Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih
sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.

Pengertian ta’wil dalam tradisi Muta’akhirin adalah “memalingkan makna


lafaz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang
menyertainya.” Definisi ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dengan lafaz
ta’wil dalam Al Quran menurut versi Salaf.

Menurut ulama klasik, ta’wil ialah tafsir. Ta’wil dianggap sebagai tafsir Al
Quran yang berarti juga ta’wil Al Quran. Mujahid menegaskan bahwa ulama
memahami ta’wil sebagai tafsir Al Quran. Kendati demikian, sebagian ulam
membedakan antara ta’wil dan tafsir. Menurut mereka, tafsir mengacu kepada makna
zahir ayat-ayat Al Quran.

Ta’wil ada dua macam. Pertama, ta’wil kalam dalam pengertian bahwa si
pembicara mengembalikan perkataannya dengan merujuk pada asalnya. Pengertian
kalam ini ialah mengembalikan kepada makna hakikinya yang merupakan esensi
sebenarnya dari yang dimaksud si pembicara. Kalam terdiri atas dua kemungkinan
insya dan ikhtibar, salah satu yang termasuk ke dalam insya ialah amr (kalimat
perintah). Ta’wil al-amr ialah esensi perbuatan yang diperintahkan, misalnya Hadis
yang diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata “Rasulullah membaca dalam rukuk dan
sujudnya.”

Takwil harus berdasarkan dengan dalil (qarina) yang kuat, karena merupakan
syarat utama sebagai takwil yang shahih, jika tidak berdasarkan pada dalil yang
shahih maka takwil tersebut adalah takwil batil dan mengikuti hawa nafsu. Selain itu,
sebelum melakukan takwil seorang muawwil juga harus memperhatikan makna
zhahir lafaz terlebih dahulu atau tafsir terlebih dahulu.

1
BAB II

PEMBAHASAN

a. Pengertian Takwil dan Macam-Macamnya

Kata Ta’wil berasal dari kata “awwal” yang berarti al-marja’, “tempat kembali.”
Awwala-yu’awwilu-ta’wilan. Ta’wil ada dua macam. Pertama, ta’wil kalam dalam pengertian
bahwa si pembicara mengembalikan perkataannya dengan merujuk pada asalnya. Pengertian
kalam ini ialah mengembalikan kepada makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya dari
yang dimaksud si pembicara. Kalam terdiri atas dua kemungkinan insya dan ikhtibar, salah satu
yang termasuk ke dalam insya ialah amr (kalimat perintah). Ta’wil al-amr ialah esensi perbuatan
yang diperintahkan, misalnya Hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata “Rasulullah
membaca dalam rukuk dan sujudnya.”

Dalam hal ini, ia menakwilkan (melaksanakan perintah Al-Quran, yaitu firman Allah
SWT. yang artinya:

“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya
Dia adalah Maha Penerima taubat.”

Adapun ta’wil al-ikhbar adalah esensi dari apa yang diberikan itu sendiri yang benar-
benar terjadi, misalnya firman Allah SWT. yang artinya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al- Quran) kepada mereka yang
Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman. Tiadalah mereka menunggu, kecuali (terlaksanya kebenaran) takwil
Al- Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Quran itu (takwilnya).
Berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu, “sesungguhnya telah datang rasul-
rasul Tuhan kami membawa yang hak, maka adakah bagi kami pemberi syafaat yang akan
memberikan syafaat bagi kami, atau dapatkah kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami
dapat beramal yang lain dari yang pernah kami amalkan?”

2
Dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa Dia menjelaskan Kitab, dan mereka tidak
menunggu-nunggu kecuali takwilnya, yaitu datangnya apa yang diberikan Al Quran akan terjadi
seperti Hari Kiamat, tanda-tandanya, dan hal-hal yang berkaitan dengan Hari Kiamat.

Kedua, ta’wil al-kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian
inilah yang dimaksudkan Ibn Jarir al-Thabari yang selalu mengatakan “ta’wil ayat ini adalah
begini dan begitu. Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang ayat ini.” Yang dimaksud dengan
ta’wil ialah tafsir. Demikian ta’wil menurut golongan Salaf yaitu golongan fukaha dan ahli
ushul.

