Anda di halaman 1dari 13

TAFSIR PADA MASA NABI, SAHABAT, DAN TABI’ TABI’IN

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi
Tugas Perkuliahan Madzahib Tafsir

Oleh

Ulul Azmi (210601090)

Lalu Aldian Hairul Ali (210602068)


Muhammad Ramdani (210601095)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
MATARAM
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan kita rahmat, hidayah, beserta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul “Tafsir pada masa Nabi, sahabat dan tabi’ tabi’in” ini yang
insyaAllah tepat pada waktunya. Shilawat beserta salam untuk sang baginda Nabi
Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman yang penuh dengan kebodohan
menuju zaman yang penuh dengan keilmuan.

Adapun tujuan dari penulisan makalah iniuntuk memenuhi tugas kami pada mata
kuliah madzahib tafsir. Selain itu juga, makalah ini bertujuan untuk menambah kelilmuawan
atau wawasan kita tentang bagaimanana tafsir pada masa Nabi, sahabat dan tabi’ tabi’in.

Kemudian, kami ucapkan terimakasih kepada Bapak dosen Dr. H. Zulyadain, M.A.
selaku dosen mata kuliah madzahib tafsir yang talah memberikan kami tugas ini sehingga
kami bisa menambah wawasan keilmuwan tentang madzahib tafsir.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami meminta dan membutuhkan saran dari saran ataupun kritikan yang membangun dari
Bapak Dosen dan teman-teman sekalian untuk kesempurnaan makalah ini.

Mataram, 24 Agustus 2023

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................. 1

A. Latar Balakang .......................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 1

C. Tujuan ...................................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................. 2

A. Pengertian Tafsir....................................................................................................................... 2

B. Tafsir Masa Nabi....................................................................................................................... 3

B. Tafsir Masa Sahabat .................................................................................................................. 4

C. Tafsir Masa Tabi’ Tabi’in ......................................................................................................... 5

BAB III PENUTUP ......................................................................................................................... 9

Kesimpulan ................................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 10

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Balakang

Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an juga menjadi
penjelasan (bayyinat). Dari petunjuk tersebut sehingga kemudian mampu mnejadi pembeda
(furqaan) antara yang baik dan yang buruk. Di sinilah manusia mendapatkan petunjuk dari Al-
Qur’an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan akan meninggalkan yang buruk atas dasar
pertimbangannya terhadap Al-Qur’an tersebut. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa
dalam isi kandungan Al-Qur’an diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi
kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu, sangat besar perhatian para ulama
untuk memahami dan menggali serta memahami makna yang terkandung dalam kitab suci ini.
Sehingga lahirlah berbagai macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka
ragam pula, dan dalam penafsiran itu tampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan
penafsiran Al-Qur’an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
Bukanlah tujuan Al-Qur’an untuk dibaca semata atau diharapkan berkahnya. Akan
tetapi, berkahnya yang paling besar adalah terdapat pada memikirkan dan memahami makna
dan maksunya kemudian mengamalkannya dalam urusan-urusan agama dan dunia secara sama.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Tafsir pada Masa Nabi Saw.?


2. Bagaiman Tafsir pada Masa Sahabat?
3. Bagaiman Tafsir pada Masa Tabi’ Tabi’in?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui bagaimana tafsir pada masa Nabi.


