Anda di halaman 1dari 19

SEJARAH TURUN DAN PENULISAN AL-QURAN

A. Pengertian Al-Quran 1. Pengertian Etimologi (Bahasa) Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Quran dari sisi: derivasi (isytiqaq), cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah ia merupakan kata sifat atau kata jadian. Para uama yang mengatakan bahwa cara melafalkannya menggunakan hamzah pun telah terpecah menjadi dua pendapat: a. Sebagian dari mereka, di antaranya Al-Lihyani, berkata bahwa kata AlQuran merupakan kata jadian dari kata dasar qaraa (membaca) sebagaimana kata rujhan dan ghufran. Kata jadian ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi kita, Muhammad SAW. Penamaan ini masuk ke dalam kategori tasmiyah almafuI bi aI-mashdar (penamaan isim maful dengan isim mashdar). Mereka merujuk firman Allah pada surat AIQiyamah [75] ayat 1718:

Arlinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaanya itu. S. AI-Qiyamah [75] ayat 17-18.

b. Sebagian dan mereka, di antaranyaAl-Zujaj, menjelaskan bahwa kata1 Quran merupakan kata sifat yang berasal dan kata dasar al-qar ( yang artinya menghimpun. Kata sifat mi kemudian dijadikan nama L.., firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, karena kitab ii menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, dan larangan. Atau karena k. mi menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya. Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkan kata Al-Quran dengan tidak menggunakan hamzah pun terpecah menjadi dua kelompok:

a. Sebagian dan mereka, di antaranya adalah Al-Asyari, mengatakan bahwa kata Al-Quran diambil dan kata kerja qarana (menyertakan) karena, Quran menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf. b. Al-Farra menjelaskan bahwa kata Al-Quran diambil dan kata dasar qarain (penguat) karena Al-Quran terdiri dari ayat-ayat yang saling menguatkan, dan terdapat kemiripan antara satu ayat dan ayat-ayat Iainnya. Pendapat lain bahwa Al-Quran sudah merupakan sebuah nama personal (aI-alam asy-syakhsyi), bukan merupakan derivasi, bagi kitab yang telah diturunkan kepada Muhammad SAW. Para ulama telah menjelaskan bahwa penamaan itu menunjukkan bahwa Al-Quran telah menghimpun intisari kitab-kitab Allah yang lain, bahkan seluruh ilmu yang ada. Hal itu sebagaimana telah diisyaratkan oleh firman Allah pada surat An-NahI [16]:89 dan sunat AI-Anam. [6]:38:

Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu A(-Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu. (Q.S An-NahI [16]:89)

Artinya: Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab. (Q.S. AI-Anam. [6]:38) 2. Pengertian Terminologi (Istilahi) a. Menurut Manna AI-Qaththan: Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan membacanya memperoleh pahala b. Menurut AI-Jurjani: Yang diturunkan kepada Rasulullah SAW., yang ditulis di dalam mushaf dan yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan. c. Menurut Abu Syahbah: Kitab Allah yang diturunkanbaik lafaz maupun maknanyakepada Nati terakhir, Muhammad SAW., yang diriwayatkan secara mutawattir, yakni dengan penuh

kepastian dan keyakinan (akan kesesuaian dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad ), yang ditulis pada mushaf mulai dari awal surat Al-Fatihab [1] sampai akhir surat An-Nas [114]. d. Menurut Kalangan Pakar Ushul Fiqih, Fiqih, dan Bahasa Arab: Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, yang lafadznya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibdah, yang diturunkan secara mutawatir, dan yang ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah [1] sampai akhir surat An-Nas [114]

B. Hikmah Diwahyukannya Al-Quran secara Berangsur Al-Quran diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dan kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H. Proses turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW. adalah melalui 3 tahapan, yaitu : Pertama, Al-Quran turun secara sekaligus dan Allah ke lauh al-mahfuzh, Yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses pertama ini diisyaratkan dalam Q.S. Al-Burj (85) ayat 21-22:

Artinya : Bahkan yang didustakan mereka adalah Al-Quran yang mulia. Yang (tersimpan) dalam lauh al-mahfudz. (Q.S. Al-Burj (85) ayat 21-22) Diisyaratkan pula oleh firman Allah surat Al-Waqiah [56] ayat 7780:

Artinya: Sesungguhnya Al Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (lauh mahfudz), tidak menyentuhnya, kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam. (QS. AI-Waqiah: 77- 80)

Tahap kedua, Al-Quran diturunkan dari Iauh aI-mahfuzh itu ke bait aI-izzah (tempat yang berada di langit dunia). Proses kedua ini diisyaratkan Allah dalam surat Al-Qadar [97] ayat 1: Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. (AlQadar [97] ayat 1) Juga diisyaratkan dalam Q.S. surat Ad-Dukhan [44] ayat 3:

Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesunguhnya Kamilah yang memberi peringatan. (Q.S. surat Ad-Dukhan [44] ayat 3) Tahap ketiga, Al-Quran diturunkan dari bait aI-izzah ke dalam hati Nabi dangan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Ada kalanya satu ayat, dua ayat, dan bahkan kadang-kadang satu surat. Mengenal proses turun dalam tahap ketiga diisyaratkan dalam Q.S. Asy-Syuara [26] ayat 193195:

Artinya Dia dibawa turun oleh ar-ruh al-amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara yang memberi peringatan, dengan bahasa arab yang jelas. (Q.S. Asy-Syuara [26] ayat 193195) Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui Malaikat Jibril, tidak secara sekaligus, melainkan turun sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, sering wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan pada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi SAW. Di samping itu, banyak pula ayat atau surat yang diturunkan tanpa melalui latar belakang pertanyaan atau kejadian tertentu. Dalam kenyataan tersebut terkandung hikmah dan faedah yang besar, bagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Furqn [25] ayat 32:

Artinya: -

Berkatalah orang-orang yang kafir, Mengap Al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya cara tartil (teratur ban tenar). (Q.S. surat Al-Furqn [25] ayat 32)

Di samping hikmah yang telah diisyaratkan ayat di atas, masih banyak kmah yang terkandung dalam hal diturunkannya Al-Quran secara berangsurgsur, antara lain sebagai berikut: 1. Memantapkan hati Nabi Ketika menyampaikan dakwah, Nabi sering berhadapan dengan para penentang. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan dorongan tersendiri bagi Nabi untuk terus menyampaikan dakwah. 2. Menentang dan melemahkan para penentang Al-Quran; Nabi sering berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Quran. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mukjizat Al-Quran. 3. Memudahkan untuk dihapal dan dipahami; Al-Quran pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan menghapalkannya. 4. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayatAl-Quran turun) dan melakukan penahapan dalam penetapan syaniat.; 5. Membuktikan dengan Mahabijaksana. pasti bahwa Al-Quran turun dan Allah Yang

Walaupun Al-Quran turun secara berangsur-angsur dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 han, secara keseluruhan, terdapat keserasian di antara satu bagian dengan bagian Al-Qunan lainnya. Hal mi tentunya hanya dapat dilakukan Allah yang Mahabijaksana.

C. Pengumpulan Al-Quran (Jam Al-Quran)

Di kalangan ulama, terminologi pengumpulan Al-Quran (JamAI-Quran) memiliki dua konotasi: Konotasi penghapalan Al-Quran dan konotasi penulisannya secara keseluruhan. 1. Proses Penghapalan Al-Quran Kedatangan wahyu merupakan susuatu yang dirindukan Nabi. Oleh karena Itu, begitu wahyu datang, Nabi langsung menghapal dan memahaminya. Dengan demikian, Nabi adalah orang yang paling pertama menghapal Al-Quran. Tindakan Nabi itu sekaligus merupakan suri teladan yang diikuti para sahabatnya. Imam AlBukhari mencatat sekitar tujuh orang sahabat Nabi yang terkenal dengan hapalan AI-Qurannya. Mereka adalah Abdullah bin Masud, Salim bin Miqal (maula-nya Abu Hudzaifah), Muadz bin Jabal, Ubai bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin AsSakan, dan Abu ad-Darda. Penyebutan ketujuh sahabat itu kaitannya dengan penghapalan Al-Quran terkesan tidak rasional dan tidak realistis, mengingat selain ketujuh sahabat tu, tercatat pula sahabat-sahabat lain yang juga ikut menghapalkan Al-Quran termasuk ketika Nabi masih ada. Bahkan, ada di kalangan sahabat wanita yang juga tercatat sebagai penghapal Al-Quran, seperti Aisyah, Hafshah, Ummu Salah, dan Ummu Waraqah. Untuk menjawab persoalan ini, Syahbah menjelaskan bahwa pembatasan ketujuh sahabat di atas tidak secara otomatis menunjukkan bahwa tidak ada sahabat lain yang tercatat sebagai penghapal Al-Quran. Khusus mengenai riwayat Anas, Syahbah menegaskan bahwa pembatasan itu tidak bersifat mutlak, kecuali Anas telah menjumpai setiap sahabat dan menanyakan perihal hapalan AlQurannya, dan ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukannya. Ada pula yang menjelaskan bahwa pembatasan di atas menunjukkan bahwa ketujuh sahabat itu menghapalkan seluruh Al-Quran dan membacakannya di hadapan Nabi. Jadi, sanadnya langsung kepada Nabi, sedangkan para penghapal selain ketujuh sahabat itu tidak memiliki karakteristik tersebut. 2. Proses Penulisan Al-Quran a. Pada Masa Nabi Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hapalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Nabi memiliki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Said, Khalid bin Said, Khalid bin al-Walid, dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Proses penulisan Al-Quran pada masa Nabi sangat sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu. Kegiatan tulis-menulis Al-Quran pada masa Nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris Nabi, juga dilakukan para sahabat lainnya. Kegiatannya itu didasarkan kepada sebuah hadis Nabi sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim:

