AL-HALLAJ
1|Page
KRITIK TERHADAP KEYAKINAN WIHDATUL WUJUD AL-HALLAJ
Oleh: Ikhfadillah A
I. PENDAHULUAN
Segala puji hanya bagi Allah Ta’ala, Rabb semesta alam. Dengan segala rahmat
dan kasih sayangآ-nya, Ia menurunkan kenikmatan di setiap inci tubuh manusia juga di
setiap waktu perjalanan kehidupan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada baginda Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, ialah pembawa kabar gembira
bagi orang-orang beriman dan pemberi peringatan bagi orang-orang yang enggan
beriman kepada Allah.
Seorang muslim adalah orang yang mengikuti apa yang Rasul sampaikan. Iman
dan konsekuensinya, Islam dan segala aspek yang berkaitan dengannya, serta akhlak
dan perilaku sebagai kunci sosial seorang muslim. Dalam ranah akhlak, seorang muslim
akan selalu menjaga dirinya untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan,
menjaga etika dan estetika sebagai seorang muslim pada umumnya. Tentunya sesuai
dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, juga sebagaimana yang
Rasulullah contohkan.
1
Secara etimologi, tasawuf berasal dari kata Bahasa Arab, yaitu تصوفا- يتصوف- تصوفmaknanya adalah menjadi
seorang sufi atau ajaran untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan
langsung secara sadar dengan-Nya. Sedang kata sufi sendiri adalah istilah yang digunakan kepada orang yang
mengikuti aliran tasawuf. Lihat di KBBI.
Secara terminologi, tasawuf dapat dimaknai dengan ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam
dapat sedekat mungkin dengan Allah agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa
seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan. Lihat di Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, Harun Nasution,
(Jakarta, Bulan Bintang,1978) hlm.56-58.
2
Ulama berbeda pendapat dari mana asal-usul kata tasawuf tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kata tasawuf
berasal dari kata shuf ( ` صوفbulu domba`), ada pula yang mengatakan dari kata shaff (` صفbarisan`), ada juga
ّ
shafa’ (` صفاءjernih`), ataupun shuffah (` )صفةserambi masjid Nabawi yang ditempati sahabat Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wasallam`). Lihat di Ilmu Ilmu Tasawuf, Samsul Munir Amin, (Jakarta: Amzah, 2012), cet. 1, hlm 2-3; Talbis
al-Iblis, Ibnu al-Jauzy, (Beirut: Dar al-Arqam), hlm. 155-157
2|Page
Namun, dalam kehidupan seorang muslim, tidak sedikit yang mempelajari dan
mengamalkan ajaran tasawuf, karena sesuai dengan maknanya, yakni mendekatkan diri
kepada Tuhan dengan mensucikan diri dari segala dosa, mengerjakan kebaikan,
meninggalkan keburukan, dan lain sebagainya, dan seluruh kaum muslimin memiliki
tujuan tersebut. Yang menjadi poin tersendiri, tasawuf adalah istilah yang memiliki
kesamaan dengan akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallu ‘Alaihi Wa Sallam.
Apa yang diajarkan dalam tasawuf tidaklah berbeda dengan akhlak pada
umumnya. Karena inti tasawuf sendiri telah disebutkan dalam al-Qur’an, seperti: ajaran
khauf, raja’, taibat, zuhud, tawakal, syukur, sabar, ridha, fana, cinta, rindu, ikhlas,
ketenangan, dan sebagainya3 secara jelas diterangkan dalam al-Qur’an.4
Namun, dalam tasawuf sendiri tidak semuanya berada dalam jalan yang lurus.
Maknanya, banyak dari para penganut ajaran tasawuf sendiri meyakini berbagai
keyakinan yang menyimpang dari ajaran Islam. Sebabnya hanya satu, tidak semua
dasar-dasar ajaran tasawuf berasal dari Islam dan terdapat unsur-unsur dari luar Islam.5
Seperti halnya keyakinan bahwa seorang hamba dapat bersatu dengan Tuhan. 6 Dalam
ajaran tasawuf, hal ini disebut dengan wihdatul wujud.
