Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH TERTIB AYAT DAN SURAH

DI DALAM AL-QUR AN

DI SUSUN OLEH KELOMPOK VI


TERDIRI DARI:
AFIFAH TRIANDINI. 2102010106
ANDINI. 2102010124
HELMI. 2102010138

DOSEN PENGAMPUH MATA KULIAH:


MUHAMMAD SAUKANI ,S.TH M.TH

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
IAIN(PALOPO) TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Bismillahi rohmanir Rohim......
Assalamu’alaikum warahamatullahi wabarakatuh......

Alhamdulillah puji syukur atas kehadirat Allah SWT.karena berkat


Rahmat-Nyalah penyusun dapat menyelesaikan makalah mata kuliah ULUMUL
QUR’AN ini.kami ucapkan terima kasih kepada bapak MUHAMMAD SAUKANI
S.TH M.TH selaku dosen pengampuh karena dengan adanya tugas ini mampu
menambah ilmu serta wawasan khususnya bagi penulis,pembaca dan pendengar.

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna,oleh karena itu kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi tersempurnanya makalah ini.semoga
makalah ini memberi informasi dan manfaat untuk membangun wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh........

PALOPO,27 OKTOBER 2021

KELOMPOK VI
DAFTAR ISI

judul............................................................................................................1

kata pengantar..............................................................................................2

Daftar isi......................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A.latar belakang..........................................................................................4

B.Rumusan masalah....................................................................................5

C.Tujuan masalah........................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A.tertib ayat.................................................................................................6

B. tertib surah............................................................................................10

C.Rasm Al-qur an.....................................................................................12

BAB III PENUTUP

A.Rangkuman...........................................................................................18

B.Saran......................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN

A.Latar belakang
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang pertama bagi ummat Islam
yang bagi kaum Muslimin adalah kalamullah yang diwahyukan kepada nabi
Muhammad melalui perantaraan Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga
tahun. Kitab suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar
kemampuan apapun.[1] Ayat-ayatnya telah berinteraksi dengan budaya dan
perkembangan masyarakat yang dijumpainya. Kendati demikian, nilai-nilai
yang diamanahkannya dapat diterapkan pada setiap situasi dan kondisi.[2]
Dan kandungan pesan Ilahi yang disampaikan Nabi pada permulaan
abad ke-7 itu, telah meletakkan baik untuk kehidupan individual dan sosial
kaum-mulimin dalam segala aspeknya. Bahkan, masyarakat muslim
mangawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan merespon
dakwah Al-Qur’an, itulah sebabnya, Al-Qur’an berada tepat di jantung
kepercayaan muslim.[3]
Lebih dari pada itu setidaknya Al-Qur’an dapat difungsikan oleh Manusia di
bumi ini, sebagai sumber ajaran dan bukti kebenaran kerasulan Muhammad
saw. dimana Al-Qur’an memberikan berbagai norma keagamaan sebagai
petunjuk bagi kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia
dan di akhirat yang merupakan akhir dari perjalanan hidup meraka.[4]
Sebagai kitab suci al-Qur’an, sejak pewahyuannya hingga kini, telah
mengarungi sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan
penerimaan pesan ketuhanan Al-Qur’an oleh Muhammad, kemudian
penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang telah menghafalnya
dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilitas teks dan bacaannya yang
mencapai kemajuan berarti pada abad ke-3 H dan abad ke- 4 H serta
berkulminasi dengan penerbitan edisi standar Al-Qur’an di Mesir pada 1342
H/1923,[5] kitab suci kaum muslimin ini tetap menyimpan sejumlah hikmah
dalam berbagai tahapan perjalan sejarahannya.
B.Rumusan masalah
1. Apakah yang di magsud dengan tertib ayat?

2. Apakah yang di magsud dengan tertib surah?

3. Apakah yang di magsud dengan Rasm al qur an?

C.Tujuan masalah

1. menjelaskan tertib ayat

2. menjelaskan tertib surah

3. menjelaskan Rasm Al-qur an


BAB II PEMBAHASAN
A.Tertib ayat
Sebelum lebih jauh kita membahas tentang “Tartib Ayat”, dan
mengemukakan beberapa pendapat para ahli dibidangnya, penulis lebih
dahulu memaparkan pengertian “Tartib Ayat” itu sendiri, untuk membantu
kita dalam memahami isi kandungan al-Qur’an atau orang lain yang membaca
tulisan ini, maka lebih baik jika kita uraikan arti daripada tartib ayat.
“Tartib Ayat” adalah merupakan istilah dari bahasa Arab yang terdiri dari dua
kata yaitu, kata “Tartib” dan kata “Ayat”. Kata Tartib dalam kamus

Al-Kautsar, merupakan isim masdar dari kata ra-ta-ba (‫ )رﺗب‬yang artinya

urut-urutan atau peraturan.[6]


Sedangkan kata “Ayat” mempunyai definisi-definisi yang banyak sebagaimana
dikemukakan oleh beberapa ulama dari berbagai keahlian dalam bidang
Bahasa, Ilmu Kalam, Usul Fiqh dan sebagainya. Namun definisi-definisi
tersebut tentu berbeda antara satu dengan yang lain,
karena Stressing(penekanan-Nya) berbeda-beda disebabkan perbedaan
keahlian mereka.
Ayat secara etimologi (bahasa) ada beberapa pengertian diantaranya yaitu:[7]

1. Mukjizat, sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah


ayat 211:

ِ‫ﺳَلْ ﺑَﻧِﻲ إِﺳْرَاﺋِﯾلَ ﻛَمْ ءَاﺗَﯾْﻧَﺎھُمْ ﻣِنْ ءَاﯾَﺔٍ ﺑَﯾﱢﻧَﺔٍوَﻣَنْ ﯾُﺑَدﱢلْ ﻧِﻌْﻣَﺔَ ﷲﱠِ ﻣِنْ ﺑَﻌْد‬
(211)ِ‫ﻣَﺎ ﺟَﺎءَﺗْﮫُ ﻓَﺎِٕنﱠ ﷲﱠَ ﺷَدِﯾدُ اﻟْﻌِﻘَﺎب‬
“Tanyakan kepada Bani Israil: Berapa banyaknya mukjizat yang nyata,
yang telah kami berikan kepada Mereka”
2. Tanda (alamat), sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 248 :
…(248) ْ‫… إِنﱠ ءَاﯾَﺔَ ﻣُﻠْﻛِﮫِ أَنْ ﯾَﺎْٔﺗِﯾَﻛُمُ اﻟﺗﱠﺎﺑُوتُ ﻓِﯾﮫِ ﺳَﻛِﯾﻧَﺔٌ ﻣِنْ رَﺑﱢﻛُم‬..
“…Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya
tabut[8]kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu…”
3. Pelajaran (peringatan), sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat
Ali Imran ayat 13:
ْ‫ﻗَدْ ﻛَﺎنَ ﻟَﻛُمْ آﯾَﺔٌ ﻓِﻲ ﻓِﺋَﺗَﯾْنِ اﻟْﺗَﻘَﺗَﺎ ﻓِﺋَﺔٌ ﺗُﻘَﺎﺗِلُ ﻓِﻲ ﺳَﺑِﯾلِ ﷲﱠِ وَأُﺧْرَى ﻛَﺎﻓِرَةٌ ﯾَرَوْﻧَﮭُم‬
‫ﻣِﺛْﻠَﯾْﮭِمْ رَأْيَ اﻟْﻌَﯾْنِ وَﷲﱠُ ﯾُؤَﯾﱢدُ ﺑِﻧَﺻْرِهِ ﻣَنْ ﯾَﺷَﺎءُ إِنﱠ ﻓِﻲ ذَﻟِكَ ﻟَﻌِﺑْرَةً ﻷوﻟِﻲ‬
١٣ ( ) ِ‫اﻷﺑْﺻَﺎر‬
“Sesungguhnya pada yang demikian itu ada pelajaran bagi orang-orag
yang mempunyai penglihatan mata hati”.
4. Suatu hal yang sangat menakjubkan (mengherankan), sebagaimana
terdapat dalam al-Qur’an surat al-Mu’minun ayat 50:

(٥٠) ٍ‫وَﺟَﻌَﻠْﻧَﺎ اﺑْنَ ﻣَرْﯾَمَ وَأُﻣﱠﮫُ آﯾَﺔً وَآوَﯾْﻧَﺎھُﻣَﺎ إِﻟَﻰ رَﺑْوَةٍ ذَاتِ ﻗَرَارٍ وَﻣَﻌِﯾن‬
“Dan telah kami jadikan Isa Putra Maryam beserta Ibunya suatu kejadian
yang menakjubkan (yang membuktikan kekuasaan Allah)…”
5. Kelompok (kumpulan), sebagaimana dalam ucapan orang Arab:

‫ﺧرج اﻟﻘوم ﺑﺂﯾﺂﺗﮭم‬


“Kaum itu keluar dengan seluruh kelompoknya, tidak ada seorang pun
yang tertinggal”.
6. Bukti (Dalil), Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surat al-rum
ayat 22:

