Anda di halaman 1dari 19

Review Buku

Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam

Karya Seyyed Hosein Nasr

Oleh: Imam Mahfudin (202000111

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Prodi IIS. Konsentrasi Islam Nusantara

Buku ini merupakan buku yang ditulis oleh Sayyed Hosen Nasr mengani tiga tokoh utama

(menurutnya) yang menjadi pelopor utama dalam filsafat Islam dengan croaknya masing-masing.

Tiga tokoh utama tersebut adalah Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibnu ‘Arabi. Dia menyebut Ibnu

Sina sebagai tokoh yang mewakilik filsuf-ilmuwan, Suhrawardi sebagai iluminasionis dan Ibnu

‘Arabi sebagai seorang Sufi. Masing-masing ia sebut sebagai tokoh yang mewakili filsuf dengan

ekspresi sudut pandang berbeda-beda. Nasr menyebut ketiganya sebagai tokoh yang memberi

pengaruh signifikan bagi perkembangan filsafat Islam setelah periode awal Islam.

Dalam pengantarnya Sayyed Hosen Nasr mengawali dengan menyebut historisitas keilmuan

dalam cakrawala duni Islam. Masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam) menurutnya

merupakan buah dari apa yang diawali Nabi Muhammad yang membawa benih keilmuan Islam

yang berikutnya berbuah pemikiran serta peradaban yang penting di dunia. Dalam sejarahnya

Islam telah menjadi faktor utama dan terbesar dalam menyatukan jazirah Arab khususnya.

1
Ekspansi yang dilakukan oleh kaum Muslim berbeda denga napa yang dilakukan bangsa lain.

Pengaruh ekspansi Islam ke berbagai daerah meninggalkan pengaruh yang permanen. Tidak

seperti apa yang dilakukan bangsa lain seperti bangsa Mongol yang melakukan ekspansi di Asia,

penyebaran Islam di berbagai daerah telah merubah dan memodifikasi kehidupan social-budaya

masyarakat yang masuk dalam ekspansinya.

Ekspansi-ekspansi umat Islam ke berbagai daerah juga mendorong para penguasa dan

pemimpinnya untuk segera menemukan formulasi aturan-aturan dan administrasi yang sesuai

dengan ajaran Islam. Seperti apa yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dan juga para khalifah

dalam dinasti Umayyah yang mendorong kerja-kerja kodifikasi al-Qur’an daan hadits serta

penafsiran dan ijtihad. Hal tersebut dilandasi kenyataan bahwa baik al-Qur’an dan hadits

menggunakan Bahasa Arab dan masih asing bagi daerah yang ditlaklukan maka diperlukan

penyesuaian-penyesuaian agar masyarakat di daerah tersebut menjalankan kehidupannya

berlandaskan Syariah.

Perhatian yang besar terhadap penafsiran dan ijtihad pada masa tersebut menjadikan keilmuan

Islam masih hanya bersumber pada teks-teks utama saja belum ada tradisi keilmuan yang digali

dari khazanah keilmuan pra-Islam. Namun kemudian di masa berikutnya terutama pada masa

Dinasti Abbasiyah penggalian khazanah keilmuan pada masa sebelum Islam mulai dilakukan dan

membawa pengaruh signifikan.

Penggalian tradisi keilmuan kuno (wisdom age) umumnya dimulai dengan kerja-kerja

penerjemahan karya-karya dalam Bahasa Yunanai, Persia dan Syiria. Kesadaran akan pentingnya

menggali khazanah keilmuan tersebut merupakan buah dari benih peradaban Islam yang sudah

2
dibawa oleh Muhammad. Selain itu ada faktor lain yang mendorong penerjemahan menjadi

focus beberapa khilafah khususnya dalam periode dinasti Abbasiyah.

Faktor yang disebutkan oleh Nasr yakni adanya adu argumentasi teologis. Pada saat itu, para

tokoh non-Islam seperti dari Yahudi dan Nasrani seringkali menolak apa yang dibawa oleh Islam

dan ajarannya dengan argumentasi yang berlandaskan pada teks-teks pra-Islam baik dalam aspek

filsafat ataupun ilmu lainnya. Hal ini memicu para khalifah terutama untuk melakukan

penerjemahan karya-karya pra-Islam untuk memahami argumentasi tokoh-tokoh non-Islam tadi

pada menggunakannya juga sebagai landasan argumentasi dalam membela ajaran Islam.

Efek dari kerja penerjemahan-penerjemahan karya berbahasa non-Arab tersebut sangat

signifikan. banyak ulama’ dan ilmuwan akhirnya memformulasikan sendiri keilmuan mereka

yang terpengaruh oleh hasil terjemah karya-karya non-Arab tadi sehingga terbentuk khazanah

keilmuan baru yang khas Islam. Salah satunya yakni karya-karya filsafat dari ketiga tokoh yang

hendak dibahas dalam buku ini. Masing-masing memiliki corak yang special yang sedikit banyak

terpengaruh oleh karya-karya terjemah tersebut.

