Anda di halaman 1dari 4

Sumber-Sumber Taswuf Klasik

Dalam pembahasan tentang mencari akar kata dari tasawuf telah disampaikan, bahwa
meskipun kata tasawuf tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadist, bukan berarti tasawuf
adalah sebuah ilmu yang diada-adakan dan tanpa dasar. Barang kali memang secara istilah
belum ada pada masa Nabi, tetapi nilai dan substansi ajaran tasawuf telah eksis, bahkan
jauh sebelum al-Qur’an itu sendiri diturunkan. Karena pada dasarnya apa yang diajarkan
dalam tasawuf adalah nailai-nilai luhur yang ada pada ajaran agama Islam dan agama-
agama samawi yang datang sebelumnya. Seperti sikap zuhud, taqwa, sabar dan sifat-sifat
baik lainnya, tidak bisa dipungkiri merupakan ajaran agama Ibrahimiyah.
Selain mengambil sumber-sumber dari al-Quran dan Hadis, pada perkembanganya ada
beberapa sumber utama yang menjadi rujukan utama dalam tasawuf. Menurut
Montgomery Watt, sampai dengan tahun 950 adalah satu masa yang ia sebut sebagai
peiode pembentukan ilmu dalam Islam. Tasawuf adalah satu dari sekian disiplin Ilmu Islam
yang lahir dan berkembang pada priode itu. Bahkan menurut Abu Nasr as-Sarraj, tasawuf
merupakan disiplin ilmu Islam yang lahir di periode awal setelah fiqh dan hadist. Sepanjang
masa kelahiran tasawuf sampai dengan perkembagannya, berikut kami paparkan secara
umum beberapa karya yang ditulis dan menjadi rujukan paling otoritatif.

1. Ar-Riayah li Hukuk Allah


Karya ini merupakan tulisan pertama tentang tasawuf yang ditulis secara sitematis.
Penulisnya Haris al-Muhasibi (w.243/857). Seorang sufi, penulis yang sangat produktif,
karyanya lebih dari 34 buku. Sanyangnya, sebagian besar karya yang dia tulis tidak
ditemukan sampai hari ini.
Sebagai karya paling awal, ar-Riayah merupakan pelopor yang memberikan informasi-
informasi tentang terminologi dalam tasawuf yang digunakan oleh sufi-sufi pada masa itu.
Penulis membuka karya ini dengan mengajak kepada majlis pembaca untuk memahami apa
yang dimaksud dengan ar-Riayah li Hukuk Allah sebagaimana judulnya. Kemudian penulis
menyebutkan beberapa hal yang dapat menghalagi manusia untuk memenuhi hak-hak
Allah. Setelah menyebutkan beberapa halangan itu, tidak ketinggalan al-Muhasibi juga
menujukan jalan bagaimana cara keluar dari msalah yang dimaksud.
Selanjutnya, karya ini sangat mempengaruhi sufi-sufi yang datang setelahya seperti al-
Qusairi dan al-Ghazali. Dua penulis besar ini bahkan, meminjam istilahnya Annemarie
Schimmel, merupakan golongan sufi suni penerus al-Muhasibi. Mudah sekali melacak
pengaruh al-Muhasibi dalam karya al-Ghazali Ihya Ulum ad-Din. Bahkan, beberapa peneliti
ada yang berpendapat bahwa Ihya ulum ad-Din seperti tafsir atau sarh dari ar-Riayah li
Hukuk Allah.

