Anda di halaman 1dari 12

KAIDAH-KAIDAH UMUM:

NOMOR 11-19

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Pada Mata Kuliah Qowaidh Al-Fighiyah

FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM


PROGRAM STUDI S.I PERBANKAN SYARIAH

Dosen: Mufid Arsyad, M.H.I

Di Susun Oleh :

1. Eko Purbayanto 161130018


2. Anisa Kurniasari 161130005

INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU


METRO LAMPUNG
1439 H/ 2018 M

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat menyelesaikan makalah pada
mata kuliah Qawaidh al-Fiqhiyah.
Dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali mengingat
keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang ditulis masih sangat
jauh dari sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya
Makalah ini dapat bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada Dosen,
apabila ini masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas kritik dan
saran-saran nya yang sifatnya membangun tentunya.

Metro, April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 2

A. Kaidah ke-11 ................................................................................. 2

B. Kaidah ke-12 .................................................................................. 3

C. Kaidah ke-13 .................................................................................. 3

D. Kaidah ke-14 .................................................................................. 4

E. Kaidah ke-15 .................................................................................. 5

F. Kaidah ke-16 .................................................................................. 6

G. Kaidah ke-17 .................................................................................. 6

H. Kaidah ke-18 .................................................................................. 7

I. Kaidah ke-19 .................................................................................. 7

BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 8

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Hukum Islam adalah hukum yang komprehensif, ia mengatur seluruh sendi


kehidupan manusia. Dari manusia bangun hingga tidur semua telah diatur oleh
Islam, dari manusia lahir di dunia hingga ia meninggal dunia telah ada aturannya
dalam Islam. Allah ta’ala berfirman:

‫ٱْل ْس َٰلَ َم دِينًا‬ ِ ‫ْٱل َي ْو َم أ َ ْك َم ْلتُ لَ ُك ْم دِينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْمتُ َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِى َو َر‬
ِ ْ ‫ضيتُ لَ ُك ُم‬
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagi
kalian. QS. Al-Maidah: 3.
Ayat ini menunjukan bahwa Islam adalah agama sempurna,
kesempurnaannya tercermin dari aturan hukumnya yang komprehensif dalam arti
menyeluruh pada seluruh dimensi kehidupan manusia. Para ahli hukum Islam
telah membuktikan bahwa hukum Islam adalah hukum yang sempurna, mereka
menggali Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk merumuskan berbagai kaidah hukum
tentang berbagai hal, baik yang bersifat umum atau bersifat khusus. Kaidah-
kaidah hukum yang telah dirumuskan oleh para ahli tersebut terangkai dalam
istilah qawa’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh Islam).
Qawaidul Fiqhiyyah menurut bahasa berarti dasar-dasar yang berhubungan
dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqh). Sedangkan menurut istilah
ahli ushul, qawaidul fiqhiyyah adalah hukum yang biasa berlaku bersesuaian
dengan sebagian besar bagian-bagiannya. Maksudnya adalah bahwa kaidah-
kaidah hukum tersebut berkaitan dengan hukum-hukum yang bersifat umum dan
global sehingga satu kaidah bisa diterapkan pada beberapa kasus hukum. Maka
qawaid al-fiqhiyyah adalah suatu perkara kulli yang berlaku pada semua bagian-
bagian atau cabang-cabangnya, yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang
tersebut.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah ke-11

‫ما ال يتم الواجب اال به فهو واجب‬


“Jika sebuah kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka
sesuatu itu wajib pula hukumnya”1
Dari teks (kaidah fikih) diatas dapat difahami bahwa dalam melakukan
hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan apapun baik itu horizontal dan
vertical yang jika hukumnya wajib, dan disertai dengan syarat-syarat atau hal-
hal yang berkaitan untuk menyempurnakan suatu tujuan tersebut yang
hukumnya wajib maka syarat-syarat itu menjadi wajib pula hukumnya.
Kendatipun demikian, jika yang terjadi adalah sesuatu pekerjaan yang
pada asal mula hukumnya sunnah ataupun mubah akan tetapi jika sesuatu
pekerjaan tersebut merupakan penyempurna atau syarat untuk memenuhi
pekerjaan yang bernuansa wajib, maka tidak dipunkiri sesuatu pekerjaan yang
asal mula hukumnya mubah atau sunnah bisa menjadi wajib hukumnya.
Adapun dari diskripsi diatas, sesuatu kewajiban dapat dikatakan
sempurna jika kewajiban-kewajiban tersebut sudah memenuhi syarat-syarat
tertentu demi tujuan yang ingin dicapai.
Sejauh ini, ada kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan teks
diatas, yaitu;