A. Ibnu Sina dan Filsafat-Ilmuwan

1. Tokoh Sebelum Ibnu Sina

Dalam menjelaskan pemikiran-epmikiran ketiga tokoh dalam buku ini Nasr memulainya dengan

menyebutkan tokoh-tokoh sebelum mereka yang juga memiliki pengaruh. Khususnya pemikiran

yang kemudian memengaruhi persepktif filsafat masing-masing. Tokoh-tokoh yang disebutkan

dalam konteks Ibnu Sina antara lain al-Kindi, al-Farabi, dan al-Razi. Namun ada juga tokoh yang

masyhur dalam Islam Tradisional yang dia sebut sebagai tokoh filsuf pertama yakni Iranshahri

3
meskipun tidak ditemukan data yang komprehensif yang menjelaskan kehidupan dan

pemikirannya.

Tokoh sebelum Ibnu Sina yang pertama yakni al-Kindi. Al-Kindi merupakan tokoh yang diakui

sebagai pendiri mazhab filsafat yang menggabungkan corak filsafat Aristotelian dan

Neoplatonisme. Dalam mazhab ini filsafat bercampur dengan ilmu pengetahuan, keduanya saling

berkelindan. Hal ini menggambarkan bahwa al-Kindi adalah seorang filsuf sekaligus seorang

ilmuwan.

Al-Kindi dilahirkan di BAsrah sekitar tahun 801 M di keluarga bangsawan. Sejak muda al-Kindi

telah menguasai ilmu filsafat dan sains. Kecerdasan al-Kindi dalam mengejewantahkan istilah

filsafat ke dalam Bahasa Arab menjadikan dia menjadi tokoh yang masyhur di masa khalifah al-

Ma’mun dan al-Mu’tasim. Karena kemasyhuran tersebut dia mendapat posisi yang penting di

istana. Namun pada masa khalifah al-Mutawakkil dia difitnah dan meninggal sekitar tahun 866

M.

Walaupun al-Kindi dikenal sebagai tokoh yang masyhur dalam sejarah Islam tetapi karya-

karyanya hanya sedikit yang bisa dijumpai. Karya-karyanya dalam bidang metafisika, logika,

klasifikasi ilmu pengetahuan dan diskusi-diskudi mengani pemikiran filsafat Aristoteles di

kemudian hari meliki pengaruh bagi tokoh selanjutnya, termasuk Ibnu Sina.

Corak filsafat al-Kindi diketahui lebih dekat dengan Mazhab Neoplatonisme Athena daripada

Mazhab Alexandria yang diadopsi oleh al-Farabi misalnya. Kecenderungannya pada silogisme

hipotetik dan disjunktif yang digunakan oleh kaum Neoplatonis Athena, Proclus mendapat kritik

dari al-Farabi. Sebab menurut al-Farabi bentuk pembuktian merupakan bentuk demosntrasi yang

lemah. Dalam masalah teologis al-Kindi sejalan dengan aliran Mu’tazilah. Bagi al-Kindi terdapat

4
dua tipe pengetahuan. Yang pertama, pengetahuan ilahi (al-‘ilm al-ilahi) dan yang kedua,

pengetahuan manusiawi (al-‘ilm al-insani. Menurutnya bentuk tertinggi dari ilmu pengetahuan

adalah filsafat. Dari corak filsafat al-Kindi ini bisa dilihat pengaruh ilmu-pengetahuan di

dalamnya, hal ini kemudian menjadikan al-Kindi sebagai sebagai tokoh filsafat-ilmuwan yang

pertama dalam Islam.

Tokoh kedua yang berpengaruh dalam pemikiran filsafat Ibnu Sina yakni al-Farabi seorang

penerus gagasan filsafat-ilmuwan dari al-Kindi. Al-Farabi atau dalam Bahasa latin Alpharabius

disebut sebagai “Guru Kedua” (al-Mu’allim ats-Tsani) bagi sarjana Muslim berikutnya. Dia

dilahirkan di Wasij, Kawasan Farab yang masuk dalam wilayah Provinsi Khurasan pada tahun

807 M.

Al-Farabi dianggap sebagai komentator utama dan pengikut Aristoteles. Dia menulis berbagai

komentar terhadap karya-karya Aristoteles. Komentar-komentar tersebut selain sebagai buah

pemikirannya dalam masalah metafisika dan ontology juga memengaruhi pemahaman Ibnu Sina

tentang metafisika Aristotelian. Sebab dalam karya-karyanya terminology yang diciptakan oleh

Arsitoteles mampu dia tejemahkan ke dalam Bahasa Arab yang sangat sesuai. Namun al-Farabi

tidak semata menjadi pengikut aliran filsafat Aritoteles tetapi dia lebih berusaha untuk

menyatukan kebijaksanaan Aristoteles dan Plato dan menganggap bahwa kebijaksanaan yang

diuraikan oleh keduanya berasal dari wahyu Tuhan dan karena itu tidak sepenuhnya kontradiktif.

Dalam polemic ini karyanya yang paling terkenal yakni Kitab al-Jami’ Baina Ra’yay al-Hakimin

Aflathun al-Ilahi wa Aristhu.

Selain sebagai ilmuwan dia juga dikenal sebagais seorang sufi. Hal ini tergambar dalam berbagai

karyanya yang di dalamnya ada istilah-istilah yang berhubungan dengan sufisme. Karyanya

5
dalam bidang sufisme yang masih dipelajari hingga sekarang yakni Fushush al-Hikam yang

secara eksplisit menampilkan prinsip-prinsip metafisika Peripatetik (masysya’i) tetapi secara

simbolik ada dalam lingkaran dari gnosis (‘irfan).

