Anda di halaman 1dari 11

Qira’at Alqur’an

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah:

ULUMUL QUR’AN

Dosen: HISAN MURSALIN, M.Pd

Disusun Oleh :

1. Rahmat

2. Saepul Anwar

3. M Taufikur Rahman

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)KHARISMA

Jl. Siliwangi No.39 Ciutara, Cicurug, Sukabumi 43359 2021


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan, rahmat, karunia
serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Shalawat dan salam semoga tercurah pada junjungan alam Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga
dan sahabatnya tak lupa juga kita sebagai umatnya di akhir zaman.

Dalam menyusun makalah ini bukan berarti tidak ada hambatan dan rintangan. Kami sebagai penulis
mohon saran dan kritiknya agar tugas makalah ini bisa lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr.H. Ujang Saefullah, M.Si. selaku ketua STAI Kharisma

2. Bapak Hisan Mursalin, M.Pd. selaku dosen pembingbing

3. Orang tua yang telah memberikan dukungan

4.Rekan-rekan yang telah membantu menyelesaikan makalah ini

Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas makalah mata kuliah Ulumul Qur’an di STAI
Kharisma. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua. Penulisan makalah ini masih
mempunyai kekurangan baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang
penulis miliki. Sehingga kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk membangun pembuatan
makalah yang lebih baik pada masa yang akan datang.
Daftar isi

Kata pengantar

A. PENDAHULUAN

1.Latar belakang……………………………………………………………………………………………………………….….. 4
2. Rumusan masalah……………………………………………………………………………………………………….……. 4
3.Tujuan ……………………………………………………………………………………………………….…………………….. 4

B. PEMBAHASAN

1.Pengertian Qira’at Al-Qur’an…………………………………………………………………………..………….…………..


5
A.Istilah Qira’at…………………………………………………………………………………………………………………..….5
B. Adapun Banyak pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para ulama…………………
5
2.latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at…………….……………………………………….……………….……
8
3.urgensi mempelajari Qiraat Al-Qur’an dan pengaruhnya dalam istinbath
hukum……………………..9

C. PENUTUP

1.Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………………………..…. 11

Daftar Pustaka
Bab 1

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Mengenal Definisi Qira’at Al-Qur’an
Ilmu Qira’at adalah Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at
tentang cara pengucapan lafaz-lafaz dari Al-Qur’an, baik yang menyangkut aspek kebahasan,
I’rab, hafz, isbat, fashl, washl, ibdal, yang diperoleh dengan cara periwayatan. Menurut Abd al-
Fattah al-Qadi dalam al-Budur al-Zahirah Ilmu Qira’at adalah

“Ilmu yang berbicara tentang tata cara pengucapan kata-kata dalam Al-Qur’an dan metode
penyampaiannya, baik disepakati ataupun yang ikhtilaf dengan cara menyandarkan setiap
qira’at atau bacaannya kepada salah seorang perawinya”.

Eksistensi ilmu Qira’at sangatlah penting, karena sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa
qira’at ini bukanlah ijtihadi para sahabat atau tabi’in akan tetapi tauqifi yang langsung diberikan
Allah kepada Rasul-Nya dan disandarkan pada sistem sanad. Didalam ilmu Qira’at terdapat
pengertian-pengertian yang harus kita pahami, diantaranya; Pengertian tentang Qira’at,
Riwayah, Thariq, dan Wajh.

Adapun susunan pembahasan dari makalah ini diawali dengan pengertian Qira’at Al-Qur’an,
kemudian perdebatan sekitar latar belakang timbulnya perbedaan qiraat. Lalu betapa urgensi
dalam mempelajari Tentu saja makalah ini diakhiri dengan kesimpulan dari pemaparan yang
telah dipaparkan.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka timbulah masalah yang harus dirumuskan antara lain:
1.Apa itu pengertian qiraat
2.Apa saja latar belakang timbulnya perbedaan qiraat
3.Bagaimana urgensi mempelajari Qiraat Al-Qur’an dan pengaruhnya dalam istinbath hukum.