َ‫وَﻣِنْ آﯾَﺎﺗِﮫِ ﺧَﻠْقُ اﻟﺳﱠﻣَﺎوَاتِ وَاﻷرْضِ وَاﺧْﺗِﻼفُ أَﻟْﺳِﻧَﺗِﻛُمْ وَأَﻟْوَاﻧِﻛُمْ إِنﱠ ﻓِﻲ ذَﻟِك‬
٢٢) ) َ‫ﻵﯾَﺎتٍ ﻟِﻠْﻌَﺎﻟِﻣِﯾن‬
“Dan diantara bukti-bukti adanya Allah dan kekuasaannya ialah dia
menciptakan langit dan bumi berlain-lainnan bahasamu dan warnamu…”
Sedangkan pengertian “ayat” secara Terminologi adalah:[9]
“Suatu kumpulan kata yang mempunyai awal dan akhir, yang termasuk
didalam suatu surat dari al-Qur’an”
Dan menurut Manna al-Qattan dalam bukunya “Mabahits fi Ulumil Qur’an”
pengertian ”ayat”[10] adalah: Sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam
sebuah surat dari Qur’an.[11]
Dan lebih luas lagi pengertian yang dikemukakan oleh Taufik Adnan
Amal “ayah”(jamaknya: ayaat), didalam al-Qur’an dapat dikelompokkan ke
dalam empat konteks (siyaq).[12]
Konteks pertama, kata “ayah” merujuk kepada fenomena kealaman.
Termasuk manusia yang disebut sebagai “tanda-tanda”(ayat) kemahakuasaan
dan karunia tuhan.
Dan konteks kedua, kata “ayah” diterapkan kepada peristiwa-peristiwa atau
obyek-obyek luar biasa yang dikaitkan dengan tugas seorang utusan tuhan dan
cenderung mengkonfirmasikan pesan ketuhanan yang dibawanya.[13]
Dalam konteks ketiga, kata “ayah” merujuk kepada “tanda-tanda” yang
dibacakan oleh rasul-rasul yang diutus tuhan atau dalam kebanyakan kasus
dibacakan oleh Muhammad sendiri. Pembacaan “tanda-tanda” ini
menambahkan keyakinan kaum beriman, tetapi para penentang nabi
mengeritiknya sebagai “dongeng-dongeng masa silam”. Sebagaimana didalam
al-Qur’an, term atau kata “asathir al-awwalin” merujuk kepada kisah
pengazaban umat-umat terdahulu dan kebangkitan kembali pada hari
Pengadilan.
Dalam konteks terakhir, yakni konteks keempat kata “ayah” disebut sebagai
bagian al-Qur’an atau kitab atau surah, yang diturunkan Tuhan dalam konteks
ini memiliki makna unit dasar wahyu terkecil, selaras dengan pemahaman kita
dewasa ini. Tetapi, sebagaimana dengan surah, al-Qur’an juga tidak memberi
indikasi tentang panjang pendeknya unit-unit wahyu tersebut.[14] Dan
tiap-tiap ayat diakhiri dengan Fashilah[15].
Semua ayat berada ditempatnya sendiri dalam satu surat. Susunan seprti ini
telah ditetapkan oleh nash dan ijma’ dan menurut pendapat yang terkuat
hukumnya adalah wajib dan haram bagi seseorang untuk menyelisihinya, atas
dasar ini, maka firman Allah:

(٣) ِ‫(اﻟرﱠﺣْﻣَنِ اﻟرﱠﺣِﯾم‬٢) َ‫ﱠِ رَبﱢ اﻟْﻌَﺎﻟَﻣِﯾن‬f ُ‫اﻟْﺣَﻣْد‬


Tidak boleh dibaca:

(٢) َ‫ﱠِ رَبﱢ اﻟْﻌَﺎﻟَﻣِﯾن‬f ُ‫(اﻟْﺣَﻣْد‬٣) ِ‫اﻟرﱠﺣْﻣَنِ اﻟرﱠﺣِﯾم‬


Tertib atau urutan ayat-ayat al-Qur’an adalah taukify, ketentuan dari
Rasulullah SAW. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat itu adalah
ijma’ , di antaranya az-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibn Zubair
dalam Munasabah-nya, ia mengatakan: “Tertib ayat-ayat di dalam surah itu
berdasarkan taukify dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa
diperselisihkan oleh kaumuslimin”. Jibril menurunkan beberapa ayat kepada
Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat di mana ayat-ayat itu harus
diletakkan dala surat atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah
menyuruh para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut, ia
mengatakan kepada mereka “letakkanlah ayat itu pada surat yang di
dalamnya menyebutkan begini dan begini” atau “Letakkanlah ayat ini di
tempat anu”. Usman bin Abil ‘As berkata:
‫ﻛﻧت ﺟﺎﻟﺳﺎ ﻋﻧد رﺳول ﷲ ﺻل ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم إذ ﺷﺧص ﺑﺑﺻره ﺛﺧص ﺑﺑﺻر ﺛم‬
.‫ أﺗﺎﻧﻲ ﺟﺑرﯾل ﻓﺄﻣرﻧﻲ أن أﺿﻊ ھذه اﻻﯾﺔ ھذا اﻟﻣوﺿﻊ ﻣن اﻟﺳورة‬:‫ﺻوﺑﮫ ﺛم ﻗﺎل‬
ِ‫إِنﱠ ﷲﱠَ ﯾَﺎْٔﻣُرُ ﺑِﺎﻟْﻌَدْلِ وَاﻹﺣْﺳَﺎنِ وَإِﯾﺗَﺎءِ ذِي اﻟْﻘُرْﺑَﻰ وَﯾَﻧْﮭَﻰ ﻋَنِ اﻟْﻔَﺣْﺷَﺎءِ وَاﻟْﻣُﻧْﻛَر‬
(٩٠) َ‫وَاﻟْﺑَﻐْﻲِ ﯾَﻌِظُﻛُمْ ﻟَﻌَﻠﱠﻛُمْ ﺗَذَﻛﱠرُون‬