Tokoh berikutnya yang menurut Nasr layak dijelaskan yakni Muhammad Zakariya al-Razi yang

hidup sekitar 913 M sampai tahun 932 M. al-Razi dikenal juga sebagai Rhazes. Sekalipun dia

mengakui dirinya sendiri sebagai seorang filsuf namun generasi setelahnya lebih mengenalnya

sebagai ahli Fisika. Corak filsafat dan dan religiusitas al-Razi di satu sisi telihat dipengaruhi oleh

Platonisme dan Gnostisisme tetapi di sisi lain dipengaruhi juga oleh Manichaeanisme. Hal ini

dikritik oleh al-Farabi dan juga filsuf lain seperti al-Biruni. Dalam bidang kedokteran, metode

eksperimentalnya terutama yang dijumpai dari karya-karyanya seperti Kitab al-Hawi dan Sirr al-

Asrar banyak mempengaruhi ilmu-ilmu alam pada periode setelahnya. Tidak terkecuali pada

pemikiran Ibnu Sina terutama pada bidang kedokteran dan ilmu-ilmu alam..

Selain ketiga tokoh di atas tokoh-tokoh sebelum Ibnu Sina yakni Abu Sulaiman al-Sijistani, Abu

al-Hasan al-‘Amiri dan tokoh-tokoh lainnya yang juga berpengaruh dalam karya-karya Ibnu Sina

baik dalam bidang filsafat maupun kedokteran dan sains.

2. Biografi Ibnu Sina

Ibnu Sina bernama asli Abu ‘Ali Sina atau dalam dunia barat dikenal dengan sebutan Avicenna

dilahirkan pad tahun 980 M di dekat Bukhara. Pengaruhnya dalam dunia keilmuwan Islam

terutama pada bidang dunia seni dan ilmu pengetahuan membuatnya mendapat julukan sebagai

al-Syaikh al-Ra’is dan Hujjat al-Haq. Dia dilahirkan dari keluarga yang menganut aliran Syi’ah

Ismailiyah.

6
Perjalanan akademiknya dimulai dari penguasaan tehadap al-Qur’an dan ilmu-ilmu untuk

mempelajarinya seperti Bahasa arab dan lainnya. Ilmu-ilmu tersebut sudah dipelajari dan

dikuasainya sejak dini. Ketika umur sepuluh tahun dia mempelajari ilmu logika dan matematika

dari Abu ‘Abdillah al-Natili. Setelah itu dia mempelajari fisika, metafisika dan kedokteran dari

Abu Sahl al-Masihi. Ketika umur 16 tahun Ibnu Sina telah menguasai ilmu-ilmu tersebut kecuali

dalam bidang metafisika, meskipun dia telah membaca berkali-kali karya Aristoteles dalam

bidang metafisika. Lalu, Ketika dia secara tidak sengaja membaca komentar-komentar al-Farabi

terhadap metafisika Aristoteles barulah dia memahami ilmlu dalam bidang metafisika.

Keahliannya dalam bidang kedokteran menjadikannya seorang ilmuwan yang disukai oleh

istana. Sehingga dia mempunyai akses ke perpustakaan-perustakaan yang ada. Ibnu Sina juga

mendapat posisi yang penting dalam istana. Namun seperti kasus para tokoh sebelumnya

pergantian khalifah menjadi masalah baginya, konflik yang timbul memaksanya untuk pindah

dan meninggalkan Bukhara menuju Jurjaniah (Georgia).

Setelah dia memustukan untuk meninggalkan Bukhara dia juga mendapat keistimewaan di

tempat barunya. Tepatnya Ketika dia bisa menyembuhkan Khalifah Syams ad-Daulah seorang

penguasa di kota Hamadan. Berkat jasanya tersebut dia diangkata menjadi wazir. Tidak terikat

dengan khalifah tersbut dia berpindah lagi ke Isfahan, seperti sebelumnya karena kemahirannya

dia mendapat akses untuk kehidupan yang nyaman selama 15 tahun. Di Isfahan dia juga menulis

banyak karya bahkan mulai mempelajari astronomi dan mendirikan observatorium. Kemudian di

kota ini juga terjadi keributan dan konflik akibat pergantian kekuasaan yang memaksanya untuk

Kembali di Hamadan dan meninggal di sana pada tahun 1037 M.

7
Karya-karya pentingnya ada dalam berbagai disiplin ilmu seperti logika, psikologi, kosmologi

dan metafisika. Termasuk karya-karya filsafatnya yang bernuansa esoteric seperti Risalah

al-‘Isyq, trilogy Hayy bin Yaqdzan, Risalah al-Thair, Salaman wa Abshal, tiga bab terakhir al-

Isyarat dan Manthiq al-Masyriqiyin. Dalam bidang sains karya Ibnu Sina yang paling masyhur

yakni Asy-Syifa’, Qanun (dalalm bidang kedokteran), Urjuzah fi al-Thalib. Dalam bidang filsafat

karyanya seperti al-Qashidat al-‘Ainiyah. Karyanya dalam bidang filsafat ini berusaha untuk

menyeleraskan akal dan wahyu mengikuti apa yang telah dimulai oleh al-Kindi, al-Farabi dan

Ikhwan al-Shafa yang kemudian diteruskan oleh Suhrawardi dan juga Mulla Sadra.