2. Dapat mengetahui bagaimana tafsir pada masa sahabat.
3. Dapat mengetahui bagaimana tafsir pada masa tabi’ tabi’in.

1
BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir

Ada banyak pengertian dalam memahami makna tafsir. Secara etimologis, kata tafsir
berasal dari kata kerja fassara, yang berarti kasyf al-mughattha, al-idhah (keterangan), dan at-
tabyîn (penjelasan) 1 atau juga berarti al-bayan (jelas) dan al-kasyf (terang sekali).2 Dengan
demikian, secara umum maksud kata tafsir adalah usaha untuk memperjelas, memahami, serta
menafsirkan teks dan makna Al- Quran, termasuk usaha untuk mengadaptasikan teks Al-Quran
ke dalam situasi kontemporer pada masa dan tempat seorang mufasir hidup.
Secara khusus, Ibn Hayyan Al-Andalusi, dalam Tafsir Al- Bahr Al-Muhith menjelaskan
bahwa tafsir sebagai "ilmu yang membahas tata cara mengucapkan lafazh Al-Quran, menggali
maknanya (terdalamnya), memahami hukum, makna leksikal, dan kontekstualnya, menggali
makna yang dikandung oleh struktur kalimat, serta ilmu penunjang lainnya. 3 Sementara itu,
Az-Zarkasyi mendefiniskan tafsir sebagai "upaya memahami kitab Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW., menjelaskan berbagai maknanya, serta mengeluarkan
berbagai hukum dan hikmah yang dikandungnya". Hal serupa diungkapkan oleh Adz-Dzarqani
dan Adz-Dzahabi yang memaknai tafsir sebagai "upaya kajian terhadap alwal dan dilalah Al-
Quran untuk memahami maksud dan kehendak Allah sesuai dengan kapasitas kemampuan
manusia.
Pada hakikatnya, tafsir merupakan usaha untuk memperjelas teks guna menangkap
pesan Al-Quran (murad al-nash), sekaligus memahami "maksud" ("murad") Allah. Objek tafsir
adalah Al- Quran. Karena kedudukan Al-Quran sebagai sumber pertama ajaran Islam dan
sekaligus menjadi petunjuk (hudān) bagi manusia, upaya menjelaskan kandungan Al-Quran
merupakan keharusan bagi orang-orang memenuhi kualifikasi untuk melakukan hal tersebut.
Adapun subjek penafsiran dan tafsir (mufasir) adalah manusia. Pada setiap zaman dan tempat,
para ahli (mufasir) berusaha untuk menangkap nilai-nilai Al-Quran. Akan tetapi, karena
dipengaruhi berbagai faktor, para mufasir memiliki paradigma, perspektif, dan metode
penafsirannya sendiri. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian muncul berbagai variasi
(perbedaan) dalam hasil penafsirannya." Dalam kerangka hukum Islam (fiqh), menafsirkan Al-
Quran merupakan fardhu kifayah, sedangkan memahami dan mengamalkan Al-Quran
adalah fardhu 'ain.

1
Subhi Al-Shaih, At-Tubyan fi “ulum Al-Qur’an (As-Syyid Abbas Syaribtali), hlm. 61.
2
Jalal Ad-Din As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Juz II, hlm. 173.
3
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Fikr, 1998), Jilid I, hlm. 33.

2
B. Tafsir Masa Nabi

Tradisi penafsiran Al-Quran ini telah berlangsung sejak pertama kali kewahyuan Nabi
Muhammad SAW. Wahyu-wahyu fase awal (periode Makiyyah) 18 telah memosisikan Nabi
Muhammad SAW. sebagai penerima (receiver) wahyu, sekaligus penyampai (transmitter) dan
penafsir (interpreter) wahyu tersebut kepada komunitas muslim dan lainnya. Menurut As-
Suyuthi, pada masanya, Nabi merupakan "penafsir tunggal" dari Al-Quran" yang memiliki
otoritas spiritual, intelektual, dan sosial. Akan tetapi, kebutuhan terhadap penafsiran Al-Quran
ketika itu tidak sebesar pada masa-masa berikutnya.
Upaya Rasulullah untuk menerangkan dan mengajarkan makna teks kitab Suci yang
diterimanya kepada pengikut-pengikutnya inilah yang kemudian dikenal sebagai tafsir an-Nabi
(penafsiran Nabi).20 Riwayat dari 'Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah tidak menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran, kecuali beberapa ayat yang telah diajarkan oleh Jibril, 4 Akan tetapi,
penafsiran Nabi SAW. ini belum terbukukan pada zamannya dan dalam perkembangannya
hanya dapat ditelusuri melalui hadis-hadis yang dikumpulkan oleh para pengumpul hadis atas
dasar riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka," seperti Al-Bukhari dan As-Suyuthi." Hal
ini dikarenaka penafsiran pada masa Rasul dan beberapa generasi setelahnya, lebih banyak
dilakukan melalui tradisi lisan (oral tradition).
Sementara itu, penafsiran Al-Quran dalam bahasa asing dilakukan oleh sahabat
kepercayaan Nabi SAW. Rasulullah pernah menggunakan kemampuan beberapa sahabat di
sekelilingnya yang menguasai bahasa asing untuk bertindak sebagai penerjemah, termasuk
sahabat Nabi yang non-Arab ('ajam), seperti Salman Al-Farisi (yang menguasai bahasa Persia),
Shuhaij (yang mampu berbahasa Romawi), serta Bilal dan Ja'far bin Abi Thalib (yang
menguasai bahasa Etiopia). Menurut Murthada Husayn Shadr Al. Afadhil, orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang mampu berbahasa Arab dan Ibrani atau bahasa asing lainnya juga ikut andil
dalam menyampaikan kandungan dan isi Al-Quran sesuai dengan kepentingan mereka sendiri,
sekalipun misalnya, dipergunakan untuk menolak dan menyalahkan Al-Quran.

