Anda di halaman 1dari 11

PENERAPAN SADD ZARIAH DALAM

EKONOMI SYARIAH

DISUSUN OLEH :
MARIA ULFA (4042018026)

DOSEN PEMBIMBING : Fahriansah, Lc., M.A

PRODI MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF


FAKULTAS FAKULTAS EKONOMIBISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI COT KALA
2019
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Sadd zariah dan fath al-zari’ah

Secara etimologis, kata as-sadd (ُّ‫ )السَّد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar)
dari ‫سدًّا‬ ُ َ‫سدَّ ُّي‬
َ ُّ ‫سد‬ َ . Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau
rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (‫ )الذَّ ِر ْيعَة‬merupakan kata
benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab
terjadinya sesuatu. Sedangkan secara terminologis sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.

Sementara fath adz-dzari’ah merupakan kebalikan dari sadd adz-dzari’ah.


Secara terminologis fath adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk
membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab), maupun mewajibkan (ijab)
karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang
memang telah dianjurkan atau diperintahkan.

2. Dasar syariah penggunaan sad al-zari’ah

a. Al-qur’an

‫عد ًْوا بِغَي ِْر ِع ْل ٍم ۗ َك َٰ َذ ِلكَ َزيَّنَّا ِلك ُِل أ ُ َّم ٍة‬
َ َ‫َّللا‬ ُ َ‫َّللا فَي‬
َّ ‫سبُّوا‬ ِ َّ ‫ُون‬ ِ ‫عونَ ِم ْن د‬ ُ ‫سبُّوا الَّ ِذينَ يَ ْد‬ ُ َ ‫َو ََل ت‬
َ‫ع َملَ ُه ْم ث ُ َّم إِلَ َٰى َربِ ِه ْم َم ْر ِجعُ ُه ْم فَيُنَبِئ ُ ُه ْم بِ َما كَانُوا يَ ْع َملُون‬
َ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am :108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain
adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah
yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi
mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan
membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci.
Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci
maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
‫اب أ َ ِلي ٌم‬
ٌ ‫ع َذ‬
َ َ‫س َمعُوا ۗ َو ِل ْلكَافِ ِرين‬ ُ ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا ََل تَقُولُوا َرا ِعنَا َوقُولُوا ا ْن‬
ْ ‫ظ ْرنَا َوا‬
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah:“Unzhurna”, dan
“dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (Qs.
Al Baqarah :104).
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu
bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (‫)را ِعنَا‬
َ berarti:
“Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat
menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata
ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka
menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (‫)ر ِعنًا‬sebagai
َ bentuk isim
fail dari masdar kata ru’unah (‫)رع ُْونَة‬yang
ُ berarti bodoh atau tolol.Karena
itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata
raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti
sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat
ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.
b. As Sunnah
Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah
terjadinya keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang
menerima hadiah dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan
waris kepada wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam
keadaan sakit kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari
mendapatkan warisan.
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci
maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli
fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk
penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari’ah.
c. Kaidah Fiqh
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah).
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini.
Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini
juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur
mafsadah yang harus dihindari.
d. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka
mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada
hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu
perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan
Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu
hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan
perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan
segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan
pelarangan yang telah ditetapkan.”

3. pandangan ulama tentang sadd al-zari’ah dalam syariah

Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun
ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan Sadd adz Dzari’ah.
Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan
berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal, dan jangan sampai
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang
dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan
mudarat.
Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan
mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada
dasarnya juga menerima metode sadd adz Dzari’ah itu, meskipun berbeda
dalam kadar penerimaannya. Kalangan ulama Malikiyah yang dikenal banyak
menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga banyak menggunakan
metode sad adz Dzari’ah.
Mustafa Syalabi mengelompokkan beberapa pendapat ulama tentang sad
adz Dzari’ah kedalam tiga kelompok, yaitu :
a. Dzari’ah yang membawa pada kerusakan secara pasti, atau berat dugaan
akan menimbulkan kerusakan. Dalam hal ini sepakat ulama untuk melarang
dzari’ah tersebut sehingga dalam kitab-kitab fiqh madzhab tersebut
ditegaskan tentang larangan menggali lubang di daerah yang sering dilalui
orang. Dilarang menjual anggur pada pabrik penjual minuman keras,
dilarang pula menjual pisau kepada penjahat yang akan membunuh
korbannya.
b. Dzari’ah yang kemungkinan mendatangkan kemudaratan atau larangan.
Dalam hal ini ulama juga sepakat untuk tidak melarangnya; artinya pintu
dzari’ah tidak perlu ditutup (dilarang). Dalam kitab-kitab fiqh madzhab
tidak terdapat larangan menanam dan memperjualbelikan anggur, dan
menggali lubang dikebun sendiri yang jarang dilewati orang.
c. Dzaria’ah yang terletak ditengah-tengah antara kemungkinan membawa
kerusakan dantidak merusak, misalnya jual beli kredit. Memang tidak selalu
jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prektiknya sering
dijadikan sarana untuk riba. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Syalabi mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad
Ibn Hanbal mengaharuskan melarang dzari’ah tersebut, sedangkan al-Syafi’I
dan Abu Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.

