Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi mata kuliah qawaid fiqhiyyah Semester 4
Disusun oleh :
Kelompok 10
JAKARTA
1441 H/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun meterinya.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Pemakalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB 2. PEMBAHASAN
BAB 3. PENUTUP
A. Simpulan 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fikih adalah salah satu hal penting bagi umat islam untuk
menyelesaikan masalah hukum yang sering kali dihadapi dalam kehidupan sehari-
hari. Tanpa pedoman, mereka tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya
sesuatu itu dilakukan, juga tidak dapat mengetahui mana yang lebih diutamakan
pengerjaannya atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam berbuat atau
berprilaku terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut baik
berdasarkan ajaran agama maupun tradisi yang baik.
Kaidah fikih secara bahasa terbagi ke dalam kata ‘kaidah’ yang berarti
asas atau pondasi, serta kata ‘fikih’ yang berarti pemahaman. Sedangkan secara
istilah, kaidah fikih diartikan sebagai rumusan-rumusan yang bersifat aghlabiyah
(mayoritas) yang diterapkan dalam persoalan fikih. Kaidah fikih secara umum
tebagi menjadi dua; yang pertama, kaidah kulliyyah kubro (asasiyah) yaitu kaidah
pokok yang lima, pembahasan ini dibahas pada materi sebelumnya; dan yang
kedua yaitu kaidah kulliyah sughro (furu’iyyah) yaitu kaidah-kaidah yang
dikategorikan sebagai kaidah yang berada diluar kaidah pokok. Dengan demikian,
secara khusus makalah ini disusun secara rinci dan akan membahas mengenai
‘kaidah kulliyah sughro’ .
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah kulliyah sughro?
2. Apa saja yang termasuk dalam kaidah kulliyah sughro?
3. Bagaimana penerapan dari kaidah kulliyyah sughro?
C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun bertujuan agar pembaca dapat memahami mengenai
kaidah kulliyah sughro beserta contoh penerapannya dalam kehidupan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Maksud kaidah ini adalah suatu hasil ijtihad pada masa lalu, tidak
berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam suatu kasus hukum yang sama.
Hasil ijtihad yang lama masih tetap berlaku pada masa itu, dan hasil ijtihad
yang sekarang berlaku pada masa sekarang, seperti dikatakan oleh Umar bin
Khattab:
“Itu adalah yang kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami
putuskan sekarang”1
Pengertian kaidah ini, bahwa ijtihad yang telah dilakukan oleh seorang
ulama tentang suatu perkara tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang datang
1
A.Djazuli, “Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang praktis”, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm 91
2
kemudian, meskipun perkaranya bisa sama. Hal ini dimungkinkan karena
adanya perbedaan situasi dan kondisi yang bisa mempengaruhi proses dan
hasil ijtihad. Ijtihad yang lalu, tetap saja dapat diberlakukan pada situasi dan
kondisi yang lalu. Model kejahatan penganiyaan dulu dan sekarang berbeda,
sehingga sanksi yang diputuskan hakim pun bisa berbeda. Demikian pula
modus penipuan dan pencurian yang sangat memungkinkan keputusan hakim
berbeda dengan hakim sebelumnya.2
Sudah tentu kaidah ini ada kekecualiannya, yaitu apabila jelas-jelas hasil
ijtihadnya itu salah, karena menyalahi sumber hukum, yaitu Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
2.
Thalhah, “Kaidah Fiqhiyyah Furu’iyyah: Penerapannya pada Isu Kontemporer”, Jurnal Tahkim
2
3
mendapatkan alat permainan yang melalaikan, babi, khamr dan sutra bagi
laki-laki.3
4.
التّابع تابع
3
A.Djazuli, “Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang praktis”, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 96
4
Ahmad ibn Muhammad Al-Zarqo, “Syarh Al-Qawaid al-Fiqhiyah”, (Damaskus: Al-Qalam,
1993), hlm. 177
4
dikandungnya termasuk yang dibeli. Apabila shalat berjamaah, maka
makmum wajib mengikuti imam.5
6.
إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما في اآلخر غالبا
“Apabila bersatu dua perkara dari satu jenis dan maksudnya tidak berbeda,
maka hukum salah satunya dimasukkan kepada hukum yang lain”
Maksudnya apabila dua perkara itu, jenis dan tujuannya sama, maka cukup
dengan melakukan salah satunya,. Contohnya: apabila berkumpul antara
bersuci karena haidh dan bersuci karena ada hadast besar, maka cukup dengan
sekali mandi. Demikian pula menurut sebagian madzhab, bersuci karena
hadats besar dengan bersuci karena hadats kecil, dicukupkan dengan mandi
junub. Demikian pula apabila berkumpul waktu Ied dengan Jum’at, cukup
sekali mandi sunnah untuk keduanya.
