LATAR BELAKANG
Sekolah-sekolah itu diasuh oleh para pengajar yang mempunyai status tinggi,
semisal abu sufyan ibn Umayah ibn Abdi Syams, Bisyri ibn Abdul Malik as-Sakuniy,
Abu Qais ibn Abdi Manaf ibn zuhrah dan lain sebagainya.bahkan bangsa Yahudi
pun telah memahami bahasa arab dan mengajarkannya kepada anak-anak di
Madinah pada masa awal. Kemudian datanglah agama islam dan di Aus dan
Khazraj telah ada beberapa orang yang pandai menulis.
“Al-kamil”, begitu sebutan untuk orang yang bisa menulis, memanahah dan pandai
berenang. Akan tetapi para penyair mayoritas membanggakan hafalan dan kekuatan
ingatan mereka.
Setelah kita menyimak apa yang digambarkan diatas bahwa islam datang disaat
tradisi menulis dan menghafal sudah mulai ada di daratan tanah arab. Sehingga
tidak diragukan lagi ketika islam datang yaitu melalui Nabi Muhammad SAW tradisi
tulis sudah ada dan mulai tersebar luas ketika islam berkembangan diantara
mereka. Apalagi dikala pemerintahan dipegang oleh Rasulallah maka segala
sesuatu hal yang kaitannya dengan kenegaraan seperti perjanjian-perjanjian dan
keputusan-keputusan juga memerlukan ahli tulis. Hal terbukti karena karakter risalah
membawa konsekuensi pada maraknya para pelajar, pembaca dan penulis. Terlebih
lagi persoalan wahyu yang memerlukan ahli tulis. Sehingga dengan demikian ajaran
yang dibawa oleh Rasulallah SAW perlu dituliskan sehingga Al-Qur’an menjadi
bentuk mushaf yang dapat dengan mudah untuk dibaca dan dimengerti isi
kandungannya. Sama halnya dengan hadis yang sifatnya sama dengan Al-Qur’an
yaitu sebagai sumber hukum islam yang pada prosesnya secara berangsung-angsur
sesuai dengan kebutuhan itu perlu adanya penulisan dan pembukuan hadist atau
dengan kata lain kodifikasi hadist. Dengan demikian tidak ada ajaran Rasulallah
SAW yang hilang.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk membahas permasalahan
secara mendetail mengenai hal-hal sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan sejarah perkembangan hadis ?
2. Sejarah perkembangan hadist pada masa :
a. Masa pra kodifikasi
b. Masa kodifikasi
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI SEJARAH PERKEMBANGAN HADIST
Menurut H. Endang Soetari AD dalam bukunya yang berjudul Ilmu Hadits. Yang
dimaksud dengan perkembangan hadits adalah masa atau periode-periode yang
telah dilalui oleh hadis semenjak dari masa lahirnya dan tumbuh pengenalan,
penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi.(1994 : 29)
Sedangkan menurut Drs. Fathur Rahman dalam bukunya yang berjudul Musthalahul
Hadits. Yang dimaksud dengan periodisasi tentang sejarah dan perkembangan
hadits disini ialah : fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah
pembinaan dan perkembangan hadits, Sejak Rasullullah masih hidup sampai
terwujudnya kitab-kitab yang dapat dilihat sekarang ini.(1987:69)
Masa pra kodifikasi hadits berarti masa sebelum hadis dibukukan, dimulai dari sejak
munculnya hadits pertama yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dengan rentang
waktu yang dilalui masa pra kodifikasi ini mencakup dua periode penting dalam
sejarah transmisi hadits, yaitu periode rasulullah saw dan periode Sahabat. Pada
dua periode ini metode transmisi yang digunakan kebanyakan adalah metode lisan.