3. Filsafat Ibnu Sina

Esensi dari metafisika Ibnu Sina adalah berkaitan dengan ontology, kajian terhadap wujud serta

seluruh distingsi mengenainya. Menurutnya hakikat suatu hal tergantung pada eksistensinya dan

pengetahuan atas sebuah objek berujung pada pengetahuan tentang ontologisnya dalam

rangkaian eksistensi universal yang menentukan seluruh atribut dan kualitasnya.

Dalam memahami keberadaan alam, dia berpendapat bahwa segala sesuatu di alam semesta

(universe) berdasar pada kenyataan bahwa dia ada (exist) dan dimanifestasikan dalam wujud

(being). Tuhan sebagai wujud murni (pure being)bukan merupakan terma pertama dalam rantai

kontinuitas sehingga tidak memiliki kontinuitas “substansial” dan “horizontal”. Atau bisa

dikatakan bahwa Tuhan lebih “awal” dari semesta dan bersifat transdenden.

Fundament pemikiran ontologisnya bisa dilihat dari distingsi antara esensi atau kuiditas

(mahiyah) dan eksistensinya. Dalam lingkup pemikiran keduanya tidak saling berhubungan,

seseorang mampu memikirkan sesuatu tanpa harus objek yang dipikirkannya ada atau tidak ada.

Tetapi dalam dunia realitas, antara esensi dan eksistensi adalah objek yang sama.

8
Dari distingsi tersebut muncul pemilahan antara wujud (being) menjadi tidak mungkin

(mumtani’), mungkin (mumkin), dan niscaya (wajib). Hal ini lebih seperti tingkatan dalam

berpikir, artinya jika sesorang memikirkan suatu objek tapi dalam realita objek tersebut tidak

mungkin ada maka objek tersebut masuk dalm tingkat mumtani’. Namun jika objek yang

dipikirkannya bisa diterima dalm dunia realitas maka objek tersebut masuk dalam kategori

mumkin, sebab esensi (kuiditas) dan eksistensinya menjadi objek yang mungkin sama. Dan jika

suatu objek tidak bisa dipisahkan antara esensi dan eksistensinya serta tidak bisa lepas dari

keadaan non-esksistensinya maka objek tersebut masuk dalam kategori wujud nisaya.

Pada lingkup pemikiran kosmologi dan penciptaan alam, Ibnu Sina seolah menggunakan

pendekatan matematis sebab dalam usaha untuk menciptakan korespondesi antara hipotesis

kosmologi filosofis dia menggunakan alfabet dan angka-angka. Dia menulis A=1 sebagai

lambing sang Pencipta, B=2 untuk akal universal, C=3 untuk jiwa universal dan D=4 untuk alam.

Usaha Ibnu Sin ini terlihat sebagai upaya untuk menunjukkan Kebijaksanaan Bangsa Timut

(oriental wisdom) yang berbeda dengan filsafat Yunani. Sekaligus menunjukkan bahwa dia

bukan sekedar pengikut filsuf-filsuf terdahulu tetapi lebih dekat dengan Filsafat Timur.

Pengaruh pemikiran filsafatnya juga tertuang dalam karya-karyanya dalam beragam bidang

seperti dalam bidang ilmu alam dan matematika, psikologi, dan pemikiran teologisnya yang

berhubungan dengan wahyu dan Tuhan. Semisal dalam psikologi, Ibnu Sina telihat memakai

argument Peripatetik dalam mengambarkan daya-daya (faculties) jiwa dengan istilah-istilah yang

mirip digunakan oleh Aristoteles.

Secara teologis Ibnu Sina juga berusaha untuk menyelaraskan pemikiran filsafatnya dengan

perspektif Islam. Dia dikenal sebagai seorang yang religious. Ketika menemui kesulitan-

9
kesulitan dalam problem ilmiah dan filosofis dia akan melakukan ibadah di masjid. Ibnu Sina

menyadari bahwa kehidupan beragama sangat bermanfaat baginya. Dalam bidang yang lebih

khusus yakni soal kenabian dia juga berusaha memformulasikan tori filosofis dalam

penyelarasan dengan ajaran al-Qur’an serta tetap konsisten dengan pandangan dunianya yang

general..

Dari seluruh penjabarn di atas Ibnu Sina memainkan peran yang signfikan dalam kajian filsafat

sekaligus dia menjadi “malaikat pelindung” dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan Islam.

Pengaruh tersebut diteruskan oleh generasi-generasi setelahnya. Bahkan pengaruhnya sampai di

Eropa dari abad ke-12 dan seterusnya.

B. Suhrawardi dan Kaum Iluminasionis

1. Latar Belakang Pra-Suhrawardi

Pada masa Ibnu Sina bisa dikatakan bahwa filsafat Peripatetik mencapai puncak

kesempurnaannya. Pemikiran-pemikiran Ibnu Sina kemudian diteruskan oleh murid-muridnya,

mereka menetang kecenderungan rasionalisme yang inheren dalam filsafat Aristoteles. Lalu pada

abad ke 10 muncul oposisi dari filsafat Peripatetik yakni aliran teologi Asy’ariyah yang diinisiasi

oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan didukung dalam lingkungan Sunni.