8.
ﻻ ينسب إلى ساكت قول ولكن السكوت في معرض الحاجة إلى البيان ببان
“Perkataan tidak bisa disandarkan kepada yang diam, tetapi sikap diam
dalam hal yang membutuhkan keterangan adalah merupakan keterangan”
5
A.Djazuli, “Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang praktis”, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 92
6
Thalhah, “Kaidah Fiqhiyyah Furu’iyyah: Penerapannya pada Isu Kontemporer”, Jurnal Tahkim
IAIN Ambon, Vol. X No.1, Juni, 2014. Hlm. 78
5
Kaidah ini menetapkan bahwa suatu keputusan hukum tidak bisa diambil
dengan diamnya seseorang, kecuali ada qorinah, tanda-tanda, atau alasan lain
yang menguatkannya, maka diamnya orang tersebut merupakan keterangan
juga. Contohnya: apabila seorang tergugat, ketika ditanya oleh hakim,
kemudian ia diam saja, maka diperlukan bukti-bukti lain yang menguatkan
gugatan penggugat. Akan tetapi, apabila seorang janda atau perawan yang
diminta izinnya untuk dinikahkan lalu dia diam saja tanpa ada perubahan apa-
apa pada perangainya, maka diamnya itu menunjukkan persetujuannya.7
9.
Maksud dari kaidah ini adalah sebuah tanda atau isyarat yang diberikan
oleh seseorang seperti anggukan kepala, gelengan kepala, menunjuk dengan
jari telunjuk dapat menempati posisi yang sama dengan pernyataan yang
diucapkan. Isyarat atau tanda ini digunakan biasanya saat berkomunikasi
verbal tidak dapat dilakukan karena keterbatasan seperti bisu atau tuli.
Sehingga tentu saja, isyarat dari mereka yang berupa anggukan atau gelengan
kepala yang menunjukkan ada atau tidaknya suatu hak misalnya, menempati
kedudukan ucapan mereka.50 Isyarat dan tanda tersebut dapat digunakan
pada transaksi jual beli, saksi dalam pidana, saksi dalam pernikahan dan lain
sebagainya.
10.
7
A.Djazuli, “Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
masalah yang praktis”, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 94
6
pertanggung jawaban adalah pebuatan langsung. Umpamanya: ada kasus
pembunuhan yang dilakukan oleh tiga orang. Ada yang berperan sebagai
penunjuk jalan, ada yang berperan melakukan penipuan supaya si korban
berada di suatu tempat tertentu, dan ada yang langsung melakukan
pembunuhan. Maka dalam hal ini, pelaku pembunuhan (langsung) inilah yang
harus dituntut terlebih dahulu. Namu, semunya wajib dituntut hukuman.8
11.
ماﻻ يقبل التبعيض فاختيار بعضه كاختيار كله وإسقاط بعضه كإسقاط كله
12.
8
Duski Ibrahim, “Al-Qawai’d Al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah Fikih)”, (Palembang: Noerfikri,
2019), hlm 104-154
9
Duski Ibrahim, loc.cit.
7
wali hakim yang statusnya wali umum tidak dapat menuntut hakhak tersebut;
3) Manakala seorang perempuan dinikahkan dengan seorang laki-laki oleh
wali hakim, sementara wali atau melalui perwakilan menikahkan perempuan
itu dengan laki-laki yang lain, maka yang dianggap sah adalah pernikahan
yang dilakukan oleh wali yang sebenarnya, bukan yang dinikahkan oleh wali
hakim.10
13.
10
Duski Ibrahim, loc.cit.
8
penundaan pembayaran. Pembebasan hukumnya sunnah, sedangkan
penundaan hukumnya wajib, seperti dijelaskan dalam firman Allah surat
albaqarah:28. Kedua, memulai memberi salam hukumnya sunnat, tetapi lebih
utama daripada yang menjawabnya, walaupun hukum menjawab salam
adalah wajib. Ketiga, wudhu‟ sebelum masuk waktu shalat itu sunnat, dan itu
lebih baik daripada wudhu‟ (yang wajib) karena telah masuk waktu, sebab
wudhu‟ sebelum masuk waktu mengandung beberapa kemaslahatan.
15.
