Anda di halaman 1dari 18

Kaidah-Kaidah Kulliyah Sughro

Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi mata kuliah qawaid fiqhiyyah Semester 4

Dosen Pengampu : Dra. Azizah, M.A.

Disusun oleh :

Kelompok 10

Sephia Nurbaiti (11180440000064)

Tasya Nabilah Herman (11180440000071)

JURUSAN HUKUM KELUARGA A

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun meterinya.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kami yakin masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Ciputat, 16 April 2020

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB 1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1

BAB 2. PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah kulliyah sughro 2


B. Kaidah kulliyah sughro beserta contoh penerapannya 2

BAB 3. PENUTUP

A. Simpulan 13

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fikih adalah salah satu hal penting bagi umat islam untuk
menyelesaikan masalah hukum yang sering kali dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya
sesuatu itu dilakukan, juga tidak dapat mengetahui mana yang lebih diutamakan
pengerjaannya atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau
berprilaku terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut baik
berdasarkan ajaran agama maupun tradisi yang baik.
Kaidah fikih secara bahasa terbagi ke dalam kata ‘kaidah’ yang berarti
asas atau pondasi, serta kata ‘fikih’ yang berarti pemahaman. Sedangkan secara
istilah, kaidah fikih diartikan sebagai rumusan-rumusan yang bersifat aghlabiyah
(mayoritas) yang diterapkan dalam persoalan fikih. Kaidah fikih secara umum
tebagi menjadi dua; yang pertama, kaidah kulliyyah kubro (asasiyah) yaitu kaidah
pokok yang lima, pembahasan ini dibahas pada materi sebelumnya; dan yang
kedua yaitu kaidah kulliyah sughro (furu’iyyah) yaitu kaidah-kaidah yang
dikategorikan sebagai kaidah yang berada diluar kaidah pokok. Dengan demikian,
secara khusus makalah ini disusun secara rinci dan akan membahas mengenai
‘kaidah kulliyah sughro’ .

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah kulliyah sughro?
2. Apa saja yang termasuk dalam kaidah kulliyah sughro?
3. Bagaimana penerapan dari kaidah kulliyyah sughro?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun bertujuan agar pembaca dapat memahami mengenai
kaidah kulliyah sughro beserta contoh penerapannya dalam kehidupan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah kulliyah sughro


Dalam kaidah fikih dikenal istilah kaidah kulliyah kubro dan kaidah
kulliyah sughro. Kaidah kulliyah kubro (asasiyah) merupakan kaidah-kaidah lima
yang pokok sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Sedangkan yang
dimaksud dengan kaidah kulliyah sughro ialah kaidah-kaidah yang dikategorikan
sebagai kaidah diluar kaidah pokok (Selain pokok yang lima) atau didefinisikan
sebagai kaidah-kaidah fikih yang berada dibawah kaidah lima yang pokok.
Kaidah ini terkadang disebut juga dengan kaidah cabang (Furu’iyyah). Selain itu,
ada beberapa ulama yang menyebutnya sebagai kaidah Ammah (umum) yang
berlaku pada semua bidang fikih.

B. Kaidah kulliyah sughro Beserta Contohnya


1.
‫اﻹجتهاد ﻻ ينقض باﻹجتهاد‬

“Ijtihad yang lalu tidak batal oleh ijtihad yang kemudian.”

