Anda di halaman 1dari 12

Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Ushul Fiqh
yang bertema ta’arudh adillah.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan dukungan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah Ushul Fiqh yang bertema ta’arudh adillah ini
dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Hormat Kami

Penulis

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 4

LATAR BELAKANG MASALAH. ............................................................ 4

RUMUSAN MASALAH. .............................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................... 5

PENGERTIAN TA’ARUDH ADILLAH. ..................................................... 5

BENTUK BENTUK DALIL YANG KONTRADIKTIF. ............................. 5

SYARAT-SYARAT TA’ARUDH ADILLAH ............................................. 7

CARA MENYELESAIKAN TA’ARUDH ADILLAH................................ .8

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 12

KESIMPULAN ............................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Islam merupakan agama Rahmatan lil ‘alamin yang dianugrahkan kepada seluruh umat
manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, dalam situasi dan kondisi yang berubah-ubah
tentu akan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang
timbul di masyarakat, mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, hukum, dan lain-lain.
Disinilah agama Islam terbukti sebagai agama yang mampu menjawab segala permasalahan
dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Dalam hal ini maka para ulama’ mengeluarkan fatwa-fatwa hukum untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Tentu dalam hal penetapan hukum pasti ada banyaknya pertentangan antara
dalil-dalil. Maka dalam masalah ini para ulama’ menyelesaikannya dalam beberapa metode
penyelesaian. Yang dalam hal itu supaya dapat mewujudkan dalam kemaslahatan dan
mencegah atau menolak berbagai kerusakan bagi umat manusia. Dalam konteks pertentangan-
pertentangan yang terjadi.

Dalam makalah ini pemakalah akan memaparkan mengenai Ta’arudh aladillah Wal
Maslahah yang akan membuka wawasan kita mengenai kajian ushul fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Ta’arudh Al-adillah
2. Bentuk-bentuk dalil yang kontradiktif
3. Syarat-syarat Ta’arudh Adillah
4. Bagaiman cara menyelesaikan Ta’arudh Al-adillah?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ta’arudh Al-Adillah

Ta’arudh menurut arti bahasa adalah pertentangan satu dengan yang lainnya. Sementara
kata Al-Adillah adalah bentuk Plural dan kata dalil, yang berarti argumen, alasan dan dalil.
Secara istilah Ta’arud la-adillah diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari
dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil lain. Sehingga dalam implikasinya
kedua dalil yang berlawanan tersebut tidak mungkin dipakai pada satu waktu.1 Diantara
beberapa definisi Taarud al-Adillah menurut beberapa ahli usul fiqh diantaranya yang
dikemukakan oleh Amir Syarifudin mena’rifkan ta’arudh dengan berlawanannya dua dalil
hukum yang salah satu diantara dua dalil itu meniadakan hukum yang ditunjuk oleh dalil
lainnya.2

Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan ta’arudh secara singkat, yaitu kontradiktif antara
dua Nash atau dalil yang sama kekuatannya. Dari beberapa definisi tersebut memberi titik
penekanan yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa ta’arud itu merupakan pembahasan
dua dalil yang saling bertentangan.3

B. Bentuk-bentuk Dalil yang Kontradiktif

Pengertian dalil yang kontradiktif mencakup dalil yang naqli (dalil yang memang telah
termaktub dalam Al-Qur’an atau hadist nabi secara tekstual) dan dalil aqli (dalil dimana
rasionalitas menjadi penentunya) seperti qiyas, bahkan juga mencakup dalil yang qath’i dan
juga zhanni.

1
Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Islam. (Bandung :Al-Ma’rif,1993), h. 417
2
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 204
3
Ibid., hal. 205
5
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang memungkinkan
adanya kontra antara satu dengan yang lain. Perbedaan itu antara lain4

Menurut jumhur ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang qath’i tidak mungkin
terjadi kontradiksi secara makna dhahir karena setiap dalil qath’i mengharuskan adanya madlul
(hukum). Bila dua dalil yang qath’i berbenturan berarti setiap dalil itu mengharuskan adanya
hukum yang saling berbenturan. Dengan demikian maka akan terjadi dua hal yang saling
meniadakan pihak lain, hal ini sangat mustahil terjadi. Sebagian ulama berpendapat
memungkinkan adanya dua dalil yang qath’i yang saling meniadakan

Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni
sebagaimana tidak boleh terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i, dengan tujuan untuk
menghindarkan perbenturan dalam firman pembuat hukum syar’i. Sedangkan sebagian ulama
yang lain membolehkan terjadinya perbenturan dua dalil yang zhanni karena tidak ada
halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak qath’i, seperti yang
terjadi pada qiyas. Jika kontradiksi antara dua dalil yang bukan nash seperti dua qiyas yang
saling bertentangan, maka ini mungkin saja kontradiksi yang hakiki atau sebenarnya. Karena
kadang-kadang dari salah satu dari keduanya salah, maka jika mungkin memenangkan salah
satu dari dua qiyas tersebut, yang menang itulah yang diamalkan.

