Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Tentang
‘URF SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Agama Kelas 1A tahun pelajaran 2020/2021

Disusun oleh:

Nama : Chintiya Cahaya Putri


NIM : P20637020008
Prodi : DIII Rekam Medis dan Informasi Kesehatan

DIREKTORAT POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES TASIKMALAYA


Jl. Cilolohan no. 35 Kec. Kahuripan, Tlp. 0265 – 340186 – 7035678 Fax. 0265 – 338939
Email : direktorat@poltekkestasikmalaya.ac.id humas@poltekkestasikmalaya.ac.id
Tawang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Kode Pos 46115
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt., karena atas segala rahmat, berkah,
hidayah, dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah tentang, ”Urf Sebagai Sumber
Hukum Islam”.
Makalah disusun dan diajukan untuk memenuhi nilai mata kuliah Pendidikan Agama di
kelas IA Tahun Pelajaran 2020/2021.
Selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan
dorongan, semangat, dan bimbingan yang tak ternilai harganya. Untuk itu, pada kesempatan ini
kami menyampaikan terima kasih kepada :
1. Hj. Ani Radiati R, S.Pd, M.Kes selaku direktur Poltekkes Kemenkes Tasikmalaya;
2. K.H. Didi Turmudzi, LC, MA selaku guru pengajar mata kuliah Pendidikan Agama;dan
3. Teman-teman seperjuangan di kelas IA yang senantiasa memberikan motivasi dan
semangat.
Yang terpenting untuk kedua orang tua saya, yang telah memberikan kekuatan secara
moril maupun materil, karena tanpa bantuan mereka mustahil saya bisa menyelesaikan makalah
ini. Terimakasih telah membimbing dan menyayangi saya sampai saat ini.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada saya, senantiasa mendapat pahala yang
berlimpah ganda dari Allah Swt. Aamiin.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu
penulis mengharapkan saran dan masukan untuk perbaikan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis maupun para pembaca.

Singaparna, 12 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Urf........................................................................................................2
B. Macam-Macam ‘Urf................................................................................................3
C. Kehujjahan ‘Urf.......................................................................................................4
D. Kaidah-Kaidah ‘Urf.................................................................................................6
E. Syarat-Syarat ‘Urf....................................................................................................6

BAB III PENUTUP

A. Simpulan..................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Definisi hukum Islam adalah syariat yang berarti aturan yang diadakan oleh Allah untuk
umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi SAW, baik hukum yang berhubungan dengan
kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan)
yang dilakukan oleh umat Muslim semuanya.

Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturan-aturan untuk
diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia. Karena banyak ditemui permasalahan-
permasalahan, umumnya dalam bidang agama yang sering kali membuat pemikiran umat
Muslim yang cenderung kepada perbedaan. Untuk itulah diperlukan sumber hukum Islam
sebagai solusinya.