Meskipun demikian, tidak sedikit juga para Sahabat yang melakukan pencatatan
hadits secara personal, walaupun pada permulaan turunnya wahyu, Rasulullah Saw
pernah melarang para sahabat untuk mencatat selain al-Quran. Akan tetapi larangan
tersebut bukanlah larangan yang bersifat mutlak, atau larangan tersebut merupakan
larangan yang bersifat sementara, sampai para Sahabat benar-benar dapat
membedakan antara Al-Quran dan Al-Hadis. Hal itu terbukti dengan adanya
beberapa Sahabat yang mendapatkan izin dari beliau untuk melakukan pencatatan
hadits, seperti Abdullah bin Amrra, Rafi' bin Khadijra, dan Abu Syah.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada masa pra kodifikasi ini sebagian besar
hadits telah ditransmisikan melalui lisan dan hafalan. Namun hal ini sama sekali
tidak mengurangi tingkat keotentikan hadits-hadits tersebut. Karena para Sahabat
yang menjadi agen transmiter dalam hal ini, disamping sosok mereka yang sangat
loyal terhadap Rasul Saw dan terpercaya, mereka juga dikaruniai hafalan yang kuat,
sehingga dengan itu, kemampuan mereka untuk mentransmisikan hadits dari
Rasulullah Saw secara akurat tidak diragukan lagi. Selain itu sejumlah Sahabat juga
telah mentransmisikan hadits melalui catatan-catatan yang mereka buat hal itu dapat
dibuktikan dengan adanya beberapa shahifah yang pernah ditulis pada rentang
masa tersebut. Berikut ini adalah beberapa shahifah yang dimaksud:
Shahîfah al-Shadiqah, ditulis oleh Abdullah bin Amr ra.
Shahîfah Jabir bin Abdullah ra.
Shahîfah Ali bin Abi Thalib ra.
Shahîfah Hammam bin Munabbih, ditulis oleh Hammam dari riwayat Abu Hurairah
ra.
Shahîfah Samurah bin Jundub ra.
Shahîfah Sa'd bin Ubadah ra.[2]
Urgensi hadis dalam penentuan sikap terhadap berbagai makna yang terkandung
dalam ayat-ayat al-Quran atau sebagai kewenangan tersendiri bagi Rasulullah Saw,
bagi para sahabat, memiliki kedudukan yang khas dan sejarah tersendiri yang tidak
bisa lepas dari aspek budaya dan peradaban saat itu. Sikap para sahabat tersebut,
ditinjau dari aspek kebudayaan saat itu, meliputi dua titik persoalan yang utama,
yakni perhatian dan tradisi mereka terhadap budaya lisan dan tulisan. Kedua aspek
ini, dalam salah satu tinjauan riwayat Abu Hurairah, berlaku secara bersamaan dan
menjadi tradisi yang mengakar bagi generasi selanjutnya. Dalam Shahih al-Bukhari
Kitab al-Ilmu, Bab Kitabah al-ilm dinyatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata,
"Tidak ada seorang pun sahabat Nabi Saw yang lebih banyak hadisnya daripada
diriku selain Abdullah bin Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak". (Shahih al-
Bukhari)
Penyampaian hadis secara lisan merupakan hal mendasar dalam tradisi saat itu.
Bahkan setelah koleksi tertulis hadis disusun, penyampaian hadis secara lisan
masih ideal. Kelisanan, dalam sistem ini, merupakan kebajikan bukan sebaliknya.
Seperti hal yang meremehkan bukti tertulis, dan lebih menyukai pembuktian lisan
langsung, ulama hadis pun menekankan superioritas penyampaian hadis secara
langsung, pribadi, dan lisan. Nilai tulisan hanyalah untuk membantu mengingat
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa
lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasulullah
SAW sebagai sumber hadist. Dimana tempat-tempat yang digunakan sebagai
tempat pertemuan diantaranya adalah masjid, rumah beliau sendiri, dan pasar ketika
beliau dalam perjalanan (safar).
Dalam riwayat Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa
Rasulullah SAW, menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para
sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan.
Cara tersebut diantaranya adalah
1. Melalui para jama'ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.
2. Melalui para sahabat-sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya
kepada orang lain.
3. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan
Futuh Makkah.
Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika
mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri
beliau.