Maksud kaidah ini adalah suatu hasil ijtihad pada masa lalu, tidak
berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum yang sama.
Hasil ijtihad yang lama masih tetap berlaku pada masa itu, dan hasil ijtihad
yang sekarang berlaku pada masa sekarang, seperti dikatakan oleh Umar bin
Khattab:

‫تلك على ما قضينا و هذا على ما نقضي‬

“Itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami
putuskan sekarang”1

Pengertian kaidah ini, bahwa ijtihad yang telah dilakukan oleh seorang
ulama tentang suatu perkara tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang datang

1
A.Djazuli, “Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang praktis”, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm 91

2
kemudian, meskipun perkaranya bisa sama. Hal ini dimungkinkan karena
adanya perbedaan situasi dan kondisi yang bisa mempengaruhi proses dan
hasil ijtihad. Ijtihad yang lalu, tetap saja dapat diberlakukan pada situasi dan
kondisi yang lalu. Model kejahatan penganiyaan dulu dan sekarang berbeda,
sehingga sanksi yang diputuskan hakim pun bisa berbeda. Demikian pula
modus penipuan dan pencurian yang sangat memungkinkan keputusan hakim
berbeda dengan hakim sebelumnya.2

Sudah tentu kaidah ini ada kekecualiannya, yaitu apabila jelas-jelas hasil
ijtihadnya itu salah, karena menyalahi sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits.

2.

‫من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه‬

“barangsiapa yang mempercepat sesuatu sebelum waktunya maka


menanggung akibat tidak mendapat sesuatu tersebut”
Contohnya : belum waktu shalat lalu shalat atau belum waktu berbuka
kemudian berbuka, maka baik shalat maupun puasanya menjadi batal.
Seseorang ahli waris membunuh pewarisnya maka dia tidak berhak atas
warisan.
3.

‫ما حرم استعماله حرم اتحاذه‬

“Perkara yang haram digunakan haram juga mendapatkannya.”


Perkara yang diharamkan baik haram dimakan, haram dipakai atau haram
diminum, haram juga mendapatkannya. Kata mendapatkannya dimungkinkan
dengan usaha dan upaya yang dilakukan, atau bisa juga berupa pemberian
dari orang lain atau bahkan membiarkan yang haram tersebut tetap berada
dalam kekuasaan kita, seperti menyimpannya. Karena itu, haram

Thalhah, “Kaidah Fiqhiyyah Furu’iyyah: Penerapannya pada Isu Kontemporer”, Jurnal Tahkim
2

IAIN Ambon, Vol. X No.1, Juni, 2014. Hlm. 78

3
mendapatkan alat permainan yang melalaikan, babi, khamr dan sutra bagi
laki-laki.3
4.

‫ما حرم أخذه حرم إعطاءه‬

“apa yang haram diambilnya haram pula diberikannya”


Atas ketentuan kaidah ini, bahwa sesuatu yang haram didapatkan menjadi
haram pula memberikan kepada orang lain. Bila dicermati, bahwa sesuatu
yang haram mengandung kemudharatan, sehingga sesuatu yang logis, jika
yang membahayakan itu tidak dicari bahkan tidak pula diberikan kepada
orang lain. Sebab hal itu sama dengan memberikan kemudharatan baginya.
Maka haram memberikan uang hasil korupsi, atau hasil suap. Sebab,
perbuatan demikian bisa diartikan tolong-menolong dalam dosa. (lihat surah
Al-Maa’idah:3)4
5.

‫التّابع تابع‬

“Pengikut itu hukumnya tetap sebagai pengikut yang mengikuti”


Yang dimaksud dengan pengikut adalah a). Bagian sesuatu yang sulit
dipisahkan seperti kulit hewan, b) sesuatu yang menjadi bagian dari sesuatu
itu seperti janin bagi induknya, batu cincin pada sebuah cincin, c) sifat sesuatu
seperti pepohonan yang tumbuh disebidang tanah, d) kebutuhan yang
menyertai seperti jalan untuk masuk ke rumah, kunci untuk gembok, sarung
pedang untuk pedang.
Contoh dalam kaidah ini banyak sekali, diantaranya: apabila seseorang
membeli kambing, maka termasuk dalam kambing tersebut kulitnya.
Demikian juga, apabila kambingnya sedang bunting, maka anak yang masih

3
A.Djazuli, “Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang praktis”, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 96
4
Ahmad ibn Muhammad Al-Zarqo, “Syarh Al-Qawaid al-Fiqhiyah”, (Damaskus: Al-Qalam,
1993), hlm. 177

4
dikandungnya termasuk yang dibeli. Apabila shalat berjamaah, maka
makmum wajib mengikuti imam.5
6.