Pengertian ta’wil dalam tradisi Muta’akhirin adalah “memalingkan makna lafaz yang
kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.” Definisi
ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dengan lafaz ta’wil dalam Al Quran menurut versi
Salaf.

Menurut Thameem Ushama, dengan mengutip dari pendapat al-Suyuthi, mengatakan


bahwa ta’wil berarti “interpretasi atau memalingkan makna, reklamasi, yaitu seorang musafir
memalingkan makna ayat Al Quran dari kemungkinan makna lain.” Sementara lainnya
menganggap bahwa ta’wil sinonim dengan tafsir. Ta’wil juga disebut tadbir, taqdir, dan tafsir.

Menurut ulama klasik, ta’wil ialah tafsir. Ta’wil dianggap sebagai tafsir Al Quran yang
berarti juga ta’wil Al Quran. Mujahid menegaskan bahwa ulama memahami ta’wil sebagai tafsir
Al Quran. Kendati demikian, sebagian ulam membedakan antara ta’wil dan tafsir. Menurut
mereka, tafsir mengacu kepada makna zahir ayat-ayat Al Quran. Al Suyuthi menyatakan, setelah
meneliti dan menganalisis secara menyeluruh tentang berbagai kemungkinan makna ayat Al
Quran, berkesimpulan bahwa tafsir mengacu pada penjelasan makna zahir Al Quran. Adapun
ta’wil mengungkapkan makna-makna yang tersembunyi dan mengungkapkan rahasia-rahasia
Ilahi. Pendapat al-Suyuthi ini diperkuat oleh pandangan al-Alusidan ulama lain. Ringkasnya,
tafsir merujuk kepada arti secara lahir Al Quran, sementara ta’wil lebih menukik pada
pengambilan makna yang tersembunyi, yaitu kemungkinan timbulnya makna lain.

Pengungkapan makna tersembunyi dengan jalan takwil dalam memahami pesan-pesan Al


Quran tersebut memiliki dasar yang cukup kuat dari Nabi. Hal itu tercermindari doa yang
dipanjatkan langsung oleh Nabi Muhammad bagi Ibn ‘Abbas:

3
“Ya Allah, berikanlah kemampuan memahami agama dan ajarilah dia takwil”

Ini merupakan doa yang khusus dipanjatkan bagi Ibn ‘Abbas. Dengan demikian,
penggunaan takwil dalam memahami Al Quran mempunyai pijakan yang cukup kuat. Dengan
bersandar pada doa Nabi ini, Mujahid berpendapat bahwa ta’wil sebagai tafsir Al Quran.1

Lafaz Al-Quran terkadang diungkapkan secara tersirat (implisit) dan tidak tersurat
(eksplisit), atau diisyaratkan terutama dalam ayat-ayat Mutasyabihat, sehingga maknanya
tersembunyi di bawah permukaan lafazh. Makna tersebut dapat ditemukan dengan menggunakan
metode untuk menemukan makna batin (esoteris) dalam pengungkapan. Jadi, ta’wil dapat berarti
pendalaman makna dari tafsir.

Tafsir dan takwil adalah dua istilah yang sama-sama bertujuan menggali makna
kandungan ayat A Quran. Namun daripada itu, istilah tafsir lebih umum daripada takwil. Jika
disebut istilah tafsir maka ia bermakna umum sebagai penjelasan ayat Al Quran sehingga takwil
masuk ke dalamnya. Menurut ath-Thabari, konsep tafsir dan takwil itu sama. Namun menurut
azZarkasyi pengertiannya berbeda.

b. Syarat-Syarat Mentakwilkan

Para ulama telah meletakkan kaidah-kaidah ta’wil, sebagai berikut:

1. Adanya pertentangan antara dua dalil yang shahih, jika salah satunya lemah maka yang
diambil adalah yang shahih dan tidak ada ta’wil. Seperti QS. An-Nisa ayat 2 dan ayat 6. Pada
ayat pertama, Allah memerintahkan untuk memberikan harta anak yatim (mutlak), yaitu orang
yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia baligh. Akan tetapi makna ayat ini
bertentangan dengan ayat yang kedua yang bermakna perintah untuk memberikan harta anak
yatim (mutlak), yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia baligh. Akan
tetapi makna ayat ini bertentangan dengan ayat yang kedua yang bermakna perintah untuk
memberikan harta anak yatim ketika sudah usia baligh. Maka, kata yatim pada ayat pertama
harus dita’wil dengan mengalihkan maknanya dari makna hakiki kepada makna majazi.

