Anda di halaman 1dari 17

TOKOH PEMIKIRAN TAFSIR THABATHABA’I

Makalah ini Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Salah Satu Mata Kuliah

Filsafat dan Pemikiran Islam

Oleh:

WINONA LUTFIAH
762312019034
HARYANTO GUNAWAN
762312019018

FAKULTAS USHULUDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2020
KATA PENGATAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik

serta hidayahnya dan tentunya nikmat sehat sehingga penyusunan makalah ini selesai sesuai

dengan apa yang diharapkan. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita

Nabi besar Muhammad SAW dan tak lupa saya ucapkan terima kasih atas semua pihak yang ikut

membantu penyusunan makalah mengenai TOKOH PEMIKIRAN TAFSIR THABTHABA’I.

Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang biografi dan

jugapemikiran pemikiran Thabathabai’i mengenai tafsir sehingga dapat memberikan tambahan

pengetahuan. Semoga apa yang kami sampaikan melalui makalah ini dapat menambah wawasan

baik itu untuk kami pribadi sebagai penulis maupun para pembaca.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh

karena itu kami sangat mengharap adanya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi

kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terimakasih kepada pihak - pihak yang sudah

membantu dalam penyusunan makalah ini.

Watampone, 08 Mei 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………………..1

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….…2

BAB I PENDHULUAN

Latar belakang………………………………………………………………………………....3

Rumusan masalah………………………………………………………………………….…..3

Tujuan……………………………………………………………………………………….....4

BAB II ISI

Biografi Thabathaba’i………………………………………………………………………....5

Karya-karya Thabathaba’……….…………………………………………………………….7

Pemikiran Tafsir Thabathaba’i………………………………………………………………..7

Pemikiran Thabathaba’i Tentang Taqiyah dalam Tafsir Mizan…………………………11

BAB III PENUTUP

Kesimpulan………………………………………………………………………………..…14

Saran………………………………………………………………………………………....14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….…15
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Luasnya keanekaragaman karya-karya tafsir tidak dapat dipungkiri karena telah
menjadi fakta bahwa para penafsir pada umumnya mempunyai cara berfikir yang
berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan orientasi mereka
dalam menafsirkan alQur’an. Sejarah membuktikan, perbedaan-perbedaan yang
terjadi tidak hanya dalam masalah-masalah penafsiran tapi juga pada sisi-sisi lain
dari ilmu-ilmu keislaman. Salah satu perbedaan pendapat itu berkisar pada masalah
kepemimpinan (al-imamah). Dinamakan dengan imamah karena seorang pemimpin
disebut imam yang wajib dipatuhi oleh rakyat di belakangnya. Pemerintahan
kenabian menuntut seorang imam untuk berada di tengah-tengah kaum muslimin
agar dapat memperhatikan kemaslahatan mereka di dunia, memelihara agama
mereka yang diridhai serta menjamin kemerdekaan keyakinan, jiwa dan harta
mereka dalam ruang lingkup syariat Islam.1 Pembahasan ini mencoba mengangkat
permasalahan imamah yang selalu diperdebatkan oleh mazhab-mazhab politik.
Penelitian diarahkan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan kata imam
dalam al-Qur’an dengan mengambil produk penafsiran karya Muhammad Husayn
al-Tabataba’i yang berjudul al-Mizan fi Tafsir alQur’an. Telah disepakati tentang
kemestian adanya seorang imam untuk menegakkan persatuan dan mengatur
masyarakat, mengusahakan berlakunya hukum atas kejahatan-kejahatan tertentu,
mengumpulkan zakat dari orang kaya dan mendistribusikannya kepada fakir dan
miskin, mempertahankan batas-batas wilayah kekuasaan, menyelesaikan perkara
dengan cara mengangkat para hakim, menyatakan pendapat, serta melaksanakan
hukum-hukum syariat sehingga tercipta negara yang penuh keberkatan
sebagaimana yang diajarkan Islam.
B. Rumusan masalah
1. Biografi Thabathaba’i
2. Karya-karya Thabathaba’i
3. Pemikiran tafsir Thabathaba’i
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Biografi Thabathaba’i
2. Untuk mengentahui Karya-karya Thabathaba’i
3. Untuk mengetahui Pemikiran tafsir Thabathaba’i
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Thabathaba’i
