Buku ini merupakan buku yang ditulis oleh Sayyed Hosen Nasr mengani tiga tokoh utama
(menurutnya) yang menjadi pelopor utama dalam filsafat Islam dengan croaknya masing-masing.
Tiga tokoh utama tersebut adalah Ibnu Sina, Suhrawardi dan Ibnu ‘Arabi. Dia menyebut Ibnu
Sina sebagai tokoh yang mewakilik filsuf-ilmuwan, Suhrawardi sebagai iluminasionis dan Ibnu
‘Arabi sebagai seorang Sufi. Masing-masing ia sebut sebagai tokoh yang mewakili filsuf dengan
ekspresi sudut pandang berbeda-beda. Nasr menyebut ketiganya sebagai tokoh yang memberi
pengaruh signifikan bagi perkembangan filsafat Islam setelah periode awal Islam.
Dalam pengantarnya Sayyed Hosen Nasr mengawali dengan menyebut historisitas keilmuan
dalam cakrawala duni Islam. Masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam) menurutnya
merupakan buah dari apa yang diawali Nabi Muhammad yang membawa benih keilmuan Islam
yang berikutnya berbuah pemikiran serta peradaban yang penting di dunia. Dalam sejarahnya
Islam telah menjadi faktor utama dan terbesar dalam menyatukan jazirah Arab khususnya.
1
Ekspansi yang dilakukan oleh kaum Muslim berbeda denga napa yang dilakukan bangsa lain.
Pengaruh ekspansi Islam ke berbagai daerah meninggalkan pengaruh yang permanen. Tidak
seperti apa yang dilakukan bangsa lain seperti bangsa Mongol yang melakukan ekspansi di Asia,
penyebaran Islam di berbagai daerah telah merubah dan memodifikasi kehidupan social-budaya
Ekspansi-ekspansi umat Islam ke berbagai daerah juga mendorong para penguasa dan
pemimpinnya untuk segera menemukan formulasi aturan-aturan dan administrasi yang sesuai
dengan ajaran Islam. Seperti apa yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dan juga para khalifah
dalam dinasti Umayyah yang mendorong kerja-kerja kodifikasi al-Qur’an daan hadits serta
penafsiran dan ijtihad. Hal tersebut dilandasi kenyataan bahwa baik al-Qur’an dan hadits
menggunakan Bahasa Arab dan masih asing bagi daerah yang ditlaklukan maka diperlukan
berlandaskan Syariah.
Perhatian yang besar terhadap penafsiran dan ijtihad pada masa tersebut menjadikan keilmuan
Islam masih hanya bersumber pada teks-teks utama saja belum ada tradisi keilmuan yang digali
dari khazanah keilmuan pra-Islam. Namun kemudian di masa berikutnya terutama pada masa
Dinasti Abbasiyah penggalian khazanah keilmuan pada masa sebelum Islam mulai dilakukan dan
Penggalian tradisi keilmuan kuno (wisdom age) umumnya dimulai dengan kerja-kerja
penerjemahan karya-karya dalam Bahasa Yunanai, Persia dan Syiria. Kesadaran akan pentingnya
menggali khazanah keilmuan tersebut merupakan buah dari benih peradaban Islam yang sudah
2
dibawa oleh Muhammad. Selain itu ada faktor lain yang mendorong penerjemahan menjadi
Faktor yang disebutkan oleh Nasr yakni adanya adu argumentasi teologis. Pada saat itu, para
tokoh non-Islam seperti dari Yahudi dan Nasrani seringkali menolak apa yang dibawa oleh Islam
dan ajarannya dengan argumentasi yang berlandaskan pada teks-teks pra-Islam baik dalam aspek
filsafat ataupun ilmu lainnya. Hal ini memicu para khalifah terutama untuk melakukan
pada menggunakannya juga sebagai landasan argumentasi dalam membela ajaran Islam.
signifikan. banyak ulama’ dan ilmuwan akhirnya memformulasikan sendiri keilmuan mereka
yang terpengaruh oleh hasil terjemah karya-karya non-Arab tadi sehingga terbentuk khazanah
keilmuan baru yang khas Islam. Salah satunya yakni karya-karya filsafat dari ketiga tokoh yang
hendak dibahas dalam buku ini. Masing-masing memiliki corak yang special yang sedikit banyak
Dalam menjelaskan pemikiran-epmikiran ketiga tokoh dalam buku ini Nasr memulainya dengan
menyebutkan tokoh-tokoh sebelum mereka yang juga memiliki pengaruh. Khususnya pemikiran
dalam konteks Ibnu Sina antara lain al-Kindi, al-Farabi, dan al-Razi. Namun ada juga tokoh yang
masyhur dalam Islam Tradisional yang dia sebut sebagai tokoh filsuf pertama yakni Iranshahri
3
meskipun tidak ditemukan data yang komprehensif yang menjelaskan kehidupan dan
pemikirannya.