1
Prof.Dr. H. Amroeni Drajat, M.Ag., Ulumul Qur’an Pengantar Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Depok: KENCANA, 2017), hlm.
125-128

4
2. Ta’wil tidak boleh menggugurkan nash syar’i lainnya, karena ta’wil merupakan salah satu
metode ijtihad yang bersifat zhanni tidak bisa mengalahkan nash yang bersifat qath’iy.

ِ ‫م إِلَى ْال َك ْعبَي‬Kْ ‫وس ُك ْم َوأَرْ ُجلَ ُك‬


Seperti QS. Al-Maidah: 6 ‫ْن‬ ِ ‫َوا ْم َسحُوا بِ ُر ُء‬
ُ ْ‫ )أَر‬oleh kalangan syi’ah, mereka memilih kasrah bukan
Kemudian dibaca kasrah (‫جلِ ُك ْم‬
fathah dengan alasan athaf. Hal ini akan berimplikasi kepada pemahaman ayat, bolehnya
(cukupnya) mengusap kaki dalam wudhu. Pemahaman ini akan berdampak negatif kepada
dua hal; pertama, menggugurkan hadis-hadis shahih yang memerintahkan untuk membasuh
kaki. Kedua, lazimnya mengusap kaki hanya sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan
(qaid) pada mata kaki menjadi tidak berguna. Padahal keracunan makna dalam kalamullah
mustahil terjadi.
3. Lafazh yang ingin di ta’wil adalah lafazh ambigu dan bisa dita’wil. Menurut kalangan
Hanafiyah, lafazh yang ingin di ta’wil harus lafazh nash dan zhahir. Misalkan, lafazhnya
adalah lafazh umum yang dapat dikhususkan (ditakhshish), atau lafazh mutlak yang dapat
diberi batasan (taqyid), atau lafazh bermakna hakiki yang dapat diartikan secara makna
metaforis (majazi), dan sebagainya. Maka, jika ta’wil dilakukan pada nash khusus (bukan
nash umum), tidak diterima.
4. Ta’wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna batin) harus berdasarkan
pada dalil yang shahih dan dalil makna batin harus lebih kuat dar pada makna zhahir.
Misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus (takhsish), atau
memberikan batasan (taqyid) pada nash mutlak berdasarkan dalil yang memberikan batasan
(mentaqyid). Maka, ta’wil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tapi dalilnya lemah (marjuh),
atau sederajat kekuatannya (musawi) dengan lafazh yang dita’wil, tidak diterima.
5. Orang yang hendak melakukan ta’wil, haruslah berkualifikasi mujtahid yang memilki bekal
ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu syar’i-syar’i. Orang yang tidak memiliki kualifikasi
tersebut dilarang melakukannya karena akan terjatuh pada perbuatan yang dilarang yaitu
mengucapkan sesuatu tanpa ilmu.
6. Ta’wil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar’i, atau makna
urf (kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru’ (QS. Al-Baqarah: 228) dengan arti
haid atau suci adalah ta’wil shahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru’.
Ta’wil yang tidak sesuai makna bahsa, syar’i, atau urf, tidak diterima.