Thabathaba’i yang nama lengkapnya adalah Allamah1 Sayyid Muhammad Husain
al-Thabathaba’i lahir di Tibriz pada tahun 1321H/1903 M dalam sebuah keluarga
yang masih mempunyai garis keturunan yang sampai kepada Nabi Muhammad Saw.
Selama empat abad, keluarga ini telah melahirkan sarjanasarjana Islam terkemuka.
Thabathaba’i menempuh pendidikan dasar dan menengah di kota kelahirannya.
Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Najaf, sebuah Universitas
Syi’ah terbesar di Iran. Di Universitas inilah ia banyak belajar tentang fiqh dan ushul
fiqh, sehingga ia banyak menguasai tentang prinsip-prinsip yurisprudensi dan
menguasai metode berargumentasi dengan baik yang di dasarkan pada dalil aqliyah
maupun naqliyah (al-Qur’an dan Hadis Nabi).
Thabathaba’i mempelajari fiqh dan ushul fiqh dari Mirza Muhammad Husain
Na’im dan Syaikh Muhammad Husain Ishfahani. Ia menampakkan sikap yang sangat
tertarik kepada pengetahuan aqliyah. Untuk mengembangkan kemampuannya di
dalam bidang ini, ia belajar matematika tradisional dari Sayed Abdul Qasim
Khansari dan filsafat Islam tradisional, termasuk teks buku asSyifa’ karya Ibnu Sina,
dan Asfar karya Sadruddin Syirazi. Selain melakukan studi formal terhadap sumber-
sumber Islam tradisional ilmu husuli atau ilmu yang hanya bisa diperoleh dengan
melakukan usaha keras, alamah Thabathaba’i belajar tentang ilmu hudluri atau
pengetahuan langsung (ma’rifat) dari seorang guru bernama Mirza Ali Dali yang
menuntunnya ke dalam perjalanan menuju kesempurnaan ruhani. Thabathaba’i
juga belajar tentang Fushul al-Hikam, menurut keterangan Muhammad Husain al-
Zahabi, ia menyadari bahwa berkat gurunya itu, tahun-tahun di Najaf menjadikan
dirinya sebagai seorang intelektual yang zahid (tidak loba dunia). Sebagai wujud
kezahidannya, ia sering melakukan puasa dan shalat. Dan jika ia mempunyai waktu
senggang, ia lebih banyak membisu karena wira’i.
Pada tahun 1314 H/1934 M, Allamah Tahabathaba’i kembali ke Tibriz dan
tinggal di kota itu selama beberapa tahun dan mengajar di sejumlah sekolah. Di kota
ini, selain Thabathaba’i mengajar, ia juga melakukan aktifitas dalam bidang
pertanian. Dalam masa ini, ia merasakan bahwa ia berada pada masa kekeringan
ruhani disebabkan waktunya banyak tersita untuk melakukan kegiatan-kegiatan
pertanian sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan kegiatan-
kegiatan perenungan dan terlibat dalam kehidupan keilmuan. Kemudian pada
Perang Dunia II ketika banyak penduduk Rusia pindah tempat ke Persia,
Thabathaba’I pindah dari kota Tibriz ke kota Qumm pada tahun 1324 H/1945 M. di
kota ini, Thabathaba’i kembali menemukan dunia keilmuannya karena pada saat itu
kota Qumm menjadi pusat keagamaan di Persia. Dengan gayanya yang tidak banyak
bicara dan sederhana, Thabathaba’i mulai mengajar di kota ini dengan menitik
beratkan pada tafsir Qur’an dan filsafat serta teosofi Islam tradisional.5 Setelah
Perang Dunia II, ketika Marxisme (ajaran Karl Marx) menjadi idola sebagian
kalangan generasi muda di Teheran, Thabathaba’i adalah satusatunya ulama yang
berusaha dengan sangat seksama mempelajari filsafat komunisme dan memberikan
jawaban terhadap materialisme dialektik dengan pandangan tradisional. Dari usaha
memadukan pandangan filsafat komunisme dengan pandangan tradisional,
kemudian lahirlah karya terbesar Thabathaba’i yaitu Ushul-I Falsafah wa Rawisyi
Rialism (prinsip-prinsip filsafat dan metode realisme). Dalam hal ini ia membela
filsafat realisme dalam pengertian tradisional. Thabathaba’i juga melatih sejumlah
muridnya dengan pendidikan modern untuk lebih dapat mempelajari ilmu
pengetahuan secara lebih baik dan sistematik.Yang tercatat sebagai murid-
muridnya dan kemudian juga dikenal sebagai ulama-ulama terkemuka adalah
Jalaluddin Asytiani dari Universitas Masyaad dan Sayed Hossein Nashr. Keduanya
dikenal sebagai intelektual muslim yang mempunyai prestasi keilmuan sangat
gemilang.
B. Karya-karyanya
Thabathaba’i tergolong di antara para pemikir muslim yang sangat produktif
dalam menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan. Sebab itu ia
mempunyai banyak karya dalam bentuk buku. Dan kebanyakan bukunya
