Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

USHUL FIQH PADA MASA RASULULLAH SAW, SAHABAT, TABI’IN, DAN


IMAM MADZHAB
Makalah Ini ditulis guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh Bersama Dosen
Pengampu : Robi Permana, S.Pd.I, M.Ag

Disusun Oleh :
1. Ratu Sringgit Fatra Syawalyah
2. Muhammad Alif Abdurrahman Maulana

PROGRAM STUDI KPI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PERSIS
JAKARTA
2021
BAB 1
Pendahuluan
Ushul fiqih adalah ilmu untuk berijtihad dalam beberapa masalah yang hadir
silih berganti pada setiap zaman, terkadang kasus-kasus itu timbul yang belum pernah
ada dalam kata lain yaitu masalah baru yang belum ada hukumnya didalam al-Qur’an
dan as-Sunnah. Setiap orang mampu berijtihad, tentulah berbeda antara ijtihad para
sahabat dan ijtihad para tabi’in begitupun seterusnya. Kadar keilmuanlah yang
mampu memberi bobot pendapat yang didirikannya untuk dipertanggungjawabkan,
jika dalam seseorang berijtihad benar maka mendapatkan dua kebaikan, jika
ijtihadnya salah maka mendapatkan satu kebaikan. Artinya islam adalah agama yang
penuh rahmat bagi ummat Nabi Muhammad SAW.
Ilmu ushul fiqih selalu berkembang di setiap zaman, mulai dari zaman para
Sahabat sampai saat ini. para mujtahid saling mengedepankan argumen kuat selama
tidak bertentangan syariah. Ada penambahan bahkan penyempurnaa ilmu ushul fiqih
pada ijtihad para Sahabat sampai dengan para mujtahid setelah sahabat, terutama pada
masa Imam Syafi’i mulai membukukan kitab ushul fiqih yang terkenal dengan nama
ar-Risalah ini sebagai acuan para ulama fiqih berlomba-lomba untuk membukukan
pemikiran ushul fiqih mulai dari perkara yang diajarkan guru Madzhab sampai kepada
kasus-kasus masyarakat.
Fokus Pembahasan
- Ushul Fiqh Pada Zaman Rasulluah SAW.
- Ushul Fiqh Pada Zaman Sahabat
- Ushul Fiqh Pada Zaman Tabi’in
- Ushul Fiqh Pada Zaman Imam Madzhab
BAB 2
Pembahasan
A. Ushul Fiqh Pada Zaman Rasulluah SAW.
Ushul fiqh di lahirkan pada masa di mana kekuasaan ummat Islam semakin
luas dan semakin banyak orang Arab memeluk agama Islam tepat nya pada abad ke 2
Hijriah. Karena hal itu lah banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash,
sehingga di rasa perlu dalam menetapi kaidah-kaidah guna memahami dan membahas
nash, maka lahir lah ilmu ushul fiqh yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Musthafa Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada
sebelum fiqh. Alasan nya adalah bahwa ushul fiqh merupakan podasi, sedangkan fiqh
adalah bangunan yang di dirikan di atas pondasi. Karena hal itulah sudah pasti ushul
fiqh harus di dahuluakan sebelum adanya fiqh. Jawaban yang demikian benar apabila
ushul fiqh di lihat sebagai sebuah metode, pengambilan hukum secara umum, bukan
sebuah bidang ilmu yang khas.
Misal, Ketika seorang sahabat di hadapkan oleh suatu permasalahan hukum,
setelah itu ia mencari ayat Al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulluah SAW.
Secara langsung maka hal itu bisa di sebut sebagai metode memecahkan hukum. Ia
sudah mempunyai gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus di cari dasar nya
melalui Al-Qur’an atau langsung bertanya kepada Rasulluah SAW. Namun demikian
pemecahan masalah dengan cara seperti itu belum bisa di katakan sebagai dasar atau
bidang ilmu.pemecahan demikian adalah Prototipe (bentuk dasar) ushul fiqh, yang
masih perlu pengembangan yang lebih lanjut untuk di sebut sebagai dasar ilmu ushul
fiqh.
Adapun ijtihad yang di lakukan oleh para sahabat dalam menentukan ushul
fiqh, ketika ada 2 sahabat yang melakukan perjalan panjang dan tiba waktu shalat, dan
sayang nya 2 sahabat tersebut tidak memiliki air saat ingin berwudhu, lalu kedua nya
melakukan tayyamum dengan menggunakan debu suci setelah itu mereka
melaksanakan shalat, salah satu dari 2 sahabat tersebut mengulang shalat nya dan
kedua nya langsung mendatangi Rassulluah SAW. Dan menceritakan kejadian baru
mereka alami, Rasulluah SAW. Ber sabda kepada yang ber tayyamum “Engkau telah
memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” lalu kepada orang yang berwudhu dan
mengulang shalat nya “Bagimu dua pahala.”
Dari kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam memecahkan persoalan
ketika telah menemukan air setelah shalat selesai di kerjakan dengan bersuci
mennggunkan tayammum. Mereka menanggapi nya dengan cara yang berbeda namun
Rasulluah membenarkan ijtihad keduanya dalam hal bersuci sebelum melakukan
shalat.
Semasa Rasulluah SAW. Hidup semua permasalahan tentang ushul fiqh di
kembalikan kepada Rasulluah SAW. Dan pada masa ini hukum fiqh bersumber dari
wahyu Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha-usaha dari beberapa sahabat
yang menggunakan pendapat nya dalam menentukan pendapat yang akan di gunakan
dalam pemutusan hukum fiqh.