5
7. Jika ta’wil dengan qiyasmaka, hendaknya menggunakan qiyas jaliy menurut ulama
Syafi’iyah. Bagi mereks, dalam qiyas jaliy telah diketahui secara pasti bahwa tidak ada sisi
perbedaan (I’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya laki-laki
(al-‘abd) dengan hamba sahaya perempuan (al-amah) dalam hukum perbudakan.
Sedangkan qiyas khafiy, masih dugaan bukan keyakinan dalam hal tidak adanya sisi
perbedaan (I’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara anggur dengan khamar
ketika diminum dalam jumlah yang sedikit. Karena mungkin khamr memiliki kelebihan
(lebih keras) bila dibandingkan dengan anggur.2
Selain menetapkan aturan dalam menta’wil, para ulama juga menetapkan
beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat Al-
Quran dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan kriteria bagi seorang
mujtahid dan musafir;
1. Memiliki ilmu tentang Al Quran;
Mengetahui dan menguasai ayat-ayat Al Quran terutama ayat-ayat hukum dan tidak
disyaratkan harus menghafalnya.
2. Memiliki ilmu tentang As-Sunnah;
Mengetahui dan menguasai hadits-hadits hukum dan mampu menyebutkannya, serta
membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif, mengetahui nasikh dan
mansukh, mengetahui ijma’, dan perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
3. Menguasai ilmu ushul fiqh sebagai modal ijtihad.
4. Mengetahui bahasa Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna dari setiap katanya,
karena ta’wil batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak menguasai bahasa
Arab.
5. Mengetahui maqashid syariah dengan baik.
6. Beraqidah yang lurus, terpercaya, dan wara’3

c. Pandangan Para Ulama Sekitar Persyaratan Menakwilkan


2
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al Quran, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 79-80
3
Shubhi al Shalih, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1985), hlm. 281

6
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa ta’wil adalah mengalihkan lafazh dari
makna zhahirnya (makna rajih) kepada makna esoteris (makna marjuh) berdasarkan dalil
(qarinah). Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan
ta’wil. Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri ta’wil yang shahih,
sedangkan tanpa dalil adalah ta’wil yang batil dan mengikuti hawa nafsu. Menurut para
ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris (makna
marjuh) dari pada makna zhahir.
1. Nash Al Quran dan As-Sunnah, seperti firman Allah tentang keharaman bangkai (hewan
sembelihan yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS. Al Maidah:3 ). Ayat ini
menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada
hadits bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para
sahabat tentang kambing milik Maimunah Radhiyallahu ‘anha yang mati yang akan
dibuang, “Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan
manfaatkan?”, para sahabat menjawab, “Tapi ini bangkai?”, beliau menjawab, “Yang
diharamkan dari bangkai hanyalah mmakannya”. Dalil dari hadits ini mengalihkan
sebuah lafazh dari makna zhahirnya.
2. Ijma’, seperti firman Allah dalam QS. Al Jumu’ah: 9, secara zhahir ayat ini berlaku
kepada semua orang beriman baik laki-laki dan perempuan.
3. Qiyas, diantara para ulam ada yang mengsyaratkan harus dengan qiyas jaliy, seperti
qiyas budak laki-laki pada budak perempuan dalam pembebasannya, sedangkan qiyas
fariq tidak berlaku.
4. Hikmah Tasyir dan kaidah-kaidah dasar syariat, seperti kewajiban zakat dari empat
َ ً‫ فِي ُكلِّ أَرْ بَ ِعينَ َشاة‬Menurut ulama Syafi’iyah,
puluh ekor kambing dengan satu ekor ٌ‫شاة‬
membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir lafazh hadits dan tidaki boleh
menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena lafazhnya jelas, khusus, dan
qath’i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj
al-qiymah) karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-
orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta
lebih sesuai dengan keinginan syariat.4

4
Ahmad von Denferr, Ilmu Al Quran: Pengenalan Dasar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), hlm. 23

7
Dalam kaitannya dengan masalah makna, seorang mujtahid ketika akan
mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah harus
memperhatikan hal-hal berikut:
1. Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat yang berarti do’a, zakat yang berarti
penyucian, dan shaum yang berarti menahan.
2. Istilah-istilah syar’i, kata yang memiliki pengertian harus dikembalikan kepada
makna syar’i bukan kepada makna lughawi (bahasa).
3. Istilah dalam urf (kebiasaan, baik urf yang bersifat umum seperti kata ‫ الدابة‬untuk

makhluk yang berkaki empat (melata) atau kata ‫ الغائط‬untuk kotoran, maupun urf
yang bersifat khusus seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadits, dan ilmu-
ilmu lainnya.
Selain memperhatikan tiga hal di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna
yang kuat kepada makna yang lemah juga harus mengembalikan kepada makna yang
dekat atau berdasarkan dalil. Dalam hal ini, ada tiga macam pengalihan lafazh dari
makna zhahirnya;
1. Mengalihkan kepada yang terdekat. Seperti lafazh ‫ إذا قمتم إلى الصالة‬dalam QS. Al-

