Anda di halaman 1dari 20

ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL

“Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits Semester I


2020 / 2021”

DOSEN PENGAMPU : RIF’ATUL MUNA, M.S.I.

 
 

Disusun oleh:

Nama / NIM : 1. Muchammad Ridho Maulana


2. Sofiyudin
Kelas : Weekend
Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Semester : 1 (satu)
Jenjang : S1

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL ( STIK )
2020 / 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat, taufiq, hidayah, dan inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini tanpa halangan suatu apapun. Tak lupa penulis
haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad
SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Penulisan makalah berjudul “ILMU AL-JARH WANAT-TA’DIL”
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits. Dalam
penyusunan makalah ini, kami banyak mendapat bantuan dan bimbingan serta
dorongan dari berbagai pihak, oleh karena itu saya menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Ahmad Tantowi, M.Si, M.Pd selaku Ketua Sekolah Tinggi
Islam Kendal (STIK) yang telah memberikan kesempatan untuk membuat
makalah ini.
2. Ibu Rif’atul Muna, M.S.I. selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ulumul
Hadits yang telah memberikan banyak pengarahan dan bimbingan dalam
penyusunan makalah ini.
3. Semua pihak yang berperan dalam proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Besar harapan penulis agar pembaca berkenan memberikan kritik dan saran
demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat
bagi berbagai pihak. Aamiin...

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Kendal , 19 September 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2
D. Sistematika Penulisan ..................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil .........................................................5
B. Ruang lingkup pembahasan dan perkembangan Ilmu al-Jarh wa at-ta’dil......... 10
C. Fungsi dari Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil dalam penelitian hadits..................12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ...............................................................................................14
B. Saran...........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dilihat dari kedudukannya, hadis menempati dasar tashri’


kedua setelah Alquran. Tashri’ ialah menetapkan ketentuan syariat
Islam atau hukum Islam1 . Dasar syariat dan hukum Islam –ini berarti
pegangan, sumber atau mas{dar perumusan perundang-undangan
Islam– adalah Al-Qur’an, as-sunnah (dibaca hadis), dan Ijtihad.2
Ulama Syafi’iyyah menambahkan qiyas sebagai dasar tashri’ yang
keempat.

Dalam hal ini, Nabi Muhammad sebagai sumber utama


datangnya hadis memerintahkan umatnya untuk menyampaikan segala
sesuatu yang didapatkan dari beliau dalam suatu majlis kepada yang
tidak menghadiri majlis tersebut.3 Sehingga di kalangan para sahabat
segala hal (hadis) yang disampaikan Nabi kian tersebar. Terlebih
setelah Nabi wafat.

Periwayatan hadis ini semakin berkembang pada masa sahabat


dan tersebar luas pada masa-masa setelahnya. Akan Tetapi, semakin
tersebarnya hadis dari masa ke masa semakin rentan pula terdapat
perubahan pada hadis yang disampaikan. Bahkan, pemalsuan hadis
pun bukan merupakan hal yang tidak mungkin terjadi. Pemalsuan
hadis ini mulai muncul pada masa berkembangnya periwatan dengan
adanya fitnah yang melanda berupa terpecahnya umat karena alasan
politik.4

Dalam hal ini, banyak pemelihara sunnah Nabi yang berusaha


keras untuk membersihkan hadis-hadis Nabi dari berbagai macam
penodaan. Usaha yang dilakukan mereka bukanlah usaha yang terbatas
pada ruang lingkup kehidupan mereka. Tak jarang mereka
meninggalkan tempat tinggalnya dalam upaya pencarian hadis Nabi
untuk kemudian memilah mana hadis yang sesuai dengan apa yang
diucapkan Nabi dan mana yang tidak berasal dari Nabi. Hal ini
sebagaimana pernah dilakukan oleh Abû Ayyûb Al-Ans{ari yang pergi
dari Madinah ke Mesir untuk menemui ‘Uqbah bin ‘Amr dengan
alasan meyakinkan dirinya mengenai suatu hadis.5

Orang-orang yang pernah mendengar suatu hadis Nabi


berusaha menyampaikan hadis tersebut saat ada yang memintanya
dengan niat beribadah atas dasar perintah Nabi, yakni menyampaikan
segala hal yang pernah diterima dari Nabi yang kemudian dikenal
dengan nama periwayatan hadis.

