Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH MASHADIR AHKAM 2

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

“USHUL FIQH”

DOSEN PENGAMPU :

AHMAD FAUZAN PUJIANTO, M.Ag.

Disusun Oleh :

1. Firnanda Prislya A.P 21103037

2. Febry Nur Aisyiyah 21103040

3. M. Maulana Firmansyah 21103044

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


KEDIRI TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamulaikum Wr.Wb

Puji syukur selalu kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu dan tanpa halangan suatu apapun. Sholawat serta salam tak lupa
kami haturkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW. Yang mana berkat beliaulah yang
membawa kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang terang benderang yakni
Agama islam. Serta yang terhormat kepada bapak dosen mata kuliah Ushul Fiqh. Dan
tak lupa juga kami ucapkan terimakasih untuk rekan-rekan yang turut membantu dalam
penyusunan makalah Mashadir Ahkam 2.

Adapun tujuan utama pembuatan makalah ini adalah sebagai tugas mata kuliah
Ushul Fiqh. Makalah ini mengulas secara garis besar tentang Ijma’, Qiyas, dan Urf
sebagai sumber hukum. Sekalipun kami telah mengusahakan penyusunan makalah
semaksimal mungkin untuk meminimalisir kesalahan, namun tidak mustahil apabila
masih ada kekurangan juga kekhilafan dari kami selaku penyusun. Oleh karena itu, kami
memohon kritik dan saran dari yang terhotmat bapak dosen sebagai pengingat dalam
pembuatan makalah berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan pembaca pada umumnya. Aamiin...

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Kediri, 22 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………………………………………. 1


B. Rumusan Masalah.…………………………………………………. 1
C. Tujuan..……………………………………………………………... 1
BAB II PEMBAHASAN

A. Ijma’………………………………………………………………...
B. Qiyas………………………………………………………………...
C. Urf…………………………………………………………………..

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………...
B. Saran………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..
iii

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ijma’ dan qiyas adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan
argumentasi dibawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits) ia merupakan dalil
pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam
menggali hukum-hukum syara’.
Sedangkan Urf merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sosial
masyarakat atau kebiasaan.
Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’, qiyas,
dan Urf itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al
Hadits, mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu
sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).
Ijma’, qiyas, dan juga Urf muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat
melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang
mereka hadapi.
Khalifah Umar Ibnu Khattab ra. Misalnya selalu mengumpulkan para sahabat
untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum, jika mereka
telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan
hukum yang telah disepakati.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Ijma’ sebagai sumber hukum?


2. Apa yang dimaksud dengan Qiyas sebagai sumber hukum?
3. Apa yang dimaksud dengan Urf sebagai sumber hukum?

C. Tujuan

1. Dapat memahami pengertian Ijma’ sebagai sumber hukum.


2. Dapat memahami pengertian Qiyas sebagai sumber hukum.
3. Dapat memahami pengertian Urf sebagai sumber hukum.
1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ijma’

1. Pengertian

Ijma merupakan sumber penetapan hukum Islam setelah Alquran dan As


Sunnah. Mengutip buku Ijma Sebagai Dalil Syari Ketiga tulisan Tajun Nashr,
definisi ijma adalah “Kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW
setelah wafatnya beliau pada suatu masa mengenai hukum syar’i”.

Ijma tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Hanya mereka yang
mencapai derajat mujtahid-lah yang diperhitungkan pendapatnya.

Mengutip jurnal Konsep Ijma dalam Ushul Fiqh dan Klaim Gerakan
Islam 212 tulisan Chamim Tohari (2019: 151), kriteria mujtahid adalah orang
yang beragama Islam, baligh, berakal sehat, mempunyai akhlak yang baik. Ia
juga menguasai ilmu bahasa Arab beserta tata bahasanya secara baik,
memahami ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits, serta mampu melakukan
istinbath hukum dari Alquran dan Sunnah.

2. Rukun Ijma’

Menurut Az Zuhaili (1986: 537) dalam Ushul Fiqih Islami, ijma baru
dianggap sah jika memenuhi rukun-rukunnya, yaitu:

 Mujtahid berjumlah lebih dari satu orang.


