“Hai orang-orang yang beiman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus denga
Rasul, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (kepada fakir miskin) sebelum pembicaraan
itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada
memperoleh (yang akan disedekahkan), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun
Lagi Maha Penyayang“.
Setelah situasi berubah, karena banyak Sahabat yang sebetulnya perlu bertanya kepada
beliau, tetapi karena tidak mempunyai dana untuk bersedekah, lalu tidak jadi menghadap /
bertanya. Lalu turunlah ayat 13 surat al-Mujadalah yang menghapuskan kewajiban
bersedekah tersebut, dan diganti dengan ketentuan baru, yaitu boleh saja mengahadap atau
bertanya kepada beliau, walau belum / tidak bersedekah lebih dahulu. Ayat tersebut adalah :
ََّ سولَ َهُ َو
ّللاُ َخ ِبيرَ ِب َما ََّ الزكَا َة َ َوأَطِ يعُوا
ُ ّللاَ َو َر َّ علَ ْي ُك َْم فَأَقِي ُموا ال
َّ ص ََل َة َ َوآتُوا ََ صدَقَاتَ فَإ ِ َْذ لَ َْم ت َ ْف َعلُوا َوت
ََّ َاب
َ ُّللا َْ َأَأ َ ْشفَ ْقت ُ َْم أَن تُقَ ِد ُموا َبيْنََ َيد
َ ي نَجْ َوا ُك َْم
ََت َ ْع َملُون
“Apakah kalian takut (menjadi miskin) karena kalian memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul. Maka, jika kalian tidak memeperbuatnya dan Allah memberi
tobat kepadamu, mak dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatlah kekpada Allah dan
Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan“.
Jadi ketentuan ayat 12 surat al-Mujadalah itu sudah tidak berlaku lagi, setelah datangnya
ketentuan baru dari ayat 13 surat al-Mujadalah yang menghapuskan ketentuannya.
2) Ketentuan hukum yang dikecualikan dengan takhshish sudah sejak semula memang tidak
dikehendaki sama sekali. Sedangkan ketentuan hukum yang dihapuskan dengan Nasakh,
mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa saat lamanya. Tetapi setelah ada
perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukum tersebut dihapuskan dan
tidak diberlakukan lagi.
3) Nasakh itu membatalkan kehujjahan hukum yang di-mansukh, sedangkan takhshish tidak
membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya saja. Sedang ketentuan hukumnya
tetap berlaku bagi yang tidak dikecualikan dengan pembatasan tersebut.
4) Nasakh itu tidak bisa terjadi kecuali dalam al-Qur`an dan Sunnah, sedangkan takhshish bisa
saja terjadi dalam al-Qur`an dan Sunnah ataupun dalam hukum lain di luar al-Qur`an dan
Sunah.
Al-Zarqany menambahkan penjelasan mengenai perbedaan Nasakh dengan takhshish, yaitu dalil
yang me-nasakh, harus datang secara terpisah dan terkemudian dari dalil terdahulu. Sementara
dalil yang men-takhshish dalil umum dapat datang secara terdahulu, bersamaan dan
terkemudian. Bahkan, ada sebgaian kelompok ulama berpendapat bahwa dalil yang men-
takhshish harus datang secara berbarengan. Kalau tidak, maka hal itu bukan takhshish, melainkan
dalil yang me-nasakh kepada lafal umum.
Bahkan al-Amidi, mengemukakan perbedaanNasakh dengan takhshish menjadi sepuluh (10)
bagian, meskipun diantara keterangannya juga memiliki kesepahaman dengan ulama yang lain.
Sebagaimana dikutip oleh DR. Musthafa Said al-Khin. Diantara penjelasannya yang tidak
disebutkan di atas antara lain:
5) Bahwa Nasakh juga berlaku antara syari`at dengan syari`at sebelumnya,
sedangkan takhshish tidak demikian.
6) Bahwa kelompok Mu`tazilah menambahkan bahwa takhshish lebih umum dari Nasakh,
sehingga dapat dikatakan bahwa setiap Nasakhadalah takhshish, tetapi tidak
setiap takhshish itu adalah Nasakh.