Seseorang yang menjadi bagian dari sanad sebuah hadis


dipandang berstatus sebagai pembawa risalah yang berkedudukan
setelah Nabi Saw. Oleh karena itu, mereka berusaha menjadi teladan
umat dalam segala hal. Standar inilah yang dipakai para muh{addith
dalam menetapkan kriteria sanad yang diterima, dan sebaliknya bila
tidak memenuhi standar tersebut, maka sanad itu akan ditolak.6

Periwayatan yang semakin berkembang dari masa ke masa


menumbuhkan sanad yang panjang. Bahkan, tak jarang sebuah hadis
diriwayatkan terus menerus hingga memiliki puluhan sanad. Dari
seluruh sanad yang ada, tak jarang pula ditemukan seorang râwî yang
mempunyai kualitas yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan
muh{addith sehingga menyebabkan hadis yang diriwayatkan memiliki
kualitas yang tidak s{ahîh (h{asan atau d{a’if), meskipun râwî yang
lain sesuai dengan standar. Untuk itu, seiring berkembangnya
pertumbuhan sanad tumbuh pula sebuah metode untuk meneliti
keadaan seorang râwî yang dinamai metode kritik sanad.
Para râwî dapat diketahui perihal kehidupannya dalam suatu
ilmu yang dinamai Ilmu Rijâl Al-Hadîth. Definisi dari Ilmu Rijâl Al-
Hadîth adalah:

“Ilmu yang dengannya diketahui hal-ihwal (kondisi dan


kedudukan) para râwî hadis yang berkaitan dengan periwayatannya”7
Ilmu Rijâl Al-Hadîth ini mempunyai objek pembahasan semua tokoh
yang terlibat dalam kajian hadis, baik yang menjadi râwî dalam sanad
maupun yang menjadi kritikus. Ada beberapa lingkup kajian Ilmu Rijâl
Al-Hadîth, yaitu Ilmu Târîkh ArRuwât, Ilmu Tamyîzi Al-Muhaddithîn
wa D{abtihim, Ilmu T{abaqah AlMuhaddithîn, Ilmu Tarâjim wa Al-
Mu‘allilah, dan Ilmu Al-Jarh{ wa At-Ta‘dîl. 8

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari ilmu al-jarh wa at-ta’dil?
2. Bagaimana ruang lingkup pembahasan dan perkembangan ilmu al-
jarh wa at-ta’dil ?
3. Bagaimana Fungsi dari Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil dalam penelitian
hadits?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari ilmu al-jarh wa
at-ta’dil.
2. Untuk mengetahui ruang lingkup pembahasan dan perkembangan
ilmu al-jarh wa at-ta’dil.
3. Untuk mengetahui Fungsi dari Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil dalam
penelitian hadits.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Bagian awal terdiri atas: halaman sampul luar, halaman judul, kata
pengantar, serta daftar isi.
2. Bagian utama terdiri atas: pendahuluan, isi, penutup.
a. Pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.
b. Isi berupa uraian lengkap tentang tema atau masalah yang
diungkapkan.
c. Penutup yaitu bagian akhir karangan yang berisi pokok pikiran
yang harus diingat pembaca. Selain itu, bagian penutup
merupakan kesimpulan dan saran dari isi suatu karangan.
3. Bagian akhir terdiri atas: daftar pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Kata Al-Jarh (‫رح‬MM‫ )الج‬merupakan bentuk dari kata Jaraha-


Yajrahu (‫رح‬M‫ يج‬- ‫ )جرح‬atau Jariha-Yajrahu (‫رح‬M‫ يج‬- ‫رح‬M‫ )ج‬yang berarti
cacat atau luka,[1] atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain
yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.[2] Sedangkan
kata Al-Ta’dil (‫ )التعديل‬merupakan akar kata dari ‘Addala-Yu’addilu (
‫ يعدل‬- ‫ )عدل‬yang berarti mengadilkan, menyucikan, atau menyamakan.
[3] Dengan demikian, ilmu Al-Jarh wa Ta’dil secara etimologis berarti
ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadis.