Kedua golongan yang berbeda pendapat itu semuanya sepakat bahwa terjadinya
kontradiksi dalil tersebut hanya dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil itu
sendiri tidak ada benturan. Dengan kesimpulan dari dua pendapat itu bahwa kontradiksi antara
dua dalil ini tidak akan terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama kekuatannya. Maka jika
salah satu dari kedua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, maka yang diikuti adalah hukum
yang dikehendaki oleh dalil yang lebih kuat. Dengan demikian tidak akan terjadi kontradiksi
antara nash yang qath’i dan nash yang zhanni. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Al-
Qur’an QS. Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi sebagai berikut:

َ‫صيَّةُ ِل ۡل َٰ َو ِلدَ ۡي ِن َو ۡٱۡل َ ۡق َربِين‬


ِ ‫ض َر أَ َحدَ ُك ُم ۡٱل َم ۡوتُ إِن تَ َر َك خ َۡي ًرا ٱ ۡل َو‬
َ ‫علَ ۡي ُك ۡم إِذَا َح‬ َ ِ‫ُكت‬
َ ‫ب‬

١٨٠ َ‫علَى ۡٱل ُمتَّقِين‬ ِ ِۖ ‫ِب ۡٱل َمعۡ ُر‬


َ ‫وف َحقًّا‬

4
Ibid,. hal.205
6
“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) mati, jika
ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 180)

Ayat di atas secara dhahir maknanya mengalami kontradiksi dengan ayat sebagai berikut:

َ ‫ٱَّللُ ِف ٓي أ َ ۡو َٰلَ ِد ُك ِۡۖم ِللذَّ َك ِر ِم ۡث ُل َح ِظ ۡٱۡل ُنثَيَ ۡي ِۚ ِن فَإِن ُك َّن ِن‬


‫سآء‬ َّ ‫وصي ُك ُم‬
ِ ُ‫ ي‬......
“Allah mensyari’tkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
orang laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa’: 11)

Ayat ini mewajibkan kepada orang yang telah merasa mendekati ajalnya agar
mewasiatkan harta pusakannya kepada orang tua dan sanak kerabatnya secara baik. Dan ayat
kedua menetapkan asing-masing orangtua anak-anak dan sanak kerabat mendapat hak dari
harta pusaka lantaran wasiat Allah bukan wasiat yang mewariskan. Berarti kedua ayat tersebut
kontradiksi secara makna lahirnya dan mungkin bisa mengkopromikan keduanya, yaitu jika
yang dimaksudkan ketentuan tentang mereka yang terhalang mendapat warisan oleh satu
penghalang seperti perbedaan agama.5

C. Syarat-syarat Ta’arudh Adillah

Syarat-syarat ta’arudh al-adillah, seperti yang dijelaskan oleh Dr. Muhammad Wafaa
sebagai berikut:

1. Hukum yang ditetapkan oleh kedua dalil tersebut saling berlawanan, seperti halal dan
haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan. Karena bila tidak
saling berlawanan, maka tidak ada pertentangan.
2. Obyek (tempat) kedua hukum yang saling bertentangan tersebut sama. Apabila
obyeknya berbeda, maka tidak ada pertentangan. Seperti mengenai akad nikah. Nikah
menyebabkan boleh (halal)-nya menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu si
istri. Dalam hal ini tidak ada pertentangan antar dua hukum yang saling berlawanan.
Karena orang yang menerima hukum halal dan haram berbeda.
3. Masa atau waktu berlakunya hukum saling bertentangan tersebut sama. Karena
mungkin saja terdapat dua ketentuan hukum yang saling bertentangan dalam obyek
yang sama, namun masa atau waktunya berbeda. Seperti, khamr dihalalkan pada masa

5
http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html, diakses pada tanggal 1 Mei, 2018 pukul 20.00