3. Tujuan
1.mengetahui pengertian qiraat
2.mengetahui latar belakang timbulnya perbedaan qiraat
3.memahami urgensi mempelajari Qira’at Al-Qur’an dan pengaruhnya dalam istinbath hukum.
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Pengertian Qira’at Al-Qur’an
A. Istilah qiroat (‫ )قراءات‬adalah bentuk jama' dari kata qira'ah (‫)قراءة‬. Kata qiraah berasal dari kata
qara'a - yaqra'u - qiraatan (‫ قراءة‬- ‫ يقرأ‬- ‫ )قرأ‬yang punya beberapa artinya, antara lain bermakna:
membaca dan juga bermakna menggabungkan atau mengumpulkan.

Membaca : Ar-Razi mengatakan ketika Allah SWT berfirman ( ‫) إن علينا جمعه وقرآنه‬, maka makna
wa qur'anahu disitu bermakna membacanya.

Menggabungkan : Ibnul Atsir menyebutkan bahwa kitab suci kita dinamakan Al-Quran yang
berakar-kata dari qiraat karena di dalamnya dikumpulkan dan dibagungkan antara kisah,
perintah, larangan, janji, ancaman, ayat dan surat.

B. Adapun Banyak pengertiannya terminologi yang di rumuskan oleh para ulama, di antaranya:

a. Definisi Abu Hayyan Al-Andalusi (w. 745 H) :

‫علم يبحث فيه عن كيفية النطق بألفاظ القرآن‬

Ilmu yang membahas tentang teknis melafadzkan lafadz-lafadz Al-Quran.

b. Definisi Badruddin Az-Zarkasyi (w. 794 H) :

‫القراءات هي اختالف ألفاظ الوحي المذكور في كتبة الحروف أو كيفياتها من تخفيف وتثقيل وغيرها‬

Qiraat adalah ikhtilaf lafadz-lafadz wahyu dalam penulisan huruf-huruf atau teknik
membunyikannya yang terdiri dari takhfif, tatsqil dan lainnya.

c. Definisi Ibnu Jazari (w. 833 H)


‫علم بكيفية أداء كلمات القرآن واختالفها بعزو الناقلة‬

Ilmu tentang bagaimana membunyikan kata dalam Al-Quran dan perbedaan-perbedaannya


dengan menyebutkan pembawanya.

Hasil gambar untuk membaca quran

d. Definisi Abdul Fattah Al-Qadhi (w. 1403 H)

‫ وطريق أدائها اتفاقا واختالفا مع عزو كل وجه إلى ناقله‬، ‫علم يعرف به كيفية النطق بالكلمات القرآنية‬

Ilmu untuk mengetahui bagaimana mengucapkan kata-kata quraniyah, teknik melakukannya


baik yang disepakati atau yang tidak disepakati, dengan menunjukkan setiap wajah kepada
pembawanya.

Dari beberapa definisi di atas, kita bisa rangkum menjadi satu bahwa ilmu qiraat adalah bagain
dari ilmu-ilmu Al-Quran yang sedemikian luas, namun yang terkait dengan hal-hal berikut :

Bagaimana teknik membunyikan (melafadzkan) bacaan Al-Quran

Bagaimana teknik menuliskan bacaan Al-Quran

Hal-hal yang disepakati periwayatannya dan yang tidak disepakati

Merujukkan setiap teknis itu kepada para ulama ahli yang meriwayatkannya

Membedakan mana yang mutawatir dan mana yang syadz.