Secara terminologis, Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatib


mendefinisikan Al-Jarh sebagai berikut:

‫ه‬MM‫تر تب علي‬MM‫ا ي‬MM‫بته مم‬MM‫ه و ض‬MM‫ل بحفط‬MM‫ه او يخ‬MM‫راوي يثلم عدالت‬MM‫ظهور وصف في ال‬
‫سقوط روايته او ضعفه و ردها‬               

      “Nampaknya suatu sifat pada seorang  perawi yang dapat


merusak nilai keadilannya atau melamahkan nilai hafalan dan ingatan,
yang karena sebab tersebut gugurlah periwayatannya atau ia dipandang
lemah dan tertolak”.

Sedangkan Al-Ta’dil didefinisikan sebagai berikut:

‫تز كية الراوي الحكم عليه بانه عدل او ضابط‬  


“Membersihkan seorang rawi dan menetapkannya bahwa ia
adalah seorang yang adil atau dhabit”.

  Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kajian


‘Ilmu Jarh wa Ta’dil terfokus pada penelitian terhadap perawi hadis,
sehingga diantara mereka dapat dibedakan antara perawi yang
mempunyai sifat-sifat keadilan atau kedhabit-an dan yang tidak
memilikinya. Dengan tidak memiliki kedua sifat-sifat itu, maka hal
tersebut merupakan indicator akan kecacatan perawi dan secara
otomatis periwayatannya tertolak. Sebaliknya bagi perawi yang
memiliki kedua sifat-sifat di atas, secara otomatis pula ia terhindar dari
kecacatan  dan berimplikasi  bahwa hadis yang diriwayatkannya dapat
diterima.

  Tentang kriteria keadilan atau ke-dhabit-an perawi, Al-Khatib


Al-Baghdadi, misalnya menyebutkan sebagai berikut: Keadilan dan
ke-dhabit-an meliputi:

1) Al-Sa-doshidq, kejujuran,
2) Al-Syarifah bi Thalab Al-Hadis, terkenal dalam pencarian hadis,
3) Tark Al-Bida’, jauh dari praktek Bid’ah, dan
4) Ijtinab Al-Kabair, bukan pelaku dosa-dosa besar.

Ilmu Al-Jarh wa At-Ta‘dil adalah salah satu ilmu dalam ruang


lingkup kajian ilmu hadis. Ilmu ini merupakan ilmu yang membahas
kaidah yang menjadi pedoman dalam menentukan kedudukan râwî
dengan menggunakan kalimat khusus yang menggambarkan keadilan
atau kecacatan râwî. Oleh karena itu, muhaddith memperhatikan ilmu
ini dengan penuh perhatian dan mencurahkan segala pikiran untuk
menguasainya. Ilmu ini sangat dibutuhkan sehingga muh{addith
berijma’ akan validitasnya, bahkan akan kewajibannya.9
Pada saat proses periwayatan hadis tak jarang periwayat atau
râwî meninggalkan pekerjaan yang menjadi sumber
matapencahariaannya, sehingga penerima hadis memberikan upah atas
periwayatan tersebut. Keadaan seperti ini diperbolehkan menurut
pendapat sebagian ulama. Akan tetapi, dalam keadaan yang berbeda,
para ulama mempunyai pendapat yang beragam.

Pendapat yang pertama, membolehkan mengambil upah ketika


tah{dîth (menyampaikan/mengajarkan hadis). Pendapat ini berhujjah
dengan mengqiyaskan dalil jumhur yang membolehkan mengambil
upah dari mengajar Alquran sebagaimana hadits Nabi saw.:

“Sesungguhnya (mengajarkan) kitabullah adalah yang paling berhak


kalian ambil upahnya”.

Adapun pendapat yang kedua melarang untuk mengambil upah,


juga tidak menerima dan menulis hadisnya. Ini adalah pendapat Ishaq
bin Rohawayh, Abu Hatim Ar-Râzî (w. 277 H), dan Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H). Mereka mengatakan bahwa mengambil upah dari
mengajarkan hadis termasuk sebab cacatnya ‘adalah seorang râwî.

