Anda di halaman 1dari 6

Qaul shahabi

1.Pengertian
Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut
adalah “perkataan”. Sedangkan kata “sahahabi” artinya adalah shahabat atau teman. Jadi yang
di maksud dengan “Qaulush shahabi” disini adalah pendapat, atau fatwa para shahabat nabi
SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas didalam al-quran dan
sunnah. Qaul shahabi juga Termasuk salah satu sumber pengambilan hukum islam setelah
urutan sumber-sumber utama yang disepakati, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Qaulus shahabi termasuk sumber-sumber hukum Islam, tetapi derajatnya
tidak mencapai derajat ittifaq menurut sebahagian ulama. Maksudnya,
tidak semua ulama sepakat menggunakannya dalam mengistimbathkan hukum.

Contoh-contoh Qaul Sahaby


1. Keputusan abu bakar r.a. perihal bagian beberapa orang nenek yang mewarisi bersama-
sama ialah seperenam harta peninggalan yang kemudian dibagi rata antar mereka.
Terhadap keputusan abu bakar para sahabat tidak ada yang berani membantahnya,tetapi
hal itu dianggap sebagai suatu keputusan.
2. Siti aisyah pernah berkata “kendungan itu tidak berdiam diri dalam perut ibunya lebih
sepanjang dua tahun,atas dasar ukuran bayang-bayang benda yang ditancapkan dari dua
tahun”.
Keterangan aisyah r.a. bahwa maksimal waktu mengandung itu dua tahun,tidak lebih
sedikitpun,bukanlah semata-mata hasil ijtihat atau penyelidikan beliau sendiri,karena itu
kalau ketentuan tersebut dapat diterima atau benar,pasti sumbernya dari rasul walaupun yang
mengucapkannya itu adalah aisyah sendiri.
3. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga) hari.
4. Fatwa umar bin khath-thab tentang laki-laki yang menikahi wanita dalam masa ‘idah
harus dipisahkan, dan diharamkan baginya untuk menikahi wanita tersebut untuk selamanya

SYAR’U MAN QABLANA


1. Pengertian Syar’u Man Qoblana
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita (Syar’u Man Qoblana) ialah hukum-
hukum yang telah disyariatkan untuk umat sebelum islam yang dibawa oleh para Nabi dan
Rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat
Nabi Muhammad SAW.
Sadd adz-dzari’ah
1.Pengertian
Secara bahasa kata Sadd (ّ‫ (سد‬berarti penghalang atau sumbat dan adz-
dzariah )‫ (الذ ِر ْيعَة‬berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan.
Maka dapat dikatakan bahwa saddudz dzari’ah adalah upaya menghambat atau
menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.[3]Bisa juga diartikan
melarang suatu perbuatan untuk menghindari perbuatan lain yang dilarang
1. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh). Contoh : Pada syari’at
nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2. Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
3. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.
a. Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas
diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b. Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at kita

B. ‘URF
1. Pengertian ‘Urf
Dari segi bahasa (etimologi), ‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra, dan
fa (‫ )عرف‬yang berarti “kenal”. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal atau
pengetahuan), ta’rif (definisi), ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf
(kebiasaan yang baik).
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan,ucapan,perbuatan,atau ketentuan yang
telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Di kalangan masyarakat, ‘urf sering disebut adat.[2]
Dr. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya menyebutkan ‘urf adalah segala sesuatu yang
sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan,
perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.
Menurut ahli Syara`,‘urf bermakna adat. Dengan kata lain‘urf dan adat itu tidak ada
perbedaan

Macam-macam ‘Urf. Dilihat dari segi sumbernya, 'urf dapat digolongkan menjadi dua macam.
1) 'Urf Qauli, yaitu kebiasaan yang berupa ucapan. Seperti kata "‫ "لحْ م‬yang berarti daging.
Pengertian daging bisa mencakup semua daging, termasuk daging ikan, sapi, kambing, dan
sebagainya. Namun dalam adat kebiasaan, kata daging tidak berlaku untuk ikan. Oleh karena
itu, jika ada orang bersumpah, "Demi Allah, saya tidak akan makan daging." tapi kemudian ia
makan ikan maka menurut adat ia tidak melanggar sumpah.
2). 'Urf amaly, yaitu kebiasaan yang berupa perbuatan. Seperti, transakasi antara penjual dan
pembeli tanpa menggunakan akad.
Dilihat dari ruang lingkup penggunaannya, 'urf juga dibagi menjadi dua macam.
1). 'Urf Am (Umum), yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana saja hampir di seluruh
penjuru dunia tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contohnya, menganggukkan
kepala pertanda setuju dan menggelengkan kepala pertanda menolak, mengibarkan bendera
setengah tiang menandakan duka cita untuk kematian orang yang dianggap terhormat.
2). 'Urf khas (Khusus), yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang di tempat
tertentu atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di sembarang waktu dan tempat.
Umpamanya adat menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matriliniel) di
Minangkabau atau melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku Batak. Bagi masyarakat umum,
penggunaan kata budak dianggap menghina, karena kata itu berarti hamba sahaya. Tapi bagi
masyarakat tertentu, kata budak biasa digunakan untuk memanggil anak-anak.