‫للو سائل حكم المقاصد‬


Artinya; “Hukum sarana/wasilah adalah sama dengan hukum tujuan”2
Hubungan antara kedua teks kaidah-kaidah fikih diatas sungguh sangat
tersambung, karena sama-sama mempunyai artian dalam melaksanakan

1
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh (Jakarta: Kencana 2010) cet. 3 hlm. 96
2
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh., hlm. 96

2
sesuatu hal yang wajib namun harus memmpunyai syarat yang harus dipenuhi
maka syarat tersebut wajib pula hukumnya untuk memenuhi tujuan tersebut.
Contoh: Wajib membasuh bagian leher dan kepala pada saat membasuh
wajah saat berwudhu. Wajibnya membasuh bagian lengan atas dan betis
(wentis) pada saat membasuh lengan dan kaki. Wajibnya menutup bagian lutut
pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan wajibnya dan wajibnya menutup
bagian wajah bagi wanita.3

B. Kaidah ke-12

‫ما حرم إستعماله حرم اتخاذه‬


Apa saja yang haram dipakai, haram juga membuatnya.
Dasar kaidah ini adalah sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam
al Bukhari dan Imam Muslim : ‫ت َوقَ َع فِى ْال َح َر ِام‬ ُّ ‫( َو َم ْن َوقَ َع فِى ال‬Barang siapa
ِ ‫شبُ َها‬
jatuh pada perkara syuhbat, maka ia jatuh pada hal yang haram).
Contoh :
1. Haram membuat bejana dari emas dan perak, karena dari membuatnya,
mungkin sekali akan memakainya.
2. Akan tetapi yang mu’tamad (pendapat yang dapat dipegangi ) adalah
makruh membuatnya, karena yang haram adalah memakainya dan
membuat tidak selalu memakainya. Karena itu sebagian ulama membuat
kaidah : ُ‫َما ُح ِر َم اِ ْستِ ْع َمالُهُ ُك ِرهَ اِتِخَاذُه‬
Sesuatu yang haram dipakai, maka makruh membuatnya.4

C. Kaidah ke-13

‫ما حرم اخذه حرم اعطاؤه‬


Apa saja yang haram diambilnya, maka haram pula memberikannya.
Dasar kaidah ini adalah firman Allah SWT Surat al-Maidah ayat (2) :

‫ْلثْ ِم َو ْالعُ ْد َو ِن‬


ْ ‫َوالَتَعَ َاونُواْ َعلَى ا‬

3
A. Ghozali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,(Semarang :Basscom Multimedia
Grafika, 2015), hlm. 147
4
A. Ghozali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hlm. 148-149

3
Dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Contoh :
1. Uang hasil judi haram diambil, maka haram juga diberikan kepada rang
lain.
2. Haram menerima suap, maka haram pula uang suap diberikan kepada
orang lain.
3. Haram mengambil riba, haram pula diberikan orang lain.

Pengecualian dari kaidah diatas antara lain :


1. Seserang boleh menyuapa hakim agar mendapat hhaknya, tetapi hakim
tetap haram menerimanya.
Misalnya : ada orang pandai yang pantas sekali menduduki suatu jabatan
itu tidak ia duduki, kemungkinan besar akan dijabat oleh orang bodoh dan
tidak jujur. Dengan alasan ini dia boleh menyuap tetapi si penerimanya
tetap tidak boleh (haram).
Ada kaidah yang mirip dengan kaidah diatas yaitu :
َ ‫َما ُح ِر َم فِ ْعلُهُ ُح ِر َم‬
ُ‫طلَبُه‬
Sessuatu yang haram dilakukan , haram juga diminta.
Misalnya : melakukan penyuapan itu haram, maka haram juga
memintanya, jika untuk memenangkan yang batil (salah) dan mengalahkan
yang haq (benar).5

D. Kaidah ke-14

‫المشغول اليشغل‬
Sesuatu yang dijadikan objek perbuatan tertentu, tidak boleh dijadikan objek
perbuatan tertentu yang lain.
Artinya, apabila ada sesuatu yang sudah menjadi objek pada satu akad, maka
objek tersebut tidak boleh dijadikan objek pada akad-akad yang lain karena
sudah terikat pada satu akad.
Contoh :

5
A. Ghozali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hlm.148-149

4
1. Seseorang telah menggadaikan suatu barangnya sebagai jaminan hutang,
maka barang tersebut tidak boleh dijadikan sebagai jaminan pada hutang
yang lain. Dan juga orang yang sudah nikah kontrak dengan sesuatu
perusahaan, tidak boleh mengadakan kontrak kerja lagi ada waktu yang
sma.
2. Sebuah mobil yang sudah digadaikan ,tidak dapat digadaikan lagi
3. Orang yang mukmin (menetap) di Mina tidak boleh melakukan ihram
umrah, karena dia sudah sibuk dengan melontar jumrah dan mabit.
4. Sebuah rumah yang sudah digadaikan, tidak dapat digadaikan kembali.
5. Seorang wanita yang sudah dikawinkan dengan seorang pria, maka tidak
boleh dan tidak syah dikawinkan dengan pria lain.6