Keadaan para sahabat dalam meneriama dan menguasai hadist
Dalam perolehan dan penguasaan hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain
tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang
sedikit. Hal ini disebabkan karena:
Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW antara
lain adalah:
Para sahabat yang termasuk As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin
Khattab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Tahlib.Ummahat Al-Mu'minin (istri-istri rasul)
seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya banyak berkaitan
dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami istri.
Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang
diterimanya, seperti Abdullah Amr bin Ash.Sahabat yang meskipun tidak lama
bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan kesempatan dan
bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu Hurairah.
Sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya
kepada sahabat lain seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.
.الجكقتو اعنًّ سيئا غير القران فمن كجب عنًّ سيئا غير القر ان فليمحه
" jangan menulis apa-apa selain Al-Qur'an dari saya, barang siapa yang menulis dari
saya selain Al-Qur'an hendaklah menghapusnya". (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-
Khudry)
Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang
membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:
Perhatian sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara
dan menyebarkan Al-Qur'an, ini terlihat bagaimana Al-Qur'an dibukukan pada masa
Abu Bakar atas saran Umar Ibn Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada
masa Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di
Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi masing-masing
disimpan di Makkah, Basrah, Syiria dan Kuffah.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk
menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur'an. Hal ini (umat islam)
dalam mempelajari Al-Qur'an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak
menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaan
islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat.
Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap.
Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para sahabat
sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz
dan kesahihannya.
5
Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam
suatu kitab halnya Al-Qur'an, hal ini disebabkan karena:
Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur'an.Para
sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai
daerah kekuasaan Islam.Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri
terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan
kesahihannya.
Hadist Pada Masa Tabi'in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi'in tidak berbeda
dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai para guru-guru mereka. Hanya
saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para
sahabat. Pada masa ini Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak
lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa' Al-Rasyidin
kebeberapa wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah para tabi'in mempelajari
hadist.
Ketika pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah kekuasaan islam sudah
meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan,
Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam
tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga meningkat. Oleh sebab itu,
masa ini dikenal masa penyebaran periwayatan hadist dan masa pembukuan hadis
Hadist-hadist yang diterima para tabi'in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam
bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping
dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang
mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling melengkapi, sehingga tidak ada
satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.
Sampai pada akhirnya fakta sejarah menunjukkan bahwa pada abad pertama
perkembangan hadis, sebagian perawi mencatat hadis-hadis dari para
pendahulunya, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya
mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus
berlangsung hingga masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan. Beliau
memerintahkan Kasir bin Murrah al-Hadhrami untuk menulis semua hadis dari para
sahabat Rasulullah yang dapat diperolehnya, kecuali hadis-hadis dari Abu Hurairah,
karena ia sudah memilikinya. Umar bin Abdul Aziz, diriwayatkan, telah
mengeluarkan perintah kepada Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, Gubernur
Madinah untuk men-tadwin (mengkodifikasikan) hadis. Selain itu, ia juga
memerintahkan kodifikasi hadis kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H). Imam
Malik dalam al-Muwatta meriwayatkan perintah Umar tersebut sebagai berikut, "Lihat
dan telitilah hadis-hadis Rosulullah, sunahnya, hadis Umar atau sebagainya, lalu
tulislah, karena aku takut akan hilang dan punahnya ilmu disebabkan meninggalnya
ulama".
RELATED:
Selain itu Umar berpesan agar Ibnu Hazm mencatat hadis-hadis yang ada pada
Amrah binti Abdurrahman seorang wanita Anshar anak al-Qasim bin Muhammad bin
Abu Bakar. Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa Umar juga mengirim surat ke
beberapa daerah, bunyinya sebagai berikut, "Telitilah hadis-hadis Rasulullah, lalu
kumpulkanlah".Perintah Umar bin Abdul Aziz rupanya telah berhasil membangkitkan
minat para ulama untuk semakin meningkatkan usaha pengkodifikasian hadis.[3]
Ada tiga hal pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan
seperti ini:
Pertama, ia khawatir hilangnya Hadits-hadits, dengan meninggalnya para ulama
dimedan perang, ini faktor yang paling utama sebagaimana terlihat pada naskah
surat-surat yang dikirimkam kepada para ulama lainnya.
Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara Hadits-hadits yang Shahih dengan
Haditsyang palsu.
Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara
kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat
memerlukan adanya usaha kodifikasi ini. Peranan Umar bin Abdul Aziz dapat pula di
kemukakan disini bahwa ia selain terkenal sebagai khalifah plopor yang memerlukan
intruksi untuk membukuka Hadits, secara pribadi ia juga merupakan aset dan
mengambil bagian dalam kegiatan ini menurut beberapa riwayat, ia turut terlibat
mendiskusikan Haits-hadits yang sednag dihimpun. Di samping itu, ia sendiri
memiliki beberapa tuliosan tentang Hadits-haits yang diterimanya.
Pembukaan Hadits pada kalangan Tabi’in dan Tabi’at setelah Ibn syihab al-Zuhri
Di antara para ulama setelah al-Zuhri, ada ulama ahli hadits yang berhasil
menyusun kitab Tadwin, yang bisa di wariskan kepada generasi sekarang, yaitu
Malik bin Anas (97-179 H), di Madinah dengan kitab hasil karyanya bernama Al-
Muath tha’. Kitab tersebut selesai di susun pada tahun 124 H dan para ulama
menilainya sebagai kitab Tadwin yang pertama.
Jadi kenyataan di atas terlihat adanya garis pembeda antara kariya-kariya ulama
sebelum al-Zuhri dengan karya-karyanya setelahnya. Karya ulama setelah al-Zuhri,
yang tidak lepas dari peranan al-Zuhri sendiri, dapat mewariskan buah karyanya dan
tetap terpelihara sampai sekarang. Sedangkan karya ulama-ulama sebelumnya
hanya sampai di tangan-tangan muridnya dan tidak dapat di wariskan kepada
generasi yang lebih jauh.[4]
BAB III
KESIMPULAN
Setelah kita menela’ah sekian banyaknya pembahasan yang disajikan, tidak relevan
apabila kita tidak memberikan suatu penerangan yang cukup dari pada
permasalahan tersebut. Maka dari itu kami mencoba untuk menyimpulkan beberapa
kesimpulan sebagai brikut :
Pertama,sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis merupakan fase-fase yang
dilalui oleh hadis semejak Rasulallah masih hidup sampai dengan generasi-generasi
berikutnya sehingga terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan sampai sekarang
ini.
Kedua,sebelum hadist dikodifikasikan terdapat beberapa fase diantaranya masa
Rasulallah, sahabat (khulafaurasyidin) dan Tabiin. Kemudian pada masa Tabiin yaitu
oleh Umar bin Abdul Aziz. Karena ada duahal yang pokok yang mendorong beliau
untuk mengkodifikasi hadis yaitu .Pertama, ia khawatir hilangnya hadis-hadis karena
meninggalnya para ulama di medan perang. Kedua , ia khawatir akan tercampurnya
antara hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu.
Ketiga, perkembangan kodifikasi hadist dilukiskan pada perodisasi hadist. Ada yang
berpendapat, perodisasi dibagi pada tiga periode, lima periode dan bahkan tujuh
periode. Kemudian dapat di garisbesarkan ke dalam 2 tahap. Pertama, masa belum
pendewanan hadits yakni sebelum dibukukannya hadits. Kedua, masa penyebaran
dan pengajaran hadits.
DAFTAR PUSAKA
1
[2]Suparta, Munzier, ilmu hadist, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002
2
[3]Al- Ramaharmuzi, Al-Muhaddis Al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-wa'I (Beirut: Al-Fikr)
Imam Malik, al-Muwatha' juz 2. Hlm 56. periwayat lain adalah Abu Daud, al-Tirmidzi,
dan sa'ad ibn Majjah.
7
[4]Munzier Suparta, Op-Cit, h. 71