‫التابع ﻻ يفرد بالحكم‬

“Pengikut tidak mandiri dalam hukum.”


Kaidah ini memiliki pengertian yang terkait dengan pengertian kaidah
sebelumnya. Jika pada kaidah sebelumnya, kambing yang hamil terjual
bersama janinnya, maka menurut kaidah ini, janin tersebut tidak dapat
diperjual belikan secara mandiri. Karena janin itu terikat dengan yang
diikutinya yaitu induknya.6
7.

‫إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما في اآلخر غالبا‬

“Apabila bersatu dua perkara dari satu jenis dan maksudnya tidak berbeda,
maka hukum salah satunya dimasukkan kepada hukum yang lain”
Maksudnya apabila dua perkara itu, jenis dan tujuannya sama, maka cukup
dengan melakukan salah satunya,. Contohnya: apabila berkumpul antara
bersuci karena haidh dan bersuci karena ada hadast besar, maka cukup dengan
sekali mandi. Demikian pula menurut sebagian madzhab, bersuci karena
hadats besar dengan bersuci karena hadats kecil, dicukupkan dengan mandi
junub. Demikian pula apabila berkumpul waktu Ied dengan Jum’at, cukup
sekali mandi sunnah untuk keduanya.
8.

‫ﻻ ينسب إلى ساكت قول ولكن السكوت في معرض الحاجة إلى البيان ببان‬

“Perkataan tidak bisa disandarkan kepada yang diam, tetapi sikap diam
dalam hal yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”

5
A.Djazuli, “Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang praktis”, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 92
6
Thalhah, “Kaidah Fiqhiyyah Furu’iyyah: Penerapannya pada Isu Kontemporer”, Jurnal Tahkim
IAIN Ambon, Vol. X No.1, Juni, 2014. Hlm. 78

5
Kaidah ini menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil
dengan diamnya seseorang, kecuali ada qorinah, tanda-tanda, atau alasan lain
yang menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan
juga. Contohnya: apabila seorang tergugat, ketika ditanya oleh hakim,
kemudian ia diam saja, maka diperlukan bukti-bukti lain yang menguatkan
gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila seorang janda atau perawan yang
diminta izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam saja tanpa ada perubahan apa-
apa pada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuannya.7
9.

‫اﻹشارة تقوم مقام العبارة‬

“Isyarat-isyarat menempati posisi ibarat ( pernyataan yang diucapkan).”

Maksud dari kaidah ini adalah sebuah tanda atau isyarat yang diberikan
oleh seseorang seperti anggukan kepala, gelengan kepala, menunjuk dengan
jari telunjuk dapat menempati posisi yang sama dengan pernyataan yang
diucapkan. Isyarat atau tanda ini digunakan biasanya saat berkomunikasi
verbal tidak dapat dilakukan karena keterbatasan seperti bisu atau tuli.
Sehingga tentu saja, isyarat dari mereka yang berupa anggukan atau gelengan
kepala yang menunjukkan ada atau tidaknya suatu hak misalnya, menempati
kedudukan ucapan mereka.50 Isyarat dan tanda tersebut dapat digunakan
pada transaksi jual beli, saksi dalam pidana, saksi dalam pernikahan dan lain
sebagainya.

10.