Dalam berbagai sumber hukum islam terdapat banyak sekali pembahasan, salah satunya
adalah ‘urf yang akan saya coba jelaskan yang mana budaya atau ‘urf sebagai salah satu bagian
dari sumber hukum islam, apa yang mendasari ulama untuk menjadikan hal tersebut sebagai
salah satu pijakan hukum, bagaimana mereka mengaplikasikannya di dalam kehidupan nyata
masyarakat. Hal tersebut tentunya tidak semudah yang kita diskusikan, karena tidak semua
ulama setuju tentang ‘urf ini, akan tetapi tidak sedikit juga yang menjadikannya sebagai pijakan
hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ‘urf ?
2. Apa saja macam-macam ‘urf ?
3. Bagaimana Kehujjahan ‘urf ?
4. Apa saja kaidah-kaidah ‘urf ?
5. Apa saja syarat-syarat ‘urf ?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ‘urf.
2. Mengetahui macam-macam ‘urf.
3. Mengetahui Kehujjahan ‘urf.
4. Mengetahui kaidah-kaidah ‘urf.
5. Mengetahui syarat-syarat ‘urf.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Urf
Kata urf berasal dari kata arafa ya’rifu sering di artikan dengan al-ma’ruf dengan arti
sesuatu yang dikenal. Menurut istilah ialah segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi
kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Sebagian Ushuliyyin, seperti Al-Nafasidari kalangan Hanafi, Ibnu Abidin,Al-Rahawi dalam
Syarah kitab Al-Mannar dan Ibnu Ujaim dalam kitab Al-Aisbah wa al-Nazhair berpendapat
bahwa urf sama dengan adat tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun sebagian
Ushuliyyin, seperti Ibnu Humam dan al-Bazdawi membedakan antara adat dengan urf dalam
membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat
didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional.
Sedangkan ‘urf ialah kebiasaan mayoritas kaum,baik dalam perkataan atau perbuatan. Dalam
pengertian ini adat lebih luas daripada urf. Adat mencakup seluruh jenis ‘urf. Tetapitidak
sebaliknya. Kebiasaan individu-individu atau kelompok tertentu dalam makan, berpakaian,
tidur dan sebagainya dinamakan adat tidak dikatakan ‘urf. Tetapi, dari sisi yang lain, urf lebih
umum daripada adat, sebab adat hanya menyangkut perbuatan , sedangkan ‘urf menyangkut
perbuatan dan ucapan sekaligus.
Dari adanya ketentuan bahwa ‘urf atau adat itu sesuatu yang harus dikenali, diakui, dan
diterima oleh orang banyak, terlihat ada kemiripannya dengan ijma’. Namun antara keduanya
terdapat beberapa perbedaaan yang di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Dari segi ruang lingkupnya, ijma’ harus diterima semua pihak. Sedangkan ‘urf atau adat
sudah dapat tercapai bila ia telah dilakukan dan dikenal oleh sebagian orang saja.
2. Ijma’ adalah kesepakatan (penerimaan) di antara orang-orang tertentu, yaitu para mujtahid,
dan yang bukan mujtahid tidak diperhitungkan kepakatan ataupun penolakannya.
Sedangkan ‘urf atau adat yang mengakui adalah seluruh lapisan manusia baik mujtahid
atau bukan.
3. ‘Urf atau adat itu dapat mengalami perubahan karena berubahnya orang-orang yang
menjadi bagian dari umat itu. Sedangkan ijma’ tidak akan mengalami perubahan.

2
B. Macam-Macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqih membagi ‘urf dalam tiga macam:
1. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan).
A. Al-urf al-lafdzi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau
ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah
yang dipahami dan terlintas dalampikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan daging
yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada.
Apabila seorang mendatangi penjual daging, saya beli daging satu kilogram pedagang
itu langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat yang
mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
B. Al-‘urf al-amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan biasa adalah perbuatan
masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan
orang lain, sepertikebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentudalam satu minggu,
kebiasaan masyarakat tertentu memakan makanan khusus atau meminum minuman
tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentudalamacara khusus.
2. Dari segi cakupannya,urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum)
dan al-urf al-khas (kebiasaan yang besifat khusus).
A. Al-urf al-am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh daerah.
Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki
mobil,seperti kunci,tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalamharga jual, tanpa
akad sendiri,dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku bahwa
berat barang bawaan bagi penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.
B. Al-‘urf al-khas, adalah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
Misalnya, dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu padabarang yang
dibeli dapat dikembalikan, sedangkan untuk cacat lainnya dalam barang itu, tidak dapat
dikembalikan. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masagaransi terhadap barang
tertentu. Contoh lain adalah kebiasaan yang berlaku d kalangan pengacara hukum

3
bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dia lakukan harus di bayar duluoleh kliennya.
Urf al-khas seperti ini,menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, tidak terhitung jumlahnya
dan senantiasa berkembang sesuai perubahan situasi dan kondisi masyarakat.
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagidua yaitu al-‘urfal shahih
(kebiasaan yang di anggap sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak).
A. Al-‘urf al shahih, adalah kebiasaan yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau
hadist) tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa madarat
bagi mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah
kepada pihak wanita dan hadiah ini di anggapsebagaimas kawin.
B. Al-‘urf al-fasid, adalah kebiasaan yang beretentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’.
Misalnya, kebiasaan menghalalkan riba,seperti peminjam uang antara sesama
pedagang. Uang yang dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan
harus di bayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan
bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang diraih peminjam, penambahan utang
sebanyak 10% tidaklah memberatkan, karena keuntngan sepuluh juta rupiah tersebut
mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi, praktek seperti ini bukanlah
kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran
barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihi (HR. Al-Bukhari, Muslim,
dan Ahmad Ibnu Hanbal). Selain itu praktek seperti ini adalah praktek peminjaman
yang berlaku di jaman jahiliyyah, yang dikenal dengan sebutan ribal-nasi’ah (riba yang
muncul dari utang piutang). Oleh sebab itu, kebiasaan seperti ini,menurut ulama ushul
fiqih termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.

