Anda di halaman 1dari 12

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN

PERKEMBANGAN USHUL FIQH

DISUSUN OLEH :

NAMA : HABIB ALAM DARUSSALAM

NIM : 2032019042

DOSEN PEMBIMBING : ADELINA NASUTION, MA

FAKULTAS SYARI’AH

PRODI HUKUM TATA NEGARA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI COT KALA

LANGSA

2019

i
BAB I

PENDAHULUAN

Ushul fiqh adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang
menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbutan
manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh
adalah dua hal yang tidak bisa di pisahkan. Ilmu ushul fiqh dapat di umpama kan
seperti sebuah pabrik yang mengolah data-dat dan menghasilkan sebuah produk
yaitu ilmu fiqh.

Menurut sejarahnya, fiqh merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu di


kenal dan di bukukan dibandingkan dengan ushul fiqh. Tetapi jika suatu peroduk
telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya.ilmu fiqh tidak mungkin ada
jika tidak ada ilmu ushul fiqh. Oleh karena itu, pembahasan pada makalah ini
mengenai sejarah pertumbuhan dan perkemkangan ilmu ushul fiqh sehingga kita
bisa mengetahui bagaimana dan kapan ushul fiqh itu ada.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Masa Nabi Muhammad SAW

Ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriah. Pada abad ini daerah
kekuasaan umat Islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk
agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash,
sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam
membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh, yang menjadi penuntun dalam
memahami nash.1
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu
dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Musthafa
Said al-Khin memberikan argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh.
Alasannya adalah bahwa ushul fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh
merupakan bangunan yang didirikan di atas pondasi. Karena itulah sudah tentu
ushul fiqh ada mendahului fiqh.2 Kesimpulannya, tentu harus ada ushul fiqh
sebelum adanya fiqh.
Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode
pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika
seorang sahabat, misalnya dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari
ayat al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah saw., maka hal itu bisa
dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa
untuk memecahkan hukum harus dicari dari al-Qur’an atau bertanya kepada
Rasulullah saw. Akan tetapi, cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan
sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah prototipe (bentuk dasar)
ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai
ilmu ushul fiqh..
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh sahabat adalah ketika dua orang
sahabat bepergian, kemudian tibalah waktu shalat. Sayangnya mereka tidak punya

1
A. Syafi’i Karim, Fiqh Ushul Fiqh ( Bandung : Pustaka Setia, 2006 ), hal. 45-46
2
Muhammad Sa’id al-Khinn, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtialaf al-Fuqaha

2
air untuk wudlu. Keduanya lalu bertayammum dengan debu yang suci dan
melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum
habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu
mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang
tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan
shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan mengulang shalatnya,
Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”

2.2 Masa Sahabat

Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya
bimbingan Rasulullah saw. kepada masa Rasulullah saw. tidak lagi mendampingi
umat Islam. Ketika Rasulullah saw. masih hidup, sahabat menggunakan tiga
sumber penting dalam pemecahan hukum, yaitu al-Qur’an, sunnah, dan ra’yu
(nalar).
Meninggalnya Rasulullah saw. memunculkan tantangan bagi para sahabat.
Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk memecahkan hukum
dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat
sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi
Thalib, Umar bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan
Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai pada masa
Rasulullah saw. sendiri. 3
Periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada
hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad.
Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling
awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang
kita kenal sekarang. 4
Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan
hukum, para sahabat telah mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah
mursalah) bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tertulus dalam

3
Thaha Jabir Alwani, Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Virginia: IIIT, 1994), 19.
4
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 21.

3
al-Qur’an dan as-Sunnah. 5
Pertama, khalifah biasa melakukan musyawarah
untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah
tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan
musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga
memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat,
yang di kemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh Imam Ahmad
bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu), yang berupa
qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum
dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul
pada masa Rasulullah saw. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru
contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga menjadi bagian penting fiqh sahabat. Umar bin
Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan penggunaan
pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil penggunaan
pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan al-Qur’an
dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majlis dipandang
sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangan di waktu
paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi
muallaf, dan sebagainya.
Sahabat juga memiliki pandangan berbeda dalam memahami apa yang
dimaksud oleh al-Qur’an dan sunnah. Contoh perbedaan pendapat tersebut antara
lain dalam kasus pemahaman ayat iddah dalam QS. al-Baqarah 228:

‫صنَ ِبأ َ ْنفُس ِِهنَّ ث َ ََلثَةَ قُ ُروء‬


ْ َّ‫َوا ْل ُم َطلَّقَاتُ َيت َ َرب‬
“Perempuan-perempuan yang ditalak hendaknya menunggu selama tiga
quru'”

Kata quru’ dalam ayat di atas memiliki pengertian ganda (polisemi), yaitu
suci dan haid. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali, Utsman, dan Abu Musa al-

5
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenada Media, 2005), 17.