Tokoh sebelum Ibnu Sina yang pertama yakni al-Kindi. Al-Kindi merupakan tokoh yang diakui
sebagai pendiri mazhab filsafat yang menggabungkan corak filsafat Aristotelian dan
Neoplatonisme. Dalam mazhab ini filsafat bercampur dengan ilmu pengetahuan, keduanya saling
berkelindan. Hal ini menggambarkan bahwa al-Kindi adalah seorang filsuf sekaligus seorang
ilmuwan.
Al-Kindi dilahirkan di BAsrah sekitar tahun 801 M di keluarga bangsawan. Sejak muda al-Kindi
telah menguasai ilmu filsafat dan sains. Kecerdasan al-Kindi dalam mengejewantahkan istilah
filsafat ke dalam Bahasa Arab menjadikan dia menjadi tokoh yang masyhur di masa khalifah al-
Ma’mun dan al-Mu’tasim. Karena kemasyhuran tersebut dia mendapat posisi yang penting di
istana. Namun pada masa khalifah al-Mutawakkil dia difitnah dan meninggal sekitar tahun 866
M.
Walaupun al-Kindi dikenal sebagai tokoh yang masyhur dalam sejarah Islam tetapi karya-
karyanya hanya sedikit yang bisa dijumpai. Karya-karyanya dalam bidang metafisika, logika,
kemudian hari meliki pengaruh bagi tokoh selanjutnya, termasuk Ibnu Sina.
Corak filsafat al-Kindi diketahui lebih dekat dengan Mazhab Neoplatonisme Athena daripada
Mazhab Alexandria yang diadopsi oleh al-Farabi misalnya. Kecenderungannya pada silogisme
hipotetik dan disjunktif yang digunakan oleh kaum Neoplatonis Athena, Proclus mendapat kritik
dari al-Farabi. Sebab menurut al-Farabi bentuk pembuktian merupakan bentuk demosntrasi yang
lemah. Dalam masalah teologis al-Kindi sejalan dengan aliran Mu’tazilah. Bagi al-Kindi terdapat
4
dua tipe pengetahuan. Yang pertama, pengetahuan ilahi (al-‘ilm al-ilahi) dan yang kedua,
pengetahuan manusiawi (al-‘ilm al-insani. Menurutnya bentuk tertinggi dari ilmu pengetahuan
adalah filsafat. Dari corak filsafat al-Kindi ini bisa dilihat pengaruh ilmu-pengetahuan di
dalamnya, hal ini kemudian menjadikan al-Kindi sebagai sebagai tokoh filsafat-ilmuwan yang
Tokoh kedua yang berpengaruh dalam pemikiran filsafat Ibnu Sina yakni al-Farabi seorang
penerus gagasan filsafat-ilmuwan dari al-Kindi. Al-Farabi atau dalam Bahasa latin Alpharabius
disebut sebagai “Guru Kedua” (al-Mu’allim ats-Tsani) bagi sarjana Muslim berikutnya. Dia
dilahirkan di Wasij, Kawasan Farab yang masuk dalam wilayah Provinsi Khurasan pada tahun
807 M.
Al-Farabi dianggap sebagai komentator utama dan pengikut Aristoteles. Dia menulis berbagai
pemikirannya dalam masalah metafisika dan ontology juga memengaruhi pemahaman Ibnu Sina
tentang metafisika Aristotelian. Sebab dalam karya-karyanya terminology yang diciptakan oleh
Arsitoteles mampu dia tejemahkan ke dalam Bahasa Arab yang sangat sesuai. Namun al-Farabi
tidak semata menjadi pengikut aliran filsafat Aritoteles tetapi dia lebih berusaha untuk
menyatukan kebijaksanaan Aristoteles dan Plato dan menganggap bahwa kebijaksanaan yang
diuraikan oleh keduanya berasal dari wahyu Tuhan dan karena itu tidak sepenuhnya kontradiktif.