Artinya: Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain Al Quran,hendaknya ia menghapusnya. (H.R. Muslim) Di antara faktor yang mendorong penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah : 1. Mem-backup hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. 2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempuma, karena bertolak dan hapalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dan mereka sudah wafat Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, Al-Quran tidak ditulis di tempat tertentu. Uraian di atas memperlihatkan bahwa karakteristik penulisan Al-Quran pada masa Nabi adalah bahwa Al-Quran ditulis tidak pada satu tempat, melainkan pada tempat yang terpisah-pisah. Hal mi tampaknya bertolak dan dua alasan berikut. 1. Proses penurunan Al-Quran masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang turun belakangan menghapus redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun terdahulu. 2. Menertibkan ayat dan surat-surat Al-Quran tidak bertolak dan kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Oleh karena itu, terkadang ayat atau surat yang turun belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu. b. Pada Masa Khulafa Al-Rasyidin 1) Pada Masa Abu BakarAsh-Shiddiq Pada dasarnya, seluruh Al-Quran sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencarpencar. Dan orang yang pertama kali menyusunnya dalam satu mushaf adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. OIeh karena itu, Abu Abdillah Al Muhasibi berkata di dalam kitabnya, Fahm As-Sunan, Penulisan Al-Quran bukanlah sesuatu yang baru. Sebab, Rasulullah pernah memerintahkannya. Hanya saja, saat itu tulisan Al-Quran berpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dan kayu. Abu Bakar kemudian berinisiatif menghimpun semuanya. Usaha pengumpulan tulisan Al-Quran yang dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al-Kadzdzab itu ternyata telah

menjadikan 700 orang sahabat penghapal Al-Quran syahid. Khawatir akan semakin hilangnya para penghapal Al-Quran, sehingga kelestarian Al-Quran juga ikut terancam, Umar datang menemui khalifah pertama, Abu Bakar agar segera menginstruksikan pengumpulan Al-Quran dari berbagai sumber, balk yang tersimpan di dalam hapalan maupun tulisan. Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris Nabi, berdasarkan riwayat AI-Bukhari mengisahkan bahwa setelah peristiwa berdarah yang menimpa sekitar 700 orang penghapal Al-Quran, Zaid diminta bertemu Abu Bakar. Turut hadir dalam pertemuan itu Umar bin Al-Khaththab. Abu Bakar membuka pertemuan itu dengan mengatakan, Umar telah mendatangiku dan mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah berlangsung sengit dan meminta korban sejumlah qariAl-Quran. Aku khawatir hal ini meluas kepada para penduduk. Kalau demikian, akan banyak penghapal Al-Quran yang hilang.Aku memandang perlunya penghimpunanAl-Quran. Setelah Abu Bakar berbicara, Zaid bin Tsabit mengajukan keberatannya. Kalimatnya ia arahkan kepada Umar karena usul penulisan datang darinya, Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang belum dilakukan Rasulullah? Umar latu menjawab, Demi Allah, ini sesuatu yang balk. Dan ketika Umar belum selesal mengucapkan kalimatnya, Allah telah melegakan hati Zaid tentang perlunya penghimpunan Al-Quran. Kemudian Abu Bakar berkata kepada Zaid, Kau adalah seorang lelaki yang masih muda dan pintar. Kami tidak menuduhmu (cacat mental). Dahulu kau menulis wahyu untuk Rasulullah. (Sekarang), lacaklah AI-Quran. Bagi Zaid, tugas yang dipercayakan Khalifah Abu Bakar kepadanya bukan hal yang ringan. Hal mi bisa dipahami dan kalimat yang terlontar dan mulutnya di hadapan Abu Bakar dan Umar pada waktu itu, Demi Allah, sekiranya orang-orang membebaniku memindahkan suatu gunung, hal itu tidak Iebih berat danpada apa yang kau perintahkan kepadaku untuk menghimpunAl-Quran. Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid menetapkan kniteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hapalan, tanpa didukung tulisan. Kehati-hatiannya diperlihatkan oleh ucapannya sebagaimana tertuang pada akhir hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari di atas, ... Hingga aku temukan akhir surat At Taubah [9] pada tangan Abu Khuzaimah AlAnshari. Ungkapannya itu tidak menunjukkan bahwa akhir surat At-Taubah [9] itu tidak mutawatir, tetapi lebih menunjukkan bahwa hanya Abu Khuzaimah Al-Anshari yang menulisnya. Zaid dan sahabat-sahabat Iainnya juga menghapalnya, tetapi tidak memiliki tulisannya. Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan AI-Quran sebenarnya atas dasar pesan Abu Bakar kepada Zaid dan Umar. Abu Bakar berkata:

Duduklah kalian d pintu masjid. siapa saja yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Quran dengan dua saksi, maka catatlah. Riwayat yang berkaitan juga dikeluarkan lbn Abi Dawud melalui jalan Yahya bin Abdirrahman bin Hatib yang menceritakan bahwa Umar berkata: Siapa saja pernah mendengar seberapa saja ayat Al-Quran dari Rasulullah sampaikanlah (kepada Zaid). Dan (pada waktu itu) para sahabat telah menuIisnya pada suhuf, papan, dan pelepah kurma. Zaid tidak menerima laporan ayat dari siapa pun sebelum diperkuat dua saksi. Di dalam menerangkan pengertian dua saksi riwayat ini, perlu disimak pendapat lbn Hajar. Menurut tokoh hadis kenamaan ni, syahidain (dua saksi) di sini tidak harus keduanya dalam bentuk hapalan, atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkan didukung dua hapalan dan atau tulisan sahabat Iainnya. Demikian juga, suatu hapalan ayat tertentu yang dibawa oleh sahabat tertentu baru bisa diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hapafan sahabat Iainnya. Pemahaman Ibn Hajar tentang syahidain sedikit berbeda dengan apa yang ditangkap As-Sakhawi (w. 643 H.). Asy-Syakhawi memandang bahwa syahidain artinya catatan sahabat tertentu mengenai ayat tertentu. Ayat tertentu yang disodorkan sahabat dapat diterima jika memiliki dua saksi yang memberikan kesaksian bahwa catatan itu memang ditulis di hadapan Nabi. Pekerjaan yang dibebankan ke pundak Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang Iebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. Di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para tokoh sahabat Iainnya. Tidak syak lagi, ketiga tokoh yang telah disebut-sebut dalam pengumpulan Al-Quran pada masa Abu Bakar, yakni Abu Bakar, Umar, dan Zaid, mempunyai peranan yang sangat penting. Umar yang terkenal dengan terobosan-terobosan jitunya menjadi pencetus ide. Ini tentunya punya arti tersendiri. Zaid sudah tentu mendapat kehormatan besar karena ia dipercaya menghimpun kitab suci Al-Quran yang memerlukan kejujuran, kecermatan, ketelitian, dan kerja keras. Khalifah Abu Bakar sebagai decision maker menduduki porsi tersendiri. Tak berlebihan bila Ali bin Abi Thalib memujinya dengan mengatakan: Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia orang yang pertama kali mengambil (keputusan) mengumpulkan kitab Allah Setelah sempurna, kemudian berdasarkan musyawarah, tulisan Al Quran yang sudah terkumpul itu dinamakan Mushaf, sebagaimana disebutkan lbnu Asytah di dalam kitab Al-Mashahif yang didasarkan pada riwayat yang sampai kepadanya melalul jalan Musa bin Aqabah dan Ibnu Syihab: setelab AI-Quran terkumpul mereka menuliskannya di atas kertas. Abu Bakar berkata, Carilah nama untuk Al-Quran yang sudah ditulis ini. sebagian sahabat

mengusulkan nama As-Sifr. Abu Bakar berkata, Itu nama yang diberikan orangorang Yahudi. Mereka pun tidak menyukai nama itu. Sebagian sahabat yang Lain mengusulkan nama Al-Mushaf karena orang-orang Hahsyi pun memakai nama itu. Mereka pun akhirnya sepakat dengan nama itu Setelah Abu Bakar watat, suhuf-suhuf Af-Quran itu disimpan Khalifah Umar dan ketika Umar wafat, mushaf itu disimpan Hafsah, bukan oleh Utsman bin Affan sebagal khalifah yang menggantikan Umar. Timbuf pertanyaan, mengapa mushaf itu tidak diserahkan kepada khalifah setelah Umar? Pertanyaan itu logis. Hanya Umar, menurut Zarzur, mempunyai pertimbangan lain, yaitu bhwa sebelum wafat, Umar memberikan kesempatan kepada enam sahabat untuk bermusyawarah memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah. Kalau Umar memberikan mushaf yang ada padanya kepada salah seorang di antara enam sahabi itu, Ia khawatir hal tersebut diinterpretaskan sebagai dukungan kepada sahabat yang memegang mushaf. Padahal, Umar ingin memberikan kebebasan sepenuhnya kepada enam sahabat itu untuk memilih di antara mereka yang Iayak menjadi khalifah. Ia menyerahkan mushaf itu ke Hafsah yang lebih dan layak memegang mushaf yang sangat bernilai. Terlebih lagi, Ia adalah istri Nabi dan sudah menghapal Al-Quran secan keseluruhannya. 2) Pada Masa Utsman bin Affan Penjelasan tradisional, berupa hadis Nabi yang diriwayatkan Al-Bukhari, tentang alasan yang menyebabkan diambil langkah selanjutnya dalam menetapkan bentuk Al-Quran menyiratkan bahwa perbedaan-penbedaan serius dalam qiraat (cara membaca) Al-Quran terdapat dalam salinan-salinan Al-Quran yang ada pada masa Utsman bin Affan di berbagai wilayah. Dikisahkan kepada kita bahwa selama pengiriman ekspedisi militer l Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Al-Quran muncul di kalangan tentara-tentara Muslim, yang sebagiannya direkrut dari Siria d sebagian lagi dari Irak. Perselisihan ini cukup serius hingga menyebabkan pimpinan tentara Muslim, Hudzaifah, melaporkannya kepada Khalifah Utsman (644 656) dan mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri perbedaanperbedaan bacaan tersebut. Khalifah lalu berembug dengan para sahabat senior Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al-Quran. Bersama Zaid, ikut bergabung tiga anggota keluarga Mekah terpandang: Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abd Ar-Rahman bin Al-Harits. Satu prinsip yang mereka ikuti dalam menjalankan tugas ini adalah bahwa dalam kasus kesulitan bacaan, dialek Quraisy suku dari mana Nabi berasal harus dijadikan pilihan. Keseluruhan Al-Quran direvisi dengan cermat dan dibandingkan dengan suhuf yang berada di tangan Hafshah serta dikembalikan kepadanya ketika resensi Al-Quran selesal digarap. Dengan demikian, suatu naskah otoritatif (absah) Al-Quran yang sering juga disebut mushaf Utsmani, telah ditetapkan. Sejumlah salinannya dibuat dan dibagikan ke pusat-pusat utama daerah Islam.