digandrungi oleh kalangan muda Islam karena memberikan ide-ide segar yang
dapat membangkitkan gairah dalam beragama. Diantara karya-karya Thabathaba’i
adalah sebagai berikut:
1. Resale dar borhan (Risalah tentang Penalaran)
2. Resale Dar Moghlata ( Risalah tentang Sifistri)
3. Resale Dar Tahlil (Risalah tentang Analisis)
4. Resale Dar Tarkib (Risalah tentang Susunan)
5. Resale Dar I’tibariyat (Risalah tentang gagasan mengenai asal usul manusia).
6. Resale Dar Nobawat va Manawat (Risalah tentang Nubuwat dan Mimpimimpi)
7. Resale dan Asmaun Safat (Risalah tentang nama-nama dan sifat-sifat)
8. Resale dar Af’al ( Risalah tentang perbuatan-perbuatan Ilahiyah)
9. Resale dar Vaseet Miyane Khoda va Ensan (Risalah tentang perantaran antara
Tuhan dengan manusia)
10. Resale darEnsan Qobla ad-Donya (Risalah tentang manusia sebelum kehidupan
Dunia).
11. Resale dar Velyat (Risalah tentang Wilayah)
12. Resale dar Nobowat( Risalah tentang Kenabian).
C. Pemikiran Tafsir Thabathaba’i
Tafsir Al-Mizan merupakan karya terbesar Thabathaba`i. Karya monumental
ini telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan tidak saja dilingkungan Syiah,
tetapi di dunia Sunni. Dalam dunia pemikiran Islam dewasa ini, hampir semua
peneliti yang mengkaji tafsir hampir bisa dipastikan tidak akan meninggalkan karya
tafsir ini dalam kajian mereka.1tidak berlebihan kiranya jika karya ini
dikategorikan, sperti yang diungkapkan oleh Moojem Momen, sebagai karya yang
memiliki kualitas lebih baik dibanding karya lainnya dalam bidang yang sama. Tdiak
jauh berbeda dengan penilaian diatas, Murthadha Muthahhari juga memberikan
apresiasi yang sama. Murid Thabathaba`I ini menjustifikasi bahwa tulisan gurunya
tersebut sebagai karya terbesar yang pernah ada sepanjang sejarah tafsir al-Quran.
Lebih dari itu, dalam pandangan sebagian pakar bahwa dibutuhkan waktu 60
sampai 100 tahun sampai orang menyadari kebesaran karya tafsir ini. Berbagai
penelitian tersebut menggambarkan bahwa karya tafsir ini memiliki keunikan dan
kekhasan tersendiri dilihat dari segi metodologisnya.
Penulis tafsir ini, Thabathaba`I, tidak hanya memakai satu metode saja dalam
menafsirkan setiap ayat, namun juga menggunakan pendekatan filosofis dan
sufistik.Kedua pendekatan tersebut kemudian didasarkan pada analisis bahasa dan
sandaran riwa`iy.Metode Thabathaba`I berbeda dengan metode yang dipergunakan
oleh penafsir sebelumnya.Para pendahulu Thabathaba`I, lebih sering, mendasarkan
penafsiran mereka pra konsepsi teori dan teori-teori yang telah ada.Akibatnya,
penafsiran sebuah ayat lebih menonjolkan pemikiran penafsirnya, dengan teori-
teori yang ada, daripada maksud ayat tersebut. Dalam ungkapan lain, ayat lebih
banyak dibicarakan ketimbang membicarakan dirinya sendiri. Hal ini bisa dilihat
dan dicermati dalam komentar Thabathaba`I terhadap ayat-ayat yang memiliki
kaitan dengan mistik dalam Islam. Sebagai karya tafsir, kitab ini memiliki
keistemewaan tersendiri, tidak saja ditinjau dari gaya penafsiran yang dipakai oleh
penulisnya. Lebih dari itu, karya tafsir ini mengkaji berbagai dimensi dari suatu
obyek.Kajian dimensi mistik menjadi pilihan untuk diteliti lebih lanjut dari karya
masterpiece ini yang menggunakan beberapa pendekatan secara integratif dalam
menafsirkan ayat.
Al-Mizan adalah kata yang dipakai sebagai judul dari tafsir
ini.Dipergunakannya term ini karena dalam tafsir ini banyak memuat pendapat para
ulama tafsir, baik klasik maupun modern, dari Syi’ah atau Sunni.Semua pendapat ini
yang dijadikan sebagai bahan "pertimbangan" Thabathaba'i, untuk memperkuat
satu pendapat dengan lainnya, atau dengan pendapatnya sendiri, setelah merujuk
kepada Alquran. Bahkan, tidak jarang, dari beberapa pendapat tersebut, ada yang
menjadi bahan kritiknya. Sebenarnya, keinginan Thabathaba'i untuk menulis suatu
buku tafsir sudah muncul sejak awal kedatangannya ke Qum
Al-Mizan, adalah karya tafsir yang memiliki metode berbeda dari kitab tafsir
lainnya, klasik maupun kontemporer.Karya ini lahir dari tangan seorang yang tidak
saja menguasai ilmu-ilmu Islam klasik.Namun dia juga sangat akrab dengan 'Irfan