Usman berhenti ketika mengumpulkan Qur’an pada setiap ayat dari sebuah
surat dalam Qur’an dan sekalipun ayat itu telah di mansukh hukumnya, tanpa
mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat dengan tertib seperti
ini adalah taukify.[16]
Jibril senantiasa mengulangi dan memeriksa Qur’an yang telah disampaikan
kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan Ramadhan dan pada tahun
terakhir kehidupan sebanyak dua kali. Pengulangan jibril yang terakhir ini
seperti tertib yang dikenal sekarang.[17]
Dengan demikian, tertib ayat-ayat al-Qur’an seperti yang ada dalam mushaf
yang beredar di antara kita adalah taukify, tanpa diragukan lagi.[18]
B.Tertib surah
Pengertian “Surat” juga mempunyai pendifinisian-pendifinisian dari berbagai
ahli diantaranya:
Pengertian “surat” Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya
Pengantar Uluml Qur’an adalah:“Sekelompok (sekumpulan) ayat-ayat
al-Qur’an yang berdiri sendiri, yang mempunyai permulaan dan
penghabisan”.
Sedangkan menurut Manna al-Qattan, pengertian “surat”[19] adalah:
sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai permulaan dan
kesudahan.[20] Sedangkan istilah “surah”menurut Taufik merupakan nama
yang digunakan untuk merujuk “bab” al-Qur’an yang seluruhnya berjumlah
114 (menurut perhitungan mushaf Ustmani yang disepakati). Sebagaimana
kata surah muncul sembilan kali didalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal dan
satu kali dalam bentuk jamak (suwar).[21]
Secara kontekstual, penggunaan kata surah sebagai suatu unit wahyu memiliki
kemiripan dengan beberapa penggunaan kata ayah, qur’an dan kitab didalam
al-Qur’an. Seperti tantangan terhadap musuh-musuh Nabi untuk
mendatangkan “suatu surah yang semisalnya”namun tidak ada satupun dari
mereka yang dapat memenuhi tantangan tersebut. Jadi dari sini terlihat
bahwa makna umum kata “surah”yang bisa disimpulkan di sini adalah unit
wahyu terpisah yang diturunkan kepada nabi dari waktu ke waktu. Tetapi,
al-Qur’an tidak memberi indikasi apa pun tentang panjang pendeknya unit
wahyu tersebut.[22]
Mengenai tertib surah, ulama berbeda pendapat:[23]
a. Tertib surah dalam al-Qur’an adalah taukify dan ditangani langsung
oleh Rasulullah sebagaimana diberitahukan oleh Jibril kepadanya atas
perintah Allah. Dengan demikian al-Qur’an pada masa Nabi telah tersusun
surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya, seperti
yang di tangan kita sekarang ini yaitu Rasm Usmany yang tidak seorang
sahabatpun membantahnya.
Ibn Hisar mengatakan: “tertib surah dan letak ayat-ayat pada
tempat-tempatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan
“Letakkanlah ayat itu ditempat ini”. Hal tersebut telah diperkuat pula
oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari
bacaan Rasulllah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau
menyusunnya seperti ini di dalam mushaf.”[24]
b. Tertiba surah itu melalui ijtihad para sahabat, mengingat adanya
perbedaan tertib di dalam mushaf-mushaf mereka.
- Mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra,
Mudatsir, Nun, Qalam, dan Muzammil dan seterusnya hingga akhir
surah Makki dan Madani.
- Mushaf Ibnu Mas’ud yang diawali dengan surat al-Baqarah,
an-Nisaa’, kemudian Ali Imran
- Mushaf Ubay ibn Ka’ab diwali denga surat al-Fatihah, al-Baqarah,
an-Nisaa’, kemudian Ali ‘Imrana
c. Sebagian surah itu tertibnya taukify dan sebagian lagi berdasarkan
ijtihad para sahabat.
Ibn Hajar mengatakan: “Tertib sebagian surah-surah atau sebagian
besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai sifat taukify”, untuk mendukung
pendapatnya ia kemukakan hadits Huzaifah as-Saqafi

‫ طرأ ﻋﻠﻲ ﺣزب ﻣن اﻟﻘران ﻓﺄردت أن ﻻأﺧرج‬:‫ﻓﻘﺎل ﻟﻧﺎ رﺳول ﷲ ﺻل ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم‬

‫ ﻛﯾف ﺗﺧزﺑون اﻟﻘران؟‬:‫ﺣﺗﻲ أﻗﺻﯾﮫ ﻓﺳﺄﻟﻧﺎ أﺻﺣﺎب رﺳول ﷲ ﺻل ﷲ ﻋﻠﯾﮫ وﺳﻠم ﻗﻠﻧﺎ‬

‫ ﻧﺣزﺑوه ﺛﻼث ﺳوار و ﺧﻣس ﺳور و ﺳﺑﻊ ﺳور و ﺗﺳﻊ ﺳور و اﺣد ﻋﺷرة و ﺛﻼث‬:‫ﻗﺎﻟوا‬

‫ﻋﺷرة وﺣزب اﻟﻣﻔﺻل ﻣن "ق" ﺣﺗﻲ ﻧﺧﺗم‬


“Rasulullah berkata kepada kami: telah datang kepadaku waktu untuk
membaca hizb (bagian) dari Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum
selesai. Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: Kami
membaginya menjadi tiga surah, lima surah, tujuh surah, Sembilan surah,
sebelas surah, tiga belas surah, dan bagian al-mufassal dari Qaf sampai
kepada kami”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan penegasan sebagaimana di
kutip oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: boleh membaca atau
menulis surat ini sebelum surat itu. Oleh karena itu terjadi perbedaan
penulisan pada mushaf-mushaf para sahabat, akan tetapi tatkala mereka
telah bersepakat kepada satu mushaf pada zaman Usman, maka
kesepakatan itu menjadi sunnah (salah seorang) al-Khulafaur Rasyidin,
sementara sebuah hadits menunjukkan bahwa sunnah mereka wajib
diikuti.[25]
C.Rams Al-qur an
1.Pengertian Rasm al-Qur’an

Adapun yang dimaksud dengan rasm al-Qur’an adalah:[26]