Al Zarqani mengemukakan pedoman pelaksanaan tugas yang diemban olnh Zaid bin Tsabit sebagai berikut: a) Tidak menulis sesuatu dalam mushaf, kecuali telah diyakini bahwa itu adalah ayat Al-Quran yang dibaca Nabi pada pemeriksaan Jibril dan tilawah-nya tidak mansukh. b) Untuk menjamin ketujuh huruf turunnya Al-Quran, tulisan mushaf bebas dari titik dan syakal. c) Lafazh yang tidak dibaca dengan bermacam-macam bacaan ditulis dengan bentuk unik, sedangkan lafazh yang dibaca dengan lebih satu qiraat ditulis dengan rasm yang berbeda pada tiap-tiap mushaf. Mereka tidak menuliskan bacaan tersebut dalam satu mushaf karena merasa khawatir akan ada anggapan bahwa lafazh tersebut diturunkan berulang kali dalam bacaan yang berbeda. Padahal, sebenamya lafazh tersebut hanya turun satu kali yang dapat dibaca dengan bacaan lebih dari satu macam. Mereka juga menghindari penulisan lafazh dengan dua rasm dalam satu mushaf untuk menghindari dugaan bahwa rasm itu merupakan koreksi untuk yang lainnya. d) Berkaitan dengan terjadinya perbedaan mengenai bahasa, ditetapkan bahasa Quraisy yang digunakan karena Al-Quran diturunkan dalam bahasa tersebut. Inisiatif Utsman untuk menyatukan penulisan Al-Quran tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa riwayat, perbedaan cara membaca AlQuran pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi perselisihan di antara mereka. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa perbedaan cara membaca Al-Quran ini terlihat pada waktu pertemuan pasukan perang Islam yang datang dari Irak dan Syiria. Sementara mereka yang datang dari Syam (Syiria) mengikuti qiraat Ubal bin Kaab, mereka yang berasal dan Irak membacanya sesuai dengan qiraat Ibn Masud. Tak jarang pula, di antara mereka yang mengikuti qiraat Abu Musa AI-Asyari. Masingmasing pihak merasa bahwa qiraat yang dimilikinya lebih balk. Riwayat lain yang dikeluarkan dari Abu Qulabah menjelaskan bahwa pada masa Khalifah Utsman, seorang guru mengajarkan qiraat tokoh tertentu, dan guru (lainnya) mengajarkan qiraat tokoh (lainnya). Anak-anak bertemu dan berpecah. Persoalan ini terangkat sampai kepada para guru yang pada gilirannya saling mengafirkan. Mengenai jumlah pasti naskah standar yang dibuat dan tempat-tempat pengirimannya, hadis memberikan penjelasan yang berbeda-beda; tetapi kemungkinannya, satu salinan disimpan di Madinah dan salinan-salin lain dikirim ke kota-kota Kufah, Bashrah dan Damaskus, serta mungkin juga ke Mekah. Salinansalinan Al-Quran yang ada sebelumnya, yakni sebelum adanya resensi Utsmani,

diberitakan telah dimusnahkan, sehingga teks seluruh salinan Al-Quran yang akan dibuat pada masa-masa selanjutnya didasarkan pada naskah-naskah standar tersebut. Utsman memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut: a) Harus terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad, b) Mengabaikan ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebul diyakini dibaca kembali di hadapan Nabi pada saat-saat terakhir, c) Kronologi surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsman, d) Sistem penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira. yang berbeda sesuai dengan lafazh-Iafazh Al-Quran ketika turun, e) Semua yang bukan termasuk Al-Quran dihilangkan. Misalnya ditulis di mushaf sebagian sahabat yang mereka juga menulis makna ayat atau penjelasan nasikh-mansukh di dalam mushaf. Perbedaan penulisan Al-Quran pada masa Abu Bakar dan pada masa Utsman bin Affan, dapat dilihat berikut ini: Pada Masa Abu Bakar Pada Masa Utsman bin Affan 1.Motivasi penulisannya adalah khawatir 1. Motivasi penulisannya karena sirnanya Al-Quran dengan syahidnya terjadinya banyak perselisihan di beberapa penghapa Al-Quran pada dalam cara membaca Al Quran Perang Yamamah. (qiraat). 2. Abu Bakar melakukannya dengan 2. Utsman melakukannya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al menyederhanakan tulisan mushaf Quran yang terpencar-pencar pada pada satu huruf dari tujuh huruf yang pelepah kurma, kulit, tulang dan dengannya Al Quran turun sebagainya. 3) Penyempurnaan Penulisan Al-Quran setelah Masa Khalifah Mushaf yang ditulis atas perintah Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu. Pada masa Khalifah Abd Al Malik (685705), ketidakmemadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana musIim terkemuka saat itu dan karena itu pula penyempurnaan mulai segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H.) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (w. 95 H.). Ibn Ziyad diberitakan memerintahkan seorang lelaki dan Persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang. Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi tertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad Ill H (atau akhir abad IX M) ketika