 Kesepakatan ulama atas suatu hukum itu dapat direalisasikan.
 Adanya kesepakatan semua mujtahid atas suatu hukum syar’I tanpa
memandang negeri, kebangsaan, atau kelompoknya. Artinya jika
terdapat kesepakatan ulama Mekkah saja, Irak saja, atau yang lainnya,
itu tidak bisa disebut ijma.
 Kesepakatan tersebut diawali setelah masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya secara jelas dan transparan.
 Sandaran hukum ijma adalah Alquran dan hadits Rasulullah SAW

3. Kehujjahan Ijma’

Hujjah artinya argumentasi yang kokoh. Terdapat berbagai dalil yang


menjadi dasar ijma. Salah satunya Alquran surat An Nisa ayat 59 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
2
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.”

Mengutip dari jurnal Kedudukan Ijma Sebagai Dalil Hukum Terhadap Fatwa
Ekonomi Islam Kontemporer karya Agil Bahsoan, perintah mentaati ulil amri
setelah Allah dan Rasul berarti sama artinya dengan mematuhi ijma. Sebab ulil
amri adalah orang-orang yang mengurus kehidupan umat, yaitu ulama.

Selain Alquran, hadits Rasulullah SAW juga dijadikan landasan kehujjahan


ijma. Dari Umar bin Al-Khattab, Rasulullah bersabda:

“Siapa saja yang ingin mendapatkan pertengahan Surga, maka ikutilah Jamaah
(ummat Islam). Karena syaithan itu lebih suka bersama orang yang sendiri,
dan dia lebih jauh ketika bersama dua orang.”

4. Peran Ijma’ Dalam Pembentukkan Islam

 Ijma’ Menurut Pandangan Al-Qur`ân.


Pijakan dan landasan Ijma’ dari Al-Qur`ân sangat banyak, antara lain
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ۖ ‫ق ال َّرسُو َل ِمن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْالهُد َٰى َويَتَّبِ ْع َغي َْر َسبِي ِل ْال ُم ْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َما ت ََولَّ ٰى َونُصْ لِ ِه َجهَنَّ َم‬
ِ ِ‫َو َمن يُ َشاق‬
‫صيرًا‬ ِ ‫ت َم‬ ْ ‫َو َسا َء‬

“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya,


dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami
biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan
Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali.” [an-Nisâ`/4 : 115].

Allah Azza wa Jalla telah mengancam orang-orang yang menyelisihi


cara beragama orang-orang beriman dan menentang Ijma’ umat
Muhammad yang benar. Ayat ini menjadi dalil paling kuat, bahwa
Ijma’ menjadi hujjah dalam hukum agama yang wajib diikuti. Sesuatu
tidak menjadi wajib melainkan setelah menjadi hujjah syar’iyyah,
sehingga apapun kesepakatan mereka dalam hukum pasti menjadi
landasan. Dengan demikian, kelompok yang menentang Ijma’, berarti
telah memecah-belah umat Islam, dan mengikuti cara beragama
mereka yang pada akhirnya mereka berhak masuk ke dalam ancaman
ayat di atas.

 Ijma’ Menurut Pandangan Sunnah.


Landasan Ijma’ yang berasal dari Sunnah, antara lain ialah:
 Dari ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

2
‫اال ْثنَي ِ~ْن أَ ْب َع ُد َو َم ْن‬
ِ َ‫َعلَ ْي ُك ْم بِ ْال َج َما َع ِة َوإِيَّا ُك ْم َو ْالفُرْ قَةَ فَإ ِ َّن ال َّش ْيطَانَ َم َع ْال َوا ِح ِد َوه َُو ِمن‬
‫أَ َرا َد بِ َح ْب َح ِة ْال َجنَّ ِة فَ َعلَ ْي ِه بِ ْال َجما َع ِة‬
“Tetaplah bersama jamaah dan waspadalah terhadap
perpecahan. Sesungguhnya setan bersama satu orang, namun
dengan dua orang lebih jauh. Dan barang siapa yang
menginginkan surga paling tengah maka hendaklah bersama
jamaah.”

 Menurut Dalil Logika.


Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para
nabi, dan syariatnya berlaku hingga hari Kiamat. Sementara itu,
banyak kasus hukum yang muncul tanpa adanya nash yang qath’I, baik
dari al-Kitab dan Sunnah, namun para ulama berijma’ terhadap satu
hukum tertentu. Jika keputusan Ijma’ mereka tidak menjadi hujjah
dalam agama, berarti kebenaran meleset dari mereka, atau mereka
sepakat di atas kesesatan. Yang demikian itu memberi konsekwensi
bahwa syariat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertahan
sepanjang masa. Akhirnya, syariat mengalami kepunahan, dan
demikian itu jelas suatu kemustahilan. Sehingga tidak ada pilihan lain
kecuali menjadikan Ijma’ mereka sebagai hujjah, agar ajaran syariat
bertahan selamanya.

B. Qiyas

1. Pengertian Dan Kehujjahan Qiyas

Secara etimologi, qiyas berarti mengira-ngirakan atau menyamakan. Meng-


qiyas-kan, berarti mengira-ngirakan atau menyamakan sesuatu terhadap
sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis, menurut ulama usul fikih,
qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan
sesuatu yang ada nas hukumnya karena adanya persamaan „illat hukum.
Dalam redaksi yang lain, qiyas adalah menyamakan suatu hukum dari
peristiwa yang tidak memiliki nas hukum dengan peristiwa yang sudah
memiliki nas hukum, sebab adanya persamaan dalam „illat hukumnya.

Qiyas berarti mempertemukan sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan
hal lain yang ada nas hukumnya karena ada persamaan „illat hukum. Dengan
demikian, qiyas merupakan penerapan hukum analogis terhadap hukum
sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan „illat akan melahirkan hukum
yang sama pula. Oleh karenanya, sebagaimana yang diungkapkan Abu Zahrah,
asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan
persamaan sebab dan sifat yang membentuknya. Apabila pendekatan analogis
itu menemukan titik persamaan antara sebab-sebab dan sifat-sifat antara dua
masalah tersebut, maka konsekuensinya harus sama pula hukum yang
ditetapkan.

Qiyas merupakan salah satu medote istinbāṭ yang dapat


dipertanggungjawabkan karena ia melalui penalaran yang disandarkan kepada
nas. Ada beberapa ayat Al-Qur‟an yang dijadikan landasan bagi berlakunya
3
qiyas di dalam menggali hukum, di antaranya terdapat pada Q.S An-Nisa
(4):59). Yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan
“kembali kepada Allah dan Rasul” (dalam masalah khilafiah), tiada lain adalah
perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan apa sesungguhnya
yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh melalui
pencarian „illat hukum yang merupakan tahapan dalam melakukan qiyas.

Abdul Wahab Khallaf menyebutkan alasan pengambilan dalil ayat di atas


sebagai dalil qiyas,yakni bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada
orangorang yang beriman untuk mengembalikan permasalahan yang
diperselisihkan dan dipertentangkan di antara mereka kepada Allah dan
Rasulullah jika mereka tidak menemukan hukumnya dalam al-Qur‟an maupun
Sunnah. Sedangkan mengembalikan dan merujukkan permasalahan kepada
Allah dan Rasul adalah mencakup semua cara dalam mengembalikan
permasalahan itu. Artinya, bahwa menyamakan peristiwa yang tidak memiliki
nas dengan peristiwa yang sudah ada nasnya dikarenakan adanya kesamaan
„illat, maka hal tersebut termasuk kategori “mengembalikan permasalahan
kepada Allah dan Rasul-Nya” sebagaimana dalam kandungan ayat di atas.
Selain al-Nisa‟ (4): 59, para ulama juga menjadikan surat al-Hasyr (59): 2
sebagai salah satu landasan kehujjahan qiyas.

2. -Rukun Qiyas

Unsur pokok atau rukun qiyas terdiri atas empat unsur berikut :

a. Ashl, menurut ahli ushul fiqh, merupakan obyek yang telah


ditetapkan hukumnya oleh ayat al-Qur’an, hadits Rasulullah atau
Ijma’. Contohnya, pengharaman wisky dengan meng-qiyas-kannya
kepada khamar. Maka yang Ashl adalah khamar yang telah
ditetapkan hukumnya melalui nash. Menurut ahli ushul fiqh yang
dikatakan ashl itu adalah nash yang menentukan hukum, karena nash
inilah yang dijadikan patokan penentuan hukum furu’. Dalam kasus
wisky yang diqiyaskan pada khamar. Maka yang menjadi ashl adalah
ayat 90-91 surat al-Maidah. . Sedang Rachmat Syafe’I menjelaskan
bahwa Ashl merupakan suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang
dijadikan tempat meng-qiyas-kan atau maqis alaih, tempat
membandingkan atau mahmul alaih, musyabbah bih atau tempat
menyerupakan.

