Anda di halaman 1dari 6

Nama/ NIM:

1. Shafanisa Sazleana Bilqis 19410108


2. Muhammad Farsha Kautsar 19410119
3. Raisa Dara Toyibah 19410152
4. Abdhan Rahman 19410267
5. Bella Rhezi 19410596
6. Yafi Zafran Widodo 19410625

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

Masa Rasulullah SAW

Usul fiqh lahir pada abad kedua Hijriah. Abad ini wilayah Kekuatan Muslim
berkembang, dan banyak yang bukan orang Arab Percaya pada Islam. Karena itu menciptakan
banyak ambiguitas secara internal memahami nash, sehingga perlu menetapkan aturan bahasa
digunakan untuk membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh, Berikut adalah panduan untuk
memahami Nash.1
Mustafa Said al-Khin percaya ada ushul fiqh sebelum fiqh. Sebab, ushul fiqh adalah
dasar, Dan fiqh adalah bangunan yang dibangun di atas fondasi. karena Itu tentu saja ushul fiqh
sebelum fiqh. Sebagai kesimpulan, tentu saja Harus ada ushul fiqh sebelum ada fiqh.2
Ketika ushul fiqh dipandang sebagai metode Secara umum, penegakan hukum bukanlah
bidang ilmu tertentu. Misalnya, ketika seorang teman memiliki masalah hukum, Kemudian ia
mencari Al-Qur'an atau Rasulullah untuk jawaban. Maka itu dapat dianggap sebagai metode
ilegal. dia sudah percaya bahwa melanggar hukum harus dicari dari Al-Qur'an Atau tanyakan
pada Rasul Allah. Namun, solusi seperti itu tidak dapat dianggap sebagai bidang ilmiah. solusi
seperti itu merupakan prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, masih dalam pengembangan
Selanjutnya dikenal dengan ilmu ushul fiqh. Prototipe ushul fiqh semacam itu pasti sudah
Kehidupan nabi. sendiri. Rasululloh melihatnya. dengan teman-teman ijtihad tentang masalah
yang belum diselesaikan dengan wahyu. ijtihad masih dilakukan oleh teman-teman dalam bentuk
yang sederhana,tanpa harus adanya persyaratan yang rumit seperti hal nya yang dirumuskan oleh
para ulama.
Perumpamaan seorang sahabat yang berijtihad adalah dua orang Sahabat seperjalanan,
maka sudah waktunya untuk sholat. Sayangnya, mereka tidak Ada air untuk mandi. Kemudian
keduanya melakukan tayamum dengan debu suci dan berdoa. Kemudian mereka menemukan air

1 A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hal. 45-46.
2 Muhammad Sa‘id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf alFuqaha (Beirut:
Muassassah al-Risalah, 1994) 122-123.
tepat waktu Sholat belum selesai. Salah satunya mengulangi shalat sementara yang lain tidak.
Kemudian mereka berdua datang menghadap Rasul Allah. bercerita Ini. Rasulullah berkata
kepada mereka yang tidak mengulangi: "Kamu telah Penuhi sunnah dan cukuplah sholatmu.
"Bagi mereka yang mandi Dan ulangi doanya ya Rasulullah. Mengumumkan: "Untuk kalian
berdua" remunerasi."
Pada saat Nabi Muhammad hidup, segala macam permasalahan fiqih (hukum Islam)
dikembalikan kepada Rasul. Pada saat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu Allah SWT.
Namun terdapat usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam
menentukan keputusan hukum.