proses penyempurnaan naskah Al-Quran (mushaf Utsmani) selesai dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Utsmani. Ketiga orang itu adalah Abu Al-Aswad Ad-Dauli, Yahya bin Yamar (45129 H.), dan Nashr bin Ashim Al-Laits (w. 89 H.). Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid, Alraum, dan al-isymamadalah Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi Al-Azdi yang diberi kunyah Abu Abdirrahman (w. 175 H.). Upaya penulisan Al-Quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generasi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah Al-Walid (memerintah dari tahun 8696 H.) memerintahkan Khalid bin Abi Al-Hayyaj yang terkenal keindahan tulisannya untuk menulis mushaf Al-Quran. Dan untuk pertama kalinya, Al-Quran dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530 M, tetapi begitu keluar, penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan kitab suci agama Islam ini. Dan baru lahir lagi cetakan selanjutnya atas usaha seorang Jerman bernama Hinkelman pada tahun 1694 M. di Hamburg (Jerman). Disusul kemudian oleh Marracci pada tahun 1698 M. di Padoue. Sayangnya, tak satu pun dan Al-Quran cetakan pertama, kedua, maupun ketiga itu yang tersisa di dunia Islam. Dan sayangnya pula, perintis penerbitan Al-Quran pertama itu dan kalangan bukan muslim. Penerbitan Al-Quran dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya Utsman. Dan mushaf cetakan itu lahir di Saint Petersbourg, Rusia, atau Leningrad, Uni Soviet sekarang. Lahir lagi kemudian, mushaf cetakan di Kazan. Kemudian terbit lagi di Iran. Tahun 1248 H./1828 M., negeri Persia ini menerbitkan mushaf cetakan di kota Teheran. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit lagi mushaf cetakan di Leipzig, Jerman. Di negara Arab, Raja Fuad dan Mesir membentuk panitia khusus penerbitan AlQuran di perempatan pertama abad XX. Panitia yang dimotori para syekh Al-Azhar ini pada tahun 1342 H./1923 M. berhasil menerbitkan mushaf Al Quran cetakan yang bagus. Mushaf yang pertama terbit di negara Arab dicetak sesuai dengan riwayat Hafsah atau qiraat Ashim. Sejak itu, berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan di berbagai negara. D. Rasm Al-Quran 1. Pengertian Rasm Al-Quran Yang dimaksud dengan rasm Al-Quran atau rasm Utsmani atau rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Quran yang ditetapkan pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf Utsman, yaitu mushaf yang ditulis panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-Hanits. Mushaf Utsman ditulis

dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meringkas kaidah-kajdah itu menjadi enam istilah, yaitu: a. Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). b. Al-Jiyadah(penambahan) c. Al-Hamzah, d. Badal (penggantian), e. WashaI dan Fashl (penyambungan dan pemisahan), f. Kata yang dapat dibaca dua bunyi 2. Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Al-Quran Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasm Al-Quran (tata cara penulisan Al-Quran): a. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm Utsmani itu bersifat tauqifi yakni bukan produk budaya manusia yang wajib diikuti siapa saja ketika menulis Al-Quran. Mereka bahkan sampai pada tingkat menyakralkannya. Untuk pendapatnya ini, mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa Nabi pernah berpesan kepada Muawiyah, salah seorang sekretarisnya, Letakkanlah tinta. Pegang pena baik-baik. Luruskan huruf ba. Bedakan huruf sin. Jangan butakan huruf mim. Buat baguslah (tulisan) Allah. Panjangkan (tulisan) al-rahman dan buatlah bagus (tulisan) al-rahim. Lalu, letakkan penamu di atas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat. Mereka pun mengutip pernyataan Ibn Al-Mubarak, Sahabat juga yang lainnya sama sekali tidak campur tangan dalam urusan rasm mushaf, sehelai rambut sekalipun. Itu adalah ketetapan Nabi. Beliaulah yang menyuruh mereka menulisnya seperti dalam bentuknya yang dikenal, dengan menambahkan alif dan menghilangkannya lantaran rahasia yang tidak dapat dijangkau akal. Hal itu merupakan salah satu rahasia yang khusus diberikan Allah untuk kitab suci-Nya yang tidak diberikan untuk kitab samawi lainnya. Sebagimanahalnya susunan Al-Quran itu mukjizat, rasm (tulisan)nya pun mukjizat pula. Berdasarkan sabda Nabi dan pernyataan Ibn Al-Mubarak itu, mereka memandang bahwa rasm utsmani memiliki rahasia-rahasia yang sekaligus memperlihatkan makna-makna yang tersembunyi.