2. Hatm al-Auliya
Setelah Riayah, karya kedua yang secara husus membahas tema-tema tasawuf adalah Hatm
al-Auliya. Sebuah karya yang ditulis oleh Hakim at-Tirmizi ini secara mendalam mebahas
tentang konsep kewalian yang merupakan bagian inti ajaran Tasawuf.
Berbeda dengan ar-Riayah yang memfokuskan pembahsanya pada pembangunan spiritual
umat Islam, Hatm al-Auliya lebih fokus pada pembahasan tasawuf secara konseptual. Yang
menjadi fokus bahasan buku ini adalah konsep kewalian dalam tasawuf. Dimulai dari apa
yang dimaksud dengan wali, karakteristik kewalian, perbedaan wilayah dengan nubuwah,
tingkatan kewalian sampai dengan apa yang dimaksud dengan Hatm al-Auliya.
Diluar pembahsan tentang konsep kewalian, penulis juga menyinggung tentang perangkat
yang dimiliki oleh seorang wali, yang ia sebut dengan hikmah. Kemudian penulis
membedakan antara hikmah dengan hadist (perangkat yang dimiliki Nabi). Di akhir,
meskipun tidak banyak penulis juga menjelaskan tentang pendidikan spiritual, hubungan
hati dan nafsu dan urgensi zikir bagi umat islam.
3. Al-Luma
Adalah Abu Nasr as-Sarraj yang menulis al-Luma, karya yang paling otoritatif dalam bidang
tasawuf. Karya ini diangap sebagai tulsan yang paling komprehensif dan menjadi jawaban
atas keraguan umat tentang keotentikan tasawuf sebagai bagian dari ajaran Islam.
Mula-mula Sarraj menjelaskan apa yang menjadi tujuannya menulis al-Luma. Ia
mengungkapkan bahwa pada saat itu Tasawuf sedang dihadapkan pada dua masalah besar.
Masalah pertama adalah serangan pihak lain kepada tasawuf. Dimana pada saat itu keras
sekali tuduhan yang mengatakan bahwa tasawuf bukan bagian dari ajaran Islam. Kedua,
banyak orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mereka mengaku sebagai sufi, lalu
memasukan unsur-unsur yang bukan dari ajaran tasawuf dan mengaku sebagai ahli tasawuf.
Dua lasan ini menjadi latar belakang kenapa Sarraj kemudian terpanggil dan merasa
bertanggung jawab untuk menjeaskan kepada halayak ramai tentang tasawuf, dasarnya baik
dari al-Qur’an mapun hadist, siapa yang ia sebut sebagai sufi dan apa yang menjadi metode
sufi dalam melakukan istinbat argumentasinya.
Terlihat sangat jelas betapa Sarraj ini sedang berupaya untuk membela tasawuf melalui
karyanya. Di awal sekali dia menjelskan posisi tasawuf diatara cabang-cabang ilmu islam
lainya yang sudah ada pada saat itu, fiqih dan kalam. Lalu ia menjelaskan bahwa tasawuf
adalah sebuah sistem ilmu yang telah berdiri sendiri seperti fiqh dan hadis.
Pendapat-pendapat Sarraj ini kemudian banyak digunakan oleh penulis setelahnya. Salah
satunya adalah al-Qusairi, bahkan penulis Risalah Qusairiyah ini memangilnya sebagai ustad
(guru). Sayangnya, pada waktu al-Qusairi menulis tentang riwayat hidup beberapa sufi dari
masa tabiin sampai masanya, dia tidak menyebutkan Sarraj dalam bagian itu.
4. Taaruf ila mazhabi Ahl at-Tasawuf
Adalah Abu bakar al-Kalabazi, seorag alim dalam ilmu kalam, fikih dan hais yang menulis
Taaruf ila mazhabi Ahl at-Tasawuf. Ada sedikit kemiripan dengan al-Luma, dimana pada
awalnya Kalabazi menjelaskan kepada pembaca apa yang dimaksud dengan tasawuf. Dia
mengutip argumentasi dari al-Quran, hadis dan pendapat para ulama sebelumnya. Setelah
itu, kalabazi berusaha untuk menyebutkan siapa yang dia sebut sebagai sufi dengan
meuliskan beberapa tokoh dimulai dari Ali Zainal Abidin sampai dengan ulama yang hidup
pada masanya.
Pada bagian selanjutnya kalabazi mengunakan metode penulisan yang berbeda. Dia
menyebutkan sebuah tema, lalu mengumpulkan pendapat sufi dalam mengomentari tema
tersebut. menariknya, tema-tema yang dia sebutkan di awal-awal adalah tema-tema ilmu
kalam, bukan tasawuf.
5. Kut al-Kulub
Seperti namanya, kut al-Kulub yang artinya nutrisi untuk hati. Karya ini merupakan tuntutan
ibadah dan dzikir harian. Agak susah untuk mengatakan bahwa karya ini sebagai tulisan
ilmiyah. Ia lebih pantas dianggap sebagai buku panduan dalam beribadah. Atau jika boleh,
tulisan ini bisa digolongkan dalam fiqih sufistik, yang kelak akan diteruskan oleh al-Ghazali
dalam Ihya Ulum al-Din pada pagiana pertma “rubu’ al-ibadat”. Penlis selain memberikan
tuntunan doa dan dzikir harian, di abagian akhir membahas tentang tema-tema fiqih dalam
prespektif tasawuf.
6. Risalah al-Qusyairiyah
Risalah Qusyairiyah adalah karya yang sangat orijinal. Ia menjadi salah satu karya paling
penting dalam literatur tasawuf klasik. Dalam karya ini unsur sariat dan terkat betul-betul
ditonjolkan oleh penulis. Terlihat penulis ingin menemukan kembali dua unsur itu yang
sempat terpisah. Langkah ini cukup berasalasan. Pasalnya pada paruh kedua abad kedua
ada kesan bahwa para sufi cenderung menjauh dan meninggalkan sariat. Kenyataan ini
diungkapkan dengan gamblang dan terbuka oleh Qusairi.
Secara konten karya ini dibuka dengan sebuah pengantar tentang refleksi kehidupan umat
Islam pada masa itu, terutama kondisi ilmu tasawuf yang ia anggap sedang keluar dari
relnya.
Bagian kedua penulis membahas tentang istilah-istilah dalam tasawuf. Paling tidak ada 27
term dalam tasawuf yang ia sebutkan, diataranya adalah jenis-jenis makaqamat, dan
sebagian yang lain adalah hal dalam tasawuf.
7. Kasf al-Mahjub
Salah satu dari karya sufi klasik yang ingin kami kenalkan adalah Kasful Mahjub. Sebuah
karya klasik yang membahas tema-tema tasawuf, baik secara teoritis maupun paktek, yang
ditulis oleh Abu al-Hasan Ali al-Hujwiri. Kasful Mahjub merupakan karya tasawuf pertama
yang ditulis dalam bahsa Persia. Sebgai sebuah karya awal dalam literatur taasawuf klasik,
Kasful Mahjub mendapatkan banyak perhatian dari para sarjanawan, baik muslim maupun
barat. Sementara itu, yang membedakan karya ini dengan beberapa karya tasawuf lain pada
masanya adalah bahwa Hujwiri berusaha melakukan komentar terhadap cerita-cerita yang
dialami oleh sufi-sufi sebelumnya dengan caranya. Di sisi lain, Hujwiri juga menjelaskan
bagaimana fenomena yang terjadi dalam dunia tasawuf pada masanya, apa yang dia jumpai
di beberapa kota yang dia singgahi ia ceritakan dalam karyanya ini. Seperti bagaima para
sufi pada saat itu mengalami banyak perlawanan dari kelompok luar. Lebih dari itu, Hujwiri
juga melakukan kritik keras kepada pihak-pihak yang; pertma salah mamahami tasawuf,
kedua mempraktekkan tasawuf dengan salah, lalu berupaya untuk meluruskan kapada
paham yang benar tentang tasawuf.

