Anda di halaman 1dari 4

Tafsir Era Kebangkitan Islam

Ignaz Goldziher

Pada era ini semakin terbuka diskursus tentang al-Qur’ân. Kalau pada era sebelumnya hanya
dipetakan antar sekte, namun dalam sekte itu sendiri telah terjadi keterbukaan dan kejelasan
madzhab masing-masing.

Oleh karena itu jika sekilas kita bandingkan dengan tradisi pemahaman aliran penafsiran al-
Qur’an dalam studi islam, tentu sekilas hampir sama hanya saja, Ignaz Goldziher
menambahkan satu aliran tafsir dimana tafsir tersebut mengakomodir pemikiran-pemikiran
baru dengan melihat bagaimana sisi interaksi al-Qur’an seiring dengan perkembangan
zamannya. Dalam bukunya beberapa tokoh yang memiliki aliran baru dalam penafsiran yaitu
Ahmad Khan, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Muhammad Abduh.

Yang dimaksud era kebangkitan Islam di sini adalah sejak abad XIV (14) Hijriah atau
akhir abad XIX (19) Masehi sampai sekarang, yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi
Islam di Mesir oleh Jamaluddin al-Afghani dan murid beliau Muhammad Abduh. Para
mufassir dimasa Muhammad Abduh tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh
ayat-ayat al-Qur’an secara literal, melainkan mencoba melihat lebih jauh apa yang ingin
dituju oleh ungkapan literal tersebut. Dengan demikian, yang ingin dicari para mufassir
adalah “ruh” atau pesan moral al-Qur’an itu sendiri. Latar belakang sejarah Mesir secara
historis dapat kita lihat ketika Mesir berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan
Bizantium sebagai ibukotanya merupakan awal kebangkitan Mesir di abad permulaan Islam
yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan setiap orang. Mesir menjadi sangat
menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia mempunyai potensi yang secara
tradisional telah berakar di Mesir. Mesir menjadi salah satu pusat peradaban Islam dan pernah
dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti Fatimiyah (sampai tahun 567
H) yang mendirikan al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang dikenal dengan Perang
Salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, Dinasti Mamluk (648-922 H) sampai
ditaklukan oleh Napoleon Bonaparte dan Turki Usmani.

Ignaz Goldziher membagi fase sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode.
Dimana tiga fase ini merupakan kesimpulan dari karyanya yang berjudul Mazhab Tafsir yang
diterjemahkan dari bukunya yang berbahasa Arab Madzahib al-Tafsir al-Islam, yaitu:
Periode Pertama, Tafsir masa perkembangan madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat
berpijak Tafsir bil Ma’tsur. Periode Kedua, Tafsir masa perkembangannya menuju madzhab-
madzhab ahli ra’yi yang meliputi aliran akidah (teologis), aliran tasawuf, dan aliran politik
keagamaan. Dan periode ketiga, Tafsir pada masa perkembangan kebudayaan atau keilmuan
Islam yang ditandai dengan timbulnya pemikiran baru dalam keislaman oleh Ahmad Khan,
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.

Dalam disiplin keilmuan apapun mulai dari ilmu Tafsir, Tasawuf, Filsafat, dan ilmu-ilmu
umum lainnya, selalu ada yang namanya mazhab atau aliran. Munculnya Mazhahib al-Tafsir
atau aliran-aliran dalam penafsiran al-Qur’an sesungguhnya merupakan salah satu bentuk
pluralitas dalam memahami al-Qur’an yang disebabkan oleh adanya dialektika antara teks
yang terbatas dan konteks yang tak terbatas.

Mengkaji Mazhahib al-Tafsir secara baik akan menjadikan kita lebih dewasa dalam
menyikapi pendapat-pendapat penafsiran yang ada, sehingga kita tidak perlu menganggap
final suatu penafsiran, apalagi memutlakan kebenaran dari hasil penafsiran seseorang, sebab
yang mutlak dan absolut sesungguhnya hanya Allah. Apapun hasil penafsiran adalah relatif
kebenarannya. Bagi Muhammad Abduh, tafsir harus berfungsi menjadikan al-Qur’an sebagai
sumber hidayah. Semangat Muhammad Abduh untuk menjadikan al-Qur’an sebagai
petunjung bagi manusia. Para mufassir di periode ini, di dalam menafsirkan al-Qur’an atau
ayat-ayat al-Qur’an juga bertitik tolak dari pembaruan Islam sehingga kebanyakan mereka
selalu mengaitkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ajaran-ajarannya dengan keadaan sosial
kemasyarakatan pada zaman ini, dengan menjelaskan bahwa ajaran islam tidak bertentangan
dengan ilmu pengetahuan dan kemoderenan.