2. Latar Belakang Historis

Qira’at sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi walaupun pada saat itu qira’at bukan
merupakan sebuah disiplin ilmu, ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu:
Suatu ketika Umar bin Khattab Ayat Al-Qur’an. Kemudian peristiwa perbedaan membaca ini
mereka laporkan ke Rasulullah Saw. Maka beliau menjawab dengan sabdanya:“Memang
begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf,
maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.”
Perbedaan cara membaca al-Quran atau dengan istilah qira’at al-Quran bukan tanpa sebab.
Qira’at al-Quran muncul dengan sebab situasi dan kondisi tertentu. Dari beberapa riwayat dan
naskah sejarah, kronologi sebab munculnya istilah qira’at, dimulai pada masa khalifah Utsman
bin Affan.
Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan ra. Mushaf al-Qur’an itu disalin dan dibuat
banyak serta dikirim ke daerah-daerah Islam yang pada waktu itu sudah menyebar luas dan
menjadi pedoman bacaan pelajaran dan hafalan al-Qur’an. Hal itu diupayakan oleh khalifah
Utsman, karena pada waktu itu ada perselisihan sesama kaum muslim di daerah Azzerbeijan
mengenai bacaan al-Qur’an. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara
sesama umat Islam, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan al-Qur’an, karena nabi
mengajarkan cara bacaan yang relevan dengan dialek mereka masing-masing. Akan tetapi
mereka tidak memahami maksud nabi yang begitu, lalu tiap-tiap suku atau gologan menganggap
hanya bacaan mereka sendiri yang paling benar sedangkan bacaan yang lain salah.
Di samping itu, dengan naskah yang ditulis sengaja tidak diberikan titik dan harokat. Sehingga
kalimat-kalimatnya bisa menampung lebih dari satu qiroat yang berbeda. Yang dijadikan
pengambilan al-Qur’an pada saat itu sampai sekarang adalah periwayatan dan talaqqi dari
orang-orang yang tsiqah dan dipercaya. Talaqqi dan riwayat inilah yang menjadi kunci utama
dalam membaca al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah
kepada para shahabat.
Ketika Utsman bin Affan mengirimkan mushaf-mushaf ke beberapa pelosok wilayah yang
dikuasai Islam, pasca penaklukan di masa Abu Bakar dan Umar, Utsman menyertakan ahli-ahli
qira’at sesuai qira’at dalam mushaf itu, qira’at mereka berbeda karena mereka mengambil al-
Quran dari sahabat yang berbeda. Para sahabat sendiri mengambil al-Quran dengan qira’at yang
berbeda pula.Dan ketika mereka telah menyebar diberbagai Negara dengan qira’at mereka yang
berbeda-beda, para tabi’in dan pengikut mereka meriwayatkan dari mereka. Karena itulah
pengambilan para tabi’in berbeda dalam meriwayatkannya. Demikianlah seterusnya hingga
muncul para imam qira’at. Para imam qira’at ini mengkhususkan diri dalam qira’at-qira’at
tertentu kemudian mengajarkan dan menyebarkannya.
Menurut Subhi As-Shalih, qira’at tujuh baru populer menjadi istilah pada permulaan abad ke dua
hijriah, ketika menyebarnya umat Islam ke kota- kota besar. Mereka membaca al-Quran
menurut bacaan masing-masing imam mereka yang tentu saja terdapat perbedaan antara satu
dengan yang lain. Di Mekah, orang membaca al-Quran menurut qira’at yang diajarkan oleh
Abdullah Ibn Katsir al Dariy (w.120 H), di Madinah terkenal dengan qira’at Nafi Ibn Nu’aim
(w.169 H), di Syam tekenal dengan qira’at Abdullah al-Yashabi yang terkenal dengan nama ibn
Amir (w.118 H), di Basrah orang- orang memakai qira’at Abu Amr (w.154 H) dan qira’at Yaqub
(w.205 H) dan di Kufah orang-orang memakai qira’at Hamzah (w.156 H) dan qira’at Ashim
(w.127 H). Mereka inilah yang dikenal sebagai imam qira’at tujuh.
Qira’at yang diajukan oleh para imam tersebut, bukanlah hasil pikiran mereka sendiri, melainkan
terima dari guru mereka masing-masing yang tentu saja masih tali bertali dengan guru-guru
sebelumnya. Dengan kata lain, mereka menetapkan qira’at itu dengan jalan manqul (melalui
riwayat), bukan dengan ijtihad dan itu pun harus diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari
Nabi.
Di antara para sahabat yang terkenal sebagai qurra’ (ahli qira’at) ialah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi
Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, abu Musa al-Asyari dan lain-lain. Dari merekalah umumnya
para sahabat dan tabi’in diberbagai Negara belajar dan meriwayatkan al-Quran yang disanadkan
kepada Rasulullah saw hingga datangnya masa tabi’in pada masa selanjutnya, kemudian timbul
suatu kaum yang mengspesialisasikan dirinya dalam belajar dan membacanya bahkan akhirnya
menjadi suatu ilmu.
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada
awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai
pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-
imam lainnyaj. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid,
sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
Timbulnya sebab lain dengan penyebaran qori’-qori’ keberbagai penjuru pada masa Abu Bakar,
maka timbullah qira’at yang beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan
akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab, yang pada akhirnya
perbedaan qira’at itu berada pada kondisi itu secara tepat yang disaksikan Hudzaikah Al-
Yamamah yang kemudian dilaporkan kepada Utsman.
Diantara ulama-ulama yang berjasa meneliti dan membersihkan qira’at dari berbagai
penyimpangan adalah:
1. Abu Amr’ Utsman bin Said bin Utsman bin Said Ad-Dani (w.444 H) dari Daniyyah Andalusia,
Spanyol dalam karyanya yang berjudul At-Tafsir.
2. Abu Al-Abbas bin Imarah bin Abu Al-Abbas Al-Mahdawi (w.430 H) dalam karyanya yang
berjudul Kitab Al-Hudayah.
3. Abu Al-Hasan Thahir Thayyib bin Abi Ghalabun Al-Halabi (w.399 H).
4. Abu Muhammad Makki bin Thalib Al-Qairawani (w.437 H) di Cordova dalam karyanya yang
berjudul At-Tabshirah.
5. Abu Al-Qasim Abdurrahman bin Ismail, terkenal dengan sebutan Abu Syamah, dalam
karyanya yang berjudul Al-Mursyid Al-Wajiz.