‫اذا اجتمع السبب أو الغرور والمباشرة قدمت المباشرة‬

“Apabila berkumpul (antara) sebab, tipuan dan pelaksanaan langsung, maka


didahulukan pelaksanaan langsung itu”
Dengan ungkapan lain, manakala dalam suatu kasus terdapat tiga faktor
yang mengakibatkan terjadinya suatu kasus, maka yang mula-mula diminta

7
A.Djazuli, “Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang praktis”, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 94

6
pertanggung jawaban adalah pebuatan langsung. Umpamanya: ada kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh tiga orang. Ada yang berperan sebagai
penunjuk jalan, ada yang berperan melakukan penipuan supaya si korban
berada di suatu tempat tertentu, dan ada yang langsung melakukan
pembunuhan. Maka dalam hal ini, pelaku pembunuhan (langsung) inilah yang
harus dituntut terlebih dahulu. Namu, semunya wajib dituntut hukuman.8
11.

‫ماﻻ يقبل التبعيض فاختيار بعضه كاختيار كله وإسقاط بعضه كإسقاط كله‬

“Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebahagiannya sama


dengan mengusahakan semuanya; dan mengugurkan sebahagiannya sama
dengan menggugurkan semuanya.”

Berdasarkan kaidah di atas, maka dapat dipahami bahwa apapun yang


memang tidak dapat dibagi-bagi maka perlakuan atau pelaksanaannyapun
harus menyeluruh, tidak dapat hanya sebagian saja. Artinya, manakala
dilaksanakan sebagiannya, maka berarti dianggap seluruhnya. Sebaliknya,
manakala digugurkan sebagiannya berarti digugurkan seluruhnya. Sebagai
contoh : Seorang suami berkata kepada istrinya : “Engkau aku talak separuh.”
Dalam hal ini dianggap jatuh talak satu, karena talak itu tidak dapat dibagi.9

12.

‫الوﻻية الخاصة أقوى من الوﻻية العا ّمة‬

“Perwalian khusus lebih kuat dari perwalian umum.”


Atas dasar kaidah di atas, maka: 1) Seorang wali hakim tidak boleh
menikahkan seorang perempuan yang masih mempunyai wali nasab. Sebab,
wali nasab sifatnya khusus sehingga lebih kuat sedangkan wali hakim sifatnya
umum; 2) Seorang wali nasab yang statusnya khusus dapat menuntut qishas
atau diyat atau meberikan pengampunan terhadap pembunuh orang yang
melakukan pembunuhan orang yang berada di bawah perwaliannya. Tetapi,

8
Duski Ibrahim, “Al-Qawai’d Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fikih)”, (Palembang: Noerfikri,
2019), hlm 104-154
9
Duski Ibrahim, loc.cit.

7
wali hakim yang statusnya wali umum tidak dapat menuntut hakhak tersebut;
3) Manakala seorang perempuan dinikahkan dengan seorang laki-laki oleh
wali hakim, sementara wali atau melalui perwakilan menikahkan perempuan
itu dengan laki-laki yang lain, maka yang dianggap sah adalah pernikahan
yang dilakukan oleh wali yang sebenarnya, bukan yang dinikahkan oleh wali
hakim.10
13.

‫ﻻ عبرة بالظن البين خطؤه‬

“Tidak dianggap sebagai zhan yang jelas salahnya”


Atas dasar kaidah di atas, maka: 1. Manakala seorang mengira (bukan
meyakini) bahwa dirinya suci dari hadats, lalu ia langsung shalat. Tetapi,
ternyata perkiraanya itu salah, sebab ia sudah berhadats, maka shalatnya
tersebut tidak sah. 2. Manakala seorang shalat dengan mengira (bukan
meyakini) sudah masuk waktunya. Tetapi, ternyata belum masuk waktu,
maka shalatnya itu batal. 3. Manakala seseorang berpuasa mengira (bukan
meyakini) masih malam atau menyangka matahari sudah terbenam, lalu kia
makan sahur atau berbuka, tapi ternyata waktu imsak telah habis atau
matahari belum terbenam, maka puasanya batal. 4. Manakala seseorang
mengira (bukan meyakini) bahwa dirinya mempunyai utang kepada orang
lain, lalu hutangnya tersebut dibayar. Tetapi, ternyata bahwa dia sudah tidak
mempunyai utang, maka ia berhak menerima kembali uang yang pernah
dibayarkannya.
14.