C. Kehujjahan ‘Urf
Ada beberapa argumentasi yang menjadi alasan para ulama berhjjah dengan ‘urf dan
menjadikannya sebagai sumber hukum fiqih,yaitu:
1. Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf ayat 199 :

ِ ْ‫ُخ ِذ ْٱل َع ْف َو َو ْأ ُمرْ بِ ْٱلعُر‬


َ ِ‫ف َوأَ ْع ِرضْ َع ِن ْٱل ٰ َج ِهل‬
‫ين‬

4
Artinya : “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Yang menurut Al-Qarafy bahwa setiap yang diakui adat, ditetapkanhukum menurutnya,
karena zohir ayat ini.
2. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abdullah bin Mas’ud :

َ ‫اراهُالمسل ُمونَ َح َسنًافَه َُوعن َداللها َ ْمر‬


‫ٌح َس ٌن‬ َ ‫َم‬
Yang menunjukkan bahwa hal-hal yang sudah berlaku menurut adat kaum muslimin
dan di pandangnya baik adalah pula baik disisi Allah.

3. Sabda Nabi Muhammad SAW kepada Hindun istri Abi Sufyan ketika iamengadukan
suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil memberi nafkah:

‫ابىسفيامنايليكوولد ِك باملعروف‬
َ ‫خذى من مال‬
(ambil dari harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut ‘urf).
Al Qurthuby mengomentari bahwa dalam hadis ini terdpat ‘urf dalam penetapan hukum.
4. Dilakukannya kebiasaan manusia terhadap suatu hal menunjukkan bahwa dengan
melakukannya, mereka akan memperoleh maslahat atau terhindar dari mafsadat.
Sedang maslahat ada dalil syar’i sebagaimana menghilangkan kesusahan
merupakan tujuan syara’.
Adapun alasan ulama yang memakai ‘urf dalam menentukan ‘urf antara lain:
A. Banyak Hukum Syari’at, yang ternyata sebelumnya telah merupakan kebiasaan
orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan keluarga dalam
pembagian waris.
B. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun perbuatan, ternyata
dijadikan pedoman sampai sekarang.

Secara umum ‘urf itu di amalkan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama madzhab
Hanafiyah dab Malikiyah.

5
Ulama’ Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salah satu bentuk istihsan itu
adalah istihsan al ‘urf (istihsan yang menyandar pada ‘urf). Oleh ulama’ Hanafiyah, ‘urf itu di
dahulukan atas qiyas kahfi khafi dan juga di dahulukan atas nash yang umun, dalam arti umum,
dalam arti ‘urf itu men-takhsis umum nash.

Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah sebagai dasar
dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadist ahad.

Ulama’ Syafi’iyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan
batansannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa.

D. Kaidah-Kaidah ‘Urf

‫العادة حمكمة‬

1. Adat itu dapat dijadikan hukum.

‫ال ينكر تغرّي األحكم بتغري األزمنة واألمكنة‬

2. Tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman dan tempat.

‫املعروف عرفا كا املشروط شرطا‬

3. Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.

‫اص‬
ّ ّ‫الثابت باالعرف كاالثابت باالن‬

4. Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalaui nash (nash atau
hadist).

