Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

Istishab, Pengertian, Macam-macam, dan Kehujjahannya

Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ushul Fiqh

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Kasuwi Saiban, M.Ag.

Oleh :

Aisha Rahma Surya Nindya 2077011614

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’HAD ALY AL-HIKAM MALANG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Februari 2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb. Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi
maha penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Istishab, Pengertian, Macam-macam dan Kehujjahanya.”

Makalah ushul fiqh ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
informasi dari berbagai sumber sehingga dapat mempelancar pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
kami menerima kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap agar makalah ushul fiqh tentang “Istishab, Pengertian, Macam-
macam dan Kehujjahannya” ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca. Terimakasih.

Malang, 18 februari 2021

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4

1.1 Latar Belakang....................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................5

1.3 Tujuan Pembahasan............................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................6

2.1 Pengertian Istishab..............................................................................................6

2.2 Macam-macam Istishab......................................................................................7

2.3 Kehujjahan dalam Istishab.................................................................................8

BAB III KESIMPULAN...................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................10

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam agama islam, terdapat berbagai hukum yang berlaku. Hukum tersebut tentunya
tidak semena-mena diterapkan tanpa keabsahan dan landasan yang jelas. Mempelajari hukum
tersebut biasanya dikenal dengan cabang ilmu agama yang diskenal dengan nama “fiqh”,
sedangkan untuk akar dan asal dalam penetapan hukum tersebut dikenal dengan nama “
ushul fiqh”.
Sebagaimana yang telah diketengahkan terdahulu bahwa dalam penetapan hukum islam
ada dua pendekatan yang dikembangkan oleh para ulama ushul fiqh, yaitu melalui
pendekatan kebahasaan dan maqasid al-syari’ah.1 Pendekatan kebahasaan menyangkut
hokum yang ada pada teks secara langsung seperti mengenai ‘am dan khash, hakikat dan
majaz, takwil, dan selainnya. Adapun pendekatan maqasid al-syari’ah menyangkut hal-hal
yang terkait dengan tujuan diturunkannya syariat islam sesuai kesepakatan para ulama seperti
istishan, qiyas, istishab, ijma’, urf, maslahah mursalah, dan sebagainya. Semua hokum
dipertimbangkan penuh oleh para ulama ahlinya untuk mencapai kemaslahan umat islam.
Termasuk istishab yang menjadi focus pembhasan dalam tulisan ini.
Dalam peristilahan ahli usul, istishab berarti menetapkan hokum menurut keadaan yang
terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam arti kata lain, suatu perkara
akan tetap di hukumi oleh hukum lama sampai ada dalil baru yang menjadikan hukum lama
berubah dari perkara atau peristiwa yang sama.
Maka, dengan dilatar belakangi pernyataan tersebut, beberapa hal yang perlu didiskusikan
dalam tulisan ini meliputi pengertian, macam-macam dan kehujjahannya. Hal ini bisa
menjadi tambahan dan koreksi atas pemahaman sesama.

1.2 Rumusan Masalah


1
Kasuwi Saiban, Metode Penetapan Hukum Islam, (Malang : Setara Press ), h. 49

4
1. Apa pengertian dari istishab ?
2. Apa saja macam-macam pembagian istishab ?
3. Bagaimana kehujjahan dalam istishab ?

1.3 Tujuan Pembahasan


1. Mengetahui apa yang dimaksut dengan istishab
2. Mengenal macam-macam pembagian istishab menurut ulama ushul fiqh
3. Mengetahui bagaimana kehujjahan istishab dalam pandangan para ulama

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Istishab

Istishab berasal dari kata “ suhbah” yaitu menbandingkan lalu mendekatkan. Dengan
demikian, istishab menurut bahasa berarti menyesuaikan sesuatu.2 Sedangkan menurut
pengertian istilah ahli ushul fiqh istishab adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa
sesuai dengan keadaan semula (hukum asal ), selama tidak ada dalil yang menentukan
hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut.3

Ibn al-qayyim al-jawziyyah dan Abdul Karrim Zaydan4 memaknainya dengan


menetapkan keberadaan sesuatu yang sudah ada sebelumnya, dan meniadakan sesuatu yang
tidak ada sebelumnya. Sedangkan Al-Ghazali mendefinisikannya dengan berpegang pada
dalil akal atau syara’, bukan karena tidak mengetahui adanya dalil, melainkan setelah
dilakukan pembahasan atau penelitian yang cermat, diketahui tidak adanya dalil yang
mengubahnya.