‫اﻟوﺿﻊ اﻟذي ارﺗﺿﺎه ﺳﯾدﻧﺎ ﻋﺛﻣﺎن رﺿﻲ ﷲ ﻋﻧﮫ وﻣن ﻛﺎن ﻣﻌﮫ ﻣن اﻟﺻﺣﺎﺑﺔ‬
‫ﻓﻲ ﻛﺗﺎﺑﺔ اﻟﻘران ورﺳم ﺣروﻓﮫ واﻟذي وﺟد ﻓﻲ اﻟﻣﺻﺎﺣف اﻟﺗﻲ وﺟﮫ اﻟﻲ اﻻﻓﺎق‬
‫واﻻﻣﺻﺎر واﻟﻣﺻﺣف اﻻﻣﺎم اﻟذي اﺣﺗﻔظ ﺑﮫ ﻟﻧﻔﺳﮫ‬
“Ketentuan atau pola yang digunakan oleh Usman ibn Affan bersama
sahabat-sahabat lainnya dalam penulisan al-Qur’an, berkaiatan dengan
susunan huruf-hurufnya, yang terdapat dalam mushaf-mushaf yang dikirim ke
berbagai daerah dan kota, serta mushaf al-Imam yang berada di tangan
Usman sendiri”
Jadi Yang dimaksud dengan Rasm al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm
Utsman adalah tata cara menuliskan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa
khlalifah bin Affan. Istilah rasm dalam Islam al-Qur’an diartikan sebagai pola
penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan
sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. Istilah Rasm
Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan
Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu.
Para ulama meringkas kaidah itu menjadi beberapa istilah, yaitu :[27]
a. Al-Hadzf (‫)الحذف‬, membuang, menghilangkan, atau meniadakan
huruf. Contoh, pengurangan huruf (‫ )الواو‬pada firman-firman Allah di
bawah ini:
(١١) ‫وَﯾَدْعُ اﻹﻧْﺳَﺎنُ ﺑِﺎﻟﺷﱠرﱢ دُﻋَﺎءَهُ ﺑِﺎﻟْﺧَﯾْرِ وَﻛَﺎنَ اﻹﻧْﺳَﺎنُ ﻋَﺟُوﻻ‬
Dan pengurangan huruf alif “‫ ”الف‬pada firman Allah
…(٤١) َ‫…ﺳَﻣﱠﻌُونَ ﻟِﻠْﻛَذِبِ ﺳَﻣﱠﻌُونَ ﻟِﻘَوْمٍ آﺧَرِﯾنَ ﻟَمْ ﯾَﺎْٔﺗُوك‬
b. Al-Ziyadah, Ωă³οęΧ² (penambahan), seperti menambahkan huruf
alif, seperti:

(٢٣) ‫وَﻻ ﺗَﻘُوﻟَنﱠ ﻟِﺷَﺎئٍ إِﻧﱢﻲ ﻓَﺎﻋِلٌ ذَﻟِكَ ﻏَدًا‬


dan menambah huruf ya () pada firman Allah.

(٤٧) َ‫وَاﻟﺳﱠﻣَﺎءَ ﺑَﻧَﯾْﻧَﺎھَﺎ ﺑِﺎَٔﯾْﯾدٍ وَإِﻧﱠﺎ ﻟَﻣُوﺳِﻌُون‬


c. Badal “‫( ”البدل‬pergantian), seperti alif ditulis dengan wawu:
(٢٧٦) ٍ‫ﯾَﻣْﺣَقُ ﷲﱠُ اﻟرﱢﺑَو وَﯾُرْﺑِﻲ اﻟﺻﱠدَﻗَﺎتِ وَﷲﱠُ ﻻ ﯾُﺣِبﱡ ﻛُلﱠ ﻛَﻔﱠﺎرٍ أَﺛِﯾم‬
d. ‫ الوصل‬dan ‫( الفصل‬penyambungan suatu lafadz dengan lafadz lain
yang lazimnya dipisahkan, dan sebaliknya), seperti penggabungan
lafaz ίŽengan lafadz (‫ )لن‬dalam firman Allah.

(٣) ُ‫أَﯾَﺣْﺳَبُ اﻹﻧْﺳَﺎنُ أَﻟﱠنْ ﻧَﺟْﻣَﻊَ ﻋِظَﺎﻣَﮫ‬


e. ‫ما فيه قراءتان‬Yaitu menyangkut ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki
versi qiraat yang berbeda. Dalam hal ini jika memungkinkan ditulis
dalam bentuk tulisan yang sama, maka pola penulisannya sama dalam
setiap mushaf Usmani, sebagai contoh:

(٤) ِ‫ﻣَﺎﻟِكِ ﯾَوْمِ اﻟدﱢﯾن‬


Lafaz (‫ )ملك‬dalam ayat tersebut bias dibaca (‫ )مالك‬dan bias dibaca (‫)ملك‬
Akan tetapi bila tidak memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang
sama, maka ditulis dalam mushaf Usmani dengan rasm al-mushaf yang
berbeda. Contohnya seperti dalam firman firman Allah berikut ini:

‫وَوَﺻﱠﻰ ﺑِﮭَﺎ إِﺑْرَاھِﯾمُ ﺑَﻧِﯾﮫِ وَﯾَﻌْﻘُوبُ ﯾَﺎ ﺑَﻧِﻲﱠ إِنﱠ ﷲﱠَ اﺻْطَﻔَﻰ ﻟَﻛُمُ اﻟدﱢﯾنَ ﻓَﻼ ﺗَﻣُوﺗُنﱠ إِﻻ‬
(١٣٢) َ‫وَأَﻧْﺗُمْ ﻣُﺳْﻠِﻣُون‬
Dalam sebagian mushaf Usmani ditulis dan dibaca (‫ )واوصي‬dan dalam
sebagian yang lain (‫)ووصي‬.
Penulisan al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan di atas, tidak
sepenuhnya berlaku bagi penulisan al-Qur’an dalam mushaf Usmani yang
berbeda dengan pola penulisan al-Qur’an sebagaimana telah disebutkan di
atas.
Mengenai status hukum rasm Usmani ini, ulama berbeda pendapat:[28]
a. Jumhur ulama berpendapat bahwa Rasm Usmani buat al-Qur’an
adalah taukify yang wajib dipakai dalam penulisan al-Qur’an dan harus
sungguh-sungguh disucikan. Ibnul Mubarak mengutip gurunya, Abdul Aziz
ad-Dabbag, yang mengatakan kepadanya bahwa:, “Para sahabat dan
orang lain tidak campur tangan seujung rambutpun dalam penulisan
al-Qur’an karena penulisan al-Qur’an adalah taukify, ketentuan dari Nabi.
Dialah yang memerintahkan kepada mereka untuk menuliskannya dalam
bentuk seperti yang kita kenal sekarang dengan menambahkan alif atau
menguranginya karena terdapat rahasia-rahasiayang tidak dapat
terjangkau oleh akal. Itulah salah satu rahasia Allah yang diberikan
kepada kitabNya yang mulia yang tidak Dia berikan kepada kitab-kitab
samawi lainnya. Sebagaimana al-Qur’an adalah mukjizat, maka
penulisannya pun mukjizat.”
b. Sebagian yang lainnya berpendapat bahwa rasm Usmani bukan taukify
dari Nabi, tetapi hanya merupakan satu cara penulisan yang disetujui
Usman dan diterima umat dengan baik, sehingga menjadi suatu keharusan
yang wajib dijadikan pegangan dan tidak boleh dilanggar. Asyhab berkata:
“Malik ditanya: apakah mushaf boleh ditulis menurut ejaan (kaedah
penulisan) yang diadakan orang ? Malik menjawab: Tidak, kecuali menurut
tata cara penulisan yang pertama (Riwayat Abu ‘Amr ad-Dani dalam
al-Mughni)
c. Golongan yang ketiga ini berpendapat bahwa rasm Usmani itu
hanyalah seuah istilah, tata cara, dan tidak ada salahnya jika menyalahi
bila orang telah mempergunakan satu rasm tertentu untuk imla’ dan rasm
itu tersiar luas di antara mereka.
Pendapat yang terakhir ini terkesan ingin mengkompromikan dari dua
pendapat yang disebutkan sebelumnya. Di satu pihak mereka ingin
melestarikan rasm Usmani sedangkan di lain pihak mereka menghendaki
dilakukannya penulisan al-Qur’an dengan rasm imla’i untuk memberikan
kepada manusia yang mungkin mengalami kesulitan membaca al-Qur’an
dengan rasm Usmani.
Rasm Usmani merupakan rasm yang telah diakui dan diwarisi oleh umat Islam
sejak masa kekhalifahan Usman ibn Affan dan pemeliharaan rasm Usmani
merupakan jaminan kuat bagi penjagaan al-Qur’an dari perubahan dan
penggantian huruf-hurufnya sehingga, andaikan diperbolehkan
menuliskannya dengan menurut istilah imla’ maka tentu akan mengakibatkan
perubahan mushaf dari masa ke masa.

2. Perbaikan Rasm Usmani


Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena
semata-mata didasarkan pada watak pebawaan orang-orang Arab yang masih
murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan
pemberian titik ketika bahasa Arab mulai mengalami perkembangan karena
banyaknya percampuran (dengan bahasa non Arab), maka para penguasa
merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik dan
lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Para ulama berbeda
pendapat mengenai siapa yang pertama kali mencurahkan usahanya untuk hal
itu. Kebanyakn mereka berpendapat bahwa yang pertama sekali melakukan
hal itu adalah Abul Aswad ad-Du’ali atas permintaan Ali bin Abi Thalib.[29]
Pembubuhan tanda baca ini mulai dirasakan oleh Ziyad ibn Samiyyah,
gubernur Bashrah. Ia melihat telah terjadinya kesalahan dikalangan
kaumuslimin dalam membaca kitab suci[30], sebagi contoh kesalahan
tersebut adalah ketika membaca firman Allah:
… (٣) ُ‫… أَنﱠ ﷲﱠَ ﺑَرِيءٌ ﻣِنَ اﻟْﻣُﺷْرِﻛِﯾنَ وَرَﺳُوﻟُﮫ‬
Artinya:… Sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang
musyrikin.
Terhadap ayat di atas ada yang membaca:
… (٣) ُ‫… أَنﱠ ﷲﱠَ ﺑَرِيءٌ ﻣِنَ اﻟْﻣُﺷْرِﻛِﯾنَ وَرَﺳُوﻟِﮫ‬
Sehingga jika diartikan “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang
musyrikin dan RasulNya.
Dalam riwayat lain ada yang menisbahkan pekerjaan ini kepada Hasan
al-Basri, Yahya bin Ya’mar, dan Nasr bin’Asim al-Laiss, tetapi Abul Aswadlah
yang terkenal dalam pekerjaan ini.[31]
Perbaikan rasm Mushaf ini dilakukan secara bertahap. Pada mulanya syakal
beerupa titik: fathah berupa satu titik di atas awal huruf, dammah berupa
satu titik di akhir huruf dan kasrah berupa satu titik di bawah awal huruf.
Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan
itulah yang dilakukan oleh Khalil.[32] Perubahan tersebut adalah fathah
dengan tanda, dammah dengan “waw” kecil di atas huruf dan tanwin dengan
tambahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya
dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa
hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada “nun” dan “tanwin” sebelum
“ba” diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedangkan nun dan tanwin sebelum
huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwin
tidak diberi tanda apa-apa ketika idgam dan ikhfa. Setiap huruf yang harus
dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di idgamkan tidak
diberi tanda syaddah, kecuali huruf “ta” sebelum “ta” maka sukun tetap
dituliskan, misalnya ُ‫ﻓَرَطْت‬.[33]