Dasar pegangan ulama untuk menggunakan sadd adz dzari’ah adalah kehati-
hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan
mafsadat. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan; dan bila
mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat diantara
keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang
berlaku,

Ulama yang menolak metode sad adz dzari’ah secara mutlak adalah ulama
Zhahiriyah. Penolakan itu secara panjang lebar dibeberkan oleh Ibnu Hazm
yang intisarinya adaal sebagai berikut:

a. Hadis yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan sadd adz dzari’ah
itu dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya. Hadis itu diriwayatkan
dalam banyak versi yang berbeda perawinya. Maksud hadis tersebut ialah
bahwa yang diharamkan adalah yang menggembala di dalam padang yang
terlarang, sedangkan yang mengembala disekitarnya tidak dilarang. Antara
mengembala di dalam dengan di sekitarnya itu hukumnya tidak sama.
Karena itu hukumnya kembali pada hukum asalnya, yaitu mubah (boleh).
b. Dasar pemikiran sadd adz dzari’ah itu adalah ijtihad dengan berpatokan
kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama Zhahiriyah menolak
secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nalar) seprti ini.
c. Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al-
Qur’an atau dalam sunah dan ijma’ ulama. Adapun yang ditetapkan diluar
ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Dalam hubungannya dengan
Sadd adz dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya
dengan nash atau ijma’, hanyalah hukum pokok atau maqashid, sedangkan
hukum pada wasilah atau dzari’ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau
ijma’. Oleh Karena itu cara seperti ini ditolak, sesuai dengan firman Allah
dalam surat An-Nahl (16) :116

4. Kontradiksi sad zaria’ah dengan dalil-dalil syariah lain

Beberapa pendapat menyatakan bahwa Dzai’ah adalah washilah (jalan) yang


menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/
cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnyapun haram, jalan / cara
yang menyampaiakan kepada yang halal hukumnyapun halal serta jalan / cara
yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnyapun
wajib.Sebagian ulama mengkhususkan pengetian Dzari’ah dengan sesuatu yang
membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudaratan, tetapi
pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnul
qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa Dzari’ah tidak hanya menyangkut
sesuatu yang dilarang tetapi ada juga yang dianjurkan. Secara lughawi (bahasa),
al-Dzari’ah itu berarti: jalan yang membawa kepada sesuatu baik ataupun buruk.
Arti yang lughawi ini mengandung konotasi yang netral tanpa memberikan
penilaian kepada hasil perbuatan, pengetian inilah yang diangkat oleh Ibnul
Qayyim kedalam rumusan definisi tentang dzari’ah yaitu: apa-apa yang menjadi
perantara dan jalan kepada sesuatu. Pendapat ibnu qayyim didukung oleh Wahbah
Suhaili. Sedangkan Badran memberikan definisi yang tidak netral terhadap
Dzari’ah, ia mengatakan Dzari’ah adalah bahwa apa yang menyampaikan kepada
sesuatu yang terlarang dan mengandung kerusakan sedangkan saddu atinya
menutup, jadi saddu Dzari’ah berarti menutup jalan terjadinya kerusakan.

5. kasus-kasus tentang sad zariah dan fath zariah dalah syariah kontemporer

a. Larangan riba fadhal pada transaksi valar


yang dilarang, adalah penjual menawarkan dua harga atau beberapa harga
kepada pembeli, misalnya, harga barang ini jika kontan Rp 10 juta, jika
cicilan Rp 12 juta, selanjuthya, pembeli menerima (mengucapkan qabul),
tanpa terlebih dahulu memilih salah satu harganya, Bentuk jual beli ini
dilarang karena tidak jelas harganya (gharar).
b. Larangan jual beli al-‘inah
Jual Beli al-‘Inah adalah seseorang menjual barang kepada orang lain secara
kredit, kemudian dia membelinya kembali dari pembelinya yang pertama
secara kontan dengan harga yang lebih murah. Di sini yang dilarang adalah
niat / akad nya dia menjual, karna dia tau dia lagi butuh uang atau dia tau
akan di beli kembali;
Sebagai contoh: Budi menjual barang kepada Bambang dengan harga Rp.
1.000.000,- secara kredit selama tiga bulan. Kemudian Budi membeli
barang tersebut dari Bambang dengan harga Rp. 750.000,- secara kontan. Di
sini seakan-akan Budi meminjam uang kepada Bambang Rp. 750.000,- dan
mengembalikannya kembali setelah tiga bulan sebesar Rp. 1.000.000,-
sedangkan barang hanya sebagai kedok saja.
Para ulama berbeda pendapat di dalam memandang jual beli al-
‘Inah tersebut:
 Pendapat Pertama: Jual Beli al-‘Inah hukumnya haram. Ini adalah
pendapat mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki dan Hanabilah,
berdasarkan hadist Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

