Pendahuluan
Ilmu ushul fiqh sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa di
abaikan oleh seorang mujtahid dalaam upayanya memberi penjelasan mengenai
nash-nash syari’at Islam, dan dalam menggali hukum yangg tidaak memiliki nash.
Di dalam Kajian Ushul Fikih terdapat pembahasan mengenai Urf. Urf atau
yang sering disebut sebagai adat juga menjadi objek kajian hukum Islam karena
senantiasa berkaitan dengan perkataan dan perbuatan mukallaf yang telah
menjadi tradisi masyarakat di suatu daerah. Tentu setiap daerah memiliki ciri khas
adat yang berbeda Misalnya kegiatan jual beli, hutang piutang, mahar dan
sebagainya. Apa saja yang dianggap baik dan telah lama dikenal oleh orang
banyak, itu lah yang akhirnya melekat dan menjadi sebuah kebiasaan.Sehingga
seluruh adat dan kebiasaan tersebut melahirkan sebuah hukum yang belum
terdapat dalam hukum syara’.
Oleh karena itu melalui makalah ini akan kita bahas jauh lebih dalam lagi
mengenai ‘urf dan cakupan nya serta pendapat para ulama tentang urf.
1
Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006, hlm: 78
1
B. Pembahasan
1. Pengertian Urf
Kata urf berasal darii kata arafa-ya’rifu sering di artikan dengan al-ma’ruf
dengaan arti sesuatu yangg dikenal. 2 'Urf secara bahasa berarti sesuatu yang
dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara istilah ‘urf ialah
sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik
berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut
adat. Ada juga yang mendefinisikan bahwa ‘urf ialah sesuatu yang dikenal oleh
khalayak ramai di mana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun
perbuatan.3
Sedangkan ‘urf atau adat menurut istilah ahli syari’at ialah dua kata yang sinonim
atau mempunyai pengertian sama. Menurut istilah ahli syara', tidak ada perbedaan
di antara ‘urf dan adat.4
2
Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) hlm.387
3
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta: Rajawali, 1993), hlm.134.
4
Ibid, 134
2
dari pada adat, sebab adat hanya menyanggkut perbuatan , sedangkan ‘urf
menyanggkut perbuatan dan ucapan sekaligus.5
Perbedaan antara kedua kata tersebut juga dapat dilihat dari segi
kandungan artinya, yaitu adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu
perbuatan dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan
buruknya perbuatan tersebut. Jadi kata adat berkonotasi netral sehingga ada adat
yang baik dan adat yang buruk sedangkan kata al-‘urf digunakan dengan
memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu diakui, diketahui dan
diterima oleh orang banyak. Dengan demikian kata al-‘urf mengandung konotasi
baik. Hal ini tampak dalam penggunaan kata al-‘urf dengan arti ma’ruf dalam
firman Allah swt. pada contoh di atas.7
2. Macam-Macam Urf
Macam-macam ‘urf ditinjau dari berbagai aspeknya dapat dibagi menjadi:
a. Dilihat dari sumbernya:
1. Urf Qauli, yang dimaksud ‘urf qauli adalah kebiasaan yang berlaku
dalam kata-kata atau ucapan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti kata
" "لحْ مyang berarti daging. Pengertian daging bisa mencakup semua daging,
termasuk daging ikan, sapi, kambing, dan sebagainya. Namun dalam adat
5
Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012) hlm.148-149
6
Ibid., hlm. 138.
7
Ibid., hlm. 364.
3
kebiasaan, kata daging tidak berlaku untuk ikan. Oleh karena itu, jika ada
orang bersumpah, "Demi Allah, saya tidak akan makan daging." tapi
kemudian ia makan ikan maka menurut adat ia tidak melanggar sumpah.
2. Urf Fi’li, yang dimaksud ‘urf fi’li adalah kebiasaan yang berlaku pada
perbuatan. Misalnya transaksi jual beli barang yang tidak terlalu
bernilai harganya. Penjual hanya memberi uang dan pembeli menerimanya
tanpa adanya akad. Contoh lainnya seperti kebiasaan mengambil rokok
kepada teman tanpa ada kata meminta dan memberi,namun hal ini tidak
dianggap mencuri.
8
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, ( Damaskus: Daar al-Fikr, tt.) hlm. 27
4
sopan santun dan budaya luhur. Contohnya memberi hadiah kepada orang
tua dan orang terdekat pada waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal
bi halal pada hari raya, memberi hadiah sebagai pengahargaan atau
prestasi.
2. Urf Fasid ialah adat atau kebiasaan yang berlaku disuatu tempat namun
bertentangan dengan agama, undang-undang negara dan sopan santun.