Ditinjau dari baik dan buruknya menurut syariat, 'urf terbagi menjadi dua macam.
1). 'Urf Saḥih, yaitu adat kebiasaan yang tidak bertentangan dengan norma agama.
Umpamanya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat pada waktu-waktu tertentu,
mengadakan acara halal bi halal (silaturahmi) pada hari Raya, memberi hadiah sebagai
penghargaan atas prestasi, dan sebagainya
2). 'Urf Fasid, yaitu adat atau kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama. Contohnya,
berjudi untuk merayakan peristiwa perkawinan atau meminum minuman keras pada hari ulang
tahun

A. ISTISHHAB
1. Pengertian Istishhab
Istishhab secara etimologi adalah isim masdar dari istashhaba yastashhibu istishhaban
diambil dari “ ‫ ”استفعالّمنّالصحبة‬yang berarti thalab as-shuhbah atau mencari hubungan atau
adanya saling keterkaitan.
Adapun menurut ulama ushul ialah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum
yang telah ditetapkan pada masa lampau sampai terdapat dalil yang menunjukkan
perubahannya
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan
disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya;
yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan perbedaan
pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu
itu adalah mubah atau haram-.
Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang
menjelaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan
qiyas.[11] Untuk yang semacam ini, para ulama berbeda pendapat dalam 3 madzhab:
Pendapat pertama, bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah, hingga adanya dalil yang
menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur Mu’tazilah, sebagian
ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.[12]
Dalil-dalil mereka antara lain adalah ayat-ayat al-Qur’an yang zhahirnya menunjukkan bahwa
pada dasarnya segala sesuatu itu mubah, seperti:
“Dia-lah yang menciptakan untuk kalian segala sesuatu yang ada di bumi.” (al-
Baqarah:29)
Ayat ini menunjukkan bahwa semua yang ada di bumi ini untuk dimanfaatkan oleh manusia,
dan hal itu tidak mungkin dimanfaatkan kecuali jika hukumnya mubah.
Juga firman-Nya:

Pendapat kedua, bahwa hukum asal sesuatu itu adalah haram, hingga ada dalil syara’ yang
menetapkan atau mengubahnya. Pendapat ini dipegangi oleh sebagian Ahl al-Hadits dan
Mu’tazilah Baghdad.[13]
Alasan mereka adalah karena yang berhak untuk menetapkan syariat dan hukum adalah Allah
saja. Maka jika kita membolehkan sesuatu yang tidak ada nashnya, maka berarti kita telah
melakukan apa yang seharusnya menjadi hak prerogatif Sang pembuat syariat tanpa seizin-
Nya. Dan ini tidak dibenarkan sama sekali.

Pendapat ketiga, bahwa hukum asal segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, sementara
yang membawa mudharat adalah haram. Pendapat ini dipegangi oleh Jumhur ulama. Dan
mereka menggunakan dalil pendapat yang pertama untuk menguatkan bahwa hukum asal
sesuatu yang bermanfaat adalah mubah, dan dalil pendapat yang kedua untuk menegaskan
bahwa hukum asal sesuatu yang membawa mudharat adalah haram.[14]
Di samping itu, untuk menegaskan sisi kedua dari pendapat ini, mereka juga berlandaskan
pada hadits:
‫ار‬ ِ ‫ض َر َر َو َل‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫َل‬
“Tidak ada kemudharatan dan tidak (boleh) memberi mudharat (dalam Islam).” (HR. Ibnu
Majah dan Al-Daraquthni dengan sanad yang hasan).

2. Istishhab al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan
bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu.[15]
Sebagai contoh misalnya adalah bahwa kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu
yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak
adanya dalil yang membebankan hal itu.
Demikian pula -misalnya- jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang
padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang
tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-
Ashliyah ini.

3. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang
masih diperselisihkan.[16]
Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ akan batalnya shalat seorang
yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya.
Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga
batal atas dasar istishhab dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap
melanjutkannya?
Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah-
berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhab dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan
landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus
berwudhu kembali.
Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhab ijma’ ini dapat
dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya
tetap sah atas dasar istishhab kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.
Pengertian Istihsan serta Contoh-Contohnya
Ihtisan menurut bahasa Arab, artinya menganggap sesuatu baik, menurut istilah Ushul Fiqih,
meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk mengamalkan qiyas yang samar illatnya, atau
meninggalkan hukum yang bersifat umum untuk berpegangan dengan hukum pengecualian, karena
ada dalil yang memperkuat sikapnya itu.
Dari defenisi ihtisan ini, jelaslah bahwa istilah ituiri ada dua macam, yakni :
a. menganggap lebih baik memakai qiyas yang samar illatnya dari pada qiyas yang jelas illatnya, rena
adanya dalil, misalnya harta wakaf berdasarkan hadis, tidak boleh dijualbelikan, dihibahkan dan
diwiskan. Tetapi jika harta waakaf itu sudah tidak berfungsi lagi sesuai dengan tujuan si waqif, maka
dalam hal ini boleh dijual, lalu hasilnya diberikan barang yang senis atau bukan sejenis yang bisa
bermanfaat. Inilah yang disebut Ihtihsan.
Contoh lain ialah bahwa menurut ulama Hanafi, orang yang mewakafkan sebidang tanah pertanian,
maka yang bisa dimanfaatkan bukan hanya hasil pertanian saja, melainkan orang juga berhak minum
airnya, mengalirkan air, dan berjalan lewat tanah pertanian wakaf itu, sekalipun tidak disebut si waqif
hak-hak tersebut di atas. Padahal menurut qiyasnya, hak-hak itu (lewat minum, dan membuat saluran
air melalui tanah wakaf) tidak tercakup di dalamnya,kecuali dengan pernyataan pada waktu wakaf.
Namun, hal-hal tersebut diperbolehkan, berdasarkan Istihsan.
b. Mengecualikan sesuatu dari ketentuan hukum yang umum. Misalnya agama Islam melaarang jual
beli dan membuat akad sesuatu yang belum atau tidak ada pada waktu terjadi transaksi. Namun
agama memberi despensasi atas dasar

istihsan dalam jual beli salam (barang belum ada pada waktu pembeli membayar harganya), juga
dalam perburuhan, perkebunan/pertanian dan istishna' (barang baru mau dibuatkan pada waktu
akad). Semua akad ini, barang belum ada, tetapi dibolehkan agama atas dasar istihsan, karena
masyarakat memmang membutuhkannya.

Pengertian Maslahah mursalah

menurut bahasa berarti Maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna.
Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan
secara istilah, terdapat beberapa definisi Maslahah yang di kemukakan oleh ulama ushul Fiqh,
tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esesnsi yang sama. Imam Ghozali mengemukakan
bahwa pada prinsipnya Maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemdharatan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.

Ada juga yang berpendapat Maslahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan yang tidak di
singgung-singgung syara’ secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan
apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari kerusakan atau keburukan, seperti
seseorang menghukum sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama.
Jadi maslahah mursalah adalah sesuatu kejadian yang syara’ atau ijma tidak menetapkan
hukumnya dan tidak pula nyata ada illat yang menjadi dasar syara menetapkan satu
hukum,tetapi ada pula sesuatu yang munasabah untuk kemaslahatan dan kebaikan umum.

A. Pengertian Saddu Al-Ezari’ah


Saddu Zara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau menyumbat,
sedangkan zara’i artinya pengantara. Pengertian zara’i sebagai wasilah dikemukakan oleh Abu
Zahra dan Nasrun Harun mengartikannya sebagai jalan kepada sesuatu atau sesuatu yang
membawa kepada sesuatu yang dilarang dan mengandung kemudaratan. Sedangkan Ibnu
Taimiyyah memaknai zara’i sebagai perbuatan yang zahirnya boleh tetapi menjadi perantara
kepada perbuatan yang diharamkan. Dalam konteks metodologi pemikirran hukum Islam, maka
saddu zara’i dapat diartikan sebagai suatu usaha yang sungguh-sungguh darri seorang mujtahid
untuk menetapkan hukum dengan melihat akibat hukum yang ditimbulkan yaitu dengan
menghambat sesuatu yang menjadi perantara pada kerusakan
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum
larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
a. Dzari’ah yang membawa kerusakan secara pasti. Umpamanya menggali lobang ditanah
sendiri yang lokasinya didekat pintu rumah orang lain diwaktu gelap.
b. Dzari’ah yang kemungkinan besar mengakibatkan kerusakan. Umpamanya menjual anggur
kepada pabrik minuman dan menjual pisau tajam kepada penjahat yang sedang mencari
musuhnya.
c. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan.
d. Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi dilihat
dari pelaksanaannya ada kemungkinan membawa kepada sesuatu yang dilarang. Misalnya
semacam jual-beli yang dilakukan untuk mengelak dai riba, umpama si A menjual arloji kepada si
B dengan harga rp 1.000.000 dengan hutang, dan ketika itu arloji tersebut dibeli lagi oleh si A
dengan harga rp 800.000 tunai, si B mengantongi uang p 800.000 tetapi nanti pada waktu yang
sudah ditentukan si B harus membayar rp 1000.000 pada si A. Jual beli seperti ini dikenal dengan
bai’ al-ainah atau bai’ul ajal

Anda mungkin juga menyukai