‫الفرض أفضل من النفل‬

“Fardhu itu lebih utama daripada sunnat.”


Dari kaidah ini dipahami bahwa perbuatan fardhu atau wajib lebih utama
dari perbuatan sunnat. Kendatipun demikian, ada beberapa contoh perbuatan
sunnat lebih utama dari perbuatan wajib, yaitu : Pertama, Pembebasan
pembayaran utang orang yang dalam kesulitan, lebih utama daripada

10
Duski Ibrahim, loc.cit.

8
penundaan pembayaran. Pembebasan hukumnya sunnah, sedangkan
penundaan hukumnya wajib, seperti dijelaskan dalam firman Allah surat
albaqarah:28. Kedua, memulai memberi salam hukumnya sunnat, tetapi lebih
utama daripada yang menjawabnya, walaupun hukum menjawab salam
adalah wajib. Ketiga, wudhu‟ sebelum masuk waktu shalat itu sunnat, dan itu
lebih baik daripada wudhu‟ (yang wajib) karena telah masuk waktu, sebab
wudhu‟ sebelum masuk waktu mengandung beberapa kemaslahatan.
15.

‫السؤال معاد في الجواب‬

“Pertanyaan itu dikembalikan dalam jawaban “


Berdasarkan kaidah ini, maka ketentuan dari suatu jawaban itu sangat
terikat secara koheren dengan pertanyaan. Apabila hakim umpamanya,
bertanya kepada seseorang penggugat guna meminta penjelasan: “Apakah
isterimu telah engkau talak?” Apabila dijawab: “Ya”, maka berarti jawaban
secara koheren telah sesuai dengan pertanyaan. Dengan demikian, isteri
tergugat tersebut dihukumkan telah ditalak oleh suaminya.
16.

‫الخروج من الخالف مستحب‬

“Keluar dari perselisihan itu disukai.”


Kaidah ini dirumuskan oleh para ahli ushul al-fiqh dari dua dalil sebagai
berikut: Pertama, firman Allah dalam surat al-Hujarat ayat 12 , yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak berbuat prasangka,
(karena) sebagian dari berprasangka itu adalah dosa.” Kedua, hadits Nabi
yang artinya: ......barangsiapa dapat memelihara dari syubhat, niscaya bersih
agama dan kehormatannya....” Kandungan dua dalil di atas adalah bahwa kita
dilarang berprasangka buruk, dan diperintahkan menghindari hal-hal yang
syubhat, sebab dari prasangka buruk dan hal yang syubhat itulah muncul
perselisihan. Dari norma-norma itulah maka dirumuskan kaidah fiqih di atas,
sehingga lari atau keluar dari perselisihan di pandang sebagai hal yang disukai
agama.

9
Atas dasar kaidah di atas, maka: 1. Orang musafir sejauh tiga
marhalah (lebih-kurang 84 km) disukai (lebih baik) meng-qashar shalat
sebagai jalan keluar dari perselisihan para ulama dalam masalah ini. Abu
Hanifah berpendapat wajib qashar, imam yang lain berpendapat tidak wajib
qashar. Meng-qashar shalat ketika musafir dengan menganggap bukan suatu
kewajiban, tapi sebagai perbuatan yang disukai, berarti sudah memilih jalan
keluar dari perselisihan. 2. Orang buang air besar atau kecil disukai (lebih
baik) tidak menghadap atau membelakangi kiblat, sekalipun di tempat
tertutup, sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat para ulama dalam
masalah ini. Imam atsTsauri mewajibkan menjauhi menghadap dan
membelakangi kiblat pada saat buang air besar atau kecil, sedangkan imam
yang lain tidak mewajibkan hal seperti itu. 3. Perkawinan seseorang
hendaklah dilakukan dengan wali, sebagai jalan keluar dari perselisihan
pendapat ulama. Mayoritas ulama mewajibkan adanya wali, Abu Hanifah
hanya menganggapnya sebagai pelengkap. Memilih perkawinan dengan wali
berarti telah mengakomodir pendapat yang berbeda tersebut.11

17.