dan filsafat serta ilmu-ilmu kontemporer.Penulisnya juga telah bersentuhan, secara
luas, dengan masyarakat modern, meskipun tidak secara langsung. Karya ini
berusaha, dengan segala kemampuan penulisnya, menyuguhkan jawaban yang
cukup memuaskan atas setiap masalah dan permasalahan modern dengan tetap
berpijak pada jalur yang baku; Alquran dan Sunnah. Sehingga, mau tidak mau
penulisnya menggunakan metode modern dalam penulisannya.Di antara metode
yang dipergunakan oleh penulis, tafsir, adalah mengembalikan semua inti
permasalahan yang sedang dikaji dan dibahas kepada Alquran. Dengan ungkapan
lain, penulisnya dalam menguraikan suatu ayat, yang berkaitan dengan suatu
masalah, selalu merujuk terlebih dahulu kepada Alquran dan menggali makna ayat
yang sedang dikaji dari ayat lain. Dengan begitu, pra-konsepsi dan teori yang ada
hanya menjadi data sekunder.Bahkan, tidak jarang, data sekunder tersebut
mendapat kritikan dari penulis tafsir ini.
Dalam pandangan Ibn Taymiyyah metode tafsir seperti ini merupakan "sebaik-
baik metode penafasiran Alquran".53Karena seorang mufasir dalam menafsirkan
suatu ayat selalu merujuk kepada ayat lain dalam menafsirkan isi dari ayat tersebut.
Namun, bilatafsiran ayat tersebut tidak ditemukan dalam satu ayat, maka ia akan
ditafsirkan oleh ayat yang lain. Dan apa yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut,
akan diketengahkan di tempat lain. Dalam ungkapan lain, cara yang paling ihtiyath,
hati-hati, dalam menafsirkan ayat Alquran adalah dengan mencari pemahaman ayat
tersebut dengan cara merujuk kepada ayat lain. Serta, berusaha untuk memahami
dan mendalami ayat lain yang semakna dengan ayat sedang ditafsirkan tersebut.
Thabathaba'i mencari pengertian suatu ayat yang sedang ditafsirkan kepada ayat
lain yang memiliki makna yang sebanding dan seirama dengannya. Secara mujmal,
sistematikan yang dipakai Thabathaba'i dalam karya tafsirnya ini, pada dasarnya,
tidak jauh berbeda dengan sistematika yang dipergunakan oleh para mufassir
pendahulunya dalam karya-karya tafsir mereka.'Ali al-Awsiy memetakan
sistematika yang dipakai Thabathaba'i dalam menyusun karya tafsirnya ini.
Di antaranya, yang bisa disebutkan di sini, adalah, pertama, Thabathaba'i,
dalam membicarakan satu topik, membagi ayat-ayat dalam satu surah yang akan
ditafsirkan menjadi kelompok tersendiri. Terlepas dari ayat tersebut masuk dalam
kelompok satu surah atau tidak.Sehingga terkadang, dalam menafsirkan,
Thabathaba'i memotong satu ayat61 atau sebagian ayat, bahkan, sebanyak
duapuluh ayat. Dalam beberapa hal, ketika menafsirkan, Thabathaba'i mengikuti
sistem yang dilalui oleh mufasir terdahulu.Pada permulaan penafsiran di awal
surah, Thabathaba'i telah menetapkan paradigma yang dipergunakan untuk
memotret makna ayat tersebut. Dengan cara memadukan ayat-ayat tersebut dalam
satu surah. Karena dalam pandangannya, juga para mufasir modern, bahwa dalam
satu surah tidak hanya membicarakan satu topik saja. Namun ada bermacam
masalah yang dipaparkan oleh ayat-ayat dalam surat tersebut Serta berbagai solusi
untuk setiap masalah yang terkandung didalamnya.
Begitu pula dalam memaparkan riwayat, dalam satu surah, terkadang
Thabathaba'i menjelaskannya terlalu jauh. Thabathaba'i, dalam tafsirnya ini,
seringkali mengangkat isu yang paling actual dan kontemporer yang juga menjadi
isue Dunia Islam: yaitu mengangkat moral umat manusia, khususnya Islam, untuk
melepaskan diri dari setiap bentuk paganisme. Tafsir bercorak seperti ini yang
sangat dibutuhkan umat Islam di era informasi ini.Suatu era di mana umat Islam
sepertinya telah kehilangan 'pegangan', karena terlalu bergantung pada hasil
pemikiran sekularis.Akibatnya, Dunia Islam terlajur dicemari oleh bermacam
idiologi asing yang seringkali mengganggu pikiran pemeluknya sendiri. Satu hal
yang perlu ditekankan di sini, bahwa Thabathaba'i tidak sendirian, atau bukan satu-
satunya tokoh, yang menafsirkan Alquran dengan gaya dan metode modern. Banyak
penafsir modern yang sudah menerapkan metode tematik, maudhu'i, yang
dipandang sebagai metode modern, dalam karya tafsir mereka.Suatu metode yang
identik dengan diktum para ulama tafsir.
Sumber yang dipergunakan Thabathaba'i dalam karya tafsirnya ini ada dua;