Dalam polemic ini karyanya yang paling terkenal yakni Kitab al-Jami’ Baina Ra’yay al-Hakimin
Selain sebagai ilmuwan dia juga dikenal sebagais seorang sufi. Hal ini tergambar dalam berbagai
karyanya yang di dalamnya ada istilah-istilah yang berhubungan dengan sufisme. Karyanya
5
dalam bidang sufisme yang masih dipelajari hingga sekarang yakni Fushush al-Hikam yang
Tokoh berikutnya yang menurut Nasr layak dijelaskan yakni Muhammad Zakariya al-Razi yang
hidup sekitar 913 M sampai tahun 932 M. al-Razi dikenal juga sebagai Rhazes. Sekalipun dia
mengakui dirinya sendiri sebagai seorang filsuf namun generasi setelahnya lebih mengenalnya
sebagai ahli Fisika. Corak filsafat dan dan religiusitas al-Razi di satu sisi telihat dipengaruhi oleh
Platonisme dan Gnostisisme tetapi di sisi lain dipengaruhi juga oleh Manichaeanisme. Hal ini
dikritik oleh al-Farabi dan juga filsuf lain seperti al-Biruni. Dalam bidang kedokteran, metode
eksperimentalnya terutama yang dijumpai dari karya-karyanya seperti Kitab al-Hawi dan Sirr al-
Asrar banyak mempengaruhi ilmu-ilmu alam pada periode setelahnya. Tidak terkecuali pada
pemikiran Ibnu Sina terutama pada bidang kedokteran dan ilmu-ilmu alam..
Selain ketiga tokoh di atas tokoh-tokoh sebelum Ibnu Sina yakni Abu Sulaiman al-Sijistani, Abu
al-Hasan al-‘Amiri dan tokoh-tokoh lainnya yang juga berpengaruh dalam karya-karya Ibnu Sina
Ibnu Sina bernama asli Abu ‘Ali Sina atau dalam dunia barat dikenal dengan sebutan Avicenna
dilahirkan pad tahun 980 M di dekat Bukhara. Pengaruhnya dalam dunia keilmuwan Islam
terutama pada bidang dunia seni dan ilmu pengetahuan membuatnya mendapat julukan sebagai
al-Syaikh al-Ra’is dan Hujjat al-Haq. Dia dilahirkan dari keluarga yang menganut aliran Syi’ah
Ismailiyah.
6
Perjalanan akademiknya dimulai dari penguasaan tehadap al-Qur’an dan ilmu-ilmu untuk
mempelajarinya seperti Bahasa arab dan lainnya. Ilmu-ilmu tersebut sudah dipelajari dan
dikuasainya sejak dini. Ketika umur sepuluh tahun dia mempelajari ilmu logika dan matematika
dari Abu ‘Abdillah al-Natili. Setelah itu dia mempelajari fisika, metafisika dan kedokteran dari
Abu Sahl al-Masihi. Ketika umur 16 tahun Ibnu Sina telah menguasai ilmu-ilmu tersebut kecuali
dalam bidang metafisika, meskipun dia telah membaca berkali-kali karya Aristoteles dalam
bidang metafisika. Lalu, Ketika dia secara tidak sengaja membaca komentar-komentar al-Farabi
terhadap metafisika Aristoteles barulah dia memahami ilmlu dalam bidang metafisika.
Keahliannya dalam bidang kedokteran menjadikannya seorang ilmuwan yang disukai oleh
istana. Sehingga dia mempunyai akses ke perpustakaan-perustakaan yang ada. Ibnu Sina juga
mendapat posisi yang penting dalam istana. Namun seperti kasus para tokoh sebelumnya
pergantian khalifah menjadi masalah baginya, konflik yang timbul memaksanya untuk pindah
Setelah dia memustukan untuk meninggalkan Bukhara dia juga mendapat keistimewaan di
tempat barunya. Tepatnya Ketika dia bisa menyembuhkan Khalifah Syams ad-Daulah seorang
penguasa di kota Hamadan. Berkat jasanya tersebut dia diangkata menjadi wazir. Tidak terikat
dengan khalifah tersbut dia berpindah lagi ke Isfahan, seperti sebelumnya karena kemahirannya
dia mendapat akses untuk kehidupan yang nyaman selama 15 tahun. Di Isfahan dia juga menulis
banyak karya bahkan mulai mempelajari astronomi dan mendirikan observatorium. Kemudian di
kota ini juga terjadi keributan dan konflik akibat pergantian kekuasaan yang memaksanya untuk
7
Karya-karya pentingnya ada dalam berbagai disiplin ilmu seperti logika, psikologi, kosmologi
dan metafisika. Termasuk karya-karya filsafatnya yang bernuansa esoteric seperti Risalah
al-‘Isyq, trilogy Hayy bin Yaqdzan, Risalah al-Thair, Salaman wa Abshal, tiga bab terakhir al-
Isyarat dan Manthiq al-Masyriqiyin. Dalam bidang sains karya Ibnu Sina yang paling masyhur
yakni Asy-Syifa’, Qanun (dalalm bidang kedokteran), Urjuzah fi al-Thalib. Dalam bidang filsafat
karyanya seperti al-Qashidat al-‘Ainiyah. Karyanya dalam bidang filsafat ini berusaha untuk
menyeleraskan akal dan wahyu mengikuti apa yang telah dimulai oleh al-Kindi, al-Farabi dan
Ikhwan al-Shafa yang kemudian diteruskan oleh Suhrawardi dan juga Mulla Sadra.