4
Ahmad Al-Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 63.

3
B. Tafsir Masa Sahabat

Pasca-wafatnya Nabi SAW., beberapa sahabat mulai terbiasa menafsirkan Al-Quran


dan mengajarkan pemahamannya kepada kaum muslim yang lain. Pada mulanya, ada beberapa
sahabat yang enggan dan khawatir dengan upaya menafsirkan Al-Quran. Dikabarkan khalifah
'Umar Ibn Khaththab sangat marah terhadap beberapa orang yang berani menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran tertentu (tanpa keilmuan yang cukup) dan menghukum mereka. Khalifah pun
dikabarkan lebih memprioritaskan Ibn 'Abbas di atas para sahabat lainnya. Ketika Said bin
Jubair, Ubaidan, dan Qais (pada waktu yang berbeda) diminta untuk menafsirkan Al-Quran,
mereka menolaknya secara halus. Said bin Jubair, misalnya mengatakan, "Lebih baik tangan
dan kakiku copot, daripada harus menafsirkan Al-Quran." Menurut Ibn Katsir, sikap ini
merupakan kehati-hatian dan rasa tanggung jawab untuk memelihara pemahaman yang benar
dan menghindari penyelewengan penafsiran. 5 Akan tetapi, karena banyak muallaf6 dari bangsa
'ajam (non-Arab) dan kurang memahami bahasa Arab, mereka mengambil kebijakan untuk
berusaha menafsirkan Al-Quran.
Upaya keharusan menafsirkan Al-Quran mendapat legitimasi dari ayat Al-Qur’an, yaitu
Q.S. Ali ‘Imran (3): 5-6. Menurut Ihsan Ali Fauzi, serangkaian ayat ini merupakan formulasi
'doktrin' guna "mengamankan kegiatan penafsiran. Dengan legitimasi ayat tersebut, tradisi
tafsir kaum muslim mulai berkembang. Di samping itu, doktrin tentang haramnya menafsirkan
ayat-ayat mutasyabihat misalnya dan syarat-syarat tertentu yang harus dimiliki seorang calon
mufasir," merupakan sebagian doktrin lama yang hingga kini masih terus dipelihara dan
ditransmisikan. Di antara tarik-menarik antara keleluasaan legitimasi untuk menafsirkan Al-
Quran denga sejumlah kriteria penafsir(an) yang ketat, kegiatan tafsir Al-Quran berkembang
dan dijalankan sepanjang sejarah umat Islam.
Dalam menafsirkan, mereka mengacu pada ayat Al-Quran lain yang relevan (tafsir Al-
Qur'an bi Al-Qur'an) atau mencari ayat yang berkaitan (munasabah), kemudian dengan
petunjuk Nabi melalui hadis-hadis yang dikumpulkan, dan kadang-kadang dibantu oleh tradisi
dan syair Arab, serta ijtihad. Hal ini, misalnya, tercermin dari tafsir yang dilakukan oleh
'Abdullah ibn Abbas (w. 687) Terkait dengan penggunaan bahasa dan syair Arab oleh para
sahabat, Ibnu Khaldun menjelaskan:
"Al-Quran itu sesungguhnya diturunkan dalam bahasa Arab, menggunakan gaya
bahasa mereka, sehingga mereka semua dapat memahaminya, mengetahui makna per

5
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Juz I, hlm. 6.
6
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, hlm. 264.