2. Penyebab Perbedaan Qira’at


Sebab-sebab munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah:
1. Perbedaan qiraat Nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya,
nabi memakai beberapa versi qiraat.
2. Masuknya Qabilah-qabilah dalam Islam sehingga muncul lahjah atau dialek kebahasaan di
kalangan bangsa arab pada masa turunnya al-Qur’an.Dengan adanya hal ini turun izin membaca
al-Qur’an dengan tujuh huruf. Beberapa riwayat menyebutkan bentuk perbedaan bacaan yang
diperbolehkan, misalnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad
bersabda, “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah (dengan
salah satu diantaranya) dan tidak ada dosa. Tapi jangan kalian akhiri ayat rahmat dengan ayat
adzab atau ayat adzab dengan ayat rahmat.”
3. Taqrir Nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu,
hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam al-Qur’an.
Contohnya ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul “atta hin”. Padahal ia
menghendaki “hatta hin”.
4. Adanya riwayat dari para sahabat tentang berbagai versi qiraat yang ada.
5. Adanya mushaf pribadi milik para sahabat yang sebagian di antaranya memberikan
penafsiran. Akan tetapi timbul asumsi dari orang-orang yang mempelajarinya yang menganggap
bahwa penafsiran tersebut merupkan bagian dari al-Qur’an.Misalnya terdapat qiraat mudraj
dari penafsiran Ibnu Abbas:

‫ت َف ْاذ ُكرُو ْا هّللا َ عِ ن َد ْال َم ْش َع ِر ْال َح َر ِام َو ْاذ ُكرُوهُ َك َما‬


>ٍ ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُج َنا ٌح أَن َت ْب َت ُغو ْا َفضْ الً مِّن رَّ ِّب ُك ْم في مواسم الحج َفإِ َذا أَ َفضْ ُتم مِّنْ َع َر َفا‬
َ ‫لَي‬
١٩٨﴿ ‫ين‬ ِّ َ ُ ُ
َ ‫﴾ َه َداك ْم َوإِن كنتم مِّن َق ْبلِ ِه لم َِن الضَّآل‬ ُ