Esensi dari metafisika Ibnu Sina adalah berkaitan dengan ontology, kajian terhadap wujud serta
seluruh distingsi mengenainya. Menurutnya hakikat suatu hal tergantung pada eksistensinya dan
pengetahuan atas sebuah objek berujung pada pengetahuan tentang ontologisnya dalam
Dalam memahami keberadaan alam, dia berpendapat bahwa segala sesuatu di alam semesta
(universe) berdasar pada kenyataan bahwa dia ada (exist) dan dimanifestasikan dalam wujud
(being). Tuhan sebagai wujud murni (pure being)bukan merupakan terma pertama dalam rantai
kontinuitas sehingga tidak memiliki kontinuitas “substansial” dan “horizontal”. Atau bisa
dikatakan bahwa Tuhan lebih “awal” dari semesta dan bersifat transdenden.
Fundament pemikiran ontologisnya bisa dilihat dari distingsi antara esensi atau kuiditas
(mahiyah) dan eksistensinya. Dalam lingkup pemikiran keduanya tidak saling berhubungan,
seseorang mampu memikirkan sesuatu tanpa harus objek yang dipikirkannya ada atau tidak ada.
Tetapi dalam dunia realitas, antara esensi dan eksistensi adalah objek yang sama.
8
Dari distingsi tersebut muncul pemilahan antara wujud (being) menjadi tidak mungkin
(mumtani’), mungkin (mumkin), dan niscaya (wajib). Hal ini lebih seperti tingkatan dalam
berpikir, artinya jika sesorang memikirkan suatu objek tapi dalam realita objek tersebut tidak
mungkin ada maka objek tersebut masuk dalm tingkat mumtani’. Namun jika objek yang
dipikirkannya bisa diterima dalm dunia realitas maka objek tersebut masuk dalam kategori
mumkin, sebab esensi (kuiditas) dan eksistensinya menjadi objek yang mungkin sama. Dan jika
suatu objek tidak bisa dipisahkan antara esensi dan eksistensinya serta tidak bisa lepas dari
keadaan non-esksistensinya maka objek tersebut masuk dalam kategori wujud nisaya.
Pada lingkup pemikiran kosmologi dan penciptaan alam, Ibnu Sina seolah menggunakan
pendekatan matematis sebab dalam usaha untuk menciptakan korespondesi antara hipotesis
kosmologi filosofis dia menggunakan alfabet dan angka-angka. Dia menulis A=1 sebagai
lambing sang Pencipta, B=2 untuk akal universal, C=3 untuk jiwa universal dan D=4 untuk alam.
Usaha Ibnu Sin ini terlihat sebagai upaya untuk menunjukkan Kebijaksanaan Bangsa Timut
(oriental wisdom) yang berbeda dengan filsafat Yunani. Sekaligus menunjukkan bahwa dia
bukan sekedar pengikut filsuf-filsuf terdahulu tetapi lebih dekat dengan Filsafat Timur.
Pengaruh pemikiran filsafatnya juga tertuang dalam karya-karyanya dalam beragam bidang
seperti dalam bidang ilmu alam dan matematika, psikologi, dan pemikiran teologisnya yang
berhubungan dengan wahyu dan Tuhan. Semisal dalam psikologi, Ibnu Sina telihat memakai
argument Peripatetik dalam mengambarkan daya-daya (faculties) jiwa dengan istilah-istilah yang
Secara teologis Ibnu Sina juga berusaha untuk menyelaraskan pemikiran filsafatnya dengan
perspektif Islam. Dia dikenal sebagai seorang yang religious. Ketika menemui kesulitan-
9
kesulitan dalam problem ilmiah dan filosofis dia akan melakukan ibadah di masjid. Ibnu Sina
menyadari bahwa kehidupan beragama sangat bermanfaat baginya. Dalam bidang yang lebih
khusus yakni soal kenabian dia juga berusaha memformulasikan tori filosofis dalam
penyelarasan dengan ajaran al-Qur’an serta tetap konsisten dengan pandangan dunianya yang
general..
Dari seluruh penjabarn di atas Ibnu Sina memainkan peran yang signfikan dalam kajian filsafat
sekaligus dia menjadi “malaikat pelindung” dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan Islam.