7
permulaan Islam, namun kemudian diharamkan. Begitu juga dihalalkannya menggauli
istri sebelum dan sesudah masa menstruasi (haid) dan diharamkan menggaulinya pada
masa menstruasi.
4. Hubungan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama. Karena mungkin saja
dua hukum yang saling bertentangan tersebut sama dalam obyek dan masa, namun
hubungannya berbeda. Seperti halalnya menggauli istri bagi suami dan haramnya
menggauli istri tersebut bagi laki-laki lain selain suaminya.
5. Kedudukan (tingkatan) kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari
segi asalnya maupun petunjuk dalilnya. Pengertian taarudh adillah secara singkat oleh
Abdul Wahab Khalaf di atas seakan menunjukkan bahwa syarat -taarudh adalah
tingkatan kedua dalil yang saling bertentangan tersebut sama, baik dari segi asalnya
maupun petunjuk dalilnya. Tidak ada pertentangan antara al-Qur’an dengan hadis ahad,
karena dari segi asal (tsubut)-nya al-Qur’an adalah qath’i sedang hadith ahad dzanni.
Begitu juga, tidak ada pertentangan antara hadith mutawatir dengan hadith ahad. Hadis
mutawatir harus lebih diutamakan.6

D. Cara Menyelesaikan Ta’arudh Al-adillah

Apabila ditemukan dua dalil yang kontradiksi secara lahirnya, maka harus diadakan
pembahasan untuk memadukan keduanya dengan cara-cara memadukan yang telah diatur
dalam ushul fiqh. Dan apabila dua dalil tersebut telah diusahakan perpaduannya, namun tetap
tidak menemukan jalan keluar, maka pelaksaannya dihentikan dan mencari dalil yang lain. Para
ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang
bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut:

“Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“

1. Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (Al-Jam’u wa al-Taufiq), dapat ditempuh


dengan cara:

Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan
serta cara-caranya sebagai berikut:

6
http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html, diakses pada Senin, 19 Maret 2018

8
Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil
yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang diunjuk oleh kedua
dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.

Contoh:

ِۚ ‫صيَّة ِۡل َ ۡز َٰ َو ِج ِهم َّم َٰت َعًا إِلَى ۡٱل َح ۡو ِل غ َۡي َر إِ ۡخ َر‬
َ‫اج فَإ ِ ۡن خ ََر ۡجن‬ ِ ‫َوٱلَّذِينَ يُتَ َوفَّ ۡونَ ِمن ُك ۡم َويَذَ ُرونَ أ َ ۡز َٰ َوجا َو‬
٢٤٠ ‫يم‬ٞ ‫يز َح ِك‬ ٌ ‫ع ِز‬ َّ ‫وف َو‬
َ ُ‫ٱَّلل‬ ٖۗ ‫ع َل ۡي ُك ۡم فِي َما فَ َع ۡلنَ فِ ٓي أَنفُ ِس ِه َّن ِمن َّمعۡ ُر‬ َ ‫فَ ََل ُجنَا َح‬

“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah berwasiat


bagi istri-istri mereka untuk bersenang –senang selama satu tahun.” (QS. Al-Baqarah: 240)

Dengan ayat yang berbunyi:

“Orang-orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri-istri hendaklah istri-istri


itu menahan diri selama empat bulan sepuluh hari.”

Kedua ayat diatas secara lahir memang berbenturan karena ayat yang pertama
menetapkan iddah selama satu tahun, sedangkan ayat kedua menetapkan idah selam empat
bulan sebuluh hari:

Usaha kompromi dalam kasus ini adalah dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud
bersenang-senang selama satu tahun pada ayat perama adalah hak mantan istri untuk tinggal di
rumah mantan suaminya selama satu tahun (jika menikah lagi). Sedangkan masa batas minimal
untuk tidak menikah lagi selama masa itu.

Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin
dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain
bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang
khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi
dengan ketentuan yang khusus.