Mengomentani pendapat di atas, AI-Qaththan berpendapat bahwa tidak ada satu riwayat pun dari Nabi yang bisa dijadikan alasan untuk menjadikan rasm Utsmani menjadi tauqifi. Rasm Utsmani murni merupakan kreatif panitia empat atas persetujuan Utsman. Pedoman cara penulisan yang digunakan panitia itu adalah pesan Utsman kepada tiga orang di antara panitia yang berasal dari suku Quraisy. Pesan itu adalah: Jika kalian berbeda pendapat (ketika menulis mushaf) dengan Zaib bin Tsabit, maka tulislah dengan lisan Quraisy, karena dengan tulisan itula, AlQuran turun. Bantahan serupa dikemukakan Subhi Shalih. Ia mengatakan ketidaklogisan rasm Utsmani disebut-sebut tauqifi. Masalahnya berbeda sekali dengan huruf tahajji, seperti alit lam mim, alit lam ra, yang terdapat diawal beberapa surat. Karena huruf-huruf tahajji itu status Qurannya mutawatir. Akan tetapi, istilah rasm Utsmani baru lahir pada masa pemerintahan Utsman. Utsman yang menyetujui penggunaan istilah itu, bukan Nabi. b. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa rasm Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishthilahi) yang disetujui Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapa pun yang menulis Al-Quran. Tidak ada yang boleh menyalahinya. Banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasm Utsmani. Asyhab bercerita bahwa ketika ditanya tentang penulisan Al Quran, apakah perlu menulisnya seperti yang dipakai banyak orang sekarang, Malik menjawab, Saya tidak berpendapat demikian. Seseorang hendaklah menulisnya sesuai dengan tulisan pertama. Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata, Haram hukumnya menyalahi khath Mushaf Utsmani dalam soal wawu, alif, ya, atau huruf lainnya. Berkaitan dengan ketiga pendapat di atas, Al-Qaththan memilih pendapat kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara Al-Quran dan perubahan dan penggantian hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan menulis Al-Quran sesuai dengan tren tulisan pada masanya, menurutnya, perubahan tulisan Al-Quran terbuka lebar pada setiap masa. Padahal, setiap kurun dan waktu memiliki tren tulisan yang berbeda-beda. Mengomentari pendapat AlBaqilani di atas,Al-Qaththan menegaskan, bahwa perbedaan khath pada mushaf-mushaf yang ada merupakan satu hal, dan cara menulis huruf merupakan hal lain. Jika yang pertama berkaitan dengan bentuk huruf, sedangkan yang kedua berkaitan dengan cara penulisan huruf.

c. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasm Utsmani bukanlah tauqifi. Tidak ada halangan untuk menyalahinya tatkala suatu generasi sepakat menggunakan cara tertentu untuk menulis Al-Quran yang nota bene berlainan dengan Rasm Utsmani. Dalam hal ini, Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani berkata, Adapun tulisan, sedikit pun Allah tidak mewajibkan kepada umat. Allah tidak mewajibkan juru tulis-juru tulis Al-Quran dan kaligrafer mushafmushaf suatu bentuk tertentu dan mewajibkan mereka meninggalkan jenls tulisan lainnya. Sebab, keharusan untuk menerapkan bentuk tertentu harus ditetapkan berdasarkan Al-Quran atau hadis. Padahal, tidak ada di dalam nash-nash Al-Quran, tidak juga tersirat dan suatu (mafhum)-nya yang mengatakan bahwa rasm dan dhabith Al-Quran hanya dibenarkan dengan cara tertentu dan ketetapan tertentu yang boleh dilanggar; Tidak juga di dalam sunnah yang mewajibkan dan menunjukkan yang demikian. Dan tidak pula ditunjukkan qiyas syari. Bahkan, sunnah menunjukkan bolehnya menuliskannya (mushaf) dengan cara bagaimana saja yang mudah. Sebab, Rasulullah dahulu menyuruh menuliskannya tanpa menjelaskan kepada mereka bentuk (tulisan) tertentu. Oleh karena itu, telah terjadi perbedaan khath mushaf-mushaf (yang ada). Ada di antara mereka yang menulis kalimat berdasarkan makhraj Iafazh dan ada pula yang menambah dan menguranginya berdasarkan pengetahuannya bahwa rasm Utsmani hanyalah merupakan istilah semata.... Jelasnya siapa saja mengatakan bahwa siapa saja wajib mengikuti cara penulisan tertentu ketika menulis AlQuran, hendaklah ia mendukungnya dengan berbagai argumentasi. Dan kami siap membantahnya.