Keyakinan wihdatul wujud yang banyak diyakini para penganut sufi, sebenarnya
hanyalah pengembangan Ibnu Arabi yang ia ambil dari satu keyakinan seorang tokoh sufi
bernama al-Hussein bin Manshur al-Hallaj. Keyakinan itu sering disebut dengan “Hulul”.
Satu hal yang mendorong Ibnu Arabi mengkodifikasi beberapa hal dalam keyakinan
tersebut adalah kisah tragis yang dialami al-Hallaj, bahkan eksekusi yang mengakhiri
hidupnya karena ajaran dan keyakinan hulul yang ia bawa.
3
Antara lain tentang mahabbah(cinta) terdapat dalam surat al-Maidah ayat 54, tentang taubat terdapat dalam
surat at-Tahrim ayat 8, tentang tawakal terdapat dalam surat at-Thalaq ayat 3, tentang syukur terdapat dalam
surat Ibrahim ayat 7, tentang sabar terdapat dalam surat al-Mukmin ayat 55, tentang ridha terdapat dalam surat
al-Maidah ayat 119, dan lain sebaginya. Lihat di Akhlak Tasawuf, Abiddun Nata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009),hlm. 10
4
Yasir nasution, Cakrawala Tasawuf, (Jakarta: Putra grafika, 2007), hlm. 10
5
Unsur agama dan kepercayaan lain selain Islam itu diantaranya adalah unsur pengaruh dari agama Nashrani,
filsafat Yunani, bahkan Hindu.
6
Nabi Isa ‘Alaihi Salam yang bersatu dengan Tuhan menurut agama Nashrani. mitos-mitos adanya manusia
setengah Dewa, dan sebagainya menurut ajaran Yunani. Seorang anak bernama Krishna yang terlihat sebagai anak
manusia namun dirinya adalah Dewa.
3|Page
Istilah wihdatul wujud memang lebih terkenal dari pada istilah hulul, yang
membedakan adalah bahwa pemikir keyakinan hulul dianggap sesat oleh para ulama,
bahkan karena keyakinannya ia eksekusi dan dihukum mati. Namun, pemikir keyakinan
wihdatul wujud tak sampai dihukum mati.
Dari hal tersebutlah, penulis ingin mengkaji lebih dalam terkait ajaran al-Hallaj,
dasar dan sumber apa sajakah yang ia gunakan, serta kritik terhadap ajarannya karena
menyangkut-pautkan dengan keyakinan kepada Allah. Sedang, keyakinan kepada Allah
adalah hal mutlak yang tidak boleh diragukan, apalagi dicampur-adukkan dengan ajaran
dari luar Islam. Semoga makalah ini bermanfaat.
Secara Bahasa, wihdatul wujud terdiri dari dua suku kata, wihdah(tunggal atau
kesatuan), Ibnu Faris berkata, “ ”و ح دberasal dari kata واحدyang menunjukkan makna
tunggal.7 Sedang makna wujud adalah bentuk. Jika kedua kata tersebut digabungkan,
maka dapat disimpulkan makna dari wihdatul wujud adalah persatuan yang terdiri dari
dua unsur, dan dalam hal ini ialah Allah dan makhluk.