4
kata, dan dalam susunan kalimat. Sekalipun demikian, di antara mereka berbeda dalam
tingkat pemahamannya. Kadang-kadang salah seorang (sahabat) tidak mengetahui
sesuatu yang diketahui oleh yang lainnya."7
Selain empat khulafa ar-räsyidîn, para mufasir awal yang diakui kehebatannya, antara
lain 'Abdullah ibn 'Abbas (w. 687), 'Abdullah ibn Mas'ud (w. 653), Ubay ibn Ka'ab (w. 640),
Zaid ibn Tsabit (w. 665), Abu Musa Al-Asy'ary (w. 664), dan 'Abdullah ibn Zubair (w. 692).
Di antara para mufasir awal tersebut, 'Abdullah ibn 'Abbas merupakan mufasir terkemuka, yang
mendapat julukan Tarjumun Al-Qur'an (penafsir Al-Quran). Selain itu, ia juga mendapat
julukan hibr al-ummah (penjaga umat) dan bahr al-'ulum (lautan ilmu). Ibn Abbas dipandang
oleh Ignaz Goldziher sebagai peletak dasar disiplin tafsir dalam Islam. 8

C. Tafsir Masa Tabi’ Tabi’in

Setelah para mufasir dari kalangan sahabat wafat dan perkembangan permasalahan
terkait dengan pemahaman ayat-ayat Al-Quran mesti dijelaskan dengan tuntas, para tabi'in pun
mulai menafsirkan Al-Quran. Dalam menafsirkan, mereka merujuk pada (a) ayat Al-Quran, (b)
hadis Rasulullah, (c) atsar sahabat (tafsir, pendapat [qaul], dan perilaku sahabat), (d) riwayat
Israiliyyat yang dipandang tidak bertentangan dengan Al-Quran, dan (e) ijtihad (sekalipun
tidak semua tabi'in menyetujuinya).9
Manna’ Al-Qaththan menyebutkan tiga aliran tafsir utama yang berkembang pada
pertengahan abad pertama Hijriah.
1) Aliran Mekah yang berkiblat pada Ibn 'Abbas. Di antara murid. murid Ibn Abbas adalah
Sa'id bin Jabir (w. 722/723), Mujahid ibn Jabr Al-Makki (w. 722), Ikrimah (w. 723),
Thawus ibn Jaby Kaysan Al-Yamani (w. 732), dan Atha ibn Abi Rabah.
2) Aliran Madinah, sebagai salah satu pusat keimuan Islam banyak sahabat yang menjadi
kiblat para tabi'in. Imamnya adalah Ubay bin Ka'ab. Di antara murid Ubay bin Ka'ab
adalah Abu Al-'Aliya (w. 708), Muhammad ibn Ka'b Al-Qardhi (w. 747), Zayd bin
Aslam (w. 747), 'Abdurrahman ibn Zayd, dan Malik ibn Anas.
3) Aliran Irak yang berkiblat pada Ibn Mas'ud sebagai imamnya. Murid-muridnya antara
lain Al-Qama ibn Qays (w. 720), Al- Aswad ibn Yazid (w. 682), Mara Al-Hamadani
(w. 695), Amir Al-Sya'by (723), Hasan Al-Bashri (w. 738), Qatadah As-Sadusi (w.

7
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 334.
8
Ihsan Ali Fauzi, Kaum Muslim dan Tafsir Al-Qur’an, hlm. 14.
9
Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I, hlm. 99.

