
Jika Syari’ tidak menginginkan adanya masyaqoh dalam perintahnya, maka
bagaiamana menjelaskan maksud syari’ berkaitan dengan adanya beban berat
dan masyaqoh atas mukallaf?
Jawaban pertanyaan tersebut adalah bahwa memang terdapat beban
dan kesulitan dalam perintah syari’ tetapi harus dibedakan antara kesulitan
yang tidak dianggap sebagai masyaqoh, dan kesulitan yang dianggap sebagai

14 Al-Ashbah wa al-Nadhaair, Ibnu Nujaim hal. 83


Khoirul Himmi Setiawan

masyaqoh. Jika suatu perbuatan itu sudah menjadi keharusan dan rutinitas
seperti makan; minum; dan pekerjaan rumah tangga lainnya maka hal itu
tidak dianggap sebagai masyaqoh walupun dalam pelaksanaannya
menemukan beban yang cukup berat.
Dapat ditegaskan bahwa adanya masyaqoh dalam perintah syari’
tidaklah dimaksudkan untuk membebani semata, akan tetapi masyaqoh
tersebut justru menumbuhkan kemaslahatan pada diri mukallaf baik dalam
waktu seketika itu maupun untuk masa yang akan datang. Maka dapat
dipahami bahwa syari’ tidak bermaksud memasukkan masyaqoh atas diri
mukallaf baik dalam perintahnya maupun larangannya. Justru maksud syari’
adalah untuk menarik kemaslahatan dan menolak keburukan. Semua
perintah Allah bertujuan untuk mewujudkan kebaikan hambanya, maka
masyaqoh yang mungkin dialaminya ketika melaksanakan perintah adalah
masyaqoh yang ringan sehingga tidak berlaku qoidah al-Masyaqoh tajlib al-
Taisir ini, berdasarkan ayat “Allah menghendaki kemudahan atas diri kalian dan
tidak menghendaki kesulitan”.

Faedah Keempat: Rukhshoh


1. Makna rikhshoh secara bahasa dan Istilah
Secara bahasa rukhshoh berarti mudah; lemah lembut; lapang15. Secara
istilah fiqih, rukhshoh berarti dalil yang ditetapkan berlakunya atas udzur
(halangan) untuk melapangkan perkara yang sempit (susah)16. Asal
diberlakuaknnya syari’at didasarkan pada kemudahan dan menghilangkan
kesulitan, maka rukhshoh diberlakukan, karena sebagian hukum dalam
pelaksanaannya menimbulkan kesulitan dan kesusahan diri maupun harta
benda mukallaf, baik disebabkan oleh sakit, fakir ataupun kesulitan lainnya.
Maka syari’at memberikan keringanan hukum dan dapat menggantinya
dengan pelaksanaan sesuai dengan batas kemampuan mukallaf tersebut.
Adapun jenis kemudahan (al-Taisir) yang diperbolehkan beserta macamnya
akan dipaparkan lebih lanjut setelah pembahasan rukhshoh selesai.

2. Macam Rukhshoh
Para Fuqoha’ menyatakan bahwa macam rukhshoh ada 7 macam,
yaitu :
17

a) Rukhshoh Isqoth.

15 Al-ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jilid I/ 131.


16 Ibid, hal. 132, dan Syarh Majalat al-Ahkam al-Adliyyah, Hal. 31.
17 Al-Ashbah wa al-Nadhair, Imam suyuthi, hal. 82 dan Al-Ashbah wa al-Nadhair, Ibnu

Nujaim, hal. 83.