Berkaitan dengan ketiga pendapat di atas, Al-Qaththan memilih pendapat kedua karena lebih memungkinkan untuk memelihara Al-Quran dari perubahan dan penggantian hurufnya. Seandainya setiap masa diperbolehkan menulis Al-Quran sesuai dengan tren tulisan pada masanya, menurutnya, perubahan tulisan Al-Quran terbuka lebar pada setiap masa. Padahal, setiap kurun dan waktu memiliki tren tulisan yang berbeda-beda. Mengomentari pendapat AlBaqilani di atas,Al-Qaththan menegaskan, bahwa perbedaan khath pada mushaf-mushaf yang ada merupakan satu hal, dan cara menulis huruf merupakan ha! lain. Jika yang pertama berkaitan dengan bentuk huruf, sedangkan yang kedua berkaitan dengan cara penulisan huruf. Untuk memperkuat pendapatnya, AI-Qaththan mengutip ucapan Al-Baihaqi dl daiam kitab Syub Al-Iman, Siapa saja yang hendak menulis musbaf, hendaknya memperhatikan cara orangorang yang pertama kali menulisnya janganlah, berbeda dengannya. Tidak boleh pula mengubah (sedikitpun apa-apa yang telab mereka tulis karena mereka lebih banyak pengetahuannya, ucapan dan kebenarannya lebih dipercaya, serta lebih dapat memegang amanat daripada kita. Jangan ada di antara kita yang merasa dapat menyamal mereka.

3. Kaitan Rasm Al-Quran dengan Qiraat Sebagaimana telah dijeaskan bahwa keberadaan mushaf Utsmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qiraat (cara membaca Al-Quran) Hal itu dibuktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Quran walaupun setelah muncul mushaf Utsmani, seperti qiraah tujuh, qiraah sepuluh, dan qiraah empat elas. Kenyataan itulah yang mengilhami Ibn Mujahid (859935) untuk melakukan penyeragaman cara membaca Al-Quran dengan tujuh cara saja (qiraah sabah). Tentu bukan Ia saja yang amat berkepentingan dengan langkah penyeragaman teks ini, umpamanya Malik bin Anas (w. 795), ulama besar Madinah dan pendiri Madzhab Maliki. Ia dengan tegas menyatakan bahwa shalat yang dilaksanakan nenurut bacaan Ibn Masud adalah tidak sah.

RINGKASAN 1. Pengertian Al-Quran: a. Menurut Manna AI-Qaththan: Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dan membacanya memperoleh pahala. b. Menurut AI-Jurjani: Yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, yang ditulis di dalam mushaf dan yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa keraguan. c. Menurut Abu Syahbah: Kitab Allah yang diturunkanbaik lafazh maupun maknanyakepada nabi terakhir, Muhammad SAW, yang diriwayatkan secara mutawatir, yakni den gan penuh kepastian dan keyakinan (akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkannya kepada Muhammad), yang ditulis pada mushaf mulai surat Al-Fatihah [1] sampal akhir surat An-Nas [114]. d. Menurut Kalangan Pakar ushul fiqh, fiqh, dan bahasa Arab: Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad, yang lafazh lafazhnya mengandung mukjizat, membaca mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada mushaf, mulai dan awal surat Al-Fatihah [1] sampai akhir surat An-Nas [114]. 2. Proses turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW., adalah melalui tiga tahapan, yaitu: a. Pertama, Al-Quran turun secara sekaligus dan Allah ke lauh al-mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah.

b. Tahap kedua, Al-Quran diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia). c. Tahap ketiga, Al-Quran diturunkan dan bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesual dengan kebutuhan, Ada kalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat. 3. Hikmah Al-Quran Diturunkan secara Berangsur-angsur: a. Memantapkan hati Nabi b. Menentang dan melemahkan para penentangAl-Quran c. Memudahkan untuk dihapal dan dipahami, d. Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat Al-Quran turun) dan melakukan pentahapan dalam penetapan syariat, e. Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Quran turun dari Allah Yang Maha bijaksana. 4. Pengumpulan Al-Quran (Jam Al-Quran) a. Proses Penghapalan Al-Quran b. Proses Penulisan Al-Quran 1) Pada Masa Nabi 2) Pada Masa Khulafa Ar-Rasyidmn (a) Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq (b) Pada Masa Utsman bin Affan 3) Penyempurnaan Penulisan Al-Quran setelah Masa Khalifah 5. Pengertian Rasm Al-Quran Rasm Al-Quran adalah tata cara menuliskan Al-Quran yang ditetapkan pada rnasa Khalifah Utsman bin Affan. Istilah yang terakhir lahir bersamaan dengan Iahirnya mushaf Utsman, yaitu mushaf yang ditulis panitia empat yang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin AlHarits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu. Para ulama meningkas kaidah-kaidah itu menjadi enam istilah, yaitu: a. Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf). b. Al-Jiyadah (penambahan) c. Al-Hamzah,

d. Badal (penggantian), e. Washal dan Fashl (penyambungan dan pemisahan). f. Kata yang dapat dibaca dua bunyi 6. Pendapat Para Ulama Sekitar Rasm Al-Quran a. Sebagian dan mereka berpendapat bahwa Rasm Utsmani bersifat tauqifi. b. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Rasm Utsmani bukan tauqifi, tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan (ishthilahi) yang disetujui Utsman dan diterima umat, sehingga wajib diikuti dan ditaati siapa pun ketika menulis Al-Quran. Tidak boleh ada yang menyalahinya.

Anda mungkin juga menyukai