DOSEN PENGAMPU;
Masyhuri Rifa’I, M.Ag.
DI SUSUN OLEH;
APRILIA ZAHRA
MUHAMMAD NUR HIKMAWAN
“Hadist marfu’ yaitu apa yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.Baik
berupa perkataan,perbuatan,persetujuan,maupun sifat.”
Berdasarkan definisi di atas,maka hadist marfu’ adalah sebuah informasi yang di
sandarkan kepada Nabi Muhammad Saw.
-Baik berupa perkataan,perbuatan,persetujuan,maupun sifat.
-Baik yang menyandarkan itu seorang sahabat atau generasi di bawahnya.
-Dan hadist marfu’ ini bisa jadi sanadnya muttashil (bersambung) maupun muntaqhi
(terputus)
Contoh Hadist Marfu’
Rasulullah Saw. bersabda:
َفَم ْن َكاَنْت ِهْج َر ُتُه ِإَلى ِهللا َو َر ُسْو ِلِه َفِه ْج َر ُتُه ِإَلى ِهللا َو َر ُسْو ِلِه
َأْو اْمَر َأٍة َيْنِكُح َها َفِهْج َر ُتُه ِإَلى َم ا َهاَج َر ِإَلْيِه،َو َم ْن َكاَنْت ِهْج َر ُتُه ِلُد ْنَيا ُيِص ْيُبَها
“Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang
akan memperoleh balasan berdasarkan apa yang dia niatkan.
“Maka siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan ridha) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya adalah kepada (ridha) Allah dan Rasul-Nya.
“Dan siapa yang hijrahnya karena urusan duniawi yang ingin dicapainya, atau karena wanita
yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”
Berdasarkan definisi di atas pula, hadits marfu’ itu ada empat macam, yaitu:
“Hadits marfu’ qauli yaitu: bila ada seorang shahabat atau tabi’in berkata: bahwa Rasulullah
Saw. berkata demikian dan demikian.”
: َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم: َع ْن َأِبى ُهَر ْيَر َة َقاَل
.َم ْن َص اَم َر َم َض اَن ِإيَم اًنا َو اْح ِتَس اًبا ُغ ِفَر َلُه َم ا َتَقَّد َم ِم ْن َذْنِبِه
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan
hanya mengharap ridha Allah, maka seluruh dosanya yang telah lalu akan dihapus.” (HR.
Imam Bukhari.)
Hadits di atas termasuk hadits marfu’ karena telah mencukupi dua unsur, yaitu:
seorang shahabat (Abu Hurairah) menisbahkan perkataan ini kepada Rasulullah Saw.
matan hadits berupa perkataan Rasulullah Saw.
“Hadits marfu’ fi’li yaitu bila ada seorang shahabat maupun tabi’in berkata: bahwa
Rasulullah Saw. berbuat demikian dan demikian.”
َع ْن َأِبى ُأَم اَم َة َأَّن الَّنِبَّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َتَو َّض َأ َفَم ْض َم َض َثَالثًا َو اْسَتْنَش َق َثَالثًا َو َغ َسَل َو ْج َهُه َو َك اَن َيْمَس ُح اْلَم اَقْيِن ِم َن
اْلَع ْيِن
Dari Abu Umamah, bahwa Nabi Muhammad Saw. berwudhu. Beliau berkumur tiga kali,
beristinsyaq tiga kali, dan membasuh wajah. Lalu beliau mengusap kedua sudut mata.” (HR.
Ahmad)
Hadits di atas termasuk hadits marfu’ fi’li, karena sudah memenuhi dua unsur:
seorang shahabat (Abu Umamah) menisbahkan perkataan ini kepada Rasulullah Saw.
matan hadits berupa perbuatan Rasulullah Saw.
3. Hadits Marfu’ Taqriri
“Hadits marfu’ taqriri yaitu: bila ada seorang shahabat maupun tabi’in berkata: bahwa telah
terjadi demikian dan demikian di hadapan Rasulullah Saw. dan beliau tidak melarangnya.”
. َال ُيَص ِّلَيَّن َأَح ٌد اْلَع ْص َر ِإَّال ِفى َبِنى ُقَر ْيَظَة: َقاَل الَّنِبُّى َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َلَنا َلَّم ا َر َجَع ِم َن اَألْح َز اِب: َع ِن اْبِن ُع َم َر َقاَل
َفُذ ِكَر ِللَّنِبِّى. َبْل ُنَص ِّلى َلْم ُيَر ْد ِم َّنا َذ ِلَك: َو َقاَل َبْعُضُهْم، َال ُنَص ِّلى َح َّتى َنْأِتَيَها: َفَأْد َر َك َبْعُضُهُم اْلَع ْص َر ِفى الَّطِر يِق َفَقاَل َبْعُضُهْم
َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َفَلْم ُيَع ِّنْف َو اِح ًدا ِم ْنُهْم
Usai Perang Ahzab, Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Hendaknya tidak ada seorang pun
shalat Ashar melainkan di Bani Quraidhah.”