Sampai dengan hari ini, Kasful Mahjub adalah satu-satunya karya yang ditulis oleh Hujwiri
yang ada. Tidak banyak riwayat apakah ia memliki karya lain diluar Kasful Mahjub. Selain
sebaga karya tasawuf pertama dalam bahsa Persia, pada waktu yang sama, Kasful Mahjub
juga merupakan karya pertama yang ditulis secara sistematik dalam bahsa itu. Jika hendak
dibandingan, Kasful Mahjub ini menyerupai al-Luma yang ditulis oleh Abu Nasr as-Sarraj. Di
mana ia merupakan karya sufi pertama yang ditulis dalam bahsa Arab sesara sistematik baik
dari sudut pandang teoritis maupun praktek.
Dari segi isi, Hujwiri banyak mengutip karya-karya tasawuf sebelumnya, seperti Thabaqat
Sufiyah yang ditulis oleh Sulami, al-Luma oleh Sarraj dan Risalah Qusyairiyah oleh Qusyairi.
Pada waktu yang sama, Kasful ahjub juga memberikan pengaruh kepada karya yang lahir
setelahnya. Terutama karya yang ditulis dalam bahasa Persia, seperti Nafahat al-Uns karya
Jami.
Manuskrip dari Kasf al-Mahjub bisa kita temukan di beberapa perpustakaan, baik
perpustakaan dunia Islam maupun perpustakaan barat. Demikian karena salinan karya ini
ada di berbagaiperpustakaan dunia. Penerbitan pertama dilakukan di Lahor pada tahun
1903. Manuskrip ini lah yang kemudian dijadikan rujukan utama oleh Nicholson ketika
menerjemahkan Kasf al-mahjub ke dalam bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 1926
seorang orientalis dari rusia Zhukovsky mengedit Kasful Mahjub dalam bahasa Persia dan
memberikan analisis dalam 57 halaman menggunakan bahsa Rusia.