Berkenaan dengan hal ini, penulis menemukan seorang râwî


yang dinilai cacat disebabkan beliau mengambil upah dalam
meriwayatkan hadis. Beliau adalah Hafs bin ‘Umar bin Al-Harith bin
Sakhbarah yang terkenal dengan nama kunyah Abu ‘Amr Al-Haud{î.
Beliau merupakan râwî yang berasal dari kota Basrah dan wafat pada
tahun 225 H. Ibnu Hajar menilai beliau dengan tiga lafazh yaitu thiqat
thabat ‘aybun bi akhdzi al-ujrah ‘ala al-hadîth 11, dua diantaranya
menunjukkan ta‘dîl dan satu lainnya menunjukkan jarh. Meski pada
awalnya Ibnu Hajar memberikan penilaian baik (at-ta‘dîl) dengan kata
thiqat thabat, namun ditambahkan dengan kata ‘aybun bi akhdhi al-
ujrah yang merupakan penilaian buruk (al-jarh) serta dijelaskan
penyebab kecacatannya atau dalam kata lain disebut al-jarh al-
mufassar. Apabila seorang rawi menetapkan nilai baik (at-ta‘dîl)
kemudian menilai cacat (al-jarh) dengan disebutkan alasannya
(mufassar), maka penilaian yang diambil adalah penilaian cacatnya (al-
jarh).
Penilaian lain ditemukan dalam Tahdhîb at-Tahdhîb 12 dengan
pendapat beberapa ulama, diantaranya Abu Thalib yang
mengatakan,”Ahli Basrah telah sepakat akan keadilannya”, An-Nasai
mengatakan, “Abû ‘Amr Al-Haudî thiqat”, As-Sam‘anî mengatakan,
“Nama Al-Haudi dinisbatkan pada kota Al-Haud, beliau adalah
seorang yang sadûq”, dan lain-lain.

Selain Hafsh bin ‘Umar, penulis menemukan beberapa râwî


Basrah yang akan dijadikan objek penelitian penulis. Sejauh ini,
terdapat 69 rawi yang ditemukan13. Penemuan ini didapat dari kitab
Al-I’lam bi Wafayyat al-A‘lâm karya Muhammad bin Ahmad
‘Uthman Adh-Dhahabî (w. 748). Nama-nama yang didapat adalah râwî
yang berasal dari Basrah yang wafat antara tahun 201-230 H.

Para Ulama menetapkan kaidah dalam Ilmu Al-Jarh wa At-


Ta‘dîl apabila terdapat perlawanan atau ta’arud antara jarh dan ta’dil
pada seorang râwî, yakni sebagian ulama men-ta’dil dan sebagian lagi
men-jarh, maka terdapat beberapa pendapat:14

1) Al-Jarh didahulukan secara mutlak walaupun mu‘addil-nya lebih


banyak daripada jârih-nya. Sebab jârih memiliki kelebihan ilmu
yang tidak diketahui oleh mu’addil
2) At-Ta’dîl didahulukan dari al-jarh
3) At-Ta’dîl didahulukan bila jumlah mu’addil lebih banyak
daripada jârih-nya
4) Tetap dalam ta‘arrud bila tidak ditemukan yang merajihkannya.
Penulis lebih cenderung pada pendapat yang pertama dengan
acuan kaidah Al-Jarhu Muqaddamun ‘ala at-Ta’dil. Menurut
konsep ini jarh-lah yang harus didahulukan daripada yang adil,
barangkali dengan salah satu pertimbangan kehati-hatian dalam
menyeleksi hadis.15

Kaidah jarh untuk meragukan keadilan seorang râwî ini


dikecualikan pada tabaqah sahabat.16 Hafsh bin ‘Umar adalah
râwî dari tabaqah atba’ tabi‘in, oleh sebab itu pertentangan ini
bisa diterima dan diambil penilaian dari salah seorang ulama
Ketika sebagian ulama menyatakan kebolehan mengambil upah
dan sebagian lagi justru menjadikan pelakunya cacat, penulis
merasa tertarik untuk mengetahui sebab-sebab utama yang
menimbulkan kecacatan râwî Basrah. Penelitian ini akan
dilakukan dengan berpedoman pada pendapat Ibnu Hajar yang
berdasar pada ilmu hadis bidang Rijâl Al-Hadîth yakni Ilmu Al-
Jarh wa At-Ta‘dîl.