Secara istilah, wihdatul wujud adalah salah satu keyakinan tasawuf yang
bermakna bahwa Allah Ta’ala dan alam itu adalah satu kesatuan. 8 Hal ini menjadi
keyakinan yang menyimpang dari Islam, karena mereka meyakini bahwa segala bentuk
yang ada itu merupakan persatuan Allah Ta’ala. 9 Keyakian ini telah menyebarluas di
kalangan para sufi, dan orang yang menyebarluaskan keyakian ini ialah Ibnu Arabi.10
Ibnu Arabi adalah seorang sufi yang lahir pada tahun 1165 M, dan wafat pada
tahun 1240 M. Sedang al-Hallaj sendiri lahir pada tahun 244H/858M. Terpaut jauh antara
hidupnya dengan hidup al-Hallaj. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keyakinan al-Hallaj
7
Ahmad bin Faris al-Qazwainy ar-Razy, Mu’jam Maqayis Al-Lughah,( Beirut: Dar al-Fikr) 6/ 90
8
Ahmad bin Abdul Aziz al-Qashir, Aqidah as-Shufiyah Wihdatuh al-Wujud al-Khafiyah,(Riyadh, Maktabah ar-
Rusyd), hlm.27-28
9
Ahmad bin Abd al-Halim Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa,(Cairo: Dar al-Hadits), 2/79
10
Ibid, 2/88
4|Page
lebih dahulu ada daripada keyakinan Ibnu Arabi. Namun bila di telisik kembali keyakinan
wihdatul wujud Ibnu Arabi merupakan hasil pengembangan yang ia lakukan berdasarkan
keyakinan hulul milik al-Hallaj.
Paham wihdatul wujud menurut sufi dapat didefinisikan sebagai paham bahwa
antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Harun Nasution
lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan, bahwa dalam paham wihdatul
wujud, nasut yang ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi
haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah dua aspek bagian sesuatu. Aspek yang sebelah
luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haqq.11
Tidak ada dalil shorih yang menjelaskan akan keyakinan wihdatul wujud ini.
Namun terdapat beberapa nash yang nantinya para sufi tafsirkan dan mereka
realisasikan ke dalam pemahaman wihdatul wujud. Diantarnya:
1. Dari Al-quran
Para penganut sufi menganggap bahwa dalil tersebut menjelaskan akan wujud
Ilahi yang berada pada setiap tempat, dan setiap segala sesuatu, dan Ialah hakikat
sesuatu itu sendiri. Dan kalimat “bersama” menurut mereka adalah Allah nampak dalam
tubuh makhluk.13
“Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan Aku telah meniupkan
roh(ciptaan)Ku kepadanya.”14
11
Hamka , Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 45
12
Surat al-Hadid:4
13
Muhammad bin Ali Ibnu Arabi, At-Tajaliyat, (Cairo: Dar al-Husain al-Islamiyah), hlm.233
14
Surat al-Hijr:29, Shaad: 72
5|Page
Para sufi meyakini yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bahwa Allah
meniupkan ruh dari diri-Nya ke dalam tubuh manusia, sehingga dalam diri manusia
terdapat bagian ruh Allah. Hal ini yang mendorong mereka meyakini adanya wihdatul
wujud.
2. Dari As-sunnah
" من عادى لي وليا ً فقد آذنته: " إن هللا تعالى قال: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم:عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال
فإذا أحببته، وال يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه، وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضته عليه،بالحرب
ولئن، ولئن سألني ألعطينه، ورجله التي يمشي بها، ويده التي يبطش بها، وبصره الذي يبصر به،كنت سمعه الذي يسمع به
" رواه البخاري.استعاذني ألعيذنه
Dala hadits tersebut tedapat kalimat, “maka jadilah Aku sebagai pendengarannya
yang ia gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat, sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai kakinya yang ia
gunakan untuk berjalan”. Para sufi menganggap bahwa apa yang dimaksud dengan dalil
ini adalah bahwa Tuhan sejatinya adalah hamba itu sendiri. Karena seorang hamba itu
15
HR. Bukhari dalam Shohihnya, (Beirut: Dar as-Salam, cet pertama), 11/340-341
6|Page
terbentuk dari kemuliaan dan kekuatan Allah, bahkan ia terbentuk dari bagian Allah. 16
Dan mereka pun menyimpulkan bahwa hadits ini menjelaskan akan keyakinan wihdatul
wujud
Ia lahir di kota Murcia, Spanyol pada tahun 1165 M. Ibnu Arabi belajar di Seville,
kemudian setelah selesai pindah ke Ruris. Di sana ia mengikuti dan memperdalam aliran
sufi. Negeri negeri yang pernah ia kunjungi anatara lain Mesir, Syiria, Iraq, Turki, dan
akhirnya ia menetap di Damaskus. Disana ia meninggal dunia pada tahun 1240 M. Ibnu
Arabi menghasilkan banyak karya, sejumlah 300 buku. Di antara buku-buku itu, yang
paling dikenal adalah Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyyah 17 (pengetahuan-
pengetahuan yang dibukukan di Mekkah) dengan tersusun sebanyak 12 jilid.
Juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah
Abang. Adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan juga salah satu penyebar
agama islam dipulai Jawa. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal usulnya. Di
masyarakat terdapat banyak varian cerita mengenai asal usul Syekh Siti Jenar. Sebagian
umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal yaitu Manunggaling
Kawula Gusti, akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar
adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri. Ajaran yang mulia
dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengajarkan cara hidup sufi
yang dinilai bertentangan dengan Walisongo. Pertentangan praktek sufi beliau dengan
Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang ditentukan oleh
Walisongo.18
16
Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, (Al-Andalus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hlm.189; As-Sya’rani, at-Thabaqat al-Kubra,
(Cairo: Maktabah al-Khaniky,2002), 2/24
17
Wikipedia
18
Jamil HM, Cakrawala Tasawuf .sejarah,pemikiran dan kontekstualitas, (Jakarta: Gaung Persada, 2004), hlm 103
7|Page
III. WIHDATUL WUJUD MENURUT AL-HALLAJ
A. Biografi al-Hallaj
Ia bernama Abu al-Mughits al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, lebih
dikenal dengan nama al-Hallaj. Adapun julukan al-Hallaj karena kemampuan spiritualnya
dalam mengungkap apa yang ada di hati orang lain.19 Ia Lahir pada tahun 244H/858M di
salah satu kota kecil Persia, yakni di Thus dekat kota Baidha (Sekarang berada di wilayah
Barat Daya iran).
Pada tahun ini bisa dikatakan al-Hallaj telah memulai pemikirannya tentang
bagaimana menyatu dengan Tuhan. Namun, setelah ia menemukan cara bersatu dengan
Tuhan dan menyampaikan ajarannya kepada orang lain, justru ia dianggap sebagai
19
Isma’il bin Umar ibn Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, (Beirut:al-Ma’arif,1987), hlm. 113
20
Rosihan Anwar dan Mukhtai Sholihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,2000), hlm. 136
8|Page
orang gila, bahkan diancam oleh penguasa Makkah untuk dibunuh, yang akhirnya
ancaman tersebut membawanya untuk kembali ke Baghdad.21
Al-Hallaj rajin menyebarkan ajarannya kepada para orang lain baik dengan melalui
ceramah maupun dalam kajian. Bukan hanya pemikiran bersatunya dengan Tuhan, juga
bahwa ia merasa hijab-hijab ilusi telah tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap
muka dengan sang Kebenaran (al-Haqq). Tidak hanya kepada para pengikutnya
ajaranya ia sebarkan, bahkan kepada salah satu kepala rumah tangga istana 22 ia pun
pernah mengingatkan system tata usaha yang baik dan bersih. Dengan satu tujuan
perbaikan dari segala penyelewengan yang ada. Hingga akhirnya pemerintah khawatir
terhadap pengaruh sufi kedalam struktur politik.
21
Suryadilangga, dkk, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), h.167
22
Ia bernama Nashr al-Qusyairy.
23
Al-Hallaj hidup dibawah 9 khalifah pada masa kekhilafanan Abbasiyah. Para khalifah tersebut antara lain: al-
Mutawakkil, al-Muntashir, al-Musta’in, al-Mu’tazz, al-Muhtadi, al-Mu’tamid, al-Mu’tadid, al-Muktafi, dan al-
Muqtadir. Pada masa khalifah al-Muqtadir inilah eksekusi al-Hallaj dilangsungkan.
24
Qasim Muhammad Abbas, Al-Hallaj al-A’mal al-Kamilah, (Beirut: Riyadh ar-Rays al-Kutub wa an-Nasyr), hlm.8
9|Page
kematiannya, di Irak ribuan orang menamakan diri mereka Hallajiyah(pengikut al-Hallaj).