Tetapi pada abad ke-10 pula paham teologi syi’ah yang cednerung positivistic masih terus

berkembang sebab pada masa itu kekuasaan Dinasti Abbasiyah melemah dan banyak pernguasa

daerah masih berpegang pada teologi Syi’ah. Hal ini menjadi sebab ilmu pengetahuan alam

masih terus berkembang dan bahkan mencapai zaman keemasannya. Baru kemudian pada abad

ke-11 pada masa dinasti Seljuk teologi Asy’ariyah mulai berkembang secara pesat.

10
Salah satu tokoh dari teologi Asy’ariyah adalah al-Ghazali. Dia merupakan seorang ahli hukum

dan teolog yang sangat paham tentang filsafat. Selain itu dalam perjalanan spiritualnya dia

menemukan bahwa jalan sufi lah yang bisa mengobati kekeringan spiritualnya karena di

dalamnya dia menemukan kepastian dan penyelamatan tertinggi. Karena hal tersebut dia mulai

melakukan kritik terhadap rasionalisme yang ada pad filsafat. Untuk memulai hal tersebut dia

menulis karya yang merangkum filsafat Peripatetik dalam Maqashid al-Falasifah. Baru kemudian

dia menuliskan kritik terhadap beberapa aspek pemikiran filsafat dalam karyanya Tahafut al-

Falasifah. Namun kritiknya bukan berarti mewakili teologi Asy’ariyah tetapi lebih sebagi kritik

yang dilakukan oleh seorang sufi. Komentar dan krtiknya terhadap filsafat bertujuan untuk

membawa sufisme agar bisa diterima oleh para ahli hukum dan teolog..

Efek dari pemikiran al-Ghazali filsafat Peripatetik mulai memudar di Kawasan Timur Islam dan

beralih ke Barat seperti ke Andalusia dan sekitarnya. Di Andalusia khususnya filsafat masih

berkembang dan banyak para filsuf yang masyhur di sana. Salah satunya yakni Ibnu Rusyd yang

di kemudian menulis Tahafutu al-Tahafut sebagai kritikan kepada karya al-Ghazali. Namun

kritiknya sekaligus pembelaannya terhadap filsafat tidak terlalu diparesiasi di kalangan umat

Islam, sebaliknya pengaruhnya menjadi signifikan di daerah Barat. Pengaruh tersebut bisa dilihat

salah satunya dengan munculnya “Averoisme Latin” sebuah mazhab yang mengikuti Ibnu Rsyd

yang mengkontektualisasikan pemikirannya ke dalam dunia Kristen.

Dari polemic tersebut dapat dibaca bahwa Ketika paham rasionalisme ala Aristoteles mendapat

penolakan di dunia Islam tetapi paham tersebut semakin menguat di Barat. Perkembangan

filsafat Aristotelian juga menggeser Platonisme Agustinian awal yang dilandaskan pada

iluminasi dan puncaknya menjadi awal dari renaissance pada Abad Pertengahan di Barat.

11
2. Biografi Suhrawardi

Suhrawardi yang bernama lengkap Syihabuddin Yahya bin Habasy bin Amirak al-Suhrawardi

adalh seorang ahli hikmah yang doktrinnya pernah diserang dan dikritik oleh al-Ghazali.

Suhrawardi juga dikenal sebaga al-Maqtul (Yang Terbunuh) tetapi dia lebih masyhur disebut

sebagai Syaikh al-Isyraq (Guru Iuminasi) oleh para pengikut mazhabnya.

Suhrawardi tidak terlalu dikenal khususnya di dunia Barat, hingga menurut Nasr pada tahun 60-

an dia mulai dikenal stelah Henry Corbin mengkaji karya-karyanya. Hal ini juga dampak

stagnasi perkembangan filsafat setelah Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun. Mazhab iluminasi yang

dibawanya juga tidak terllau dikenal di dunia Islam.

Ketika membicarakan Suhrawardi, Nasr memulainya dengan fenomena penerimaan filsafat

dalam teologi Sunni dan Syi’ah. Dalam lingkup Sunni, filsafat bisa dikatakan berhenti

perkembangannya setelah memudarnya filsafat peripatetic. Hanya logika saja yang secara

kontinu diajarkan di madrasah-madrasah. Pemikiran irfani juga cenderung mendominasi di dunia

teologis Sunni. Berbeda halnya dengan Syiah, teosufi yang dibangun baik oleh Suhrawardi, Ibnu

Sina dan Ibnu ‘Arabi seperti menjadi penghubung antara nalar filsafat dengan gnosis (irfani)

murni.

Suhrawardi sendiri dilahirkan pada tahun 1153 M di desa Suhrawrd dekat kota Zanjan dalam

Persia Modern. Di kota ini juga banyak ilmuwan yang lahir da besar. Kehidupan akademis

Suhrawardi dimulai di kota Maraghah oleh seroang gurnya yang bernamanya Majduddin al-Jili.