B. Ruang Lingkup Pembahasan dan Perkembangan Ilmu Al-Jarh


Wa At-Ta’dil

Pertumbuhan ilmu jarh wa ta’dil seiring dengan tumbuhnya


periwayatan hadis. Namun perkembangannya yang lebih nyata adalah
sejak terjadinya al-fitnah al-kubra atau pembunuhan terhadap khalifah
Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Pada waktu itu, kaum muslimin
telah terkotak-kotak kedalam berbagai kelompok yang masing-masing
mereka merasa mamiliki legitimasi  atagitimasi  atas tindakan yang
mereka lakukan apa bila mengutip hadis-hadis Rasulullah SAW. Jika
tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis-hadis palsu. Sejak
itulah para ulama hadis menyeleksi hadis-hadis Rasulullah SWA,
tidak hanya dari segi matan atau materinya saja tetapi mereka juga
melakukan kritik terhadap sanad serta para perawi yang
menyampaikan hadis tersebut. Diantara sahabat yang pernah
membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibnu
Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H)

Apa yang dilakukan oleh para sahabat terus berlanjut pada


masa tabi’in dan atba’ut tabi’in serta masa-masa sesudah itu untuk
memperbincangkan kredibilitas serta akuntabilitas perawi-perawi
hadis. Diantara para tabi’in yang membahas jarh wa ta’dil adalah
Asy-Sya’bi (103 H), Ibni Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab
(94 H). Ulama-ulama  jarh wa ta’dil menerangkan kejelasan para
perawi, walaupun para rawi itu ayahnya, anaknya, ataupun saudaranya
sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara
agama dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Syu’bah Ibnu al-
Hajjaj (82 H-160 H), pernah ditanyakan tentang hadis Hakim bin
Zubair. Syu’bah menjawab: “Saya takut kepada neraka”. Hal yang
sama pernah dilakukan kepada Ali bin al-Madini (161 H-234 H)
tentang ayahnya sendiri. Ali bin al-Madini menjawab, “Tanyakanlah
tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu
mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku
adalah seorang yang lemah dalam bidang hadis”.
Para ahli hadis sangat berhati-hati dalam memperkatakan
keadaan para rawi hadis. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji
dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini hanyalah untuk
menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggung jawab.

Ilmu jarh wa ta’dil yang embrionya telah ada sejak zaman


sahabat, telah berkembang sejalan dengan perkembangan periwayatan
hadis dalam Islam. Beberapa ulama bekerja mengembangkan dan
menciptakan berbagai kaidah, menyusun berbagai istilah, serta
membuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis, untuk
“Menyelamatkan” hadis Nabi dari “Noda-noda” yang merusak dan
menyesatkan.

Demikianlah sesungguhnya jarh wa ta’dil adalah


kewajiban syar’I yang harus dilakukan. Investigasi terhadap para
perawi dan keadilan mereka bertujuan untuk mengetahui apakah rawi
itu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan
teliti, pada hadis, tidak sering dan tidak peragu. Semua ini merupakan
suatu keniscayaan. Kealpaan terhadap kondisi tersebut akan
menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah SAW.

Jarh dan ta’dil tidak dimaksudkan untuk memojokkan seorang


rawi, melainkan untuk menjaga kemurnian dan otentisitas agama
Islam dari campur tangan pendusta. Maka hal itu wajar-wajar saja,
bahkan merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan. Sebab
tanpa ilmu ini tidak mungkin dapat dibedakan mana hadis yang
otentik dan mana hadis yang palsu.

Pada abad ke-2 H, ilmu jarh wa ta’dil mengalami


perkembangan pesat dengan banyaknya aktivitas para ahli hadis untuk
mentajrih dan menta’dil para perawi. Diantara ulama yang
memberikan perhatian pada masalah ini adalah Yahya bin Sa’ad al-
Qathtan (189H), Abdurrahman bin Mahdi (198 H), Yazim bin Harun
(189 H), Abu Daud at-Thayalisi (240 H), dan Abdurrazaq bin Humam
(211 H).

Perkembangan ilmu jarh wa ta’dil mencapai puncaknya pada


abad ke-3 H. pada masa ini muncul tokoh-tokoh besar dalam
ilmu jarh wa ta’dil, seperti Yahya bin Ma’in (w.230 H), Ali bin
Madini (w.234 H), Abu Bakar bin Abi Syaihab (w.235 H), dan Ishaq
bin Rahawaih (w.237 H). Ulama-ulama lainnya adalah ad-Darimi
(w.255 H), al-Bukhari (w.256 H), Muslim (w.261 H), al-Ajali (w.261
H), Abu Zur’ah (w.264 H), Abu Daud (w.257 H), Abu Hatim al-Razi
(w.277 H), Baqi Ibnu Makhlad (w.276 H), dan Abu Zur’ah ad-
Dimasqy (w.281 H).