25
Pada masa al-Hallaj sendiri, istilah wihdatul wujud belum ada, namun keyakinan
serupa pada masa itu lebih sering disebut dengan hulul. Begitu juga dengan keyakinan
al-Hallaj beserta orang-orang yang meyakini bahwa Allah bersatu dengan makhluk.
Definisi hulul
Secara Etimologi, kata al-hulul berasal dari kata bahasa arab yang berbunyi -حل
يحلyang berarti bertempat26 atau “tinggal di”. Sedangkan kata mahall adalah isim makan,
yang berarti tempat yang ditempati. Dikaitkan dengan konsep hulul tersebut, maka tubuh
manusia dapat disebut mahal.27
Keyakinan hulul ini telah menjadi ciri khas dari seorang al-Hallaj. Ia
mengemukakan konsep hulul sebagai penyerapan roh ketuhanan ke dalam tubuh
manusia. Hal ini terdapat dalam beberapa syairnya:
Aku adalah Dia yang kucinta dan Dia yang kucinta adalah aku…Kami adalah dua jiwa
yang bertempat dalam satu tubuh…
25
Ibid,
26
Muhammad bin Mukarram Ibn Manzhur, Lisanul ‘Arab, (Beirut:Daar shadr, 1410 H), 1/702
27
Suryadilangga, dkk, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008), h.170
28
Fana dan Baqa. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia
mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa).. Lihat di
Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi, Said bin Abdullah Al-Hamdany (Bandung: Pelita,1969) hlm. 87
29
Louis Massignon, Diwan al-Hallaj, terj. (Jakarta: Putra Langit), hlm. 26
10 | P a g e
30أبصرتنا وإذا أبصرته# فإذا أبصرتني أبصرته
Jika engkau melihatku, engkau melihat Dia...Jika engkau melihat Dia, engkau melihatku...
Maka, apabila engkau tersentuh sesuatu, tersentuh pula aku...Oleh karena itu, dalam
segala hal engkau adalah aku
Ruh-Nya adalah ruhku, ruhku adalah ruh-Nya...siapa yang melihat kami akan mendapati
dua ruh menempati satu tubuh
36أجفاني مثل جري الدموع من# أنت بين الشغاف و القلب تجري
Kamu mengalir di antara denyut dan kalbuku...laksana airmata yang menetes dari
kelopak mataku
30
Ibid,
31
Ibid, hlm.24
32
Ibid,
33
Ibid, hlm. 9
34
Ibid,
35
Ibid, hlm. 21
36
Ibid, hlm 25
37
Ibid,
11 | P a g e
Bisik-Mu pun tinggal dalam relung hatiku...bagaikan ruh yang hulul dalam tubuh menjadi
satu
Dalam syair di atas, al-Hallaj menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat dua
potensi sifat dasar, yakni unsur nasut(sifat kemanusiaan) dan lahut(sifat ketuhanan),
yakni ruh manusia yang berasal dari ruh Tuhan sebagaimana dijelaskan dalam QS.
Shaad:71-72, yang artinya:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah, maka apabila telah Kesempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya ruh(ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan sujud
kepadaNya”
Mereka mengira aku berpaham hulul dan ittihad...padahal dalam hatiku hanya ada tauhid
(mengesakan Allah).
Dari hal ini, kata nasut dan lahut yang diungkapkan olehnya terkadang dipahami
bahwa keduanya adalah satu hakikat. Nasut adalah lahut dan sebaliknya. Apa yang
nampak dan bisa dilihat adalah nasut, dan apa yang tidak tampak dan bersifat batin
38
Yusuf Zaidan, al-Fikr as-Shufi bayna al-Jili wa Kibar as-SHufiyah, (Mesir: Dar al-Amin,cet. Ke-2,1998), hlm. 189
12 | P a g e
disebut lahut. 39 Dan ia juga hanya menegaskan bahwa dirinya hanyalah bertauhid
kepada Allah Ta’ala. Sebab inilah, para ulama berbeda pendapat dalam memandang
sosok al-Hallaj.