Masa Sahabat

Masa sahabat pada hakikatnya adalah masa peralihan antara masa hidup dan adanya
bimbingan Rasulullah saw. kepada masa Rasulullah saw. tidak lagi menemani atau membimbing
secara langsung umat Islam. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, para sahabat merujuk kepada
tiga sumber penting dalam menyelesaikan permasalahan hukum, yaitu al Qur'an, sunnah, dan
ra’yu (nalar).
Meninggalnya Rasulullah saw. memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya
kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau
dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum,
di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas,
dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah
saw. Sendiri.3
Pada periode sahabat ini tedapat beberapa solusi baru yang digunakan hukum, para
sahabat mempraktikkan ijma', qiyas dan istishlah (maslahah mursalah) jika hukum yang
bersangkutan tidak ditemukan secara sah dicantumkan secara tulis dalam Al-Qur'an dan Hadist.
Khalifah melakukan musyawarah bertujuan untuk mencapai kata mufakat berkaitan dengan
masalah hukum. Pakar industri dan teman-teman yang menghadiri dalam pertemuan hukum.
Keputusan yang dinegosiasikan pada umumnya untuk mendapatkan persetujuan dari seorang
teman.
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para
sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang
mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam
rumusan rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.4
Sahabat juga mempunyai pemikiran yang berbeda dalam memahami apa hakikat al-Qur’an dan
sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain yang dibahas dalam kasus pemahaman
ayat iddah dalam QS. al-Baqarah 228: “Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya
menunggu selama tigaquru'.” Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda

3 Thaha Jabir Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Virginia: IIIT, 1994)
4 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 21.
(polisemi), yaitu suci dan haid. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Utsman, dan Abu Musa al-
Asy’ari mengartikan quru’ dalam penggalan ayat di atas dengan pengertian haid, adapun
Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibn Umar mengartikannya dengan suci.

Artinya ada perbedaan pengucapan (polisemi) musytarak. Secara umum, seperti pada zaman
Nabi Muhammad, ushul fiqh pada zaman Nabi saw belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat
seringkali memiliki sudut pandang dan argumentasi yang berbeda untuk mempelajari masalah
hukum. Namun, dialog ini belum mengarah pada pembentukan bidang penelitian metodologis
tertentu. Tukar pendapat dari teman dan jawab pertanyaan dengan lebih praktis. Pembahasan
hukum antar sahabat masih sebatas memberi diktum terhadap isu atau permasalahan yang
muncul, dan kajian hukum Islam belum merambah ke persoalan metodologis. Jika hukum yang
relevan tidak ditulis secara efektif dalam Al-Qur'an dan Hadits.
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada era sahabat masih belum
menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan berargumentasi
untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada
pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang
dilakukan sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum
yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau
permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah
metodologi5
Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sempurna tentang hukum-hukum yang
terdapat di dalam Al-Quran dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, serta rahasia syariat dan
tujuan karena pergaulan mereka pada zaman nabi saw. Karena itu mereka tidak memerlukan
peraturan-peraturan dalam mengambil suatu hukum. Mereka tidak menggunakan pengetahuan
Ushul Fiqh dalam teori, tetapi dalam praktek sesungguhnya ilmu ini telah diterapkan dan
menjadi teladan bagi umat sesudahnya.6