5
735), Ibrahim An-Nakhai (w. 713), Masruq, dan Hasan Al-Bashri.
Pembagian aliran ini diklasifikasikan karena memiliki kecenderungan atau ciri khas
tersendiri. Misalnya, aliran Mekah dengan kekuatan menginterpretasi (tafsir dan ta'wil) corak
Ibn Abbas, aliran Madinah memiliki kekuatan riwayat (hadis dan atsar sahabat), sedangkan
aliran Irak lebih menitikberatkan studi naskah dengan kekuatan qirant Ibn Mas'ud.
Variasi keilmuan, aliran penafsiran, dan lainnya, menurut Mahmud Basuni Faudah,
menyebabkan produk tafsir pada masa ini memiliki ciri-ciri berikut: (1) terpengaruh oleh
disiplin ilmu dan riwayat yang ditransmisikan pada madrasah (mazhab) masing- masing; (2)
mengadaptasi ajaran-ajaran Yahudi dan/atau Kriste- serta kebudayaannya yang dibawa ketika
mereka masuk Islam erpengaruh oleh lingkungannya; (3) menimbulkan polemik dan
kontroversial, baik dalam bidang akidah, fiqh, hadis, maupun politik. 10
Tafsir-tafsir masa ini dapat diklasifikasikan berdasarkan isi kandungan dan
perspektifnya menjadi beberapa kelompok. John Wansbrough, seorang pengkaji tafsir klasik
mengategorisasi karya- karya tafsir periode klasik pra-Ath-Thabari menjadi lima jenis.
Pembagian warna tafsir ini masih bersifat tentatif (sementara) dan sangat mungkin dikritisi
kembali, tetapi cukup bermanfaat untuk melihat tipologi tafsir yang muncul.
1) Tafsir naratif (haggadic exegesis). Tafsir ini berusaha untuk menjelaskan pola narasi
sedetail mungkin mengenai kisah atau peristiwa yang disebut dalam Al-Quran, terkait
tokoh, tempat, dan waktu peristiwa. Tafsir jenis ini misalnya karya Muqatil ibn
Sulayman (w. 767) dalam Tafsir Al-Qur'an. Misalnya, terkait Q.S. Al-Baqarah (2): 189,
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit...." Muqatil
menjelaskan sedetail mungkin tentang siapa yang bertanya, mengapa ia (atau mereka
bertanya), apa yang mereka tanyakan, di mana dan kapan pertanyaan itu
muncul, dan seterusnya.
2) Tafsir legal (halakhic exegesis), tafsir ini berisi materi legal (hukum) Al-Quran seperti
dalam karya Muqatil yang lain dalam Tafsir Khams Mi'ah min Al-Qur'an, yang berisi
topik-topik keimanan, peribadatan, kasih sayang, puasa, haji, pewarisan, riba, alkohol,
perkawinan, perceraian, pencurian, utang- piutang, dan lain-lain. Tafsir ini menjadi
pelopor lahirnya tafsir ahkam yang kemudian dikembangkan oleh Aj-Jashshash (w.
981) dengan Ahkam Al-Qur'an kemudian al-Jami' li Ahkan Al-Qur'an karya Abu
'Abdullah Al-Qurthubi (w. 1272).

10
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir (Bandung: Pustaka, 1987),
Terj. H.m. Mochtar Zoemi dan Abdul Qadir Hamid, hlm. 47-48.

6
3) Tafsir tekstual (masoretic exegesis). Tafsir ini berusaha untu menjelaskan teks Al-
Quran dengan merujuk pada aspek aspek leksikon. Teks tafsir paling tua jenis ini adalah
karya dari filolog Al-Farra (w. 822) dalam Ma'ani Al-Qur'an, karya yang memiliki
keistimewaan dalam menjelaskan kemusykilan gramatikal dan teks ayat-ayat Al-
Quran. Karya lainnya disusun oleh Abu 'Ubayd (w. 838) dalam Fadha'il Al-Qur'an, Al-
Kisa' (w. 804) dalam Mutasyabihat Al-Qur'an dan Kitab Al-Wujuh An-Nadzair, karya
Ibn Sulayman. Pada era modern, tafsir jenis ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali As-
Sahabuni dalam Shafwat at-Tafasir.
4) Tafsir retorik (rhetorical exegesis). Di sini, perhatian dipusatkan pada nilai sastra Al-
Quran, seperti Majaz Al-Qur'an karya Abu 'Ubaidah (w. 824) atau Ta'wil Musykil Al-
Qur'an karya Ibn Qutaybah (w. 889). Pada tafsir jenis ini, perhatian diarahkan pada
kualitas sastra Al-Quran yang ditempatkan di luar batas- batas prosa dan puisi Arab.
Bagian-bagian tertentu dalam Al-Quran kadang-kadang dibandingkan dengan
puisi Arab kuno.
5) Tafsir alegoris (allegorical exegesis), yaitu jenis tafsir yang mengungkapkan maksud
simbolis Al-Quran, yang mengangkat makna lahir dan batin sebuah ayat Al-Quran.
Tafsir sufistik karya Sahl Ats-Tsauri (w. 896) mencontohkan kecenderungan ini pada
periode klasik. Sekalipun demikian, tidak seluruh ayat ditafsirkan secara alegoris, tetapi
memilih ayat-ayat tertentu dan menafsirkannya sesuai pengalaman mistis. 11
Hingga menjelang abad 4 Hijriah, tafsir belum mempunyai bentuk tertentu, sementara
hadis-hadis tafsir masih berserakan. Akan tetapi, menurut Andrew Rippin, menjelang abad ke-
4 H sudah ada tafsir berbentuk kitab, yaitu kitab Gharib Al-Qur'an yang disusun oleh tiga
pengarang yang berbeda, yaitu Musa bin Abdurrahman Ash-Shan'anî (w. 190/805), Bakr bin
Sahl Ad-Dimyati (w. 289/902), dan 'Abdul Ghanî bin Sa'id Ats-Tsaqafi (w. 229/843) Teks ini
menunjukkan telah ada upaya penafsiran terhadap Al-Quran sejak abad kedua Hijriah. Akan
tetapi, kitab ini hanya menjelaskan persoalan terma-terma (alfadz) Al-Quran yang dianggap
asing (gharit, sulit dipahami secara denotatif) pada zamannya. Kitab ini belum dapat dikatakan
sebagai kitab tafsir dalam kategori tafsir sistematis, analitis, dan kronologis (tahlili).
Mahmud Basuni Faudah menjelaskan bahwa pada masa ini ada beberapa ciri khas
dalam hal penulisan tafsir, yaitu: (1) metode penyusunan dengan memasukkan bagian dari bab
dalam kitab hadis, seperti Al-Bukhari memasukkan tafsir al-Nabi dalam kitab Shahik- nya; (2)
metode penyusunan tafsir mulai dilakukan secara bebas dan independen, seperti At-Tafsir Al-