Contoh firman Allah QS. Al-Baqarah:228 yang berbunyi:

َّ َ‫طلَّ َٰقَتُ يَتَ َربَّصۡ نَ بِأَنفُ ِس ِه َّن ث َ َٰلَثَةَ قُ ُر ٓو ِۚء َو ََل َي ِح ُّل لَ ُه َّن أَن َي ۡكت ُ ۡمنَ َما َخلَق‬
ِ ‫ٱَّللُ فِ ٓي أ َ ۡر َح‬
‫ام ِه َّن إِن‬ َ ‫َو ۡٱل ُم‬
‫ٱَّللِ َو ۡٱليَ ۡو ِم ۡٱۡل ٓ ِخ ِۚ ِر َوبُعُولَت ُ ُه َّن أ َ َح ُّق بِ َر ِد ِه َّن فِي َٰذَ ِل َك إِ ۡن أ َ َراد ُٓواْ إِصۡ َٰلَح ِۚا َولَ ُه َّن ِم ۡث ُل ٱلَّذِي‬
َّ ِ‫ُك َّن ي ُۡؤ ِم َّن ب‬
٢٢٨ ‫يز َح ِكي ٌم‬ ٌ ‫ع ِز‬ َّ ‫ ٖۗة َو‬ٞ ‫علَ ۡي ِه َّن دَ َر َج‬
َ ُ‫ٱَّلل‬ َ ‫وف َو ِل ِلر َجا ِل‬ ِ ِۚ ‫علَ ۡي ِه َّن بِ ۡٱل َمعۡ ُر‬
َ

9
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menungu) tagi kali sesuci.” (QS. Al-
Baqarah:22)

Dan pada ayat lain sebagai berikut:

“Perempuan-perempuan hamil (yang dicerai suami) waktu iddah mereka adalah sampai
melahirkan kandungannya.”

Perbenturan secara zhahir kedua ayat di atas bahwa iddah istri yang ditalak suami
adalah tiga kali sesuci, sedangkan istri yang dicerai suami dalam keadaan mengandung, maka
iddahnya adalah sampai melahirkan anaknya.

Usaha penyelesaian malalui takhsis dalam dua dalil di atas yaitu memberlakukan batas
melahirkan anak, khusus bagi istri yang dicerai suaminya dalam keadaan hamil. Dengan usaha
takhsis ini ketentuan bagi istri yang hamil dikeluarkan dari keumumannya.

2. Mengamalkan satu dalil diantara dua dalil yang berbenturan

Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau di takhsis, maka kedua
dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat
diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan 3 cara:

Nasakh7, Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu diantara dua dalil
yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu
lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk
seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.

Contoh:

“Sesungguhnya saya telah melarangmu berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.”

Keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang berbeda adalah apabila
dua dalil hukum berbenturan dan tidak mungkin diselesaikan dengan cara apapun, tetapi dapat
diketahui bahwa yang satu lebih dahulu datangnya dari pada yang satunya, maka yang terakhir
ini menasakh yang lebih dahulu datang, sebagaimana yang terjadi pada hadist di atas, dan juga
hadits di bawah ini yang berbunyi:

7
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 208
10
“Sesungguhnya saya telah melarangmu menyimpan daging kurban lebih dari keperluan tiga
hari, maka sekarang makanlah dan simpanlah.”

Tarjih, Maksudnya adalah apabila diantara dua dalil yang diduga berbenturan tidak
diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan
dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu
diantaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka damaikanlah dalil yang disertai petunjuk yang
mengeluarkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.

Contoh: Seperti mendahulukan khabar dari Aisyah ra. tentang wajibnya mandi bila
terjadi persetubuhan dari pada khabar Abu Hurairah yang mewajibkan mandi hanya apabila
keluar mani.

Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara
nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka
penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk
diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.

3. Meninggalkan dua dalil yang berbenturan

Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berebnturan itu tidak dapat diselesaikan
dengan dua cara diatas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua
dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk,
yaitu:

Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil


menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu diantara
keduanya.

Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil
yang lain untuk diamalkan.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mayoritas ulama hadis maupun ulama ushul sepakat pada prinsipnya nash-nash syariat
yang benar tidak mungkin bertentangan. Sebab kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran, dan juga sumber nash adalah satu, Allah SWT. Seandainya ada pertentangan,
maka hal itu hanya kelihatan dari luar saja.

Untuk metode penyelesain terhadap dalil/hadis yang tampak bertentangan itu, terdapat
berbagai macam perbedaan urutan langkahnya. Umumnya, seperti yang digunakan oleh
jumhur ulama, adalah jam’u, tarjih, kemudian naskh. Lalu apabila langkah itu tetap tidak
menghasilkan solusi, maka dalil-dalil itu ditawaqufkan atau di tasaquthkan.

12
Daftar Pustaka

 Prof. Dr. H. Mukhtar Yahya dan Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan


Hukum Islam. (Bandung :Al-Ma’rif,1993)
 Amir Syarifudin, Ushul Fiqh jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
 http://www.diyya.wordpress.com/ushulfiqh/html

13

Anda mungkin juga menyukai