Sampai dengan awal abad XX kasful Mahcub beum pernah diterjemahkan ke dalam bahsa
aing. Terjemah pertama dilakukan oleh Nicholson dengan judul A Translation of The Kashf
al-Mahjûb The Oldest Treatise on Sufism. Ada dua arsip yang dijadikan acuan leh Ncholson,
peratama adalah arsip yang diterbitkan di Lahor, kedua arsip yang terdapat di musium
British. Kemudian hasi terjemahan ini diterbitkan pada tahun 1911. Dalam melakukan
terjemahan, Nicholson meninggalkan beberapa bagian dan mempersingkat. Setelah itu,
pada tahun 1983 Kasful Mahjub baru diterjemahkan ke dalam bahsa Arab oleh Isad Abdu
Hadi al-Kindi. Selain itu, juga terjapat sebuah terjemah dalam bahasa Arab. Sayangnya,
terjemahan ini bukan merupakan hasil terjemahan kasf al-mahjub dari bahsa Arab,
melainkan dari bahasa Inggris. Dalam bahasa Turki, kasff al-Mahjub iterjemahkan oleh
Sulaiman Uludağ.

Secara global, karya ini dibagi kedalam dua bagian. Dalam bagian pertama, setelah penulis
menyampaikan pengantar, pada enam bab pertama penuls menjelaskan tentang ilmu, fakr,
tasawuf, pakaian, pendapat-pendapat tentang faqr dan melamet. Dari bab ketuju sampai
dengan ketiga belas, enulis menerangkan ahli zuhud dari golongan sahabat, imam-imam ahl
bait, ashabbussuffah, tabiin dan ahli zuhud dari kalangan ansar, zahid dari kalangan tabi at-
tabiin, dan sufi-sufi mutakhirn. Dari sekian banyak sufi yag ia sebutkan kra-kira ada 114
zahid dan sufi.
Kemudian pada bab keempat belas meru pakan bagian kedua dari karya ini. Mulai bab
keempat belas penulis ulai menjelskan kelomok-kelompok taswuf, diantaranya adalah
Muhâsibiyye, Tayfuriyye, Kassariyye, Cüneydiyyye, Nûriyye, Sehliyye, Hakimiyye, Harraziyye,
Hafifiyye, Seyyâriyye, Hulûliyye dan Hulmâniyye. Kemudian baru penulis masuk kedalam
bagian yang menjadi pembahsan utama dari karya ini, yaitu membuka yang tertutup.
Diantaranya adalah ; makrifatullah, imam, bersuci, wudzu, salat, zakat, puasa dan haji. Tidak
ketinggalan ada juga bagian yang membahsa tentang etika, seperti; suhbah, makan,
berjalan, tidur, berbicara, diam dan bertanya.
8. Ihya Ulumuddin
Setelah melalanglang buana mendalami semua disiplin ilmu dalam Islam, al-Ghazali ahirnya
menemukan Tasawuf. Perjalanannya dari satu disiplin ilmu ke disiplin ilmu yang lain
membuat al-Ghazali semakin kehilangan makna dirinya, hingga ahirnya dia menemukan
Tasawuf. Ibarat hidup Ghazali adalah sebah perjalanan laut, maka tasawuf adalah
persinghan ahirnya, dan disanalah Ghazali menuman apa yang dia cari.
Ihya Ulumudin adalah kristalisasi dari pemeikiran Ghazali selama hidupnya. Ia menjelma
menjadi karya yang paling komprehensif dan membahas semua hal yang dibutuhkan oleh
manusia.
Ghazali membagi Ihya kedalam 4 bagian. Bagian yag pertama ia sebut sebagai rubu al-
İbadat. Pada bagian pertama ini Ghazali menitik beratkan pembahsan pada fiqih, tapi degan
sudut pandang tasawuf. Bagian kedua membahsan tentang adat dan kebiasaan. Bagian
ketiga membicarakan tentang muhlikat, dan yang terahir tentang munjiat.

9. Awarif al-Ma’arif
10. Al-Futuhat al-Makkiyah
11. Masnawi

Anda mungkin juga menyukai