E. Kaidah ke-15

‫الميسور ال يسقط بالمعسور‬


Sesuatu yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu yang sulit.
Contoh kaidah:
Seorang yang terpotong bagian tubuhnya, maka tetap wajib baginya
membasuh anggota badan yang tersisah ketika bersuci.
Seseorang yang mampu menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutup
aurat berdasarkan kemampuannya tersebut.
Orang yang mampu membaca sebagian ayat dari surat Al-Fatihah, maka ia
wajib membaca sebagian yang ia ketahui tersebut.
Orang yang memiliki harta satu nisab, namun setengah darinya berada
ditempat jauh (ghaib) maka harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang
berada ditangannya.
Nabi SAW. bersabda :

‫ رواه شيخان‬.‫وما امرتكم به فأتوا منه ما استطعتم‬


Artinya:

6
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (al-qowai’idatul fiqhiyyah) (Jakarta,
Kalammulia. 2003), hlm. 83

5
“Sesuatu yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR.
Bukhari Muslim)7

F. Kaidah ke-16

‫النعمة بقدر النقمة والنقمة بقدر النعمة‬


Kenikmatan disesuaikan dengan kadar jerih payah dan jerih payah
disesuaikan dengan kenikmatan.
Maksudnya yaitu suatu keuntungan diukur dengan pengorbanan dan
pengorbanan diukur menurut keuntungan. Potongan pertama dari kaidah ini
sering diungkapkan dengan al-ujrah bi qadri al-masyaqqah, artinya upah
diukur dengan jerih payah atau kesulitan. Makin sulit mencapai sesuatu, maka
makin tinggi pula nilai yang didapat. Makin berat godaannya, makin besar
pahalanya.
Sebagai contoh seorang siswa yang rajin belajar akan mendapatkan
pengetahuan lebih luas dibandingkan dengan siswa yang kurang rajin belajar,
karena pengetahuan yang luas sepantasnya diperoleh oleh siswa yang rajin.8

G. Kaidah ke-17

‫ال مساغ لإلجتهاد في مورد النص‬


Tidak diperkenankan ijtihad pada tempat yang telah ada nashnya
Maksud nash di sini yaitu ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi sebagai
sumber hukum. Kaidah ini dapat dipahami bahwa apabila teks hukum sudah
jelas, maka tidak perlu lagi ada penafsiran. Misalnya hukum meminum khamr
itu sudah jelas haram, maka tidak perlu lagi berijtihad untuk mencari untuk
menetapkan hukumnya lagi atau hanya mencari-cari agar bisa menjadi halal.9

H. Kaidah ke-18

‫يقبل قول المترجم مطلقا‬


Kata-kata seorang penerjemah diterima tanpa syarat.

7
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (al-qowai’idatul fiqhiyyah), hlm. 84
8
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (al-qowai’idatul fiqhiyyah), hlm. 85-86
9
A. Ghozali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hlm. 150

6
Sebagai contoh seorang turis Amerika yang sedang berlibur ke
Indonesia, maka ia harus menerima terjemahan bahasa dari pemandu
wisatanya.10

I. Kaidah ke-19

‫يدخل القوي علي الضعيف والعكس‬


Yang kuat mencakup yang lemah dan tidak sebaliknya
Sebagai contoh seseorang melakukan kejahatan-kejahatan yang
hukumannya berbeda, misalnya mencuri kemudian berzina. Maka
hukumannya adalah potong tangan dan dirajam. Maka dalam kaidah ini
hukuman rajam bisa menyerap hukuman potong tangan, namun tidak
sebaliknya.11

10
A. Ghozali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hlm. 151
11
A. Ghozali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, hlm. 151-152

7
BAB III
KESIMPULAN

Qawaid al-fiqhiyyah ghairu asasiyyah berarti kaidah-kaidah umum fikih


yang bukan kaidah asasiyyah (pokok). Kaidah ini adalah kaidah-kaidah umum
yang ruang lingkup dan cakupannya luas yaitu mencakup berbagai cabang hukum
fikih. Misalnya dalam bidang muamalah, peradilan, jinayah dan hukum keluarga.
Kaidah-kaidah fikih sangat bermanfaat dalam ilmu fikih. Salah satu manfaatnya
yaitu dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi dengan disesuaikan menurut waktu
dan tempat penerapan hukum (fikih) yang berbeda-beda.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (al-qowai’idatul fiqhiyyah) (Jakarta,


Kalammulia. 2003)

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh (Jakarta: Kencana 2010)

A. Ghozali Ihsan, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Semarang : Basscom


Multimedia Grafika, 2015)

Anda mungkin juga menyukai