EKONOMI SYARIAH
DISUSUN OLEH :
MARIA ULFA (4042018026)
PEMBAHASAN
Secara etimologis, kata as-sadd (ُّ )السَّدmerupakan kata benda abstrak (mashdar)
dari سدًّا ُ َسدَّ ُّي
َ ُّ سد َ . Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau
rusak dan menimbun lobang. Sedangkan adz-dzari’ah ( )الذَّ ِر ْيعَةmerupakan kata
benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab
terjadinya sesuatu. Sedangkan secara terminologis sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya
diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang
dilarang.
a. Al-qur’an
عد ًْوا بِغَي ِْر ِع ْل ٍم ۗ َك َٰ َذ ِلكَ َزيَّنَّا ِلك ُِل أ ُ َّم ٍة
َ ََّللا ُ ََّللا فَي
َّ سبُّوا ِ َّ ُون ِ عونَ ِم ْن د ُ سبُّوا الَّ ِذينَ يَ ْد ُ َ َو ََل ت
َع َملَ ُه ْم ث ُ َّم إِلَ َٰى َربِ ِه ْم َم ْر ِجعُ ُه ْم فَيُنَبِئ ُ ُه ْم بِ َما كَانُوا يَ ْع َملُون
َ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am :108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain
adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah
yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi
mechanism defense, orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan
membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang sebelumnya mencaci.
Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci
maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
اب أ َ ِلي ٌم
ٌ ع َذ
َ َس َمعُوا ۗ َو ِل ْلكَافِ ِرين ُ يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا ََل تَقُولُوا َرا ِعنَا َوقُولُوا ا ْن
ْ ظ ْرنَا َوا
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada
Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah:“Unzhurna”, dan
“dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (Qs.
Al Baqarah :104).
Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu
bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina ()را ِعنَا
َ berarti:
“Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat
menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata
ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka
menggunakannya dengan maksud kata raa’inan ()ر ِعنًاsebagai
َ bentuk isim
fail dari masdar kata ru’unah ()رع ُْونَةyang
ُ berarti bodoh atau tolol.Karena
itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata
raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti
sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat
ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.
b. As Sunnah
Diantara dalil sunnah adalah larangan menimbun demi mencegah
terjadinya keulitan atas manusia. Nabi juga melarang orang yang berpiutang
menerima hadiah dari orang yang berhutang demi menutup celah riba.
Fuqaha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka memberikan
waris kepada wanita yang dicerai ba’in, jika suami mencerainya dalam
keadaan sakit kritis, demi untuk menutup terhalanginya celah istri dari
mendapatkan warisan.
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki
melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci
maki ayah orang lain, kemudian orang yang dicaci itu pun membalas
mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.”
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi
konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli
fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk
penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari’ah.
c. Kaidah Fiqh
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih
kebaikan (maslahah).
Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah
turunan di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini.
Karena itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini
juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur
mafsadah yang harus dihindari.
d. Logika
Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka
mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada
hal tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu
perbuatan, maka mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa
mengantarkan kepada perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan
Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu
hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan
perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan
dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan
segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan
pelarangan yang telah ditetapkan.”
Tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun
ijma’ ulama tentang boleh atau tidaknya menggunakan Sadd adz Dzari’ah.
Oleh karena itu, dasar pengambilannya hanya semata-mata ijtihad dengan
berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal, dan jangan sampai
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Kemudian yang
dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah faktor manfaat dan
mudarat.
Jumhur ulama yang pada dasarnya menempatkan faktor manfaat dan
mudarat sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, pada
dasarnya juga menerima metode sadd adz Dzari’ah itu, meskipun berbeda
dalam kadar penerimaannya. Kalangan ulama Malikiyah yang dikenal banyak
menggunakan faktor maslahat dengan sendirinya juga banyak menggunakan
metode sad adz Dzari’ah.