Maidah: 6. Kata ‫ القيام‬dalam ayat ini dita’wilkan (diartikan) ketika hendak dan ingin
melaksanakan shalat.
2. Mengalihkan kepada yang jauh, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
dimaksud dari lafazh tersebut adalah makna yang jauh. Seperti sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ghailan Ath-Thaqafi ketika masuk Islam dan masih
memiliki sepuluh orang istri,” ‫ أمسك أربعًا و فارق سائرهن‬pilihlah empat dari mereka dan
ceraikanlah sisanya. Ulama Hanafiyah menta’wilkan hadits ini dengan perintah untuk
menikahi empat orang wanita tersebut dengan akad baru karena mereka membedakan
pernikahan kafir dan Islam. Pendapat ini ditentang oleh ulama lain yang berpendapat
bahwa tidak perlu mengulangi akad nikahnya dengan alasan Ghailan baru masuk Islam
dan belum mengetahui hukum-hukum Islam dan seandainya pendapat pertama benar,
niscaya Rasulullah Saw. Akan menjelaskan hal itu kepada Ghailan.
3. Ta’wil batil yaitu mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafaz.
Seperti ta’wil yang dilakukan oleh kelompok Rafidhah terhadap firman Allah ‫أَوْ آَخَ َرا ِن ِم ْن‬

8
‫ر ُك ْم‬KKKْ
ِ ‫ َغي‬Mereka atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu..) Mereka
menta’wilkan lafazh ini dengan selain kabilah kalian, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu
Hazm dalam Al-Ahkam fi Ushul Al-Ahkam.5

d. Macam-Macam Syarat Menta’wilkan


a) Lafaz yang ditakwil, harus benar-benar memenuhi kriteria dan masuk dalam
kajiannya. Dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan hukumnya
tidak bisa dita’wil. Namun menurut Hanafiyah, takwil itu boleh sekalipun pada nash
yang zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syariat Islam.
b) Takwil itu harus berdasarkan dalil shahih yang bisa menguatkan takwil. Misalnya,
dengan mentakhsis yang amm. Dan takwil macam inilah yang terbanyak dilakukan.
c) Lafaz menekan arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa. Misalnya,
mentaqyid yang mutlak dengan muqayyad. Ketika sunnah men-taqyid wasiat yang
ada dalam Al Quran dengan sepertiga.
d) Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i, karena nash tersebut
bagian dari aturan syara’ yang umum.
e) Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari zahir, yakni dikuatkan dengan dalil.6

Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zhanni, sedangkan zhanni tidak akan
kuat melawan yang qathi’i. Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam Al
Quran dengan mengubah arti yang zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan
seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qathi’i yang menjadikan kisah
tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata.
Sebagian acuan dalam menentukan kekuatannya adalahsejauh mana kejelasan
maksud syara’ dalam setiap dilalahnya. Takwil itu terkadang tidak membutuhkan dalil,
tetapi dimungkinkan berdasarkan pada pemahaman yang dangkal, akal dan teks sesuatu.
Takwil seperti itu dinamakan oleh ulama Ushul dengan istilah takwil qarib yang cukup
memakai dalil yang terendah. Misalnya firman Allah SWT dalam Al Quran surah Al
Maidah: 6.