‫الخراج بالضمان‬

“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung


kerugian.”
Pada suatu hari ada seseorang menjual budak. Budak tersebut telah
bertempat tinggal di tempat pembeli selama beberapa hari. Lantas, si pembeli
menemukan cacat pada budak tersebut, dan melaporkan masalah itu kepada
Nabi Saw. Maka nabi mengembalikan budak itu kepada penjual. Si penjual
berkata : “Wahai Rasulullah, ia (si pembeli) telah mengambil manfaat dari
budakku”. Rasulullah menjawab:”Al-Kharaj (Hak mendapatkan hasil)
disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian.” Dalam kaitan ini, Abu
Ubaid mengatakan : yang dimaksudkan dengan al-kharaj dalam hadits ini
adalah pekerjaan hamba yang telah dibeli seseorang, yang kemudian orang

11
Duski Ibrahim, loc.cit.

10
tersebut menyuruh menyuruh supaya hamba itu bekerja untuknya dalam
waktu tertentu. Lantas diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh
penjual, kemudian ia kembalikan kepada penjual tersebut, dengan diambil
seluruh uang hargaanya. Pembeli itu sesungguhnya memang telah
memanfaatkan hamba itu, dengan memperkerjakannya. Pemanfaatan yang
dilakukan pembeli tersebut dapat dibenarkan, karena ia telah memberikan
nafkah kepadanya selama berada di tangannya.
18.

‫إعمال الكالم أولى من إهماله‬

“Mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama daripada


mengabaikannya.”
Manakala suatu perkataan itu jelas maksudnya, maka haruslah diamalkan
sesuai dengan yang dimaksud. Tetapi, manakala suatu perkataan itu belum
jelas maksudnya, maka mengamalkan lebih baik dari pada meniadakannya.
Umpamanya, ada seseorang yang mewasiatkan hartanya ditujukan kepada
anak-anaknya, padahal ia tidak mempunyai anak lagi, yang ada hanya cucu-
cucunya. Maka dalam hal ini harta wasiat tersebut wajib diberikan kepada
cucu-cucunya.
19.

‫الحدود تسقط بالشبهات‬

“Hukuman Had gugur karena subhat (samar-samar).”


Kaidah ini mengandung makna bahwa manakala sebelum didapatkan
bukti yang menunjukkan perbuatan yang dilakukan seseorang itu adalah
melanggar aturan maka seseorang itu tidak dapat dijatuhi hukuman had (yang
telah ditentukan syara‟). Sebelum memberikan hukuman, seorang hakim
harus benar-benar yakin bahwa yang melakukan kejahatan itu benar-benar
melakukan pelanggaran nash atau undang-undang yang jelas. Oleh karena itu,
manakala masih ada keraguan (syubhat), maka hukuman had belum dapat
diterapkan terhadap pelaku.

11
Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan syubhat adalah suatu
perbuatan yang menurut faktanya terjadinya tetapi sebenarnya tidak terjadi.
Umpamanya, seseorang mencuri harta yang dimiliki bersama orang lain.
Secara faktual seseorang itu dapat disebut pencuri karena ia benar-benar
melakukan tindakan pencurian, namun sebenarnya ia bukanlah pencuri
sungguhan yang dapat diberi sanksi hukum, karena masih ada syubhat
(kesamaran). Unsur syubhat-nya terletak pada batasan mencuri, yaitu
mengambil milik orang lain dengan cara tersembunyi dalam simpanan yang
wajar. Dalam konteks ini, batasan mencuri tersebut tidak terpenuhi,
mengingat ia juga pemilik barang yang dicuri tersebut. Contoh lain dari
penerapan kaidah di atas adalah tentang seseorang yang muntah dan ada bau
minuman keras keluar dari mulutnya dalam keadaan seperti ini, seseorang
tersebut tidak boleh diberi sanksi hukum had minuman keras. Letak ke-
syubhat-annya adalah karena ada kemungkinan bahwa seseorang itu dipaksa
orang lain (mukrah) untuk minum atau memang terpaksa (mudhtthar) sebab
tidak ada air sama sekali, atau karena ia tersalah (mukhaththi‟) dalam
mengambil minuman. Letak ke-syubhat-an lain adalah bahwa terkadang bau
khamr itu sama dengan bau minuman halal lain, setelah melalui proses dalam
perut seseorang. Ini semua adalah termasuk syubhat yang tidak boleh
dikenakan sanksi hukum had minuman keras.
20.