Islam adalah agama yang universal, yang sesuai dengan seluruh bangsa pada semua masa
dan setiap tempat. Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, mereka menyandarkan
penafsirannya pada riwayat dan pendapat mufassir terdahulu, lalu disesuaikan dengan
tuntutan zaman. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, misalnya, di dalam muqaddimah Tafsir
Al-Manar mengatakan sebagai berikut : “........kitab ini adalah satu-satunya tafsir yang
mengumpulkan Nash yang shahih dan akal sehat yang menjelaskan hukum syara’ dan
ketentuan Allah pada ciptaan-Nya dan keadaan al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia
pada semua masa dan diseluruh tempat yang menjembatani antara petunjuknya dengan
masalah yang dihadapi kaum muslimin pada masa kini.” Maka sumber-sumber tafsir pad
masa ini ialah perpaduan antara Riwayah dan Dirayah.

Dalam teks yang dinukil dari kitab yang berjudul “Ruh al-Islam aw Hayatu Muhammad
Saw Wa Ta’alimihi” (The Spirit of Islam or Life and Teaching of Muhammed) Calcutta
1902, karya seorang intelektual india bernama Sayed Amir Ali, seorang ulama yang
menyerukan kebangkitan kebudayaan Islam di negara India, terlihat jelas adanya
kecenderungan sektarian-heroik yang kuat: yaitu bahwa Islam itu bukanlah ajaran yang
bertentangan dengan konsep kemajuan (progresivitas), tetapi Islam telah banyak menetapkan
adanya kesesuaian ajaran dan isyarat-isyarat (petunjuk) dengan ide progresivitas pada semua
lini dalam bidang keagamaan dan kesejahteraan yang lain.

Menurut kacamata Ignaz Goldziher, permasalahan antara kebudayaan dan Islam


merupakan permasalahan yang bertolak belakang, dan jawaban dari keduanya sudah
diupayakan sejak lama oleh kebanyakan tradisi keilmuan yang beragam dalam dunia Islam.
Baik secara teoritis maupun ilmiah. Islam selama ini tidak dianggap sebagai ajaran yang
mengabaikan tujuan dasar untuk kemajuan rasional dan kemajuan sosial, kecuali disebabkan
karena adanya pengaruh keagamaan yang keliru dan bentuk-bentk penafsiran yang salah dari
para ulama mutakhir.

Penyelewengan ajaran Islam itulah yang selama ini menjadi penyebab utama adanya
paradoks bagi makna dan hakikat Islam berupa tidak adanya mobilisasi Islam ke arah
paradigma kebudayaan modern. Nilai-nilai etis secara final ditetapkan bagi segala urusan
yang tidak memiliki relevansi kecuali hanya sebatas temporal-relatif. Sementara kewajiban-
kewajiban dicanangkan, dengan kebenaran syari’at (legitimasi agama) yang tidak bisa
menerima perubahan dan pergantian. Ini yang menyebabkan kejumudan kehidupan dalam
Islam dan kekhurafatan (mitos) menampakkan diri dihadapan dunia nyata yang asing, yaitu
bahwa klaim tentang kesempurnaan Islam barangkali menyerupai sebuah wilayah empat
persegi (terbatas). Seandainya masalah-masalah yang memiliki nilai relatif-temporal di dalam
Islam itu dipahami secara proporsional, artinya didasarkan pada nilai-nilai relatif-
temporalnya, begitu juga segala sesuatu itu tidak harus dikembalikan kepada akidah dan
moralitas, tetapi kepada prinsip-prinsip dasar sosial, ekonomi dan konstitusional,
sebagaimana ia dikembalikan kepada pengetahuan ilmiah, tentu umat islam tidak akan
menjadi batu sandungan bagi sistem sosial yang selalu menuntut adanya dinamisasi dan
keseimbangan zaman yang selalu berubah, bukan sekedar menawarkan produk-produk
pemikiran belaka.

Dalam aspek keterkaitan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan alam, Muhammad Abduh
menjelaskan bahwa al-Qur’an itu tidak diturunkan Allah Swt sebagai penjelas atas segala
problematika ilmu pengetahuan alam (materi). Mempelajari permasalahan ini bukanlah
tujuan utama dari ajaran agama, tetapi hal itu menuturkan akan keindahan ciptaan dan
keajaiban-keajaibannya sebagai sebuah hikmah yang dimiliki Allah Swt.

Secara spesifik, Menurut Ignaz Goldziher bahwa Islam tidak bertolak belakang dengan
kemajuan ilmu, karena jika bertolak belakang, maka berarti Islam itu bertentangan dengan
pembawanya. Padahal “Muhammad Saw” adalah nabi yang sangat menghargai pentingnya
pola pemikiran dengan akal, sebagai karya manusia yang paling tinggi dan mulia.

Ignaz Goldziher berpendapat bahwa zaman baru menuntut adanya sebuah sistem baru
dan pembebasan dari sistem dan pola-pola pengajaran yang telah diterapkan oleh generasi
klasik. Tidak mungkin mempersiapkan generasi muda Islam kecuali dengan membimbing
pola pikir mereka secara wajar, melalui gagasan-gagasan pemikiran setiap generasi sebagai
sebuah kebutuhan (tuntutan) pada masanya dan sejalan dengan ukuran (standar) serta kaidah
yang terus berkembang dan tidak statis.

Anda mungkin juga menyukai