Kemudian pada abad ketiga Hijrah perbaikan dan penyempurnaan rasm


Mushaf, dan orang-orangpun berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang
baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk
huruf yang disyaddah seperti busur, sedangkan untuk hamzah wasal diberi
lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat
sebelumnya: fathah, kasrah dan dammah.
Pada tahapan berikutnya orang-orang mulai meletakkan nama-nama surah
dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang mununjukkan kepada ayat dan
tanda-tanda wakaf. Tanda wakaf lazim adalah (), wakaf mamnu’ (), wakaf
jaiz yang boleh wakaf atau tidah (), wakaf jaiz tetapi wasalnya lebih utama (),
wakaf jaiz yang wakafnya lebih utama (), wakaf mua’naqah yang bila telah
wakaf pada satu tempat tidak dibenarkan wakaf di tempat yang lain diberi

tanda “... ...”, selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb, dan

penyempurnaan lainnya.[34]
Para ulama pada awalnya tidak menyukai usaha perbaikan terhadap rasm
Usmani tersebut karena khawatir akan terjadinya penambahan dalam
al-Qur’an , berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud: “Bersihkanlah al-Qur’an dan
jangan campuradukkan dengan apapun.” Dan sebagian mereka membedakan
pemberian titik yang diperbolehkan dengan pembuatan perpuluhan (al-a’syar)
dan pembukaan-pembukaan yang tidak dibolehkan. Al-Halimi mengatakan
“Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan (al-a-Akhmasy), nama-nama
surah dan bilangan ayat dalam Mushaf, berdasarkan ucapan Ibn Mas’ud
“Bersihkanlah al-Qur’an” sedangkan tanda titik diperbolehkan karena titik
tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Qur’an dengan yang
bukan. Pada perkembangan berikutnya hukumnya sudah berubah menjadi
boleh bahkan dianjurkan. Perhatian untuk menyempurnakan rasm Usmani
kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-Khattul
‘Araby).[35]

3. Pencetakan al-Qur’an
Al-Qur’an dicetak pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1113 H, satu
buah mushaf hasil cetakan pertama tersebut masih tersimpan di Dar al-Kutub
‘Arabiyah, Kairo Mesir. Sedangkan di Turki, al-Quran dicetak pertama kali
pada tahun 1129 H, di Iran pada tahun 1248 H. Pada tahun 1342 H di Mesir
dicetak al-Qur’an seperti yang kita kenal sekarang . Mushaf tersebut ditulis
dengan qiraat Hafsh, di mana dunia Islam telah menerimanya sebagai kitab
suci pegangan seluruh kaumuslimin, berdasarkan ijma’ seluruh ulama di
seluruh penjuru dunia.[36]
Rosihon Anwar menyebutkan penerbitan al-Qur’an pertama kali di cetak
di Bunduqiyyah pada tahun 1530 M, tetapi begitu terbit, penguasa gereja
langsung memusnahkannya. Yang dicetak di Jerman merupakan cetakan yang
kedua atas jasa Hinkelman pada tahun 1694 M, di ikuti di Maracci pada tahun
1698 M, namun saying karena tidak satupun dari al-Qur’an cetakan pertama,
kedua dan ketiga ini yang tersisa di dunia Islam. Pada periode berikutnya
al-Qur’an dicetah di Saint Peterbourg, Rusia atas jasa Maulaya Utsman.
Kemudian di Kazan, Iran pada tahun 1248 H / 1829 M. lima tahun kemudian,
yakni tahun 1833, terbit lagi mushaf cetakan di Tabriz, setelah dua kali
diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834 M) terbit lagi cetakan di Leipziq,
Jerman.[37]
Pada perempatan abad XX, Raja Fadh dari Mesir membentuk panitia khusus
penerbitan al-Qur’an. Panitia yang dimotori oleh para Syeikh al-Azhar ini
pada tahun 1342 H / 1923 M, berhasil menerbitkan Mushaf al-Qur’an cetakan
yang bagus, Mushaf yang pertama terbit di Negara Arab ini dicetak sesuai
dengan riwayat Hafsh atau qiraat Ashim. Sejak itu berjuta-juta mushaf
dicetak di Mesir dan berbagai Negara.[38]
BAB III PENUTUP
A.Rangkuman
Ayat adalah Suatu kumpulan kata yang mempunyai awal dan akhir, yang
termasuk didalam suatu surat dari al-Qur’an. Tertib ayat adalah semua ayat yang
berada pada tempatnya sendiri dalam suatu surat. Tertib atau urutan ayat-ayat
al-Qur’an adalah taukify, ketentuan dari Rasulullah SAW. Sebagian ulama
meriwayatkan bahwa pendapat itu adalah ijma’.
Surah adalah Sekelompok (sekumpulan) ayat-ayat al-Qur’an yang berdiri
sendiri, yang mempunyai permulaan dan penghabisan. Tertib surah adalah
semua surat yang terdapat di dalam al-qur’an berada pada posisinya
masing-masing dan susunan ini telah ditetapkan dengan ijtihad, sehingga hukum
membacanya secara berurutan tiaklah wajib. Ulama berbeda pendapat
mengenai tartibul suwar ini, jumhur ulama berpendapat bahwa tartibul suwar
merupakan taukify, yang lainnya berpendapat hal itu adalah ijtihadi, sedangkan
pendapat yang lain mengatakan bahwa sebagiannya taukify dan sebagian yang
lain adalah ijtihadi.
Rasm al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara
menuliskan al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan. Istilah rasm
dalam Islam al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan
Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan
al-Qur’an. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair,
Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan
kaidah tertentu. Kaidah tersebut diringkas oleh para ulama menjadi enam yaitu,
al-Hazf, al-Ziyadah, al-Badl, al-Wasl wal Fasl, dan ma fihi qira’atani.
Ulamapun berbeda pendapat seputaran rasm Usmani ini, jumhur
berpendapat bahwa rasm Usmani adalah taukify dari Rasulullah sehingga harus
dipakai dalam setiap penulisan al-Qur’an, sebagian yang lain berpendapat bahwa