Kemudian dia menyelesaikan Pendidikan formalnya di Isfahan dibawah asuhan Dhahiruddin al-

Qari. Setelah itu dia melakukan perjalanan ke Persia dan menjadi penanda dimulainya kehidupan

sufinya dan menghabiskan waktunya dalam pengasingan diri (khalwat). Di Persia dia juga

12
bertemu dengan Sultan Malik al-Zhahir yang memang memiliki ketertarikan dengan para ahli

hikmah muda dan mengundangnya untuk hidup di istana.

Gaya argumentasinya yang terang-terangan dan kadang kurang bijak dalam selain juga karena

kecerdaasannya menyampaikan argument di depan pendengarnya memunculka banyak orang

yang tidaks suka dan setuju dengan pendapatnya. Dia juga dikenal cerdas dalam berdebat karena

keahliannya dalam filsafat diskursif serta sufisme. Kritikan para musuhnya akhirnya membuat

dia dituduh menyebarkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan keimanan. Akhirnya diapun

dipenjarakan dan meninggal pada tahun 1191 M.

Dalam perjalanan hidupnya yang terhitung pendek Suhrawardi menulis hamper 50 karya. Karya-

karyanya setidaknya bisa dibagi dalam lima kategori yakni:

1. Empat karya besar yang bercorak doctrinal dan didaktik yang membicarakan filsafat

Peripatetik dan teosofi Isyraqi.

2. Risalah-risalan pendek yang isisnya penjelasan dari empat karyanya dalam kategori

pertama di atas tetapi dengan Bahasa yang ringkas dan sederhana.

3. Cerita-certia mistik dan simbolik serta novel yang isinya menggambarkan perjalan jiwa

melintasi kosmos menuju dan pencapaian puncak iluminasi.

4. Transkripsi, terjemahan dan uraian mengenai filsafat yang lebih awal serta mengenai

naskah-naskah suci dan keagamaan.

5. Karya yang berupa do’a-do’a dan permohonan dalam Bahasa Arab.

Dalam karya-karya tersebut Suhrawardi memasukkan elemen apapun yang dia rasa cocok

dengan argumentasinya walaupun dari tradisi lain. Hal ini dikarenakan pandangannya bahwa

13
semestas adalah sesuatu yang bersifat Islami yang meniscayakan bahwa segala hal di dalamnya

sebenarnya selalu bernuansa islami.

3. Filsafat Isyraqi Suhrawardi

Filsafat yang bercorak Isyraqi lebih tepatnya disebut teosufi Isyraqi, doktrin-doktrinnya diambil

dari sumber utama seperti sufisme. Jika melihat dari karya-karya Suhrawardi dapat dilihat bahwa

sintesis utama dari elemen-elemen sufisme tersebut berasal dari pemikiran al-Hallaj dan al-

Ghazali. Karya al-Ghazali Misykat al-Anwar khususnya menjadi sumber doktrin utamanya

karena kaitannya secara langsung dengan relasi antara iman dan cahaya sebagaimana yang

dipahami oleh Suhrawardi.

Sedangkan sumber-sumber pra-Islam yang berpengaruh pada pemikiran Suhrawardi seperti

Phytagorimse dan Platonisme serta Hermetisme. Sumber-sumber kebijaksanaan Persia Kuno

juga menjadi landasan doctrinal pemikiran Suhrawardi. Terkait dengan penggunaan simbolisme

cahaya dan kegelapan, Suhrawardi mengambilnya dari Zoroastrianime. Bahkan dia juga

mengidentifikasikan dirinya dengan sekelompok ahli hikmah Persia Kuno dengan doktrin

esoteric yang didasarkan pada kesatuan dasar Ilahiah dan sebagai sosok yang mengangkat tradisi

tersembunyi dalam komunitas Zoroastrian.

Dalam doktrin Isyraqi Suhrawardi menekankan bahwa yang paling berpengaruh pada

pemikirannya bukan dari filsuf yang sudah banyak dikenal tetapi para sufi sebelum generasinya.

Dia bahkan mengatakan bahwa bukanlah kaum Peripatetik yang disebut sebagai filsuf sejati

tetapi tokoh seperti al-Basthami dan al-Tustari yang dikenal sebagai sufi, merekalah filsuf sejati.

Dalam mendefenisikan makna Isyraqi Suhrawardi menghubungkannya dengan kebijaksanaan

dengan peridode pra-Aristotelian yakni sebelum filsafat dirasionalisasikan dan Ketika intuisi

14
intelektual masih merupakan jalan sejati bagi pencapaian pengetahuan. Dari definisi tersebut

dapat dipahami bahwa kebijaksanaan Isyraqi didasarkan pada penalaran dikursif dan intuisi

intelektual.

Dengan landasan dan sumber doctrinal seperti di atas Suhrawardi menyebut ada empat kategori

orang dalam pandangan Isyraqi:

1. Mereka yang mulai merasa haus atas pengetahuan

2. Mereka yang telah memperoleh pengetahuan formal dan menyempurnakan filsafat

diskursif tetapi asing dengan gnosis.

3. Mereka yang tidak peduli sama sekali atas bentuk-bentuk diskursif pengetahuan sama

sekali.

4. Mereka yang telah menyempurnakan filsafata diskursif dan juga memperoleh iluminasi

atau gnosis.