E. Syarat-Syarat ‘Urf

6
Para ulama yang menggunakan ‘urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum,
menetapkan beberapa persyaratan untuk ‘urf tersebut,yaitu:

1. ‘Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.Syarat ini
merupakan kelaziman bagi ‘adat atau ‘urf yang shahih, sebagai persyaratan untuk
diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan istri yang ditinggal mati
suaminya dibakar hidup-hidup bersama pembakaran jenazah suaminya. Meski
kebiasaan itu dinilai baik dari segi rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat
diterima oleh akal yang sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.
2. Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada

dalam lingkungan ‘adat itu, atau di kalangan sebagian besar kalangannya. Dalam hal
ini al-Suyuthi mengatakan :

‫ردت فَإن مل يطِّرد فال‬ ِ


َ ّ‫الع َادةُ إذا اط‬
َ ‫امّن ا تُعتََبُر‬
Artinya : “Sesungguhnya ‘adat yang diperhitungkan itu adalah yang berlaku secara
umum. Seandainya kacau, maka tidak akan diperhitungkan.”
Umpamanya : kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat hanya satu
jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka suatu transaksi tidak apa-apa
untuk tidak menyebutkan secara jelas tentang jenis mata uangnya, karena semua
orang telah mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang
yang berlaku. Tetapi bila ditempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama
berlaku (ini yang dimaksud dengan : kacau), maka dalam transaksi arus disebutkan
mata uangnya.
3. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada
saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti ‘urf itu harus ada sebelum
penetapan hukum. Kalau ‘urf itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan.
Dalam hal ini ada kaidah yang mengatakan :

‫متأخ ِر‬
ِّ ‫السابق دون‬
ُ ‫ حَت ِم ُل عليه األل َفا ُظ إمنا هو املقارن‬C‫رف الَذى‬
ُ ُ‫الع‬

7
Artinya : “‘Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum) hanyalah
datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian.”
Dalam hal ini, Badran memberikan contoh : Orang yang melakukan akad nikah
dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar lunas atau dicicil,
sedangkan adat yang berlaku waktu itu adalah melunasi seluruh mahar. Kemudian
adat ditempat itu mengalami perubahan, dan orang-orang terbiasa mencicil mahar.
Lalu muncul suatu kasus yang menyebabkan terjadinya suatu perselisihan antara
suami istri tentang pembayaran mahar tersebut. Suami berpegang pada adat yang
sedang berlaku (sesuai adat lama ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan
pada syarat dan kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan
adat yang berlaku pada saat berlangsungnya akad nikah dan tidak menurut adat yang
muncul kemudian.
4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan
dengan prinsip yang pasti.

Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan adat shahih, karena kalau
adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’ yang pasti,
maka ia termasuk adat dan fasid yang telah disepakati ulama untuk menolaknya.

8
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Pengertian ‘urf
Segala sesuatu yang telah dikenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan,
perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
2. Macam-macam ‘urf
a. Dari segi objeknya, ‘urf di bagi dalam al-urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut
ungkapan) dan al-‘urf al-amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan
b. Dari segi cakupannya, urf di bagi dua, yaitu al-urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat
umum) dan al-urf al-khas (kebiasaan yang besifat khusus).
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’,’urf terbagidua yaitu al-‘urfal
shahih (kebiasaan yang di anggap sah) dan al-‘urf al-fasid (kebiasaan yang
dianggap rusak).
3. Kehujjahan ‘urf
Firman Allah dalam Q.S. Al-A’raf ayat 199 :

ِ ْ‫ُخ ِذ ْٱل َع ْف َو َو ْأ ُمرْ بِ ْٱلعُر‬


َ ِ‫ف َوأَ ْع ِرضْ َع ِن ْٱل ٰ َج ِهل‬
‫ين‬
Artinya : “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
4. Syarat-syarat ‘urf
9
a. Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.
b. Adat atau ‘urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada
dalam lingkungan ‘adat itu, atau di kalangan sebagian besar kalangannya.
c. ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada (berlaku) pada
saat itu; bukan ‘urf yang muncul kemudian.
d. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan
dengan prinsip yang pasti.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Sulaiman. 2007. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.Djalil.

Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Syarifudin, Amin. 2011. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Suwarjin. 2012. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Penerbit Teras.

Umam, Khaerul. 1998. Ushul Fiqh-1. Bandung: CV Pustaka Setia.

10
11

Anda mungkin juga menyukai