9
Atas dasar kaidah di atas, maka: 1. Orang musafir sejauh tiga
marhalah (lebih-kurang 84 km) disukai (lebih baik) meng-qashar shalat
sebagai jalan keluar dari perselisihan para ulama dalam masalah ini. Abu
Hanifah berpendapat wajib qashar, imam yang lain berpendapat tidak wajib
qashar. Meng-qashar shalat ketika musafir dengan menganggap bukan suatu
kewajiban, tapi sebagai perbuatan yang disukai, berarti sudah memilih jalan
keluar dari perselisihan. 2. Orang buang air besar atau kecil disukai (lebih
baik) tidak menghadap atau membelakangi kiblat, sekalipun di tempat
tertutup, sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat para ulama dalam
masalah ini. Imam atsTsauri mewajibkan menjauhi menghadap dan
membelakangi kiblat pada saat buang air besar atau kecil, sedangkan imam
yang lain tidak mewajibkan hal seperti itu. 3. Perkawinan seseorang
hendaklah dilakukan dengan wali, sebagai jalan keluar dari perselisihan
pendapat ulama. Mayoritas ulama mewajibkan adanya wali, Abu Hanifah
hanya menganggapnya sebagai pelengkap. Memilih perkawinan dengan wali
berarti telah mengakomodir pendapat yang berbeda tersebut.11
17.
الخراج بالضمان
11
Duski Ibrahim, loc.cit.
10
tersebut menyuruh menyuruh supaya hamba itu bekerja untuknya dalam
waktu tertentu. Lantas diketahui adanya cacat yang disembunyikan oleh
penjual, kemudian ia kembalikan kepada penjual tersebut, dengan diambil
seluruh uang hargaanya. Pembeli itu sesungguhnya memang telah
memanfaatkan hamba itu, dengan memperkerjakannya. Pemanfaatan yang
dilakukan pembeli tersebut dapat dibenarkan, karena ia telah memberikan
nafkah kepadanya selama berada di tangannya.
18.
11
Perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan syubhat adalah suatu
perbuatan yang menurut faktanya terjadinya tetapi sebenarnya tidak terjadi.
Umpamanya, seseorang mencuri harta yang dimiliki bersama orang lain.
Secara faktual seseorang itu dapat disebut pencuri karena ia benar-benar
melakukan tindakan pencurian, namun sebenarnya ia bukanlah pencuri
sungguhan yang dapat diberi sanksi hukum, karena masih ada syubhat
(kesamaran). Unsur syubhat-nya terletak pada batasan mencuri, yaitu
mengambil milik orang lain dengan cara tersembunyi dalam simpanan yang
wajar. Dalam konteks ini, batasan mencuri tersebut tidak terpenuhi,
mengingat ia juga pemilik barang yang dicuri tersebut. Contoh lain dari
penerapan kaidah di atas adalah tentang seseorang yang muntah dan ada bau
minuman keras keluar dari mulutnya dalam keadaan seperti ini, seseorang
tersebut tidak boleh diberi sanksi hukum had minuman keras. Letak ke-
syubhat-annya adalah karena ada kemungkinan bahwa seseorang itu dipaksa
orang lain (mukrah) untuk minum atau memang terpaksa (mudhtthar) sebab
tidak ada air sama sekali, atau karena ia tersalah (mukhaththi‟) dalam
mengambil minuman. Letak ke-syubhat-an lain adalah bahwa terkadang bau
khamr itu sama dengan bau minuman halal lain, setelah melalui proses dalam
perut seseorang. Ini semua adalah termasuk syubhat yang tidak boleh
dikenakan sanksi hukum had minuman keras.
20.
“Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh dan dalam
urusan selainnya (urusan dunia) adalah disenangi.”
Dari kaidah ini dipahami bahwa mengutamakan orang lain dalam
pengambilan shaf (barisan) terdepan untuk shalat berjama’ah adalah makruh.
Tetapi mengutamakan orang lain dalam hal menerima infaq adalah disenangi
atau dipuji agama.12
12
Duski Ibrahim, loc.cit.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
kaidah kulliyah sughro ialah kaidah-kaidah yang dikategorikan sebagai kaidah
diluar kaidah pokok (Selain pokok yang lima) atau didefinisikan sebagai kaidah-
kaidah fikih yang berada dibawah kaidah lima yang pokok. Kaidah kulliyah
sughro ini macamnya banyak, dalam makalah disebutkan hanya 20. Berikut
kaidah-kaidah fikih yang telah dipaparkan:
اﻹجتهاد ﻻ ينقض باﻹجتهاد
التّابع تابع
إذا اجتمع أمران من جنس واحد ولم يختلف مقصودهما دخل أحدهما في اآلخر غالبا
ﻻ ينسب إلى ساكت قول ولكن السكوت في معرض الحاجة إلى البيان ببان
ماﻻ يقبل التبعيض فاختيار بعضه كاختيار كله وإسقاط بعضه كإسقاط كله
الخراج بالضمان
13
إعمال الكالم أولى من إهماله
14
DAFTAR PUSTAKA
15