4
b. Far’u (cabang), adalah sesuatu yang tidak ada nashnya menurut
Muhammad Abu Zahrah seperti wisky.

c. Hukum Ashl, hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau
ijma’ yang akan diberlakukan kepada far’u, seperti keharaman
meminum khamar menurut Nasrun Haroen.
d. Illat, suatu sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum,
dalam kasus khamar diatas illatnya adalah memabukkan

3. Syarat Qiyas

Untuk dapat melakukan qiyas terhadap suatu masalah yang belum ada
ketentuannya dalam al-Qur’an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat
berikut :

a. Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum


dinasakhkan artinya hukum yang tetap berlaku.
b. Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama artinya
sudah ada menurut ketegasan al-Qur’an dan hadits.
c. Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula pada qiyas,
artinya hukum asal itu dapat diberlakukan pada qiyas.
d. Tidak boleh hukum furu’ (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena
untuk menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya (sebab).
e. Hendaklah sama illat yang ada pada furu’ dengan illat yang ada pada
asal.
f. Hukum yang ada pada furu’ hendaklah sama dengan hukum yang
pada asal.

C. Urf

1. Pengertian

Kata ‘urf diambil dari akar kata ‘arafa – ya’rifu – irfan, ‘irfah, ma’rifah, ’urf
mempunyai arti mengetahui.‘arafa al-shai’ semakna dengan kata ‘alima al-
shai’ mengetahui tentang sesuatu. Kata-kata seakar dangan fi’il yang terdiri
dari hijaiyyah ‘a – ra – fa ‫ ))ع – ر –ف‬mempunyai arti mengacu.

Dari banyaknya pengertian kata ‘urf , mengacu pada makna sejenis yaitu
pengetahuan tentang sesuatu.Selanjutnya, kalau kita mencoba
mengkombinasikan semua makna ‘urf diatas, maka akan menghasilkan makna
“pengetahuan akan sesuatu yang diikuti oleh masyarakat sehingga
pengetahuan itu tertanam dalam jiwa menjadi suatu terkenal bahkan menjadi
aturan bersama”.

Sedangkan makna kata‘urf secara terminologi ushul fiqh mempunyai


kemiripan dengan makna kata ‘urf secara bahasa di atas hanya saja ada
terdapat konsep-konsep tambahan Seperti jami’ dan mani’ . Menurut Abdul
Wahab Khalaf (tt:54), ‘urf dikatakan sebagai suatu kebiasaan manusia dan
mereka selalu membiasakannya baik berbentuk perkataan, perbuatan atau

5
kesepakatan meninggalkan sesuatu. Sedangkan pengertian ‘urf menurut Abu
Zahra adalah segala bentuk kebiasaan perbuatan manusia dan mereka selalu
beristiqamah terhadapnya.

Sedangkan kata ‘urf dalam berbagai derivasinya dengan varian maknanya


terdapat dalam berbagai Surat al-Quran. Namun, pemakalah mencukupkan diri
untuk mengambil akar kata ‘urf saja yang terdapat di dua tempat yaitu dalam
Surat al-a‟raf ayat 199 yang artinya:

“Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”

Kata ‘urf dalam ayat 199 Surat al-A‟raf menurut Khalid Abdul Rahman
mempunyai arti suatu yang dianggap baik oleh syara'.

Dari penelusuran makna kata ‘urf dalam al-Quran tersebut nampak tidak ada
kaitannya dengan makna ‘urf menurut terminologi hukum Islam.Semua makna
mengacu pada makna ‘urf secara harfiyah, walaupun terdapat perbedaan
ulama' mengenai ayat 199 Surat al-A‟raf, apakah mengacu pada ‘urf dalam
pengertian hukum Islam atau bukan, sehingga menjadi alasan berlakunya urf
dalam ranah hukum islam.