B. Ushul Fiqh Pada Zaman Sahabat


Masa sahabat adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan
Rasulullah kepada masa Rasulullah tidak lagi mendampingi umat Islam. Ketika
Rasulullah masih hidup sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan
hukum, yaitu Alquran, sunnah, dan ra’yu (nalar). Petunjuk paling jelas terhadap tiga
sumber tersebut tampak dalam riwayat berikut:
Dari Muadz: Bahwasanya Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman,
beliau bersabda: “Bagaimana kau memutuskan juga dihadapkan perkara
kepadamu‘ Muadz menjawab: “Saya putuskan dengan kitab Allah. Rasulullah
bertanya kembali: “Jika tidak kau temukan dalam kitab Allah.” Muadz menjawab:
“Saya putuskan dengan sunnah Rasulullah SAW. Rasulullah bertanya: Jika tidak kau
temukan dalam sunnah Rasulullah‘ Muadz menjawab: “Saya berijtihad dengan ra’yu
saya dan tidak melampaui batas.” Muadz lalu berkata: “Rasulullah memukulkan
tangannya ke dada saya dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
petunjuk utusan Rasulullah terhadap apa yang diridloi Rasulullah.” (Redaksi hadits di
atas berasal dari Sunan al-Baihaqi. Riwayat yang hampir sama isi dan redaksinya juga
dimuat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abu Dawud, dan Sunan Tirmidzi.
Meskipun ada yang meragukan kesahihan hadits di atas, namun hadits tersebut sangat
populer di kalangan ushuliyyin)
Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para sahabat.
Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum dengan
kemampuan mereka. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang
hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud,
Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah
dimulai pada masa Rasulullah sendiri. (Thaha Jabir Alwani, 1994 : 19) Pada era
sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma’
sahabat dan mashlahah. (Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, 1983: 38-39)
a. Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan musyawarah
untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum.
Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang
hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para
sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah
momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang dikemudian hari diakui oleh
sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan
pengikutnya sebagai ijma yang paling bisa diterima.
b. Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang
berupa qiyas dan mashlahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari
pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-
kasus baru yang belum muncul pada masa Rasulullah.
Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan
hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan. Penggunaan
mashlahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin Khattab
dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan
pertimbangan mashlahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan
pertimbangan mashlahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan
Alquran dalam satu mushaf, contohnya, pengucapan talak tiga kali dalam
satu majelis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman
potong tangan di waktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj),
pemberhentian jatah zakat bagi muallaf, dan sebagainya. Sahabat juga
memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang dimaksud oleh
Alquran dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara lain dalam
kasus pemahaman ayat iddah dalam surat al-Baqarah 228.. “Perempuan-
perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga quru‘”

Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi),


yaitu suci dan haidh. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Usman, dan Abu
Musa al-Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian
haidh, sedangkan Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibnu Umar mengartikannya
dengan suci. (Muhammad Sa‘id al-Khinn, 1994: 72)
Itu berarti ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak
(polisemi). Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah, ushul fiqh pada
era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering
berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum.
Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah
bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan
sahabat lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan
hukum yang dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas
pertanyaan atau permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan
kajian hukum Islam kepada masalah metodologi. (Muhammad al-Khudlary.
Tth: 114)

C. Ushul Fiqh Masa Tabi’in


Pada era tabi’in perbincangan mengenai persoalan ushul fiqh tidak banyak
berbeda dengan era sahabat karena para tabiin adalah murid-murid para
sahabat. Hal yang penting dicatat barangkali adalah bahwa pada era tabi’in,
pembagian geografis mulai mendapatkan tempat dalam peta pemikiran hukum
Islam. Perbincangan tersebut disertai dengan munculnya sentral-sentral
pengembangan kajian hukum Islam di amshar (kota-kota besar Islam), seperti
Makkah dan Madinah, Iraq (Kufah), Syiria, dan Mesir.
Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat
dan belajar kepada sahabat. Patut dicatat bahwa para sahabat ketika Islam
menyebar turut pula menyebar ke berbagai daerah, seperti Ibnu Mas’ud ada di
Iraq, Umayyah ada di Syam, Ibnu Abbas di Makkah, Umar bin Khattab,
Aisyah, dan Ibnu Umar, dan Abu Hurairah di Madinah, dan Abdullah bin
Amru bin Ash di Mesir. Para sahabat tersebut berperan dalam penyebaran
ajaran Islam dan menjadi tempat masyarakat masing-masing daerah meminta
fatwa. Mereka pun memiliki murid-murid di daerah-daerah tersebut. Murid-
murid sahabat itulah yang kemudian menjadi tokoh hukum di daerahnya
masing-masing. Murid-murid para sahabat tidak hanya dari kalangan orang-
orang Arab, melainkan juga dari kalangan muslim non-Arab (mawali). Banyak
pemberi fatwa yang terkenal di kalangan tabi‘in adalah non-Arab, seperti Nafi ,
Ikrimah, Atha’ bin Rabbah (para ahli hukum Makkah), Thawus (ahli hukum
Yaman), Ibrahim al-Nakha‘i (ahli hukum Kufah), Hasan al-Bashri dan Ibnu
Sirin (para ahli hukum Bashrah), Yahya ibn Katsir. (Taha Jabir Alwani. 1994)
(Lihat juga Muhammad al-Khudary, Tth: 150-162).
Kecenderungan berpikir sahabat turut mempengaruhi pola pemikiran ushul
fiqh di masing-masing daerah. Ibnu Mas’ud, misalnya, dikenal sebagai tokoh
yang memiliki kemampuan ra’yu yang baik. Tidak mengherankan apabila
murid-muridnya di Iraq (Kufah) juga dikenal dengan ahl al-ra’yi, meskipun
ada faktor lain yang tentunya berpengaruh. Karena itulah, metode istimbath
tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istimbath sahabat. Hanya saja
pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting yaitu, Pemalsuan
hadits Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok
Iraq (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl al-hadits) Dengan demikian
muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas yang sertai dengan
perbedaan kelompok ahli hukum (fukaha) berdasarkan wilayah geografis. Dua
hal tersebut, ditambah munculnya para ahli hukum non-Arab, melahirkan
wacana pemikiran hukum yang nantinya melahirkan madzhab-madzhab
hukum Islam. Masing-masing madzhab hukum memiliki beberapa aspek
metode yang khas, yang membedakannya dengan madzhab yang lain.