Khoirul Himmi Setiawan

Yaitu rukhshoh yang dapat mengugurkan kewajiban ibadah dengan


adanya udzur. Dapat dicontohkan seperti gugurnya kewajiban sholat sebab
haidh dan nifas, kemudian gugurnya kewajiban haji sebab tidak menemukan
jalan kecuali lautan atau keselamatan yang terancam (tidak istitho’ah), serta
gugurnya kewajiban haji seorang wanita yang tidak menemukan mahram
untuk menemaninya.
b) Rukhshoh Tanqish
Yaitu pengurangan ibadah sebab adanya udzur, seperti qoshor sholat
sewaktu bepergian.
c) Rukhshoh Ibdal.
Yaitu mengganti suatu ibadah dengan ibadah yang lain, seperti
mengganti wudhu dan mandi besar dengan bertayamum ketika tidak ada air
atau ketidak mampuan untuk melakukannya.
d) Rukhshoh Taqdim
Seperti menjama’ taqdim sholat dhuhur dan ashar ketika berada di
arafah, dan menyegerakan (ta’jil) zakat fitrah sebelum malam idul fitri.
e) Rukhshoh ta’khir
Seperti menjama’ ta’khir sholat maghrib dan isya’ sewaktu berada di
muzdalifah dan mengakhirkan puasa ramadhan bagi musafir dan orang
haidh.
f) Rukhshoh idhthirar
Seperti meminum arak karena rasa haus yang sangat dan tidak ada air
lagi, memakan bangkai karena kelaparan dan takut akan kematian.
g) Rukhshoh taghyir
Seperti merubah aturan sholat ketika dalam keadaan perang.

3. Pembagian Rukhshoh
Para fuqoha’ membagi rukhshoh menjadi lima bagian, yaitu:
a) Rukhshoh yang wajib dilakukan, seperti memakan bangkai karena
terpaksa, membatalkan puasa karena rasa haus dan lapar yang sangat
walaupun ia tidak bepergian karena takut merusak kesehatan.
b) Rukhshoh yang sunat dilakukan, seperti mengqoshor sholat dalam
perjalanan, berbuka puasa bagi musafir yang kepayahan atau orang
yang sedang sakit, dan kebolehan memandang wanita yang sedang
dipinang.
c) Rukhshoh yang mubah dilakukan, seperti salam.
d) Rukhshoh yang lebih utama dilaksanakan oleh mukallaf, seperti
menjama’, berbuka bagi orang yang terpaksa, dan tayamum ketika
menemukan air di mana harganya lebih mahal dari harga pasaran.
e) Rukhshoh yang makruh dilaksanakan, seperti mengqoshor sholat
ketika melakukan perjalanan kurang dari 3 marhalah (menurt sebagian
Khoirul Himmi Setiawan

ulama’). Adapun satu marhalah adalah jarak yang mampu ditempuh


oleh unta berjalan pda waktu siang hari, sekitar 44 kilometer.

Sebab-Sebab diperbolehkannya takhfif

Sebab Pertama: Bepergian


Safar adalah keluar menuju tempat tujuannya, dimana jauhnya sekitar
perjalanan tiga hari unta atau lebih dengan jalan kaki biasa. Jarak tersebut
kalu dikonversi menjadi sekitar seratus delapan puluh kilometer (menurut
hanafiah) atau sekitar 95 Kilometer menurut syafi’i, atau perjalanan dua hari
menurut hanabilah.
Safar dijadikan salah satu sebab keringanan dari kewajiban agama
berdasarkan semata-mata kegiatan tersebut, terlepas ada masyaqoh ataupun
tidak. Adapun keringanan yang diperbolehkan adalah mengqoshor sholat,
mengakhirkan puasa, meninggalkan sholat jum’at dan hal-hal yang
disunatkan ketika melakukan perjalanan jauh.

Sebab Kedua: Sakit


Sakit didefinisikan sebagai keluarnya badan dari batas kewajiban dan
kemampuan kepada ketidakmampuan dari pelaksanaan kewajiban. Ketika
sakit menjadi sebab ketidak mampuan maka berlaku kepadanya hukum-
hukum yang diringankan, terutama dalam ibadah. Para ulama banyak
menyebutkan rukhshoh terhadap orang sakit, diantaranya:
Pertama: Dibolehkannya tayamum dengan debu untuk melaksanakan sholat
bila menyentuh air dapat menimbulkan bahaya terhadap jiwa dan anggota
tubuh, atau justru berakibat bertambahnya sakit tersebut.
Kedua: Dibolehkannya berbuka dalam bulan ramadhan dan meninggalkan
puasa untuk orang yang sangat tua dan diganti dengan fidyah.
Ketiga: Dibolehkannya mewakilkan dalam pelaksanaan haji, melempar
jumrah aqabah, dibolehkannya hal-hal yang dilarang sewaktu berihram
seperti memakai pakaian dengan wajib membayar fidyah.18