Pada masa Ibnu Sina bisa dikatakan bahwa filsafat Peripatetik mencapai puncak
mereka menetang kecenderungan rasionalisme yang inheren dalam filsafat Aristoteles. Lalu pada
abad ke 10 muncul oposisi dari filsafat Peripatetik yakni aliran teologi Asy’ariyah yang diinisiasi
Tetapi pada abad ke-10 pula paham teologi syi’ah yang cednerung positivistic masih terus
berkembang sebab pada masa itu kekuasaan Dinasti Abbasiyah melemah dan banyak pernguasa
daerah masih berpegang pada teologi Syi’ah. Hal ini menjadi sebab ilmu pengetahuan alam
masih terus berkembang dan bahkan mencapai zaman keemasannya. Baru kemudian pada abad
ke-11 pada masa dinasti Seljuk teologi Asy’ariyah mulai berkembang secara pesat.
10
Salah satu tokoh dari teologi Asy’ariyah adalah al-Ghazali. Dia merupakan seorang ahli hukum
dan teolog yang sangat paham tentang filsafat. Selain itu dalam perjalanan spiritualnya dia
menemukan bahwa jalan sufi lah yang bisa mengobati kekeringan spiritualnya karena di
dalamnya dia menemukan kepastian dan penyelamatan tertinggi. Karena hal tersebut dia mulai
melakukan kritik terhadap rasionalisme yang ada pad filsafat. Untuk memulai hal tersebut dia
menulis karya yang merangkum filsafat Peripatetik dalam Maqashid al-Falasifah. Baru kemudian
dia menuliskan kritik terhadap beberapa aspek pemikiran filsafat dalam karyanya Tahafut al-
Falasifah. Namun kritiknya bukan berarti mewakili teologi Asy’ariyah tetapi lebih sebagi kritik
yang dilakukan oleh seorang sufi. Komentar dan krtiknya terhadap filsafat bertujuan untuk
membawa sufisme agar bisa diterima oleh para ahli hukum dan teolog..
Efek dari pemikiran al-Ghazali filsafat Peripatetik mulai memudar di Kawasan Timur Islam dan
beralih ke Barat seperti ke Andalusia dan sekitarnya. Di Andalusia khususnya filsafat masih
berkembang dan banyak para filsuf yang masyhur di sana. Salah satunya yakni Ibnu Rusyd yang
di kemudian menulis Tahafutu al-Tahafut sebagai kritikan kepada karya al-Ghazali. Namun
kritiknya sekaligus pembelaannya terhadap filsafat tidak terlalu diparesiasi di kalangan umat
Islam, sebaliknya pengaruhnya menjadi signifikan di daerah Barat. Pengaruh tersebut bisa dilihat
salah satunya dengan munculnya “Averoisme Latin” sebuah mazhab yang mengikuti Ibnu Rsyd
Dari polemic tersebut dapat dibaca bahwa Ketika paham rasionalisme ala Aristoteles mendapat
penolakan di dunia Islam tetapi paham tersebut semakin menguat di Barat. Perkembangan
filsafat Aristotelian juga menggeser Platonisme Agustinian awal yang dilandaskan pada
iluminasi dan puncaknya menjadi awal dari renaissance pada Abad Pertengahan di Barat.
11
2. Biografi Suhrawardi
Suhrawardi yang bernama lengkap Syihabuddin Yahya bin Habasy bin Amirak al-Suhrawardi
adalh seorang ahli hikmah yang doktrinnya pernah diserang dan dikritik oleh al-Ghazali.
Suhrawardi juga dikenal sebaga al-Maqtul (Yang Terbunuh) tetapi dia lebih masyhur disebut
Suhrawardi tidak terlalu dikenal khususnya di dunia Barat, hingga menurut Nasr pada tahun 60-
an dia mulai dikenal stelah Henry Corbin mengkaji karya-karyanya. Hal ini juga dampak
stagnasi perkembangan filsafat setelah Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun. Mazhab iluminasi yang
dalam teologi Sunni dan Syi’ah. Dalam lingkup Sunni, filsafat bisa dikatakan berhenti
perkembangannya setelah memudarnya filsafat peripatetic. Hanya logika saja yang secara
teologis Sunni. Berbeda halnya dengan Syiah, teosufi yang dibangun baik oleh Suhrawardi, Ibnu
Sina dan Ibnu ‘Arabi seperti menjadi penghubung antara nalar filsafat dengan gnosis (irfani)
murni.