11
Wansbrough, Qur’anic Studies, hlm. 227.

7
Kabir karya Imam Al-Bukhari (w. 256 H), tetapi masih merupakan cuplikan atau hanya bagian
tertentu dari Al-Quran, (3) ada pula kecenderungan para mufasir untuk menyederhanakan
riwayat, yaitu tidak menyebutkan sanad suatu penjelasan yang mereka gunakan secara
lengkap. Bahkan, banya di antara periwayat tafsir, yang sengaja ataupun tidak sengaja, tidak
menyebutkan nama mufasir dimaksud sehingga sulit untuk melacak penafsir atau
penutur pertamanya.

8
BAB III PENUTUP

Kesimpulan:

Pada hakikatnya, tafsir merupakan usaha untuk memperjelas teks guna menangkap
pesan Al-Quran (murad al-nash), sekaligus memahami "maksud" ("murad") Allah. Objek tafsir
adalah Al- Quran. Karena kedudukan Al-Quran sebagai sumber pertama ajaran Islam dan
sekaligus menjadi petunjuk (hudān) bagi manusia, upaya menjelaskan kandungan Al-Quran
merupakan keharusan bagi orang-orang memenuhi kualifikasi untuk melakukan hal tersebut.
Pasca-wafatnya Nabi SAW., beberapa sahabat mulai terbiasa menafsirkan Al-Quran
dan mengajarkan pemahamannya kepada kaum muslim yang lain. Pada mulanya, ada beberapa
sahabat yang enggan dan khawatir dengan upaya menafsirkan Al-Quran. Dikabarkan khalifah
'Umar Ibn Khaththab sangat marah terhadap beberapa orang yang berani menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran tertentu (tanpa keilmuan yang cukup) dan menghukum mereka. Khalifah pun
dikabarkan lebih memprioritaskan Ibn 'Abbas di atas para sahabat lainnya.
Setelah para mufasir dari kalangan sahabat wafat dan perkembangan permasalahan
terkait dengan pemahaman ayat-ayat Al-Quran mesti dijelaskan dengan tuntas, para tabi'in pun
mulai menafsirkan Al-Quran. Dalam menafsirkan, mereka merujuk pada (a) ayat Al-Quran, (b)
hadis Rasulullah, (c) atsar sahabat (tafsir, pendapat [qaul], dan perilaku sahabat), (d) riwayat
Israiliyyat yang dipandang tidak bertentangan dengan Al-Quran, dan (e) ijtihad (sekalipun
tidak semua tabi'in menyetujuinya).

9
DAFTAR PUSTAKA

Subhi Al-Shaih, At-Tubyan fi “ulum Al-Qur’an (As-Syyid Abbas Syaribtali), hlm. 61.
Jalal Ad-Din As-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Juz II, hlm. 173.
Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Fikr, 1998), Jilid I, hlm. 33.
Ahmad Al-Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 63.
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Juz I, hlm. 6.
W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, hlm. 264.
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, hlm. 334.
Ihsan Ali Fauzi, Kaum Muslim dan Tafsir Al-Qur’an, hlm. 14.
Adz-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Juz I, hlm. 99.
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir (Bandung:
Pustaka, 1987), Terj. H.m. Mochtar Zoemi dan Abdul Qadir Hamid, hlm. 47-48.
Wansbrough, Qur’anic Studies, hlm. 227.

10

Anda mungkin juga menyukai