Perbedaan pula terjadi di kalangan sufiyah sendiri. Amru bin Utsman al-Makki dan
Abu Ya’qub al-Aqtha’ berlepas diri dari hal tersebut, mereka tidak mau menentukan dan
menghukumi al-Hallaj. Begitu juga yang dilakukan al-Junaid, ia pernah berkata kepada
al-Hallaj ketika ia datang kepadanya dengan berkata, “Ana al-Haqq”, lalu al-Junaid
berkata memperingatkan “Engkau dengan Haqq-mu akan membawamu kedalam
kebinasaanmu”. Peringatan yang al-Junaid katakan kepadanya pun terbukti, al-Hallaj
dieksekusi karena keyakinannya. Adapun dari sebagian kalangan sufi yang lain, mereka
menganggap al-Hallaj telah kafir karena keyakinannya.41
Dalam meyakini ajaran hulul, dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mereka
ambil kebanyakan sama dengan dalil-dalil yang dijadikan landasan dalam meyakini
wihdatul wujud. Namun, al-Hallaj tidak hanya mengambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah
saja, ia juga berlandaskan dari beberapa sumber lain.
1. Al-Qur’an
39
Ahmad ibn ‘Abd al-Aziz al-Qusyair, ‘Aqidah al-Sufiyyah Wahdat al-Wujud al-Khafiyyah, (Nashr: Maktabah al-
Rushd,2003), hlm 131-132
40
Abdul Qahir bin Thahir Al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, (Mesir: Maktabah Ibn Sina,), hlm229
41
Ibid, hlm. 230
13 | P a g e
Karena dalil yang digunakan dalam meyakini ajaran hulul dan wihdatul wujud kurang
lebih sama, jadi tidak dicantumkan wajhu dalalah dari semua dalil, karena telah
disebutkan diatas. Adapun beberapa dalil al-Qur’an yang ia jadikan landasan adalah:
﴾ َيس أَبَى َوا ْستَ ْكبَ َر َو َكانَ ِمنَ ْالكَافِ ِرين َ َ﴿ َوإِ ْذ قُ ْلنَا ِل ْل َم ََلئِ َك ِة ا ْس ُجدُوا ِِلَ َد َم ف
َ س َجدُوا إِ َّال إِ ْب ِل
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para Malaikat: Sujudlah kalian kepada Adam,
maka mereka pun sujud, kecuali Iblis, ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk
golongan yang kafir.”42
“Dan Dialah Tuhan(yang disembah) dilangit dan Tuhan(yang disembah) di bumi, dan
Dialah Yang Mahabijaksana, maha Mengetahui”44
Maksudnya adalah bahwa ada Tuhan di langit dan Tuhan di bumi. Tuhan yang di
langit ialah Allah Ta’ala. Sedang Tuhan yang di bumi adalah manusia atau Tuhan dalam
diri manusia.
“Dan Dialah Allah(yang disembah), dilangit maupun di bumi, Dia mengetahui apa yang
kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan...”45
Wajhu dalalah dalam ayat ini sebagaimana yang terdapat dalam dalil sebelumnya.
2. As-Sunnah
42
Surat al-Baqarah: 34
43
Surat al-Hadid:4
44
Surat az-Zukhruf:84
45
Surat al-An’am:3
14 | P a g e
Sama halnya dengan keyakinan wihdatul wujud, dasar hulul yang diambil dari as-
Sunnah itu sama, dan untuk wajhu dalalah dalam hadits ini telah dicantumkan pada
pembahasan sebelumnya.