Suhrawardi sendiri dilahirkan pada tahun 1153 M di desa Suhrawrd dekat kota Zanjan dalam
Persia Modern. Di kota ini juga banyak ilmuwan yang lahir da besar. Kehidupan akademis
Suhrawardi dimulai di kota Maraghah oleh seroang gurnya yang bernamanya Majduddin al-Jili.
Kemudian dia menyelesaikan Pendidikan formalnya di Isfahan dibawah asuhan Dhahiruddin al-
Qari. Setelah itu dia melakukan perjalanan ke Persia dan menjadi penanda dimulainya kehidupan
sufinya dan menghabiskan waktunya dalam pengasingan diri (khalwat). Di Persia dia juga
12
bertemu dengan Sultan Malik al-Zhahir yang memang memiliki ketertarikan dengan para ahli
Gaya argumentasinya yang terang-terangan dan kadang kurang bijak dalam selain juga karena
yang tidaks suka dan setuju dengan pendapatnya. Dia juga dikenal cerdas dalam berdebat karena
keahliannya dalam filsafat diskursif serta sufisme. Kritikan para musuhnya akhirnya membuat
dia dituduh menyebarkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan keimanan. Akhirnya diapun
Dalam perjalanan hidupnya yang terhitung pendek Suhrawardi menulis hamper 50 karya. Karya-
1. Empat karya besar yang bercorak doctrinal dan didaktik yang membicarakan filsafat
2. Risalah-risalan pendek yang isisnya penjelasan dari empat karyanya dalam kategori
3. Cerita-certia mistik dan simbolik serta novel yang isinya menggambarkan perjalan jiwa
4. Transkripsi, terjemahan dan uraian mengenai filsafat yang lebih awal serta mengenai
Dalam karya-karya tersebut Suhrawardi memasukkan elemen apapun yang dia rasa cocok
dengan argumentasinya walaupun dari tradisi lain. Hal ini dikarenakan pandangannya bahwa
13
semestas adalah sesuatu yang bersifat Islami yang meniscayakan bahwa segala hal di dalamnya
Filsafat yang bercorak Isyraqi lebih tepatnya disebut teosufi Isyraqi, doktrin-doktrinnya diambil
dari sumber utama seperti sufisme. Jika melihat dari karya-karya Suhrawardi dapat dilihat bahwa
sintesis utama dari elemen-elemen sufisme tersebut berasal dari pemikiran al-Hallaj dan al-
Ghazali. Karya al-Ghazali Misykat al-Anwar khususnya menjadi sumber doktrin utamanya
karena kaitannya secara langsung dengan relasi antara iman dan cahaya sebagaimana yang
juga menjadi landasan doctrinal pemikiran Suhrawardi. Terkait dengan penggunaan simbolisme
cahaya dan kegelapan, Suhrawardi mengambilnya dari Zoroastrianime. Bahkan dia juga
mengidentifikasikan dirinya dengan sekelompok ahli hikmah Persia Kuno dengan doktrin
esoteric yang didasarkan pada kesatuan dasar Ilahiah dan sebagai sosok yang mengangkat tradisi
Dalam doktrin Isyraqi Suhrawardi menekankan bahwa yang paling berpengaruh pada
pemikirannya bukan dari filsuf yang sudah banyak dikenal tetapi para sufi sebelum generasinya.
Dia bahkan mengatakan bahwa bukanlah kaum Peripatetik yang disebut sebagai filsuf sejati
tetapi tokoh seperti al-Basthami dan al-Tustari yang dikenal sebagai sufi, merekalah filsuf sejati.
dengan peridode pra-Aristotelian yakni sebelum filsafat dirasionalisasikan dan Ketika intuisi
14
intelektual masih merupakan jalan sejati bagi pencapaian pengetahuan. Dari definisi tersebut
dapat dipahami bahwa kebijaksanaan Isyraqi didasarkan pada penalaran dikursif dan intuisi
intelektual.
Dengan landasan dan sumber doctrinal seperti di atas Suhrawardi menyebut ada empat kategori
3. Mereka yang tidak peduli sama sekali atas bentuk-bentuk diskursif pengetahuan sama
sekali.
4. Mereka yang telah menyempurnakan filsafata diskursif dan juga memperoleh iluminasi
atau gnosis.
Dari kategorisasi tersebut Suhrawardi kemudian membagi ragam tingkatan dan intensitas.
Menurutnya segala hal di alam semesta berasal dari cahaya. Di tingkat pertama ada Cahaya
Murni yakni tidak lain adalah Cahaya Ilahi karena sifatanya yang sangat terang dengan intensitas
yang tinggi maka tidak bisa dilihat oleh tingkatan lain dengan intensitas yang lebih rendah.