Istishab juga berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu,
diteruskan sampai masa mendatang selama tidak ada hal yang dapat mengubahnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum
yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.5

2.2 Macam-macam Istishab


2
Muhammad ibn ismail al-bukhari, jilid 3, h. 289
3
Muhammad ibn abi bakr al-rozi, h. 356
4
Ibn Qayyim Al-jawziyyah, I’lam Al-muwaqqin ‘an Rabb Al-Alamin (Riyad : Dar ibn al-jawzi, n.d ), vols III, 10;
‘Abd al-karim zaydan, Al-wajiz fii ushul fiqh ( Mu’assasah Qurtubah, 1976 ), 267.
5
Satria Effendi, Ushul Fiqh, ed. M. Nurul Irfan Ammiruddin Ya’kub (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2008 ), h. 159

6
Kalangan ahli ushul fiqh membagi istishab sebagai berikut :6

1) Istishab al-bara’ah al-ashliyyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada
dasarnya setiap manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah
status tersebut. Maka dari itu, manusia tidak dapat dikatakan bersalah sampai terdapat
bukti hukum ata tindakanya.
2) Istishab al-ibahahal-ashliyyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asalnya, yaitu
mubah (boleh). Misalnya, seluruh pepohon yang tumbuh dibumi adalah milik bersama
dimana siapapun bisa memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi sampai ada bukti
bahwa pohon atau lahan tersebut telah menjadi hak milik seseorang. Berdasarkan
ketetapan tersebut, maka hukum memanfaatkannya secara bebas dari boleh menjadi tidak
boleh. Sebab, pada dasarnya seluruh yang tumbuh di bumi adalah dari Allah SWT yang
diperuntukan untuk seluruh manusia. Seperti yang terdapat pada salahsatu firman-NYA
dalam Qs. Al-baqarah :29, yang memiliki arti :

“ Dialah Allah yang telah menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk
kamu…..”

3) Istishab ma dalla al-syar’u ‘ala tsubutihi, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya
hukum yang sudah ada sampai ada dalil yang mencabutnya. Sama halnya ketika terdapat
sepasang suami-istri yang telah melakukan akad dengan sah. Meskipun keduanya telah
berpisah lama, selama tidak ada kata talak maupun cerai diantara keduanya maka hukum
hubungan mereka masih dinyatakan sepasang suami-istri yang sah.
4) Istishab al-washfi, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada
dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Seperti sifat air yang
asalnya suci maka akan tetap dihukumi sama sampai ada bukti yang jelas hingg aair
tersebut dapat dikatakan najis.

2.3 Kehujjahan Istishab

6
Wahbah az-zuhaili op. cit., jilid 2, h. 859. Lihat juga Abd al-wahhab Khallaf ilmu ushul fiqh, op., h. 91. Lihat juga
Muhammad Jawwad Mughniyah, op. cit., h. 347

7
Muhammad abu zahrah menyatakan bahwa mayoritas ulama ushul menerima tiga
bentukan istishab awal yang telah dipaparkan diatas sebagai hujjah.7 Sedangkan untuk istishab
al-washfi terdapat silang pendapat atau perselisihan pendapat diantara para ulama. Adapun
perbedaan yang ada sebagai berikut :

1) Kalangan Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa istishab al-washfi hanya


berlaku untuk memprtahakan hak yang sudah ada, bukan yang baru. Misalnya, dalam
kasus orang hilang, ia tetap dianggap hidup sehingga ia masih memiliki status istri atau
suami dan pemilik harta. Namun, jika menyangkut mengenai ahli waris, maka bagiannya
ditangguhkan sampai ia dinyatakan benar-benar dalam kondisi masih hidup. Status
hukumannya pun diserahkan sepenuhnya pada pengadilan.
2) Kalangan syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa istishab al-wasshfi dapat
dijadikan sebagai dalil hukum secara mutlak, baik dalam mempertahankan maupun
menetapkan hukum.8 Misalnya, seperti kasus diatas mengenai orang hilang menurut
istishab masih dianggap hidup. Dalam hal ini, masih menjadi hak nya seperti status
suami ataupun istri dan hartanya. Dan jika ada pewarisnya yang wafat maka dia berhak
mendapat harta warisan sesuai dengan kadar bagiannya.

BAB III

KESIMPULAN
7
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, 299-300
8
Al-amidi, al-ihkam fii ushul al-ahkam ( Beirut : Dar al-kutub al-illmiyyah, 1983 ), vol. 4, 172.

8
Istishab adalah salah satu cabang ilmu dari hukum islam yang telah mejadi kesepakatan
para ulama ahli ushul. Melalui pemaparan mengenai istishab, kita dapat menyimpulkan
bahwa hukum suatu perkara akan dihukumi sesuai hukum asalnya ( pertama ), sampai ada
dalil atau hukum baru yan menetapkan, mempertahankan, maupun merubahnya. Adapun
mengenai perselisihan ulama mengenai kehujjahannya, kita tidak dapat melihat hanya pada
satu sisi. Karena penolakan atas istishab terjadi disebabkan masuknya ia ke dalam kategori
hukum yang diperselisihkan, sedangkan diterimanya karena belum ada dalil baru yang
merubah hukum pertamanya.

Meskipun demikian, istishab bagi mayoritas ulama masih menjadi sumber hukum
terakhir setelah berusaha mencari ketentuan hukum pada sumber yang disepakati. Sehingga,
bisa dikatakan pula bahwa keberadaan istisahab bisa menjadi solusi penetapan hukum islam
kontemporer saaat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Saiban, Kasuwi. 2019. Metode Penetapan Hukum Islam. Malang : Setara Press

9
Amidi. 1983. Al-hikam fii Ushul Al-hakam. Beirut : Dar Al-kutub Al-alamiyyah, vol. 4

10

Anda mungkin juga menyukai