Di tengah jalan, sebagian dari mereka mendapati waktu Ashr. Sebagian di antara mereka
berkata, “Kami tidak shalat kecuali telah tiba di sana.”
Sebagian lagi berkata, “Kami akan shalat, karena beliau tidak bermaksud melarang kita
shalat.”
Lalu hal itu disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw.. Ternyata beliau tidak mencela
salah satu di antara mereka.
Hadits di atas termasuk hadits marfu’ taqriri, karena sudah memenuhi dua unsur:
“Hadits marfu’ washfi yaitu bila ada seorang shahabat maupun tabi’in berkata: bahwa
Rasulullah Saw. memiliki sifat demikian dan demikian. Baik sifat akhlak maupun sifat
jasmani.
كان خلقه القرآن: قالت، قالت عائشة لما سئلت رضي هللا عنها عن خلق النبي عليه الصالة والسالم
Ketika ada seseorang bertanya kepada Siti ‘Aisyah tentang akhlak Nabi Muhammad Saw.
Dia berkata: “Akhlak beliau adalah al-Qur’an.”
(HR. Muslim)
Jadi hadits di atas disampaikan oleh seorang shahabat, dan menceritakan tentang sifat akhlak
Rasulullah Saw. Sehingga hadits itu termasuk hadits marfu’ washfi.
Hadits Marfu’ itu belum tentu shahih. Juga belum tentu dha’if. Jadi hadits marfu’ itu ada
yang shahih dan ada yang dha’i. Sebagaimana dijelaskan, bahwa istilah hadits marfu’ ini
hanya menunjukkan kepada siapa sebuah riwayat disandarkan. Bila sebuah riwayat
disandarkan kepada Allah Swt., maka riwayat itu disebut sebagai hadits qudsi. Bila sebuah
riwayat disandarkan kepada Rasulullah Saw., maka riwayat itu disebut sebagai hadits
marfu’.
“Semua yang dinisbahkan kepada seorang shahabat. Baik berupa perkataan, perbuatan
maupun persetujuan.”
Berdasarkan definisi di atas, maka sebuah hadits mauquf itu ada yang sanadnya bersambung
(muttashil) dan ada yang sanadnya terputus (munqathi‘).
Hadits marfu’ artinya: perawi mengangkat hadits itu sampai pada Nabi Muhammad Saw.
Bahwa misalnya, perawi mengatakan bahwa Rasulullah Saw. bersabda demikian dan
demikian.
Hadits mauquf artinya: perawi menghentikan hadits itu hanya sampai pada shahabat. Bahwa
misalnya, Ibnu Abbas berkata demikian.
B. Macam-macam Hadits Mauquf
perkataan,
perbuatan,
persetujuan.
Selain ketiga macam hadits mauquf itu, sebenarnya ada satu lagi. Yaitu hadits mauquf marfu’
hukman. Artinya: secara zahir adalah hadits mauquf. Namun secara hakekat merupakan
hadits marfu’.
– Yang berkata-kata dalam hadits itu adalah Ali bin Abi Thalib. Bukan Rasulullah Saw.
Maka disebut sebagai hadits mauquf.
– Hadits di atas kemungkinan besar adalah hadits shahih. Karena Imam Bukhari merupakan
muhaddits yang paling berhati-hati dalam menetapkan standar hadits shahih.
– Maksud hadits di atas, bahwa seorang ulama harus memperhatikan kemampuan intelektual
jamaah. Jangan sampai menyampaikan ilmu yang akan membuat jamaah bingung. Inilah ilmu
hikmah atau bijaksana.
2. Hadits mauquf fi’lan (berupa perbuatan)
(HR. Bukhari)
– Hadits di atas termasuk hadits mauquf. Karena pelakunya adalah Ibnu ‘Abbas, seorang
shahabat. Bukan Rasulullah Saw.
– Hadits di atas disampaikan oleh Imam Bukhari sebagai pendahuluan bab tayamum dalam
Shahih Bukhari. Menunjukkan keabsahan tayamum untuk shalat sendirian maupun sebagai
imam.
– Riwayat tersebut masuk kategori shahih. Karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Bahwa ada seorang tabi’in berkata, “Aku melakukan sesuatu di hadapan para shahabat.