Dari kategorisasi tersebut Suhrawardi kemudian membagi ragam tingkatan dan intensitas.

Menurutnya segala hal di alam semesta berasal dari cahaya. Di tingkat pertama ada Cahaya

Murni yakni tidak lain adalah Cahaya Ilahi karena sifatanya yang sangat terang dengan intensitas

yang tinggi maka tidak bisa dilihat oleh tingkatan lain dengan intensitas yang lebih rendah.

Cahaya dengan intensitas yang lebih rendah ini ada dalam tingkatan makhluknya. Tingkatan

yang paling rendah adalah kegelapan di mana tidak ada sama sekali intensitas cahaya di

dalamnya.

C. Ibnu ‘Arabi dan Kaum Sufi

1. Tradisi Sufi

15
Pembahasan mengenai Ibnu ‘Arabi dimulai oleh Nasr dari kajian mengani tradisi sufi. Nasr

mengatakan bahwa sufisme atau dalam Bahasa Arab disebut Tasawuf adalah sebuah jalan

realisasi spiritual serta pencapaian kesucian dan gnosis dan merupakan aspek hakiki dari wahyu

Islam. Semua itu pada dasarnya adalah jantung dan dimensi batin atau esoteric. Doktrin-doktrin

sufisme juga mengambil beberapa formulasinya dari doktrin-doktrin Neoplatonik dan Hermetik.

Namun realitasnya sufisme tetap berdasar pada dan berakar dari wahyu khususnya terkait ruh

dan bentuk lahiriah Islam.

Secara historis pada Masa Nabi Muhammad SAW tidak bisa memisahkan secara total tradisi

(sunnah) menjadi komponen esoteric dan eksoterik ataupun komponen syari’ah dan thariqah. Hal

ini menjadikan sufisme sebagai Gerakan tersendiri pada saat itu belum muncul karena memang

Nabi sebagai sumber utama wahyu masih hidup.

Kemudian pada abad ke-9, mazhab-mazhab hukum atau syari’ah mulai dikodifikasikan begitu

pula sufisme. Secara khusus tradisi sufisme dan doktrin-doktrinnya disebarkan oleh berbagai

ikatan persaudaraan melalui bimbingan guru dan akhirnya dinamakan dan dinisbatkan kepada

guru tersebut. Tetapi yang perlu digarisbawahi tradisi Sufi tetap berlandaskan pada ajaran dan

teladan Nabi. Mara tokoh sufi menyebut bahwa merekalah yang paling gigih mengikuti ajaran-

ajaran Nabi. Maka dari itu sufisme merupakan aspek batin ajaran-ajaran Nabi.

Tradisi Sufi di kemudian hari dapat dilihat dari dinamikanya yang berawal dari tradisi Syi’ah.

Sebab genealogi sufi yang bisa dilihat dalam sanad keilmuan mereka akan berujung pada imam-

imam Syi’ah yakni dari Ali Bin Abi Thalib dan imam-imam Syi’ah lainnya.

Juga jika dilihat secara kronologis waluapun tradisi sufi baru terkodifikasikan pada abad ke-9 M

namun akarnya sudah ada sejak awal Islam. Tradisi sufi juga kemudian semakin berkembang

16
dengan munculnya tokoh-tokohnya sejak abad ke-9 M. Misalnya pada abad ketiga hijriyah ada

beberapa tokoh sufi yang terkenal seperti Dzunnun al-Mishri dan juga Bayazid al-Bhastami.

Kemudian pada akhir abad ke-9 ada Mazhab Baghdadi yang dipelopori Junaid al-Baghdadi. Lalu

pada abad ke-10 ketika seni dan ilmu pengetahuan Islam mencapai puncaknya muncul karya dan

tokoh-tokoh sufi yang berpengaruh seperti Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi dan juga al-Kalabadzi.

Dalam karya-karya yang memuat ajaran sufisme banyak yang menggunakan Bahasa Persia. Hal

ini menjadikan Bahasa Persia selain Bahasa Arab sebagai sarana utama bagi ekspresi doktrin

kaum sufi. Pada abab ke-10 juga terjadi pergesekan antara sufisme dengan filsafat, teologi dan

juga fiqih. Dalam pergumulan ini muncul al-Ghazali sebagai tokoh yang menyajikan keselarasan

antara aspek-aspek esoteric dan eskoterik Islam. Karya-karya al-Ghazali dalam sufisme

kemudian mempengaruhi warna karya-karya Ibnu ‘Arabi.

2. Kehidupan Ibnu ‘Arabi dan Filsafat dalam Jalan Sufinya.

Ibnu ‘Arabi yang bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin al-‘Arabi al-Hatimi al-Tha’I lahir

di Murcia, Spanyol Selatan pada tahun 1165 M dari keluarga berdarah Arab asli dan Bani Tha’i.

dia juga dikenal dengan sebutan Syekh al-Akbar dan dilengkapi dengan Muhyiddin. Menurut

Nasr mahakaryany yang terbesar adalah kehidupannya sendiri karena dalam perjalanan hidupnya

banyak sekali didaptkan jalan-jalan hikmah yang penuh pelajaran bagi seorang sufi.