4
Asy’ari mengartikan quru’ dalam ayat di atas dengan pengertian haid, sedangkan
6
Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan Ibn Umar mengartikannya dengan suci. Itu berarti
ada perbedaan mengenai persoalan lafal musytarak (polisemi).
Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., ushul fiqh pada
era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering
berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan
tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang
kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat
lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang
dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau
permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam
kepada masalah metodologi. 7

2.3 Masa Pembukuan Ushul Fiqh

Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin
Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi,
dan membukukan Ushul Fiqh. Imam Syafi’i banyak mengetahui tentang
metodologi istinbath para imam mujtahid sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan metode istinbath para sahabat, serta mengetahui di mana
kelemahan dan keunggulannya.
Imam Syafi’i menyusun sebuah buku yang diberinya judul al-Kitab dan
kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dikenal
demikian karena buku itu pada mulanya merupakan lembaran-lembaran surat
yang dikirimkan kepada Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H), seorang pembesar
dan ahli hadits ketika itu. Munculnya buku al-Risalah merupakan fase awal dari
perkembangan ushul fiqh sebagai satu disiplin ilmu.
Kandungan kitab al-risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi
bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Pembahasan mereka ada
yang berbentuk mensyarh (menjelaskan) secara luas apa yang dikemukakan oleh
6
Musthafa Sa‘id al-Khinn. Atsar, 72.
7
Muhammad al-Khudlary, Tarikh Tasyri’ al-Islamy (Surabaya: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah,
tt), 114.

5
imam Syafi’i dalam kitabnya itu, tanpa mengubah atau mengurangi dari isi
kitabnya itu. Juga ada yang melakukan pembahasan bersifat analisis terhadap
pendapat dan teori Imam Syafi’i, dengan mengemukakan aspek-aspek kekuatan
dan kelemahan teori imam Syafi’i dan terkadang mengemukakan pendapat yang
bertentangan dengan imam Syafi’i. Misalnya, ulama Ushul fiqh dari kalangan
Hanafi yang mengakui teori-teori Imam Syafi’i akan tetapi mereka menambahkan
metode atau teori lainnya yaitu istihsan dan ‘urf dalam mengistinbathkan hukum.
Disamping itu, ulama ushul fiqh malikiyyah juga melakukan hal yang sama, yaitu;
Ijma’ Ahlul Madinah (kesepakatan penduduk madinah)8

2.4 Aliran-Aliran yang Muncul Setelah Pembukuan Ushul Fiqh

Sejarah perkembangan ushul fiqh menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak


berhenti, melainkan berkembang secara dinamis. Ada beberapa aliran metode
penulisan ushul fiqh yang saat ini dikenal. Secara umum, para ahli membagi aliran
penulisan ushul fiqh menjadi dua, yaitu mutakallimin (Syafi’iyyah) dan aliran
fuqaha (Aliran Hanafiyah). Dari kedua aliran tersebut lahir aliran gabungan. Tiga
aliran utama tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Aliran Mutakallimin
Aliran mutakallimin disebut juga dengan aliran Syafi’iyyah. Alasan
penamaan tersebut bisa dipahami mengingat karya-karya ushul fiqh aliran
mutakallimin banyak lahir dari kalangan Syafi’iyyah. Aliran ini
membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh
masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan
kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli,
tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya
kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai.
Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan
kaidah.

8
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh ( Jakarta : Logos, 1996 ), hal. 10

6
Dalam aliran ini, mereka mempelajari ilmu ushul fiqih sebagai suatu
disiplin ilmu yang terlepas dari pengaruh madzhab atau furu’, faktornya
karena:9
a. Imam Syafi’i sendiri yang menetapkan bahwa dasar-dasar tasyri’
itu memang terlepas dari pengaruh furu’.
b. Mereka berkeinginan untuk mewujudkan pembentukan kaidah-
kaidah atas dasar-dasar yang kuat, tanpa terikat dengan furu’ atau
madzhab.
c. Mereka membuat penguat kaidah-kaidah yang telah dibuatnya
dengan menggunakan berbagai macam dalil, tanpa menghiraukan
apakah kaidah tersebut memperkuat madzhab atau
melemahkannya.
Aliran Mutakakallimin lebih berorienntasi kepada hal-hal berikut,
yakni;10
a. Analisis kasus-kasus
b. Formulasi kaidah-kaidah hukum (al-qawa’id)
c. Aplikasi qiyas yang disertai penalaran rasio sejauh mungkin
d. Mengkonstruksi isu-isu fundamental teori hukum tanpa terikat
dengan fakta hukum yang kasuistis dan pikiran hukum madzhab
fiqh yang ada.
Semua pemikiran mereka, dapat dilihat dari hasil karya mereka,
dalam bentuk tiga kitab, yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Arkan
al-Tsalatsah yaitu sebagai berikut:
a. Kitab al-Mu’tamad, karya Abu Husain Muhammad ibn ‘Ali al-
Bashriy (w. 412 H).
b. Kitab al-Burhan, karya al-Imam al-Haramain (w. 474 H).
c. Kitab al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, karya al-Ghazali (w. 500
H).