2. Dasar hukum ‘Urf

Para ulama memandang ‘Urf sebagai salah satu dalil untuk mengistinbathkan
hukum Islam hal ini dapat dilihat dari beberapa ucapan ulama. Ada juga
sebagian ulama yang memperkuat kehujjahan ‘Urf dengan dalil Al-Qur’an dan
Hadits. Mereka mengemukakan ayat 199 surat Al-A’raf sebagai dalilnya :

‫خذ العفو امر بالعرف واعرض عن الجاهلين‬

“jadilah enkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, dan
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

Diantara hadits yang dijadikan kehujjahan ‘urf adalah hadits yang


diriwayatkan jama’ah selain Tirmidzi yang menceritakan kisah pengaduan
hindun perihal sifat bakhil suaminya, Abu Sufyan dalam pemberian nafkah,
beliau bersabda :

‫خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف‬

“Ambillah (ambillah dari harta suamimu) kadar yang cukup untukmu dan
anakmu menurut ukuran yang cukup”

Disamping dalil-dalil tersebut, para ulama menggunakan ‘Urf sebagai dalil


mengemukakan beberapa argument kehujjahan ‘Urf :
 Kita mendapati Allah dan meresipir ‘Urf-‘Urf orang arab yang
dipandang baik.

6
 ‘Urf pada dasarnya disandarkan pada salah satu dalil-dalil syara’ yang
mu’tabarah.
 Para ulama dari masa kemasa telah menggunakan ijma’ sebagai dalil
atau hujjah hukum Islam. Hal ini menunjukkan bahwa para ulama
mengakuinya sebagai dalil.[7]

3. Syarat-syarat ‘Urf

Para ulama Ushul menyatakan bahwa suatu ‘urf baru dapat dijadikan sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum Syara’ apabila memenuhi sayarat-
syarat sebagai berikut:
 ‘Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan mayarakat.
 ‘Urf tersebut masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan
pada ‘Urf tersebut ditetapkan. Jika ‘Urf telah berubah, maka hukum
tidak dapat dibangun diatas ‘Urf tersebut.
 Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘Urf oleh pihak-
pihak yang terlibat didalamnya.
 ‘Urf tidak bertentang dengan nash, sehingga menyebabkan hukum
yang dikandung nash tersebut tidak bisa diterapkan. ‘Urf seperti ini
tidak dapat dijadikan dalil syara’ karena kehujjahan ‘urf baru bisa
diterima apabila tidak ada nash yang mengandung hukum
permasalahan yang dihadapi.[8]

4. Kedudukan 'Urf

Disamping memiliki kedudukan penting dalam penetapan hukum ‘Urf juga


memiliki kedudukan penting dalam penerapan suatu hukum, sebagaimana
diketahui hukum Islam memiliki dua sisi yaitu, sisi penetapan (istinbath) dan
sisi penerapan (tathbiq). Keduanya bisa berjalan parallel bisa juga tidak.
Artinya suatu produk hukum adakalanya dapat diterapkan secara langsung
tanpa mempertimbangkan kemaslahatan lokus dimana hukum terebut
diterapkan, dan ada kalanya tidak dapat diterapkan, karena tidak sesuai dengan
kemaslahatan masyarakat ditempat dimana hukum Islam tersebut akan
diterapkan. Dalam kaitan ini’Urf menjadi dasar bagi penerapan suatu hukum.

Segala sesuatu yang diwajibkan oleh Allah, dan Allah tidak menjelaskan
kadarnya, maka ukurannya dikembalikan kepada ‘Urf, seperti ukuran besarnya
mahar, besarnya mut’ah bagi istri yang dicerai suaminya, upah bagi buruh atau
pembantu rumah tangga disuatu tempat dan lain-lain.[9]

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

8
DAFTAR PUSTAKA

http://irginurfadil.blogspot.com/2016/12/makalah-ijma-dan-qiyas-fiqh-ibadah.html?m=1
https://belladesy05.wordpress.com/makalah-ushul-fiqh-tentang-urf/
https://kumparan.com/berita-hari-ini/ijma-pengertian-rukun-dan-dalilnya-1vCJoSOcoGF
https://almanhaj.or.id/2944-peran-ijma-dalam-penetapan-hukum-islam.html
http://jurnalalulum.iimsurakarta.ac.id/index.php/jurnal/article/download/25/24
https://journal.trunojoyo.ac.id/ettijarie/article/download/3913/2869

Anda mungkin juga menyukai