Cahaya dengan intensitas yang lebih rendah ini ada dalam tingkatan makhluknya. Tingkatan
yang paling rendah adalah kegelapan di mana tidak ada sama sekali intensitas cahaya di
dalamnya.
1. Tradisi Sufi
15
Pembahasan mengenai Ibnu ‘Arabi dimulai oleh Nasr dari kajian mengani tradisi sufi. Nasr
mengatakan bahwa sufisme atau dalam Bahasa Arab disebut Tasawuf adalah sebuah jalan
realisasi spiritual serta pencapaian kesucian dan gnosis dan merupakan aspek hakiki dari wahyu
Islam. Semua itu pada dasarnya adalah jantung dan dimensi batin atau esoteric. Doktrin-doktrin
sufisme juga mengambil beberapa formulasinya dari doktrin-doktrin Neoplatonik dan Hermetik.
Namun realitasnya sufisme tetap berdasar pada dan berakar dari wahyu khususnya terkait ruh
Secara historis pada Masa Nabi Muhammad SAW tidak bisa memisahkan secara total tradisi
(sunnah) menjadi komponen esoteric dan eksoterik ataupun komponen syari’ah dan thariqah. Hal
ini menjadikan sufisme sebagai Gerakan tersendiri pada saat itu belum muncul karena memang
Kemudian pada abad ke-9, mazhab-mazhab hukum atau syari’ah mulai dikodifikasikan begitu
pula sufisme. Secara khusus tradisi sufisme dan doktrin-doktrinnya disebarkan oleh berbagai
ikatan persaudaraan melalui bimbingan guru dan akhirnya dinamakan dan dinisbatkan kepada
guru tersebut. Tetapi yang perlu digarisbawahi tradisi Sufi tetap berlandaskan pada ajaran dan
teladan Nabi. Mara tokoh sufi menyebut bahwa merekalah yang paling gigih mengikuti ajaran-
ajaran Nabi. Maka dari itu sufisme merupakan aspek batin ajaran-ajaran Nabi.
Tradisi Sufi di kemudian hari dapat dilihat dari dinamikanya yang berawal dari tradisi Syi’ah.
Sebab genealogi sufi yang bisa dilihat dalam sanad keilmuan mereka akan berujung pada imam-
imam Syi’ah yakni dari Ali Bin Abi Thalib dan imam-imam Syi’ah lainnya.
Juga jika dilihat secara kronologis waluapun tradisi sufi baru terkodifikasikan pada abad ke-9 M
namun akarnya sudah ada sejak awal Islam. Tradisi sufi juga kemudian semakin berkembang
16
dengan munculnya tokoh-tokohnya sejak abad ke-9 M. Misalnya pada abad ketiga hijriyah ada
beberapa tokoh sufi yang terkenal seperti Dzunnun al-Mishri dan juga Bayazid al-Bhastami.
Kemudian pada akhir abad ke-9 ada Mazhab Baghdadi yang dipelopori Junaid al-Baghdadi. Lalu
pada abad ke-10 ketika seni dan ilmu pengetahuan Islam mencapai puncaknya muncul karya dan
tokoh-tokoh sufi yang berpengaruh seperti Abu Nashr al-Sarraj al-Thusi dan juga al-Kalabadzi.
Dalam karya-karya yang memuat ajaran sufisme banyak yang menggunakan Bahasa Persia. Hal
ini menjadikan Bahasa Persia selain Bahasa Arab sebagai sarana utama bagi ekspresi doktrin
kaum sufi. Pada abab ke-10 juga terjadi pergesekan antara sufisme dengan filsafat, teologi dan
juga fiqih. Dalam pergumulan ini muncul al-Ghazali sebagai tokoh yang menyajikan keselarasan
antara aspek-aspek esoteric dan eskoterik Islam. Karya-karya al-Ghazali dalam sufisme
Ibnu ‘Arabi yang bernama lengkap Abu Bakr Muhammad bin al-‘Arabi al-Hatimi al-Tha’I lahir
di Murcia, Spanyol Selatan pada tahun 1165 M dari keluarga berdarah Arab asli dan Bani Tha’i.
dia juga dikenal dengan sebutan Syekh al-Akbar dan dilengkapi dengan Muhyiddin. Menurut
Nasr mahakaryany yang terbesar adalah kehidupannya sendiri karena dalam perjalanan hidupnya
banyak sekali didaptkan jalan-jalan hikmah yang penuh pelajaran bagi seorang sufi.