D. Ushul Fiqh Pada Zaman Imam Madzhab

1. Abu Hanifah
Abu Hanifah atau biasa di kenal dengan sebutan hanafi lahir di Irak pada
tahun 669 Masehi atau bertepatan dengan 80 Hijriah. Imam Abu Hanifah di katakan
banyak belajar ilmu fiqh, tafsir, hadist, dan tauhid kepada para ulama yang sangat
alim, salah satunya ialah Nafi’ ibn ‘Umar. Selain itu beliau berkesempatan untuk
belajar kepada beberapa sahabat nabi yang masih hidup diantara nya ‘Abdullah Ibn
Mas’ud dan Sahal Ibn Sa’ad.
Abu Hanifah adalah mujtahid yang merupakan seorang ahli ibadah. Dalam
bidang fiqh beliau belajar dari beberapa ulama hebat salah satu nya bernama Hammad
bin Abu Sulaiman.
Adapun perkembangan ushul fiqh di zaman Imam Abu Hanifah sangat di
pengaruhi oleh murid nya yang bernama Abu Yusuf ia di angkat sebagai Qadhi
dalam tiga pemerintahan Abbasyah, pada saat itu madzhab hanafi mendapat dukungan
politik dari murid nya tersebut.
Menurut Abu Bakar Al-Baghdadi dalam kitab nya menjelaskan dasar-dasar
pemikiran yang tertuang dalam madzhab hanafi, di antaranya sebagai berikut : “aku
(Abu Hanifah) mengambil kitab Alah. Bila tidak ditemukan di dalamnya, aku ambil
dari sunah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan sunahnya, aku ambil
pendapat sahabat-sahabat. Aku ambil perkataan yang aku kehendaki dan aku
tinggalkan pendapatpendapat yang tidak aku kehendaki. Dan aku tidak keluar dari
pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain mereka. Adapun apabila telah
sampai urusan itu atau telah datang kepada Ibrahim, as-Syaibani, Ibnu Sirin, al-Hasan,
Atha’, Said, dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi mereka orang-orang
yang telah berijtihad”.

2. Imam Malik
Imam Malik bin Anas, beliau lahir di kota Madina pada tahun 789 Masehi atau
bertepatan dengan 93 Hijriah dan beliau juga yang mengarang madzhab Maliki yang
sangat terkenal hingga ke penjuru dunia.
Madzhab Maliki berkembang di khalifah timur atas dukungan dari Al-
Mansyur dan di khalifah barat atas dukungan dari para khalifah di Andalusia, bahkan
di Afrika, Al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti Mazhab
Maliki.
Hukum fiqh yang di buat oleh imam sejatinya tidak tertulis secara sistematis,
namun murid nya yang bernama qadhi’iyyad dalam kitabnya al-Mudharrak, sebagai
berikut : “sesungguhnya manhaj Imam dar al-Hijrah, pertama ia mengambil kitabullan,
jika tidak ditemukan dalam kitabullah, ia mengambil as-Sunnah (kategori as-Sunnah
menurutnya haditshadits nabi dan fatwa-fatwa sahabat), amal ahli al-Madinah, al-
Qiyas, alMashlahah al-Mursalah, Sadd adz-Dzara’i, al-‘Urf dan al-‘Adat”.

3. Imam Syafi’I
Imam Syafi’I lahir pada pemerintahan Abbasiyyah, yaitu pada tahun 787
Masehi atau bertepatan dengan 150 Hijriah di Gazza Palestina. Jika madzhab Maliki
sangat mendominasi di wilayah bagian timur dan di bagian Afrika, maka, madzhab
imam Syafi’I sangat lah mendominasi atau banyak di gunkan di Mesir ketika
Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu.
Adapun sistem yang di gunakan oleh imam Syafi’I telah tertuang dalam kitab
Al-Umm yang menguraikan sebagai berikut : “ilmu itu bertingkat secara berurutan
pertama-tama adalah al-Qur’an dan as-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua
Ijma’ ketika tidak ada dalam al-Qur’an an as-Sunnah dan ketiga Sahabat Nabi (fatwa
sahabi) dan kami tahu dalam fatwa tersebut tidak adanya ikhtilaf di antara mereka,
keempat ikhtilah sahabat Nabi, kelima qiyas yang tidak diqiyaskan selain kepada al-
Qur’an dan as-Sunnah karena hal itu telah berada di dalam kedua sumber,
sesungghunya mengambil ilmu dari yang teratas”.