Mustafa Syalabi mengelompokkan beberapa pendapat ulama tentang sad
adz Dzari’ah kedalam tiga kelompok, yaitu :
a. Dzari’ah yang membawa pada kerusakan secara pasti, atau berat dugaan
akan menimbulkan kerusakan. Dalam hal ini sepakat ulama untuk melarang
dzari’ah tersebut sehingga dalam kitab-kitab fiqh madzhab tersebut
ditegaskan tentang larangan menggali lubang di daerah yang sering dilalui
orang. Dilarang menjual anggur pada pabrik penjual minuman keras,
dilarang pula menjual pisau kepada penjahat yang akan membunuh
korbannya.
b. Dzari’ah yang kemungkinan mendatangkan kemudaratan atau larangan.
Dalam hal ini ulama juga sepakat untuk tidak melarangnya; artinya pintu
dzari’ah tidak perlu ditutup (dilarang). Dalam kitab-kitab fiqh madzhab
tidak terdapat larangan menanam dan memperjualbelikan anggur, dan
menggali lubang dikebun sendiri yang jarang dilewati orang.
c. Dzaria’ah yang terletak ditengah-tengah antara kemungkinan membawa
kerusakan dantidak merusak, misalnya jual beli kredit. Memang tidak selalu
jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prektiknya sering
dijadikan sarana untuk riba. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Syalabi mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad
Ibn Hanbal mengaharuskan melarang dzari’ah tersebut, sedangkan al-Syafi’I
dan Abu Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.
Dasar pegangan ulama untuk menggunakan sadd adz dzari’ah adalah kehati-
hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan
mafsadat. Bila maslahat yang dominan, maka boleh dilakukan; dan bila
mafsadat yang dominan, maka harus ditinggalkan. Bila sama kuat diantara
keduanya, maka untuk menjaga kehati-hatian harus diambil prinsip yang
berlaku,
Ulama yang menolak metode sad adz dzari’ah secara mutlak adalah ulama
Zhahiriyah. Penolakan itu secara panjang lebar dibeberkan oleh Ibnu Hazm
yang intisarinya adaal sebagai berikut:
a. Hadis yang dikemukakan oleh ulama yang mengamalkan sadd adz dzari’ah
itu dilemahkan dari segi sanad dan maksud artinya. Hadis itu diriwayatkan
dalam banyak versi yang berbeda perawinya. Maksud hadis tersebut ialah
bahwa yang diharamkan adalah yang menggembala di dalam padang yang
terlarang, sedangkan yang mengembala disekitarnya tidak dilarang. Antara
mengembala di dalam dengan di sekitarnya itu hukumnya tidak sama.
Karena itu hukumnya kembali pada hukum asalnya, yaitu mubah (boleh).
b. Dasar pemikiran sadd adz dzari’ah itu adalah ijtihad dengan berpatokan
kepada pertimbangan kemaslahatan, sedangkan ulama Zhahiriyah menolak
secara mutlak ijtihad dengan ra’yu (daya nalar) seprti ini.
c. Hukum syara’ hanya menyangkut apa-apa yang ditetapkan Allah dalam Al-
Qur’an atau dalam sunah dan ijma’ ulama. Adapun yang ditetapkan diluar
ketiga sumber itu bukanlah hukum syara’. Dalam hubungannya dengan
Sadd adz dzari’ah dalam bentuk kehati-hatian yang ditetapkan hukumnya
dengan nash atau ijma’, hanyalah hukum pokok atau maqashid, sedangkan
hukum pada wasilah atau dzari’ah tidak pernah ditetapkan oleh nash atau
ijma’. Oleh Karena itu cara seperti ini ditolak, sesuai dengan firman Allah
dalam surat An-Nahl (16) :116
5. kasus-kasus tentang sad zariah dan fath zariah dalah syariah kontemporer
ُسلَّ َط للا
َ الز ْرعِ َوت َ َر ْكت ُ ُم ا ْل ِج َها َد
َّ اب ا ْلبَقَ ِر َو َر ِض ْيت ُ ْم ِبَ َِإ َذا تَبَايَ ْعت ُ ْم ِبا ْل ِع ْينَ ِة َوأ َ َخ ْذت ُ ْم أ َ ْذن
عهُ َحتَّى ت َ ْر ِجعُ ْوا إِلَى ِد ْينِ ُك ْم ُ علَ ْي ُك ْم ذَُل ًّ َل َ يَ ْن ِز َ