Alquran itu sendiri dan sumber lainnya. Sumber kedua ini berupa kitab-kitab
tafsir,baik dari kalangan Syi’ah Imamiyah atau Sunni, hadis-hadis Nabi Saw., kamus
bahasa Arab,buku-buku suci agama lain, al-kutub almuqaddasah sumber-sumber
sejarah, Pengetahuan umum, mu'arif ammah, dan rasional; filsafat, koran serta
majalah. Selain itu, pemikiran filsafat, baik klasik maupun modern, menjadi
pendukungnya di beberapa tempat.Dari beberapa pemikiran filsafat ini ada yang
dijadikan alat legitimasi bagi pemikirannya, ada pula yang dibandingkan, dan,
bahkan, tidak jarang yang dikritiknya. Di antara karya filsafat yang dijadikan sumber
tersebut adalah, Ushul alFalsafah, yang ditulis sendiri olehnya. Walhasil,
Thabathaba'i memanfaatkan semua sumber yang bisa mendukung pendapatnya
atau menjadi obyek kritikannya dalam karya tafsir ini.Namun begitu, dia selalu
konsisten untuk tetap berada di jalur yang telah ditetapkan sebagai metodologinya
dalam penafsiran.Sehingga, walau begitu banyak referensi yang ada tidak sampai
mengaburkan atau menghilangkan metode yang ada. Sehingga, tafsir ini bisa
dijadikan contoh, sebagai kitab tafsir ideal. Karena di dalamnya akan ditemukan
semua cabang ilmu yang "hilang" dalam genggaman kaum Muslim. Karya tafsir bisa
disebut sebagai kitab ilmiah, seni, filsafat, sastra, historis, riwa’isosiologi, dan yang
pasti tafsir Alquran dengan Alquran.
D. Pemikiran Thabathaba’i Tentang Taqiyah dalam Tafsir Mizan
Konsep taqiyah dalam kajian para pakar Islam menjadi khilafiyah dikalangan
mereka. Menurut Ali Syariati taqiyah adalah menyembunyikan, dan berhati-hati dalam
masalah-masalah agama disebabkan adanya larangan-larangan atas kebebasan beragama
dan beribadah oleh rezim penguasa tiranis dan zalim. Dalam doktrin Syi’ah, taqiyah
mempunyai dua doktrin. Tujuan pertama adalah memelihara perasan solidaritas diantara
kaum muslim, dan kedua melanjutkan perjuangan melawan penindasan. Pertama-tama
seorang Syi’ah mesti menjaga keyakinan dan gagasan-gagasannya, tetapi membiarkan
semuanya itu menyebabkan timbulnya perpecahan dalam masyarakat Islam secara
keseluruhan. Misalnya saja, ketika melaksanakan ibadah haji di Makkah, para faqih
Syi’ah mengeluarkan fatwa bahwa kaum Syi’ah boleh shalat berjamaah di belakang
imam-imam Sunni. Namun pada saat yang sama, taqiyah juga bermakna melanjutkan
perjuangan secara diam-diam melawan segala bentuk penyimpangan guna menegakkan
agama. Karena itu kaum Syi’ah harus terus melanjutkan aktifitas intelektual dan sosio
politiknya tanpa memperlihatkan dirinya pada antek-antek khalifah. Dengan mengingat
semuanya ini, maka taqiyah bisa dikatakan sebagai perlindungan diri untuk menjaga
keutuhan di satu sisi, dan melanjutkan perjuangan melawan musuh di sisi lain. Bersikap
lunak, lembut kepada musuh, yang merupakan suatu ketundukan dan menyerah, karena
musuh itu lebih kuat, itulah yang dinamakan sikap taqiyah. Kepala selalu berangguk-
angguk merupakan setuju, padahal hati tidak setuju. Dalam konteks ini Hamka
mendukung konsep taqiyah, bahkan ia membelanya dengan mengatakan bahwa orang
yang tidak memahami ajaran Islam menyamakan setiap sikap taqiyah dengan munafik,
padahal munafik ialah bermulut manis, bersikap lembut dan tersenyum-senyum dalam
menyembunyikan pendirian yang salah, yang kufur. Sebagian munafik mengakui
dihadapan Rasulullah bahwa mereka telah percaya bahwa ia memang utusan Allah,
padahal hati mereka tidak mengakui. Walaupun yang mereka katakan benar, kalau kata
yang benar itu tidak dari hati, mereka tetap berdusta, itulah orang yang munafik. Taqiyah
bukanlah sikap lemah dari sikap Islam terhadap musuh, tetapi taqiyah merupakan siasat
yang terencana. Oleh karena itu mazhab Syi’ah adalah mazhab politik yang banyak sekali
mempunyai rencana-rencana rahasia, yang baru diketahui oleh musuh-musuhnya setelah
musuh itu menghadapi kenyataan.
Adapun dalam memberikan konsep taqiyah Thabathaba’i berbeda dengan para
pakar Islam yang telah dipaparkan di atas. Ada beberapa ayat penting yang dijadikan oleh
Thabathaba’i untuk menjelaskan konsep tentang taqiyah sebagaimana ditegaskan dalam
surat Ali imran ayat 28 :