Mereka tidak menyalahkanku.”
Ketika tidak ada shahabat yang menegur perbuatan tabi’in tersebut, berarti para shahabat itu
setuju. Diamnya para shahabat itu berarti mereka setuju. Artinya, perbuatan tabi’in itu tidak
ada masalah. Kami sudah mencari contoh real dari hadits mauquf taqriran. Namun belum
ketemu. Bila di antara pembaca ada yang menemukan, mohon untuk kesediaannya berbagi
dalam kolom komentar. Insya Allah akan kami tambahkan di sini. Terima kasih.
Hadits mauquf itu ada yang shahih dan ada yang dha’if.
Bila sebuah hadits mauquf dinyatakan shahih, apakah bisa dijadikan dalil?
Pada dasarnya, hadits mauquf bukan termasuk dalil. Karena hadits mauquf ini hanya
merupakan perkataan dan perbuatan seorang shahabat.
Namun hadits mauquf yang shahih memiliki potensi untuk menguatkan hadits marfu’ yang
dha’if. Karena perilaku shahabat merupakan bentuk pengamalan sunnah Rasulullah Saw.
Inilah kedudukan hadits mauquf secara umum. Adapun hadits mauquf yang dihukumi sebagai
marfu’ (marfu’ hukman), maka kedudukannya sama dengan hadits marfu’.
اْلَحِد ْيُث اْلَم ْقُطْو ُع
al-Hadits al-Maqthu’
“Semua yang dinisbahkan kepada Tabi’in dan yang lebih rendah dari Tabi’in. Baik berupa
perkataan maupun perbuatan.”
Memang secara bahasa, maqthu’ dan munqathi’ itu artinya adalah terputus.
Perbedaannya:
Hadits Maqthu’ itu putus yang berkaitan dengan matan. Yaitu matannya terputus hanya
dinisbahkan pada Tabi’in atau Tabi’ut Tabi’in. Tidak sampai pada Shahabat maupun
Rasulullah Saw.
Sedangkan Hadits Munqathi’ itu putus yang berkaitan dengan sanad. Yaitu sanadnya
terputus, ada perawi yang tidak disebutkan.
Inilah contohnya:
Imam Hasan al-Bashri berkata tentang hukum shalat berjamaah dengan seorang imam yang
suka berbuat bid’ah:
َص ِّل َو َع َلْيِه ِبْد َع ُتُه
“Shalatlah bersamanya. Adapun dosa bid’ah menjadi tanggung jawab dia sendiri.” (HR.
Bukhari)
Imam Hasan al-Bashri merupakan seorang Tabi’in. Maka perkataannya merupakan hadits
maqthu’.
كان مسروق يقوم فيصلى كأنه راهب وكان يقول ألهله هاتوا كل حاجة لكم فاذكروها لي قبل أن أقوم إلى الصالة
Adalah Masruq bila shalat, maka dia shalat seperti seorang rahib. Sebelum shalat dia berkata
kepada keluargany: “Sebutkanlah semua hajat kalian kepadaku, sebelum aku melaksanakan
shalat.” (Kitab Hilyatul Auliya’)
Imam Masruq merupakan seorang Tabi’in. Sama dengan Imam Hasan al-Bashri.
كان مسروق يرخى الستر بينه وبين أهله ويقبل على صالته ويخليهم ودنياهم
“Adalah Masruq bila shalat, dia mengambil hijab yang menghalangi antara pandangannya
dengan keluarganya. Lalu dia shalat dengan melupakan keluarga dan dunia keluarganya.”
(Kitab Hilyatul Auliya’)
Hadits Maqthu’ bukanlah sebuah dalil. Artinya tidak bisa digunakan sebagai dalil.
Karena hadits maqthu’ ini sama dengan perkataan dan perbuatan orang Islam pada umumnya.
Tidak memiliki nilai khusus.
Kecuali bila perawinya memberikan tambahan keterangan sebagai hadits marfu’, misalnya
dengan memberikan keterangan dengan kata “YARFA’UHU” ketika menyebut nama perawi
tabi’in, maka statusnya menjadi HADITS MARFU’ MURSAL.
Kesimpulan
Bila sebuah riwayat disandarkan kepada Rasulullah Saw., maka riwayat itu
disebut sebagai hadits marfu’.
Jika sebuah riwayat disandarkan kepada seorang shahabat, maka riwayat itu
disebut sebagai hadits mauquf.
Dan jika sebuah riwayat disandarkan kepada seorang tabi’in, maka riwayat itu
disebut sebagai hadits maqthu’.