Sebab Ketiga: Ikroh (terpaksa)


Ikroh adalah melaksanakan sesuatu yang mana ia sebenarnya tidak
rela (ridho) dalam menjalankannya, dan ia tidak punya pilihan lain kecuali
melaksanakannya.19
Ikroh dianggap sebagai salah satu kondisi terpaksa yang mendapatkan
keringanan hukum jika seseorang tidak memiliki kemampuan dan pilihan

18 Ahkam al-Maridh fi fiqh al-Islamy, hal. 38, 63, 69, 74, 79, 91, 96, 129, 154, 158.
19 Nadhriyyah al-Dharuriyyah al-Syar’iyyah hal 86.
Khoirul Himmi Setiawan

lain untuk menghindar, seperti adanya ancaman dari orang lain yang
membahayakan keselamatan dirinya. Misalnya adalah adanya ancaman akan
dibunuh, takut akan dipotong anggota tubuh atau hukuman yang sangat
berat jika tidak mau melaksanakan perbuatan yang diperintahkan orang
tersebut seperti mengucapkan kalimat kufur secara lisan namun tetap teguh
beriman dalam hati; menghina nabi muhammad secara lisan namun
bersholawat kepada beliau dalam hati; atau menyembah kepada salib dan
berhala dan lain-lain.
Semua hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan
secara mutlak, tetapi secara dhohir dibolehkan ketika seseorang dalam
kondisi terpaksa (ikroh), artinya melaksanakannya tidak diperbolehkan tetapi
hanya sekedar mencegah tanggung jawab dan menghilangkan dosa.20

Sebab Keempat: Lupa


Lupa adalah “ketidak tahuan seseorang atas perkara yang seharusnya
ia ketahui”. Atau dapat pula didefinisikan “tidak terlaksananya sesuatu di
waktu seharusnya ia dilaksanakan”21. Lupa dianggap sebagai udzur syar’i
yang menghilangkan dosa meninggalkan perintah allah, sebagai kemudahan
bagi manusia dan menolak kepada kesulitan sesuai dengan sabda Nabi SAW.:
“sesungguhnya Allah membolehkanku dan umatku kesalahan sebab lupa
dan adanya keterpaksaan”.22
‘Iz bin Abdul Salam r.a berkata: “Lupa selalu mengiringi kehidupan
manusia, dan tidak ada dosa ketika lupa”. Ketika seseorang ingat akan
kewajiban yang ia lupakan namun tidak mungkin mengulanginya, maka
gugurlah kewajiban tersebut seperti jihad, sholat jum’at, dan sholat kusuf.
Namun jika masih ada kemungkinan untuk mengulanginya baik berupa hak-
hak allah seperti sholat, zakat, puasa, kafarat, nafaqoh istri, maka ia wajib
melaksanakannya23. Untuk amalan yang berhubungan dengan hak-hak
adami, lupa tidak dianggap sebagai udzur syar’i, seperti jika seseorang
mengilangkan harta benda orang lai karena lupa, maka ia tetap berkewajiban
menggantinya sebesar apa yang dihilangkannya. Hal itu disebabkan hak-hak
adamy dihormati karena manusia sangat berkepentingan terhadapnya, dan
tanggungan tersebut tidaklah gugur dengan lupa. Masalah ini berbeda
dengan hak-hak Allah yang didasarkan pada kesengajaan, dan lupa
menghilangkan kesengajaan tersebut.24

20 Al-Muwafaqoth, Imam Suyuthi, Jilid I/220; al-Asybah wa al-Nadhair, Imam Suyuthi, hal.
78;79;82 dan lihat juga Bada’I al-Shanaa’I Jilid I/176.
21 Nadhriyah al-Dharuriy al-Syar’iyyah, Hal. 106.

22 Al-Sunan al-Kubra li al-Baihaqy, Jilid VII/356.

23 Qowa’id al-Ahkam, Jilid II/2-3.

24 Al-Furuq li al-Firaq Jilid II/149, dan al-Qowa’id al-Ushliyyah li Ibn al-Luham, hal. 30.

Anda mungkin juga menyukai