9
Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh ( Jombang : Darul Hikmah, 2008 ), hal. 39
10
Asnawi, Perbandingan Ushul Fiqh ( Jakarta : Amzah, 2011 ), hal. 8

7
d. Al Mahsul karya fakhr al-Din Muhammad bin Umar al- Razi al-
Syafi’i (w. 606 H). Kitab ini diringkas oleh dua orang dengan
judul;
1) Al-Hasil oleh Taj al-Din Muhammad bin Hasan al-Armawi
(w. 656 H).
2) Al- Tahsil oleh Mahmud bin Abu Bakar Al-Armawi (w.
672 H).11
2. Aliran Fuqaha
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh
para ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam
sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam
merumuskan kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-
pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta
melengkapinya dengan contoh-contoh.12
Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain:
kitab al-Ushul (Imam Abu Hasan al-Karakhiy), kitab al-Ushul (Abu Bakar
al-Jashash), Ushul al-Syarakhsi (Imam al-Syarakhsi), Ta’shish an-Nadzar
(Imam Abu Zaid al-Dabusi), dan al-Kasyaf al-Asrar (Imam al-Bazdawi).
3. Aliran Gabungan
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab
ushul fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul
fiqh aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas
persoalan-persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam
madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya-karya gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian
diikuti kalangan Syafi’iyyah. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’ al-
Nidzam al-Jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan
gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya al-

11
Masykur Anhari, Ushul Fiqh ( Surabaya : Diantama, 2008 ), hal. 10
12
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, hal. 25

8
Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-
Hanafi. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya Shadr al-Syariah al-Hanafi.
Tiga aliran di atas adalah aliran utama dalam ushul fiqh. Sebenarnya
ada pula yang memasukkan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul dan aliran
khusus sebagai aliran lain dalam ushul fiqh. Aliran Takhrij al-Furu’ ‘ala al-
Ushul dipandang berwujud berdasarkan dua kitab yang secara jelas
menyebut istilah tersebut, yaitu Kitab Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya
al-Isnawi al-Syafi‘i dan Takhrij al-Furu’ ‘ala al-Ushul karya al-Zanjani al-
Hanafi. Sementara itu, aliran khusus adalah aliran yang mengkaji satu
pokok bahasan ushul fiqh tertentu secara panjang lebar, seperti mengenai
maslahah mursalah sebagaimana dilakukan oleh al-Syatibi dalam al-
Muwafaqat atau oleh Muhammad Thahir ‘Asyur dalam Maqashid al-
Syariah.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ilmu ushul fiqh dilihat dari sejarah dan perkembangannya, maka dapat
dibagi secara umum menjadi dua; yakni ushul fiqh sebelum pembukuan dan
pembukuan ushul fiqh. Ushul fiqh sebelum pembukuan dimulai dari masa
Rasulullah SAW dilanjutkan generasi Sahabat, generasi Tabi’in, generasi imam
mujtahid sebelum Imam Syafi’i.

Aliran dalam ushul fiqh terbagi menjadi tiga, yakni; aliran mutakallimin
(Syafi’iyyah), aliran fuqaha’ (hanafiyyah), dan aliran gabungan. Aliran
Mutakallimin; aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa
dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam
menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil
naqli, tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah
tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu,
setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.

Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para
ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem
penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan
kaidah ushul fiqh, mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah
dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-
contoh.

Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul


fiqh aliran mutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran
gabungan adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-
persoalan fiqh. Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan
ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya dan itu dikatakan sebagai aliran
gabungan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Alwani, Thaha Jabir, Source Methodology in Islamic Jurisprudence, Virginia:


IIIT, 1994.

Anhari, Masykur, Ushul Fiqh, Surabaya: Diantama, 2008.

Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011.

Effendi, Satria dan M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta: Logos, 1996.

Karim, A. Syafi’i, Fiqh Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Ma’shum Zein, Muhammad , Ilmu Ushul Fiqh, Jombang: Darul Hikmah, 2008.

Sa‘id al-Khin, Muhammad, Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawaid al-Ushuliyyah fi


Ikhtialaf al-Fuqaha, Beirut: Muassassah al-Risalah, 1994.

11

Anda mungkin juga menyukai