5
Jalal al-Din al-Suyuthi, al-Itqan fi ulum Al Quran, (Beirut: Dar al-Fikr), hlm. 71
6
Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, (Dar Al-Afaq Al-Jadidah), hlm. 41

9
Arti zahir dari ayat”…apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu
dan tanganmu sampai siku…” adalah mengharuskan berwudhu terlebih dahulu. Dan
syarat itu harus didahulukan, baik menurut akal ataupun syara’ agar shalatnya sah.
Untuk itu, lafaz al-qiyamu dalam firman Allah di atas harus ditakwilkan. Kemudian
diubah dari artinya yang hakiki kepada artinya yang majazi yaitu al-‘ajmu (bermaksud)
mendirikan, bukan mendirikan dengan sendirinya. Dengan demikian, arti ayat tersebut
akan menjadi sah dengan kalimat: ‫اذا عجمتم او اذا ارد تم‬

Itulah beberapa persyaratan takwil, jika persyaratan tersebut tidak terpenuhi


dinamakan takwil baid. Sekilas tentang takwil ba’id, jika persyaratan tidak dapat
terpenuhi dalam suatu penakwilan, maka takwil tersebut dinamakan takwil ba’id. Juga
ada penyimpangan dari persyaratan tadi maka takwil seperti itu tertolak dan masuk
kategori takwil batil. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang keberadaan takwil
ba’id tersebut. Mereka berbeda pendapat dalam penetapannya, ada yang berpendapat
bahwa sebagian takwil itu ba’id, tetapi sebagian lagi menilai bahwa takwil seperti itu
dikatakan qarib dan shahih. Misalnya tentang kifarat khuntsa (banci) ketika melanggar
sumpah. Di dalam surah al-Maidah: 89 disebutkan bahwa: “…maka kifarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin. Karena “adad adalah lafazh
khusus yang mengidahkan pada qth’i secara ijma’. Namun golongan Hanafi
menakwilkan lafaz ‘asyarah pada arti yang tidak tercakup di dalam kata tersebut, yakni
sepuluh makanan atau ukuran sepuluh makanan bagi orang-orang miskin. Menurut
pendapat mereka lafaz ’asyarah itu bukan dikhususkan kepada jumlah (fakir), namun
merupakan ukuran yang wajib (dikeluarkan) dari makanan untuk sepuluh orang miskin.
Dengan penakwilan seperti itu, menurut Abu Hanifah dibolehkan untuk memberikan
makanan kepada sepuluh orang miskin atau kepada satu orang miskin dengan sepuluh
makanan, karena ukuran itu satu untuk dua keadaan. Menurut mereka, takwil seperti itu
didasarkan pada maksud kebutuhan mendesak yang merupakan hikmah disyariatkannya
nash. Namun, penakwilan di atas dianggap takwil ba’id dan dinyatakan batil menurut
Imam Syafi’i, karena lafaz ‘asyarah adalah lafaz khusus yang menunjukkan arti qathi’i,
sehingga tidak membutuhkan penakwilan. Dan hikmah syari’atnya bukanlah seperti
pendapat mereka, tetapi pembagian ukuran harta yang wajib dikeluarkan sesuai

10
jumlahnya, supaya manfaatnya dirasakan umum. Selain itu, penakwilan mereka juga
membutuhkan idhafat kalimat sebagai tambahan nash, sehingga ayat tersebut menjadi
‫اطعام طعا م عشر ة مسا كين‬
Sebagai batasan wajib, padahal idhafat seperti itu menyalahi ashal. Jadi, kecacatan
takwil di atas disebabkan dua perkara:
1. Meremehkan ‘adad, lafaz khusus yang jelas menunjukkan arti yang qath’i maka
haruslah menjaga arti yang qath’i tersebut dan tidak meremehkannya.
2. Penambahan kalimat terhadap nash adalah menyalahi ashal.
Jelaslah bahwa penakwilan seperti itu dinamakan takwil ba’id karena keluar dari
persyaratan takwil yang sah.

e. Etika Pentakwilan
Takwil harus berdasarkan dengan dalil (qarina) yang kuat, karena merupakan
syarat utama sebagai takwil yang shahih, jika tidak berdasarkan pada dalil yang shahih
maka takwil tersebut adalah takwil batil dan mengikuti hawa nafsu. Selain itu, sebelum
melakukan takwil seorang muawwil juga harus memperhatikan makna zhahir lafaz
terlebih dahulu atau tafsir terlebih dahulu.