4. Imam Ahmad bin Hambal


Imam Ahmad bin Hambal lahir di baghdad pada tahun 780 Masehi atau
bertepatan dengan 164 Hijriah, beliau adalah pengarang dari madzhab Hambali dan
madzhab tersebut mencapai puncak dominasi nya pada masa pemerintahan
AlMutawakkil. Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali
dengan persetujuan imam Ahmad Ibnu hambal.
Dan adapun landasan hukum yang di pakai imam Ahmad bin Hambal dalam
menetap kan suatu hukum ialah :
1. Al-Qur’an dan Hadits, yakni apabila beliau mendaparkan nash, maka beliau tidak
lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat
sahabat yang menyalahinya.
2. Ahmad bin Hanbal berfatwa dengan fatwa para sahabat, ia memilih pendapat
sahabat yang tidak menyalahinya (ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, Ahmad bin Hanbal memilih salah satu
pendapat mereka yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan asSunnah.
4. Ahmad bin Hanbal menggunakan Hadits Mursal dan Dhaif apabila tidak ada atsar,
qaul sahabat atau ijma’ yang menyalahinya.
5. Apabila tidak ada dalam nash, as-Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadits
mursal dan dhaif, Ahmad bin Hanbal menganalogikan (menggunakan qiyas) dan
qiyas baginya adalah dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Ushul Fiqh di Zaman Rosul


Pada masa Rasulluah SAW. Kemudahan dalam menentukan hukum fiqh sangat lah
tercermin dari para sahabat, hal ini tidak lah mengherankan, karena para sahabat di
zaman itu langsung bertanya kepada Rasulluah SAW. Atau langsung mengambil
sumbernya dari Wahyu Allah SAWT. Namun hal ini tidak bisa di jadikan dasar ilmu
fiqh karena pada saat itu Rasulullah SAW. Masih hidup dan masih menentukan
hukum fiqh sesuai dengan pertimbangan yang beliau ambil.
Dan pada saat ini metodel tersebut tidak bisa di gunakan lagi karena dalam menetuka
hukum fiqh haruslah menggunakan banyak dasar hukum, dalil, dan juga banyak
pertimbangan. Sehingga akan meminimalisir kesalahan yang akan terjadi saat
menetapkan suatu hukum.

Meskipun pada zaman sahabat dan tabiin sudah tidak ada Rasul dan mereka
mendapatkan tantangn baru untuk menetapkan suatu hukum, mereka tetap berusaha
meminta tolong kepada Allah melalui apa yang telah Rasul ajarkan sebelumnya
meskipun ada beberapa perbedaan pendapat, dan ada beberapa sahabat yang sudah
memiliki kelebihan di bidang hukum di zaman Rasul diantarnya adalah, Ali bin Abi
Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah
bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa Rasulullah sendiri.
Kemudian para tabi’in juga yang tidak jauh beda perjalanannya seperti para sahabat.

Dan adapun pada masa imam madzhab hukum-hukum fiqh mulai banyak
bermunculuan dan mulai banyak pengikut dari berbagai madzhab yang telah di buat.
Dan mulai ada dukungan politik dalam penggunaan madzhab, seperti madzhab imam
Hanafi yang mendapat dukungan dari murid nya di khalifah Abbasiyah sehingga para
pengguna madzhab imam hanafi bukan dari kalangan murid nya saja, akan tetapi
penggunaan nya telah meluas hingga ke masyarakat di era kekhalifahan Abbasiyah.
Pada zaman tersebut juga dasar-dasar madzhab mulai bermunculan, contoh madzhab
Hanafi yang berlandaskan : 1). Kitab Allah (al-Qur’an), 2). Sunnah Rasulullah yang
telah masyhur dikalangan ahlu. 3). Fatwa-fatwa dari sahabat. 4). Al-Qiyas, 5). Istihsan,
6). Al- ‘Urf.
DAFTAR PUSTAKA

3Muhammad Sa‘id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf


alFuqaha (Beirut: Muassassah al-Risalah, 1994) 122-123

20Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, h. 157.

24Jalaluddin Rakhmat, Dahulukan Akhlak di atas Fikih, h. 183

28M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab( Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2002), h. 212.

Zulhamdi, Z. (2018). Periodisasi Perkembangan Ushul Fiqh. At-Tafkir, 11(2), 62-77.

31M. Ali Hasan, Perbandingan, h. 188

Anda mungkin juga menyukai