ُ‫سلَّ َط للا‬
َ ‫الز ْرعِ َوت َ َر ْكت ُ ُم ا ْل ِج َها َد‬
َّ ‫اب ا ْلبَقَ ِر َو َر ِض ْيت ُ ْم ِب‬َ َ‫ِإ َذا تَبَايَ ْعت ُ ْم ِبا ْل ِع ْينَ ِة َوأ َ َخ ْذت ُ ْم أ َ ْذن‬
‫عهُ َحتَّى ت َ ْر ِجعُ ْوا إِلَى ِد ْينِ ُك ْم‬ ُ ‫علَ ْي ُك ْم ذَُل ًّ َل َ يَ ْن ِز‬ َ

“Apabila kalian melakukan jual beli Al-‘Inah, sibuk dengan peternakan


dan terlena dengan perkebunan, serta meninggalkan jihad, maka Allah
akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan
mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian”. (HR Abu
Daud, berkata Ibnu Hajar di dalam Bulughu al-Maram: “ Diriwayatkan juga
oleh Ahmad dari jalur ‘Atha’dan para perawinya terpercaya serta
dishahihkan oleh Ibnu al-Qhaththan ).
c. Larangan tawaruq munazzam tertentu
Sebagian ulama berketetapan bahwa hukum bay tawarruq adalah makruh.
Ketetapan hukum ini adalah pendapat salah satu pendapat dari mazhab
Hanbali. Pendapat ini diambil oleh Ibnu Taymiyah. Alasan mereka, bahwa
jual beli ini seolah-olah seseorang menjual dirham dengan dirham yang
lebih banyak atau meminjam dirham dan membayarnya dengan dirham yang
lebih banyak sebagai kompensasi dari masa penantian. Jual beli ini mirip
dengan riba. Meskipun bukan riba yang sesungguhnya.
 Menurut ulama jumhur, hukumnya boleh, karena telah terpenuhi syarat
dan rukun jual beli. Alasan pemikiran mereka ialah bahwa jual beli
tawarruq ini tidak terdapat larangan syariah padanya. Karena itu ia termasuk
al-ibahah al-ashliyah (hukum dasarnya memang boleh), sesuai dengan
kaedah,”Pada dasarnya semua akad itu dibolehkan kecuali ada dalil yang
melarangnya” Disini yang dilarang adalah menggabungkan 2 akad, utang
dan sewa.
d. Keniscayaan manajemen resiko dalam praktek perbankkan
Bank merupakan lembaga intermediasi bagi mereka yang memilki
kelebihan dana dengan yang tidak memiliki kecukupan dana. Peran ini
sangat penting untuk distribusi kekayaan dan pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Fungsi bank sebagai mediator yang mendapatkan amanah dari
ṣaḥibul mal (empunya uang) agar diinvestasikan pada kegiatan yang
menguntungkan bukan tidak memiliki risiko. Risiko kerugian akibat
kesalahan dan juga akibat lain seperti resesi ekonomi sagat mungkin terjadi.
e. Larangan forward,swap dan options pada sharf
Transaksi Forward
Adapun jenis transaksi forward pada perdagangan valas yang sering
disebut transaksi berjangka pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata
uang tertentu dengan sejumlah mata uang tertentu lainnya dengan
penyerahan pada waktu yang akan datang dan kurs ditetapkan pada waktu
kontrak dilakukan, tetapi pembayaran dan penyerahan baru dilakukan pada
saat kontrak jatuh tempo. Jenis transaksi ini hukum fiqihnya dapat
dirumuskan bahwa bila transaksi forward valas dilakukan dalam rangka
kebutuhan yang mendesak (hajah) dan terbebas dari unsur maysir (judi),
gharar (uncomplate contract), dan riba serta bukan untuk motif spekulasi
seperti digunakan untuk tujuan hedging (lindung nilai) yaitu transaksi yang
dilakukan semata-mata untuk mengatasi risiko kerugian akibat terjadinya
perubahan kurs yang timbul karena adanya transaksi ekspor-impor atau
untuk mendukung kegiatan trade finance.
Tansaksi Swaps
Transaksi swaps (currency swap) yaitu perjanjian untuk menukar suatu
mata uang dengan mata uang lainnya atas dasar nilai tukar yang disepakati
dalam rangka mengantisipasi risiko pergerakan nilai tukar pada masa
mendatang. Singkatnya, transaksi swap merupakan transaksi pembelian dan
penjualan secara bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan dua
tanggal penyerahan yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang
tersebut dilakukan oleh bank yang sama dan biasanya dengan cara “spot
terhadap forward” Artinya satu bank membeli tunai (spot) sementara
mitranya membeli secara berjangka (forward) .
Ulama kontemporer juga menolak transaksi ini karena kedua transaksi itu
terkait (adanya semacam ta’alluq) dan merupakan satu kesatuan
sebagaimana difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional-MUI. Sebab, bila
yang satu dipisahkan dari yang lain, maka namanya bukan lagi transaksi
swaps dalam pengertian konvensional.
f. Larangan kombinasi akad qardh dan ijarah
Merupakan dengan jual beli sesuai dengan sabda Nabi Saw tentang hal
tersebut. “Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang jual beli dan pinjaman”.
(HR. Ahmad) [1] Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad,
j. 2, (Beirut: Dâr al-Ihyâi al-Turâts al-’Araby, 1414 H), cet. ke-3, hal. 178

Anda mungkin juga menyukai