Masa Tabi’in

Tabi’in ialah suatu generasi setelah sahabat, yang mana generasi ini belum pernah
bertemu dengan Rosulullah SAW. Maka dari itu, generasi ini belajar dari para sahabat. Para
sahabat sendiri ketika Islam menyebar, mereka pun turut pula menyebar ke berbagai daerah
seperti Umayyah di Syam, Ibnu Abbas di Mekkah, Ibnu Mas’ud di Iraq, dan lain-lain. 7 Mereka
pun memiliki murid di daerah tersebut, dan murid tersebut menjadi tokoh hukum di daerahnya
masing-masing. Kemudian kecenderungan berpikir para sahabat memberikan pengaruh kepada
murid-muridnya dalam menimba ilmu kepada mereka. Misal Ibnu Mas’ud dikenal sebagai tokoh
yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik.8 Maka dari itu, metode istimbath tabi’in secara
5 Muhammad al-Khudlary, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al- ‘Arabiyyah, tt), 114.
6 Mohammad Rifa’i, Ushul Fiqih, ( Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973), hlm. 9
7 Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, hlm 17-18.
8 Zulhamdi, Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh, Jurnal At-Tafkir, Vol. XI, No. 2, 2018, hlm 68.
umum tidak jauh berbeda dengan metode istimbath yang dilakukan oleh para sahabat. Akan
tetapi terdapat 2 fenomena penting terkait hal tersebut, pemalsuan hadits serta perdebatan
mengenai penggunaan ra’yu yang berakibat munculnya kelompok Irak dan kelompok Madinah.9
Dapat disimpulkan bahwasanya terdapat bibit-bibit perbedaan dalam hal metodologis
disertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum berdasarkan wilayah geografis. Meskipun
begitu, para ahli hukum dalam masa generasi tabi’in dalam melakukan ijtihad mereka menempuh
langkah-langkah yang sama seperti para sahabat. Perbedaannya hanyalah penggunaan sumber
hukum tidak hanya sebatas pada al-quran dan hadist melainkan juga menggunakan rujukan
hukum yang baru seperti ijma’ ash-shahabi, ijma’ahl al Madinah, qiyas, maslahah mursalah, dan
lain-lain, yang mana hal tersebut merupakan hasil pemikiran oleh generasi sahabat10. Terkait
dengan penggunaan istimbath, pada masa tabi’in dilakukan dengan berbagai sudut pandang
seperti ulama fiqh irak lebih dikenal dengan penggunaan ar-ra’yu. Para ulama di Madinah lebih
cenderung menggunakan hadist-hadist. Selanjutnya muncullah tiga kelompok ulama yakni,
Madrasah al Iraq, Madrasah al Kufah, dan Madrasah al Madinah.11

Masa Tabi’Tabi’in

Pada masa tab’i tabi’in ini pun muncul pula imam-imam mazhab yang berpengaruh terhadap
sistematika hukum Islam. Imam-imam tersebut terdiri dari:
1. Imam Malik
Beliau lahir pada tahun 93 H / 789 M di kota Madinah dan meninggal pada tahun 179 H /
789 M di usia 87 tahun. Beliau merupakan sosok ulama terkemuka dalam bidang ilmu
hadits dan fiqh.12 Mazhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan Mansur
dan di khilafah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya ketika diangkat menjadi qadhi
oleh para khalifah di Andalusia. Kemudian dalam melakukan istimbath, Imam Malik
mengambil sumber melewati kitabullah kemudian as sunnah, amal ahli al Madinah, Al
Qiyas, Al Maslahah, Al Mursalah, Sadd adz Dzara’i, Al Urf, Al Adat.13
2. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah atau biasa dikenal dengan Imam Hanafi lahir di Irak pada tahun 80
H / 699 M. beliau pernah menimba ilmu dari beberapa sahabat seperti Abdullah ibn
Mas’ud, Abdullah ibn Abi Aufa, dan Sahal bin Sa’ad 14. Imam Hanafi meinggal dalam
usia 70 tahun pada tahun 150 H / 767 M dan dimakamkan di kota Baghdad. 15 Mazhab