3. Perbedaan Qiraat Menurut Orientalis


Di kalangan para orientalis, adanya perbedaan qiraat ini diasumsikan sebagai adanya bacaan
dengan makna dalam al-Qur’an. Hal ini merupakan dampak dari adanya izin membaca al-Qur’an
dengan tujuh huruf yang didasarkan pada beberapa riwayat hadits. Di antara para Orientalis
tersebut adalah R. Blachere yang menganggap bahwa dengan membaca al-Qur’an dengan tujuh
huruf berarti kaum muslimin lebih mementingkan roh al-Qur’an, bukan huruf dan teksnya. Akan
tetapi, faktanya izin untuk membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf sehingga setiap orang bisa
membaca al-Qur’an sesuai dengan kemampuannya adalah sebuah rukhshah yang bersifat
temporal pada masa Nabi, sehingga hanya berlaku pada saat itu. Kondisi ini telah berakhir
dengan adanya Utsman bin Affan untuk menyatukan umat Islam dalam satu mushaf.[9] Menurut
Abd Shabur Syahin, tidak ada yang tersisa dari tujuh huruf itu kecuali yang terdapat di dalam
mushaf Utsmani yang terdiri dari dua atau tiga huruf.[10]
Adapun menurut Ignaz Goldziher perbedaan bacaan dalam Al-Qur'an adalah akibat kekeliruan
dalam penulisan bahasa Arab (palaeografi) zaman dulu, tidak ada titik dan tidak ada tanda
diakritikal. Oleh karena itu, bentuk kata fil saat dibuang tanda titiknya memungkinkan lahirnya
ragam bacaan.[11] Senada dengan Goldziher, Arthur Jeffery berpendapat bahwa kekurangan
tanda titik dalam mushaf Utsmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi
tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami.[12]
Untuk merespon pendapa tersebut Muhammad Musthofa al-A’zami mengatakan bahwa “ketika
perbedaan muncul -hal ini sangat jarang terjadi- maka kedua kerangka bacaan (titik dan syakal)
tetap mengacu pada Mushaf ‘Utsmani, dan tiap kelompok dapat menjustifikasi bacaannya atas
dasar otoritas mata rantai atau silsilah yang berakhir kepada Nabi Muhammad Saw.”[13] Hal ini
senada dengan pendapat Shabur Syahin, menurutnya, “Qiraat pada dasarnya adalah riwayat-
riwayat yang berkaitan dengan cara Nabi Saw dalam membaca al-Qur’an, baik yang berkaitan
dengan prinsip-prinsip umum maupun yang berkaitan dengan riwayat-riwayat yang bersifat
parsial.[xxii] Jadi, tulisan Arab bukanlah penyebab lahirnya perbedaan qira’at. Akan tetapi
adanya perbedaan qira’at sangat membantu untuk mendalami qira’at-qira’at yang sahih dengan
situasinya pada waktu penulisan mushaf utsmani, misalnya tidak adanya titik dan syakal.
Menurut Abdul Halim, Pedoman utama bukanlah tulisan, karena jika demikian maka setiap
qira’at yang ditoleransi oleh teks pasti akan menjadi pedoman.[14]
Salah-paham tentang rasm dan qira’at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat
mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal sejarah Islam, Al-Qur’an ditulis
“gundul”, tanpa tanda baca walau sedikitpun. Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian.
Meskipun demikian, rasm Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum
muslimin saat itu belajar al-Qur’an langsung dari para sahabat, dengan cara menghafal, dan
bukan tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.
4. Kesimpulan
3. Urgensi mempelajari qira’at dan pengaruhnya dalam istinbath hukum
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah qiraat muncul sejak zaman
Utsman bin Affan ketika para sahabat mulai pergi ke berbagai wilayah untuk mengajar al-
Qur’an, para sahabat tersebut membawa bacaan yang berbeda-beda. Akan tetapi mereka tetap
berpegang pada Mushaf Utsmani. Sedangkan adanya perbedaan qiraat yang wajib kita ketahui
antara lain:
karena, pertama, adanya perbedaan qiraat Nabi, artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada
para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat. Kedua, masuknya Qabilah-qabilah dalam
Islam sehingga muncul lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa arab pada masa
turunnya al-Qur’an. Dengan adanya hal ini turun izin membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Ketiga, taqrir Nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu.
Keempat, adanya riwayat dari para sahabat tentang berbagai versi qiraat yang ada. Kelima,
adanya mushaf pribadi milik para sahabat yang sebagian di antaranya memberikan penafsiran.
Akan tetapi timbul asumsi dari orang-orang yang mempelajarinya yang menganggap bahwa
penafsiran tersebut merupkan bagian dari al-Qur’an. Adapun menurut Orientalis, adanya
perbedaan ini disebabkan akibat kekeliruan dalam penulisan bahasa Arab (palaeografi) zaman
dulu, tidak ada titik dan tidak ada tanda diakritikal.