Ibnu ‘Arabi memulai perjalanan hidupnya dengan pindah ke Sevilla. Di sini dia bertemu dan
berguru pada dua tokoh yakni Yasamin dari Marshena dan Fatimah dari Cordoba. Ibnu ‘Arabi
memganggap mereka khususnya Fatimah sebagai ibu spiritual baginya, Ketika umurnya
mencapai 20 tahun dia melakukan perjalan ke berbagai kota di Andalusia untuk bertemu dengan
banyak tokoh-tokoh sufi. Di Cordoba dia bertemu Ibnu Rusyd. Pertemuan kedua tokoh ini
17
menjadi sesuatu yang patut dianggap monumental karena keduanya memiliki pengaruh yang
kuat bagi kehidupan filsafat dan sufi setelahnya. Setelah itu kemudian dia melanjutkan
perjalanannya ke berbagai daerah sampai pada tahun 1201 M dia pergi ke Mekkah, di kota inilah
dia mulai menulis atau lebih tepatnya “diperintahkan” menulis karya utamanya yakni Futuhat al-
Makkiyah.
Pada tahun 1207 M Ibnu ‘Arabi mulai terlibat konflik dengan para ahli fiqih sampai dia
mendapat ancaman pembunuhan di Kairo yakng akhirnya membuat dia pergi mengungsi ke
Mekkah. Setelah dari Mekkah tepatnya pada tahun 1211 M dia bertemu dengan Suhrawardi. Dan
Dari perjalanan hidupnya banyak karya yang sudah dia tulis, namun dua karya yang paling
terkenal yakni Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Yang pertama yakni Futuhat al-
Makkiyah. Di dalam karyanya ini berisi 560 bab yang membahas tentang prinsip-prinsip
metafisika, beragam sains sacral, dan juga pengalaman spiritualnya sendiri. Di dalamnya juga
terdapat doktrin-doktrin kosmologis dari sumber Hermetik dan Neoplatonik. Lain halnya dengan
Jika membaca karya-karyanya maka ditemukan beberapa sumber doktrin di dalamnya. Selain dia
menerima pengetahuan melalui iluminasi atas hatinya oleh teofani Tuhan ada juga mengikuti
pemikiran-pemikiran sufi sebelumnya termasuk dari al-Hallaj dan Hakim al-Tirmidzi. Sumber di
luar tradisi Islam yang dia adopsi antara lain dari Hermetisme Alexandrian dan juga pemikiran
Dari karya-karya tersebut ada dua pemikiran Ibnu ‘Arabi yang sering dibahas yakni konsep
kesatuan dengan Tuhun (wahdatul wujud) dan konsep manusia Universal (al-Insan al-Kamil).
18
Keduanya menjadi pemikiran yang sering menjadi polemic dan mendapat kritikan, khususnya
Mengenai konsep kesatuan wujud sebenarnya sudah menjadi doktrin dasar sufisme dan
ditafsirkan oleh banyak tokoh sufi, salah satunya oleh Ibnu ‘Arabi. Karena pemikiran ini pula
Ibnu ‘Arabi kerap mendapat tuduhan bermacam-macam seperti disebut sebagai panties,
panenteis dan monis eksistensial. Tuduhan-tuduhan tersebut jika memahami pemikiran Ibnu
‘Arabi terbantahkan karena konsep Kesatuan Wujud dalam pandangan sufi dan juga Ibnu ‘Arabi
adalah di sakping Tuhan itu transenden secara mutlak dalam kaitannya dengan semesta, semesta
tidak sepenuhnya terpisah dari-Nya; bahwa “Semesta ditenggelamkan secara misterius ke dalam
Tuhan. Hal ini juga menunjukkan bahwa tatanan realitas tidak terlepas dari Realitas Absolut.
Hubungan kedua realitas ini dapat dijelaskan juga dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah
penampakan itu tidak sepenuhnya terpisah dari Realitas Ilahiah yang bagaimanapun juga
meliputinya.
Konsep pemikiran yang kedua yakni Manusia Universal atau Logos dan dalam Bahasa Ibnu
‘Arabi disebut al-Insan al-Kamil. Manusia universal dijelaskan sebagai teofani (tajalli) total dari
Nama-Nama Tuhan. Dia merupakan keseluruhan semesta dalam kesatuannya, seperti “terlihat”
oleh Esensia Tuhan. Atau bisa dikatakan dia sebagai purwarupa semesta dan juga purwarupa
manusia. Dalam perspektif spiritual manusia universal adalah contoh model kehidupan spiritual.
Dari penjabaran tersebut manusia Universal dalam tingkatannya adalah para Nabi khususnya
Nabi Muhammad kemudia para wali agung (quthb). Meskipun begitu secara potensial setiap
manusia adalah manusia universal. Namun dalam aktualitasnya hanya para nabi dan para wali
19