9 Fatkan Karim Atmaja, Perkembangan Ushul Fiqh dari Masa ke Masa, Jurnal Ilmu Syariah, FAI Universitas Ibn
Khaldun, Vol. 5, No. 1, 2017, hlm 29.
10 Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, hlm 23
11 Muhammad Ma’ruf Al Dawalibi, Al Madkhal ila ilm al-ushul al Fiqh, Damaskus: Universitas Damaskus, Cet. II,
1959, hal 93.
12 Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, hlm 167.
13 Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Mazhab: Studi Analisis Istimbath Para Fuqoha, Jombang:
Darul Hikmah, 2008, hlm 141.
14 Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm 74
15 Ahmad al-Shirbashi, al-A’Immah al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Hilal, hlm 19.
Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf menjadi Qadhi dalam pemerintahan ketiga
khalifah Abbasyiah. Dasar dari mazhab Hanafi terdiri dari al-quran, sunnah Rosulullah,
fatwa-fatwa dari para sahabat, Al Qiyas, Istihsan, Al Urf.
3. Imam Syafi’i
Imam Syafi’I lahir pada masa pemerintahan Abbasiyah yakni pada tahun 150 H / 767 M
di Gazza Palestina. Mazhab Syafi’I mulai berkembang di Mesir ketika Shalahuddin al
Ayubi menaklukan negeri tersebut.16 Sumber dari mazhab Syafi’I ialah terdiri dari al-
quran dan as sunnah, fatwa sahabat, ikhtilah sahabat nabi, dan qiyas.17
4. Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal lahir di Baghdad pada Tahun 164 H / 780 M. 18Mazhab Hanbali
berkembang pada masa pemerintahan Al Mutawakkil. Adapun sumber hukum dari
mazhab Hanbali dimulai dari al-quran dan hadits, fatwa para sahabat, hadits mursal dan
dhaif, dan yang terakhir Imam Ahmad bin Hanbal akan melakukan qiyas.

Pada periode ini, metode penggalian hukum bertambah banyak, baik corak maupun
ragamnya. Dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbat hukum dan teknis
penerapannya. Sebagai contoh Imam Abu Hanifah dalam memutuskan perkara membatasi
ijtihadnya dengan menggunakan al-Quran, Hadis, fatwa-fatwa sahabat yang telah disepakati dan
berijtihad dengan menggunakan penalarannya sendiri, seperti istihsan. Abu Hanifah tidak mau
menggunakan fatwa ulama pada zamannya. Sebab ia berpandangan bahwa mereka sederajat
dengan dirinya. Imam Maliki setelah al-Quran dan Hadis lebih banyak menggunakan amal
(tradisi) ahli madinah dalam memutuskan hukum, dan maslahah mursalah. Demikian pula imam-
imam yang lain.
Pada periode inilah ilmu Ushul Fiqih dibukukan. Ulama pertama yang merintis
pembukuan ilmu ini adalah Imam Syafi’i, ilmuan berkebangsaan Quraish. Ia memulai menyusun
metode-metode penggalian hukum Islam, sumber-sumbernya serta petunjuk-petunjuk Ushul
Fiqih. Dalam penyu-sunannya ini, Imam Syafi’i bermodalkan peninggalan hukum-hukum fiqih
yang diwariskan oleh generasi pendahulunya, di samping juga rekaman hasil diskusi antara
berbagai aliran fiqih yang bermacam-macam, sehingga ia memperoleh gambaran yang konkrit
antara fiqih ahli Madinah dan fiqih ahli Irak. Berbekal pengalaman beliau yang pernah “nyantri”
kepada Imam Malik (ulama Madinah), Imam Muhammad bin Hasan (ulama Irak dan salah
seorang murid Abu Hanifah) serta fiqih Makkah yang dipelajarinya ketika berdomisili di
Makkah menjadikannya seorang yang berwawasan luas, yang dengan kecerdasannya menyusun
kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang ijtihad yang benar dan ijtihad yang salah. Kaidah-
kaidah inilah yang di kemudian hari dikenal dengan nama Ushul Fiqih. Oleh sebab itu Imam

16 Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh, hlm 183.


17 M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002, hlm 212.
18 Nanang, “Sejarah Perkembangan Ushul Fiqih Periode Nabi, Sahabat, dan Tabi’In”, https://makalah-
jadi.blogspot.com/2016/01/sejarah-perkembangan-ushul-fiqih.htm (diakses pada hari Selasa, 14 Juni 2022, pada
pukul 21:31)
Syafi’i adalah orang pertama yang membukukan ilmu Ushul Fiqih, yang diberi nama “al-
Risalah”.19

19 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: PT Lentera Basritama, 1999, hlm 31.

Anda mungkin juga menyukai