Qira‟at adalah ilmu tentang tatacara untuk memenuhi kalimat-kalimat Al-Qur‟an dan
perbedaannya menurut asal orangnya. Sedangkan Muqri‟ adalah orang yang ahli dalam qiroat-
qiroat dengan meriwayatkannya dengan berdialog. Seorang ahli qiroat dan hafal Al-Qur‟an dia
bukan dinamakan Muqri‟ jika belum berdialog secara berangkaian, karena di dalam qira‟at terdapat
banyak hal yang tidak boleh ditetapkan hukumnya tanpa disertai penyimakan dan berdialog.
Adapun al-Qari‟ al-Mubtadi‟ atau pembaca pemula adalah seseorang yang dapat menjelaskan satu
hingga tiga dari qira‟at-qira‟at yang ada.

Sedangkan maksud dari Al-Qur‟an diturunkan dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari
bahsa-bahasa arab, yaitu bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Pada
masa Nabi, Abu Bakar dan Umar terdapat bacaan tujuh huruf tersebut. Kemudian pada masa
Kholifah Usman, dengan ditulisnya Mushab Usmany bacaan Al-Qur‟an hanya satu huruf saja, yaitu
bahsa Quraisy. Usman berpendapat bahwa membaca Al-Qur‟an dengan tujuh huruf itu hanyalah
untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan dimasa-masa awal, dan kebutuhan tentang hal itu
sudah berakhir. Maka kuatlah motif untuk menghilangkan segala unsur yang menjadi faktor
perbedaan bacaan, dengan mengumpulkan dan menyeragamkan umat pada satu huruf atau satu
bahasa saja. Kebijaksanaan Usman ini kemudian desepakati oleh para sahabat yang lain. Maka
dengan kesepakatan ini terjadilah Ijma‟. Dengan demikian maka Usman telah melakukan
kebijaksanaan yang sangat besar, yaitu menghilangkan perselisihan, mempersatukan dan
menenteramkan umat, dengan diterbitkannya Al-Qur‟an Utsmany.

Di antara perbedaan itu menurut Al Qattan yang dianggap mendekati kebenaran tentang tujuh
huruf,yaitu :

I.Tujuh macam bahasa dari bahasa bahasa Arab mengenai satu makna

II.Tujuh macam bahasa dari bahasa bahasa Arab yang dengannya Al Qur‟an diturunkan

III.Tujuh wajah, yaitu amr „perintah‟, nahy „larangan‟, wa’d „janji‟, wa’id „ancaman‟, jadal
„perdebatan‟, qasas „cerita‟, dan masal „perumpamaan‟.
IV.Tujuh macam hal yang di dalamnya terdapat ikhtilaf „perbedaan‟

V.Tidak diartikan secara harfiah

VI.Qira‟at tujuh

Menurut al Qattan melalui analisisnya, di antara semua pendapat tersebut yang terkuat adalah
pendapat yang pertama, yakni tujuh macam bahasa dari bahasa bahasa Arab mengenai satu makna
Pendapat ini sesuai dengan pendapat at Tabarriy

Dikatakan bahwa ketujuh bahasa tersebut adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah,
Tamim dan Yaman. Menurut Abu Hatim as Sijistaniy, Al Qur‟an diturunkan dalam bahasa Quraisy,
Huzail, Tamim, Azad, Rabi‟ah, Hawazin, dan Sa‟ad bin Bakar.

Anda mungkin juga menyukai