B.Saran
Penyusun sangat menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun
menyarankan kepada semua pihak yang membaca dan membahas makalah ini, agar
bisa lebih banyak lagi menambah literature-literatur supaya dapat menambah
pengetahuan kita perhadap Tafsir Al-Qur’an. Yang tentunya masih banyak
referensi-referensi terhadap makalah yang kami tulis ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur`an (Yogyakarta: FkBA, 2001).,
cet. I., h. 1
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an,
Vol. 2 (Jakarta; Lentera hati, 2006)., cet. v, h. viii
[3] Taufik., loc. cit.
[4] M. Quraish Shihab dkk., Sejarah dan Ulumul Qur`an, (Jakarta:Pustaka Firdaus,
2001) h. 75
[5] Taufik. Loc. Cit.
[6] Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Arab – Indonesia, (Surabaya: Darussagaf PP
Alawy: 1977), h. 122
[7] Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur`an,(Surabaya: CV. Karya
Abditama;1997)., cet. v., h. 1
[8] Tabut adalah peti tempat Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka
[9] Masjfuk Zuhdi, op. cit., h. 135
[10] ‫ اﻟﺟﻣﻠﺔ ﻣن ﻛﻼم ﷲ اﻟﻣﻧدرﺟﺔ ﻓﻲ ﺳورة ﻣن اﻟﻘرآن‬:‫اﻷﯾﺔ ھﻲ‬
[11] Manna al-Qattan, Mabahits Fi `Ulum al-Qur`an, (Riyadh; Mansyurat al-`Ashri
al-Hadist: t.h), cet. ii, h. 139 dan lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu
al-Qur`an, Alih Bahasa; Drs. Mudzakir AS, h. 205
[12] Taufik, op. cit., h. 48 – 49
[13] Hal ini merupakan pengkhususan kepada Nabi Muhammad yang menunjukkan
suatu “tanda” yang tertentu saja tidak merujuk kepada “ayat-ayat” al-Qur`an, tetapi
kepada mukjizat. Sebagaimana disebutkan dalam Q. 40:78, penciptaan “tanda-tanda”
merupakan hak Tuhan dan tidak seorang rasul pun yang diberi kekuasaan untuk
menciptakannya atas kehendak pribadi. Lihat Taufik h. 47
[14] Ibid., h. 49
[15] Fashilah ialah tanda akhir daripada ayat.
[16] Manna al-Qattan, op.cit., h. 205 - 206
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] ‫ اﻟﺟﻣﻠﺔ ﻣن آﯾﺎت اﻟﻘرآن ذات اﻟﻣطﻠﻊ واﻟﻣﻧﻘطﻊ‬:‫اﻟﺳورة ھﻲ‬
[20] Manna al-Qattan, op.cit., h. 205
[21] Penggunaan istilah surat didalam al-Qur`an merujuk kepada suatu unit wahyu
yang “diturunkan” tuhan bukan dalam pengertian “surat” yang dipahami dewasa ini
[22] Taufik, op.cit., h. 49
[23] Manna al-Qattan, op.cit., h. 207 - 209
[24] Ibid.
[25] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Muhammad bin Jamil Zainu, Ter.
Muhammad Qowwam, Bagaimana Kita Memahami al-Qur’an, (Malang: Cahaya Tauhid
Press, 2006)., h. 40
[26] Hasanuddin Af, Anatomi al-Qur’an: Perbedaan Qiraat dan Pengaruhnya
Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta: PT. Raja Graindo, 1995)., h. 79
[27] Ibid.
[28] Manna al-Qattan, op.cit., h. 213 - 216
[29] Ibid.
[30] Hasan Af, op.cit. 94
[31] Manna al-Qattan, op.cit., h. 219
[32] Khalil ibn Ahmad
[33] Manna al-Qattan, op.cit., h. 219-220
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Hasanuddi Af, op.cit., h. 96
[37] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000)., h. 51 - 52
[38] Ibid.

Anda mungkin juga menyukai