C. Fungsi dari Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil dalam penelitian hadits


Ilmu jarh wa al-ta’dil ini dipergunakan untuk menetapkan
apakah periwayatan seoraang perawi itu bias dierima atau harus
ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh” oleh para ahli
sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak.
Sebaliknya, bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-
syarat yang lain dipenuhi.

Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan


yang dilakukannya, biasanya dikategorikan kedalam lingkup
perbuatan: bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau di luar
ketentuan syariah; mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan
dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath, yakni banyak melakukan
kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; jahalat al-hal, yakni tidak
diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat al-
inqitha’, yakni diduga penyandaran (sanad)-nya tidak bersambung.

Adapun informasi jarh dan ta’dilnya seorang rawi bisa


diketahui melalui dua jalan yaitu:
a.    Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa
mereka dikenal sebagai orang    yang adil, atau rawi yang mempunyai
‘aib. Bagi yang sudah terkenal di kalangan ahli ilmu tentang
keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan
keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan
kefasikan  atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b.    Beasarkan pujian atau pen-tajrih-an dari rawi lain yang
adil. Bila seorang rawi yang adil menta’dilkan seorang rawi yang lain
yang belum dikenal keadilannya, maka telah dianggap cukup dan rawi
tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa
diterima. Begitu juga dengan rawi yang di-tajrih. Bila seorang rawi
yang adil telah mentajrihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa
diterima.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ilmu jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang membahas hal ihwal rawi
dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, sehingga dengan
demikian periwayatannya dapat diterima atau ditolak.

Faidah mengetahui ilmu jarh wa ta’dil ialah untuk


menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima
atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi sudah
ditarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatannya ditolak dan
apabila seorang rawi dita’dil sebagai orang yang adil maka
periwayatannya diterima.

Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan (jarih):


a). Berilmu pengetahuan
b). Takwa
c). Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat,
syubhat, dosa kecil, dan makruhat)
d). Jujur
e). Menjauhi fanatik golongan
f). Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan mentajrih.
B. Saran
Semoga dengan pembuatan makalah ini senatiasa menambah
wawasan serta pengetahuan dan yang terpenting adalah menjadi
motivasi, baik bagi penyusun maupun rekan-rekan sekalian.

C. Penutup
Dalam upaya memelihara keautentikan hadis sebagai sumber
kedua dari ajaran Islam, maka para ulama terus berusaha dalam
menghimpun hadis-hadis Nabi SAW. Dengan cara menilai para
periwayat secara jarh atau ta’dil.
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan suatu ilmu untuk
menyeleksi para periwayat hadis, apakah ia cacat atau adil sehingga
hadis yang diriwayatkannya itu dapat diterima atau ditolak.
Melalui syarat-syarat al-jarh wa at-ta’dil, lafal-lafal dan
kaidah-kaidah tertentu, para ulama hadis menilai para periwayat dari
segi jarh (cacat) dan ta’dil (bersih)nya.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Anis Ibrahim, Al-Mu’jam Al Wasith, (Kairo: TPN, 1972) dikutip dari:


Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press, 2011),
hal. 110
[2] Ajjaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa
Mushthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989) dikutip dari: Abduh
Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press, 2011), hal. 111
[3] Anis Ibrahim, Al-Mu’jam Al Wasith, (Kairo: TPN, 1972) dikutip dari:
Abduh Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press, 2011),
hal. 110
[4] Ajjaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadis Ulumuhu wa
Mushthalahuhu, (Beirut: Darul Fikr, 1989) dikutip dari: Abduh
Almanar, Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press, 2011), hal. 111

2
[5] Al-Baghdadi, Al-Kifayah fi ilmi Al-Riwayah, (India: Dairatul al-Ma’arif
al-Utsmaniyah, 1988) dikutip dari: Abduh Almanar, Studi Ilmu
Hadis, (Jakarta: gaung Persada Press, 2011), hal. 112

3
[6] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, (Jakarta:
Penerbit Bulan Bintang), hlm. 52
[7] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995),  hlm.52
[8] Ibid
4
[9] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1998),  hlm. 13
[10] Ibid, hlm. 116
[11] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis wa Musthalahuhu, (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), hlm. 109

5
[12] Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 2005), hlm. 195-196
[13] Ibid, hlm.196           

6
[14] Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 2005), hlm. 195-196
[15] Ibid, hlm.197-198

Anda mungkin juga menyukai