Contohnya berjudi untuk merayakan sesuatu, minum-minuman keras pada
hari ulang tahun,hidup bersama tanpa menikah dan sebagainya. 9
9
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A., Ushul Fiqh, ( Jakarta: Kencana, 2017 ), hlm. 100
10
Nasroen haroen, ushul fiqih, 1997, hal : 139
5
“Sesuatu yang di nilai baik oleh kaum muslumin adalah baik di sisi Allah,
dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun
maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam
masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntutan umum syari’at islam, adalah
juga merupakan sesuatu yamg baik di sisi Allah. Sebaiknya, hal-hal yang
bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan
melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal,
dalam pada itu, Allah berfirman :
c. Sabda Nabi Muhammad SAW kepada Hindun istri Abi Sufyan ketika
iamengadukan suaminya kepada Nabi bahwa suaminya bakhil
memberi nafkah:
“ambil darii harta Abu Sufyan secukup keperluanmu dan anakmu menurut
‘urf”
6
Sedang maslahat ada dalil syar’i sebagaimana menghilangkan kesusahan
merupakan tujuan syara’.11
Adapun alasan ulama yangg memakai urf dalam menentukan urf antara
lain:
1. Banyak Hukum Syari’at, yang ternyata sebelumnya telah merupakan
kebiasaan orang Arab, seperti adanya wali dalam pernikahan dan susunan
keluarga dalam pembagian waris.
2. Banyak kebiasaan orang Arab, baik berbentuk lafaz maupun
perbuatan, ternyata dijadikan pedoman sampai sekarang.12
Secara umum urf atau adat diamalkan oleh ulama fiqih terutama di
kalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Ulama Malikiyah menjadikan urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli
Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari
hadits ahad.
“Setiap yang datang dengannya Syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya
dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah kepada urf.”
11
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam ( Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2007) 78-80
12
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
162
7
Dalam menanggapi adanya penggunaan urf dalam fiqih, al-Suyuthi
mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al-‘adatu muhakkamah
“adat atau urf itu menjadi perimbangan hukum”.
“Apa-apa yang dilihat Umat Islam sebagai sesuatu yang baik, maka yang
demikian disisi Allah adalah baik.”
“Sesuatu yang berlaku secara urf adalah seperti sesuatu yang telah disyaratkan.”
Inilah yang di maksud oleh para ulama, antara lain ibnu al-qoyyim al-
jauziyah (w. 751 H) bahwa tidak diingkari adanya perubahan hukum dengan
adanya perubahan waktu dan tempat“ ”واألمكنة تغيير األحكام بتغييراألزمانmaksud
ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya dibentuk
13
Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011) hlm: 399
8
berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan akan berubah bilamana adat
istiadat itu berubah.
Dari berbagai kasus ‘urf yang di jumpai, para ulama ushul fiqih
merumuskan kaidah-kaidah fiqh yang berkaitan dengan ‘urf, di antaranya adalah :
1. العادة محكمة
2. واألمكنة الينكرتغيّراألزمنة
“ yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang di isyaratkan itu menjadi
syarat”.
“ yang di tetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash
( ayat atau hadits )”.
“ yang baik itu menjadi ‘urf (seperti ) berlaku berdasarkan dalil syara’”.
14
Opcit, hlm:143
9
Para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa hukum-hukum yang di dasarkan
kepada ‘urf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman
tertentu dan tempat tertentu. Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga
berubah mengikuti perubahan ‘urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah
yang menyebutkan :
Syarat pertama bahwa urf itu tidak boleh secara langsung bertentangan
dengan nash syariah.
2. Mengandung Maslahat
10
market yang melayani ratusan pembeli dalam sehari. Kalau tiap pembeli membeli
rata-rata 10 item, kita tidak membayangkan bagaimana mulut kasir akan berbusa.
Syarat ketiga adalah bahwa urf itu berlaku pada banyak orang, dalam arti
semua orang memang mengakui dan menggunakan urf tersebut dalam kehidupan
mereka sehari-hari.
Kalau urf itu hanya berlaku pada sebagian kecil dari masyarakat, maka urf
itu tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum.
Syarat yang keempat bahwa urf itu harus sudah menjadi kebiasaan yang
berlaku secara kurun waktu yang lama. Dalam kata lain urf itu eksis pada masa-
masa sebelumnya dan bukan yang muncul kemudian.
Syarat terakhir bahwa urf itu tidak bertentangan dengan syarat transaksi
yang sudah baku dalam hukum fiqih muamalat.15
15
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1391071809, diakses pada : Senin, 15-04-2019.
11
Kesimpulan
'Urf secara bahasa berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh
akal sehat. Sedangkan secara istilah ‘urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal
oleh manusia dan telah menjadi tradisinya. Adapun adat ialah berkonotasi netral
sehingga ada adat yang baik dan adat yang buruk sedangkan kata al-‘urf
digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu
diakui, diketahui dan diterima oleh orang banyak.
Syarat agar urf boleh dijadikan sumber hukum adalah selama tidak
bertentangan dengan syari’at. Dan para ulama juga banyak yang menjadikan urf
sebagai sumber penetapan hukum. Kehujjahan urf juga didasari oleh dalil-dalil
qur’an dan sunnah dan di dukung oleh beberapa kaidah fikih, salah satunya ialah
“al-adatu muhakkamah”.
12
Daftar Pustaka
Amir Sayrifuddin, Ushul Fiqh jilid 2 ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011) 387
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua(Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010) 162
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A., Ushul Fiqh, ( Jakarta: Kencana, 2017 ), hlm. 100
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, ( Damaskus: Daar al-Fikr, tt.) hlm. 27
Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2006,
hlm: 78
13