Ibnu ‘Arabi memulai perjalanan hidupnya dengan pindah ke Sevilla. Di sini dia bertemu dan

berguru pada dua tokoh yakni Yasamin dari Marshena dan Fatimah dari Cordoba. Ibnu ‘Arabi

memganggap mereka khususnya Fatimah sebagai ibu spiritual baginya, Ketika umurnya

mencapai 20 tahun dia melakukan perjalan ke berbagai kota di Andalusia untuk bertemu dengan

banyak tokoh-tokoh sufi. Di Cordoba dia bertemu Ibnu Rusyd. Pertemuan kedua tokoh ini

17
menjadi sesuatu yang patut dianggap monumental karena keduanya memiliki pengaruh yang

kuat bagi kehidupan filsafat dan sufi setelahnya. Setelah itu kemudian dia melanjutkan

perjalanannya ke berbagai daerah sampai pada tahun 1201 M dia pergi ke Mekkah, di kota inilah

dia mulai menulis atau lebih tepatnya “diperintahkan” menulis karya utamanya yakni Futuhat al-

Makkiyah.

Pada tahun 1207 M Ibnu ‘Arabi mulai terlibat konflik dengan para ahli fiqih sampai dia

mendapat ancaman pembunuhan di Kairo yakng akhirnya membuat dia pergi mengungsi ke

Mekkah. Setelah dari Mekkah tepatnya pada tahun 1211 M dia bertemu dengan Suhrawardi. Dan

akhirnya pada tahun 1240 M dia meninggal di kota Damaskus.

Dari perjalanan hidupnya banyak karya yang sudah dia tulis, namun dua karya yang paling

terkenal yakni Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Yang pertama yakni Futuhat al-

Makkiyah. Di dalam karyanya ini berisi 560 bab yang membahas tentang prinsip-prinsip

metafisika, beragam sains sacral, dan juga pengalaman spiritualnya sendiri. Di dalamnya juga

terdapat doktrin-doktrin kosmologis dari sumber Hermetik dan Neoplatonik. Lain halnya dengan

Fushush al-Hikam yang sesuai Namanya berisi wasiat-wasiat spriritualnya.

Jika membaca karya-karyanya maka ditemukan beberapa sumber doktrin di dalamnya. Selain dia

menerima pengetahuan melalui iluminasi atas hatinya oleh teofani Tuhan ada juga mengikuti

pemikiran-pemikiran sufi sebelumnya termasuk dari al-Hallaj dan Hakim al-Tirmidzi. Sumber di

luar tradisi Islam yang dia adopsi antara lain dari Hermetisme Alexandrian dan juga pemikiran

dari kaum Stoik, Philo, Neoplatonis dan mazhab kuno lainnya.

Dari karya-karya tersebut ada dua pemikiran Ibnu ‘Arabi yang sering dibahas yakni konsep

kesatuan dengan Tuhun (wahdatul wujud) dan konsep manusia Universal (al-Insan al-Kamil).

18
Keduanya menjadi pemikiran yang sering menjadi polemic dan mendapat kritikan, khususnya

mengeani konsep wahdatu al-wujud.

Mengenai konsep kesatuan wujud sebenarnya sudah menjadi doktrin dasar sufisme dan

ditafsirkan oleh banyak tokoh sufi, salah satunya oleh Ibnu ‘Arabi. Karena pemikiran ini pula

Ibnu ‘Arabi kerap mendapat tuduhan bermacam-macam seperti disebut sebagai panties,

panenteis dan monis eksistensial. Tuduhan-tuduhan tersebut jika memahami pemikiran Ibnu

‘Arabi terbantahkan karena konsep Kesatuan Wujud dalam pandangan sufi dan juga Ibnu ‘Arabi

adalah di sakping Tuhan itu transenden secara mutlak dalam kaitannya dengan semesta, semesta

tidak sepenuhnya terpisah dari-Nya; bahwa “Semesta ditenggelamkan secara misterius ke dalam

Tuhan. Hal ini juga menunjukkan bahwa tatanan realitas tidak terlepas dari Realitas Absolut.

Hubungan kedua realitas ini dapat dijelaskan juga dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah

transenden dalam kaitannya dengan penampakan-penampakannya. Tetapi penampakan-

penampakan itu tidak sepenuhnya terpisah dari Realitas Ilahiah yang bagaimanapun juga

meliputinya.

Konsep pemikiran yang kedua yakni Manusia Universal atau Logos dan dalam Bahasa Ibnu

‘Arabi disebut al-Insan al-Kamil. Manusia universal dijelaskan sebagai teofani (tajalli) total dari

Nama-Nama Tuhan. Dia merupakan keseluruhan semesta dalam kesatuannya, seperti “terlihat”

oleh Esensia Tuhan. Atau bisa dikatakan dia sebagai purwarupa semesta dan juga purwarupa

manusia. Dalam perspektif spiritual manusia universal adalah contoh model kehidupan spiritual.

Dari penjabaran tersebut manusia Universal dalam tingkatannya adalah para Nabi khususnya

Nabi Muhammad kemudia para wali agung (quthb). Meskipun begitu secara potensial setiap

manusia adalah manusia universal. Namun dalam aktualitasnya hanya para nabi dan para wali

yang bisa disebut dengan julukan tersebut.

19

Anda mungkin juga menyukai