‫ال يتخذ المؤمنون الكفرين اولياء من دون المؤمنين ومن يفعل ذالك فليس من اهللا فى‬
‫شيء اال ان تتقوا منهم تقة ويحذرآم اهللا نفسه والى اهللا المصير‬
Artinya: Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali,
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu
yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali (mu).
Kata aulia’ di sini merupakan jamak dari kata wali( penguasa/pemimpin) dari
suatu wilayah yang mengusai pemerintahan dan berkewajiban melindungi warga dan
masyarakat beserta harta mereka. Dan mengambil orang kafir sebagai seorang wali yang
mengurusi segala urusan ketatanegaraan dilarang, karena terkait erat dengan kebiasaan-
kebiasaan buruk mereka serta akhlak mereka yang kurang dapat dipertanggungjawabkan
terutama dalam hal mentasarufkan harta pemerintahan. Oleh sebab itu Allah memberikan
penegasan bahwa hanya orang mukminlah yang patut untuk memegang amanat
kekuasaan. Demikian ini harus dilakukan karena orang-orang kafir itu sama halnya
dengan orang Yahudi dan Nasrani, dimana mereka selalu berjibaku, saling tolong
menolong untuk meruntuhkan Islam sebagaimana firman Allah dalam surat AlMaidah
ayat 51 yang berbunyi:

‫يايها الذين امنوا التتخذوا اليهود والنصرى اولياء بعضهم اولياء بعض ومن يتولهم منكم‬
‫فانه منهم ان اهللا ال يهدى القوم الظالمن‬

Artinya: Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpinmu. Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Barang siapa mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orangorang yang dhalim.Selain itu terdapat pula pernyataan Allah dalam Surat Al-
Mumtakhanah ayat 1 yang berbunyi:

‫يايها الذين امنوا التتحدوا عدوى وعدوآم اولياء‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil musuhku dan
musuhmu sebagai teman-teman setia/ wali (pemimpin).
Beberapa ayat di atas merupakan ayat-ayat yang mempunyai kedudukan yang
sama, dimana satu sama lain saling terkait. Bahkan ayat-ayat tersebut satu dengan yang
lain menjadi dalil hukum serta illat yang memperkuat yang lain. Hal ini terjadi karena
perbedaan yang ada di antara sifat orang –orang kafir dengan sifat orang mukmin.
Sehingga apa bila ada orang mukmin yang menjadikan orang kafir sebagai wali, maka
Allah tidak akan bertanggung jawab terhadap bencana yang akan menimpa pada dirinya.
Kecuali orang-orang yang berbuat demikian itu karena sebuah siasat. Karena siasat
taqiyah itu hanya mengakui sebuah kekuasaan musuh itu secara dhahir saja, sedangkan
hakekatnya tidak percaya.Taqiyah dalam perspektif ini adalah upaya mencari
perlindungan karena sangat takut jika ia mengatakan yang sebenarnya mengakibatkan
hancurnya agama dan kepercayaannya. Jadi perasaan takut demikian ini yang
menjadikannya membuat siasat taqiyah. Ayat tersebut diatas menjadi dalil yang nyata
atas diperbolehkannya taqiyah sebagaimana yang terjadi pada kisah Amar bin Yasir yang
ditangkap oleh kaum Musrikin, kemudian mereka menyiksanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Thabathaba’i yang nama lengkapnya adalah Allamah1 Sayyid Muhammad
Husain al-Thabathaba’I, Thabathaba’i menempuh pendidikan dasar dan
menengah di kota kelahirannya. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di
Universitas Najaf, sebuah Universitas Syi’ah terbesar di Iran. Ia banyak
mendalami ulumul qur’an, filsafat, dan juga fikih. Salah satu karya
momentumnya adalah tafsir mizan yang memuat pemikiran-pemikiran
Thabathaba’i.
B. Saran
Sebagai kaum muslimin yang hidup jauh setelah era kenabian, memahami Al-
Qur’an tidak boleh hanya sebatas tekstual saja, hal ini dikarenakan dalam
perkembangan zaman, lambat laung masalah-masalah yang dulunya tidak dibahas
pada era kenabian kian bermunculan, oleh karena itu, untuk menjawab tantangan-
tantangan yang kian hari bermunculan dan membutuhkan pelibatan agama terutama
Al-Qur’an, maka dari sinilah pentinggya para mufassir atau lebih dikenal dengan
artian penafsir Al-Qur’an yang mempunyai ilmu mumpuni pada ulumul Qur’an
sehingga permasalah-permasalahan yang ada mampu dilihat dari perspektif Al-
Qur’an salah satunya adalah hasil pemikiran dari Thabathaba’I yang melahirkan tafsir
mizan, dimana tafsir ini mampu menjawab tantangan-tantangan yang bermunculan
seiring berjalannya waktu dan menjadi rujukan rujukan tafsir tafsir era sekarang salah
satunya adalah tafsir Al-misbah.
DAFTAR PUSTAKA

Murtadah Muthahhari dalam Thabathaba`I, (1995), Shi`I, Manila: al-Hidaya.

Haidar Baqir, (peny), S H Nasr, "Tentang Penulis", dalam Thabathaba'i, (1993), Hikmah

Islam.Cet IV, teri Bandung Mizan

Sayyid Hosen Nasr, "Sang Alim dari Tabriz", dalam Thabathaba'i , (1993), Menyingkap Rahasia

AlQur'an, terj A Malik Madaniy dan Hamim Ilyas, Bandung Mizan

https://ganaislamika.com/allamah-thabathabai-filsof-dan-mufassir-muslim-kontenporer-6-karya-
karya/

Anda mungkin juga menyukai