f. Kesalahan Pentakwilan
Takwil memiliki tiga macam: pertama, takwil yang dekat seperti lafaz idza
kuntum ila ash-shalah yang ditakwilkan dengan ketika hendak melaksanakan shalat.
Kedua, takwil yang jauh seperti hadits Ghailan Ath-Thaqafi yang ditakwilkan oleh
ulama Hanafiyah dengan perintah untuk menikahi empat orang tersebut dengan akad
baru karena mereka membedakan pernikahan kafir dan Islam. Ketiga, takwil batil yaitu
mengalihkan kepada makna yang tidak terkandung dalam lafaz. Misalnya, pendapat
Muhammad Abduh dalam tafsirnya al Manar yang menakwilkan hakikat malaikat ialah
kecenderungan kebajikan dan kejahatan dalam jiwa manusia.
Ada pula dari mereka yang menyatakan bahwa mereka dalam menetapkan seluruh
sifat-sifat yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya, dia yang telah ditetapkan oleh
Rasulullah saw. Tidak sealalu tanpa takwil atau tidak anti-takwil atau tidak

11
menterjemahkan dan memahami selalu dengan makna dzahir yakni ketika ada qorinah
(petunjuk) dari ayat atau nash yang lain untuk bisa ditakwil maka boleh ditakwil.
Selain menakwilkan berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat atau nash yang lain,
penakwilan atau memalingkan makna sebuah lafaz ayat ke makna yang lain yang lebih
sesuai berdasarkan qorinah (petunjuk) dari ayat itu sendiri dalam jumlah keseluruhan
atau sebahagian ayat tesebut yang dimengerti oleh para ahlinya berdasarkan ilmu-ilmu
terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf,
balaghah (ma’ani, bayan, dan badi’) dan ilmu-ilmu lainnya.
Pengertian takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain
yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.7

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
7
Prof. Dr. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), hlm. 176-183

12
Takwil adalah mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang lebih
sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.
Ta’wil ada dua macam. Pertama, ta’wil kalam dalam pengertian bahwa si
pembicara mengembalikan perkataannya dengan merujuk pada asalnya. Pengertian
kalam ini ialah mengembalikan kepada makna hakikinya yang merupakan esensi
sebenarnya dari yang dimaksud si pembicara. Kalam terdiri atas dua kemungkinan insya
dan ikhtibar, salah satu yang termasuk ke dalam insya ialah amr (kalimat perintah).
Ta’wil al-amr ialah esensi perbuatan yang diperintahkan, misalnya Hadis yang
diriwayatkan dari Aisyah r.a., ia berkata “Rasulullah membaca dalam rukuk dan
sujudnya.”
Takwil adalah metode ijtihad yang bersifat zhanni, sedangkan zhanni tidak akan
kuat melawan yang qathi’i. Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam Al
Quran dengan mengubah arti yang zahir menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan
seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qathi’i yang menjadikan kisah
tersebut sebagai kejadian sejarah yang nyata

Takwil harus berdasarkan dengan dalil (qarina) yang kuat, karena merupakan
syarat utama sebagai takwil yang shahih, jika tidak berdasarkan pada dalil yang shahih
maka takwil tersebut adalah takwil batil dan mengikuti hawa nafsu. Selain itu, sebelum
melakukan takwil seorang muawwil juga harus memperhatikan makna zhahir lafaz
terlebih dahulu atau tafsir terlebih dahulu.

Daftar Pustaka

13
Prof.Dr. H. Amroeni Drajat, M.Ag. 2017. Ulumul Qur’an Pengantar Ilmu-Ilmu Al Qur’an,
Depok: KENCANA

Suma, Muhammad Amin . 2003. Studi Ilmu-Ilmu Al Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus

Shalih al Shubhi. 1985. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin

Denferr von Ahmad. 1988. Ilmu Al Quran: Pengenalan Dasar, Jakarta: Rajawali Pers

al-Suyuthi Jalal al-Din. al-Itqan fi ulum Al Quran, Beirut: Dar al-Fikr

Hazm Ibnu. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Dar Al-Afaq Al-Jadidah

Prof. Dr. Rachmat Syafe’i. 2001. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia

14

Anda mungkin juga menyukai