‫اﻹيثار في القرب مكروه وفي غيرها محبوب‬

“Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh dan dalam
urusan selainnya (urusan dunia) adalah disenangi.”
Dari kaidah ini dipahami bahwa mengutamakan orang lain dalam
pengambilan shaf (barisan) terdepan untuk shalat berjama’ah adalah makruh.
Tetapi mengutamakan orang lain dalam hal menerima infaq adalah disenangi
atau dipuji agama.12

12
Duski Ibrahim, loc.cit.

12
‫‪BAB III‬‬
‫‪PENUTUP‬‬
‫‪A. Kesimpulan‬‬
‫‪kaidah kulliyah sughro ialah kaidah-kaidah yang dikategorikan sebagai kaidah‬‬
‫‪diluar kaidah pokok (Selain pokok yang lima) atau didefinisikan sebagai kaidah-‬‬
‫‪kaidah fikih yang berada dibawah kaidah lima yang pokok. Kaidah kulliyah‬‬
‫‪sughro ini macamnya banyak, dalam makalah disebutkan hanya 20. Berikut‬‬
‫‪kaidah-kaidah fikih yang telah dipaparkan:‬‬
‫اﻹجتهاد ﻻ ينقض باﻹجتهاد‬

‫من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه‬

‫ما حرم استعماله حرم اتحاذه‬

‫ما حرم أخذه حرم إعطاءه‬

‫التّابع تابع‬

‫التابع ﻻ يفرد بالحكم‬

‫إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما في اآلخر غالبا‬

‫ﻻ ينسب إلى ساكت قول ولكن السكوت في معرض الحاجة إلى البيان ببان‬

‫ﻹشارة تقوم مقام العبارة‬

‫اذا اجتمع السبب أو الغرور والمباشرة قدمت المباشرة‬

‫ماﻻ يقبل التبعيض فاختيار بعضه كاختيار كله وإسقاط بعضه كإسقاط كله‬

‫الوﻻية الخاصة أقوى من الوﻻية العا ّمة‬

‫ﻻ عبرة بالظن البين خطؤه‬

‫الفرض أفضل من النفل‬

‫السؤال معاد في الجواب‬

‫الخروج من الخالف مستحب‬

‫الخراج بالضمان‬

‫‪13‬‬
‫إعمال الكالم أولى من إهماله‬

‫الحدود تسقط بالشبهات‬

‫اﻹيثار في القرب مكروه وفي غيرها محبوب‬

‫‪14‬‬
DAFTAR PUSTAKA

A.Djazuli, 2017,“Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam


Menyelesaikan Masalah-masalah yang praktis”, Jakarta: Kencana
Ibrahim, Duski, 2019. “Al-Qawai’d Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fikih)”,
Palembang: Noerfikri
Muhammad Al-Zarqo, Ahmad, 1993, “Syarh Al-Qawaid al-Fiqhiyah”, Damaskus:
Al-Qalam
Thalhah, 2014, “Kaidah Fiqhiyyah Furu’iyyah: Penerapannya pada Isu
Kontemporer”, Jurnal Tahkim IAIN Ambon, Vol. X No.1

15

Anda mungkin juga menyukai