" من عادى لي وليا ً فقد آذنته: " إن هللا تعالى قال: قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم:عن أبي هريرة رضي هللا عنه قال
فإذا أحببته، وال يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه، وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضته عليه،بالحرب
ولئن، ولئن سألني ألعطينه، ورجله التي يمشي بها، ويده التي يبطش بها، وبصره الذي يبصر به،كنت سمعه الذي يسمع به
" رواه البخاري.استعاذني ألعيذنه
3. Pengaruh Filsafat
Pengaruh filsafat dalam Islam sangat besar. Bukan berarti kebaikan yang didatangkan
melainkan ajaran dan keyakinan yang menyimpang dari Islam. pengaruh filsafat Yunani
yang masuk ke dunia Islam yang membuat tasawuf itu terbagi menjadi dua, tasawuf
akhlaki dan tasawuf falsafi. Tasawuf yang telah tercampuri dengan filsafat berujung
dengan pemahaman yang menyimpang dari Islam, seperti melakukan pendekatan
kepada Tuhan dan persatuan dengan-Nya. Sama halnya dengan keyakinan al-Hallaj.
46
HR. Bukhari dalam Shohihnya, (Beirut: Dar as-Salam)11/340-341
15 | P a g e
Terdapat perkataan seorang filosof bernama Neo Platonis, “Kenalilah dirimu dengan
dirimu”. Makna ini diambil sebagai rujukan oleh kaum sufi dan memperluas maknanya
dengan, “Siapa yang mengenal dirinya, niscaya dia mengenal Tuhannya.” Dari sinilah
muncul teori hulul dan wihdatul wujud.47
4. Ajaran Nashrani
Bukan hanya agama Nashrani yang meyakini akan bersatunya Tuhah dengan
makhluk. Namun, kebanyakan agama-agama dahulu meyakini adanya keyakinan
tersebut. Seperti orang-orang Yunani kuno, bahkan agama Hindu pun berkeyakinan akan
hal tersebut.
Ketiga istilah ini sering disandarkan kepada ajaran tasawuf, esensinya sama satu
dengan yang lain. Namun, sedikit perbedaan akan keyakinan tiga hal tersebut.
Wihdatul wujud, keyakinan bahwa Allah dan segala sesuatu itu satu. Makna dalam
hal ini masih umum, bisa juga dikatakan bahwa Allah dan alam itu satu, bisa juga Allah
dan manusia, juga yang lainnya. Karena segala sesuatu yang ada adalah makhluk, dan
makhluk berasal dari Allah.49
Hulul, terdapat beberapa versi pengertian tentang hal ini, salah satunya adalah
hulul diyakini oleh al-Hallaj, yaitu bahwa Allah memiliki dua sisi, lahut dan nasut, dan lahut
47
Abiddun Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 187
48
Abdul Qahir bin Thahir Al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, (Mesir: Maktabah Ibn Sina,), hlm.199
49
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, (Cairo: Dar al-Hadits), 2/140
16 | P a g e
merasuk kedalam nasut, sehingga jiwa seseorang adalah lahut, dan jasadnya adalah
nasut.50
Ittihad, makna dari ittihad adalah wujud makhluk adalah wujud Allah itu sendiri. 51
Namun, dalam hal ini maksud dari makhluk adalah manusia khusus yang telah
membersihkan jiwanya.
Istidlal para kaum sufi dalam meyakiani adanya wihdatul wujud dan hulul sangat
berbeda jauh dengan penjelasan para ulama mengenai ayat-ayat al-Qur’an maupun
hadits. Sehingga, keyakinan mereka rentan akan bantahan dari orang-orang yang
menolak keyakinan menyimpang tersebut. Berikut diantara dalil-dalil yang mereka
gunakan serta penjelasan Ulama.
Para penganut sufi menganggap bahwa dalil tersebut menjelaskan akan wujud
Ilahi yang berada pada setiap tempat, dan setiap segala sesuatu, dan Ialah hakikat
sesuatu itu sendiri. Dan kalimat “bersama” menurut mereka adalah Allah nampak dalam
makhluk.52
Dalam hal ini anggapan mereka berbeda dengan apa yang para mufassirin
tafsirkan terkait ayat tersebut. Karena dari kata ( )معsendiri maknanya adalah
musohabah(menemani) atau muqaranah(berdekatan) dalam satu perkara.53 Juga dalam
masalah kebersamaan Allah dengan para makhluk. Dalam hal ini kebersamaan Allah
dengan makhluk ada dua macam. Kebersamaan dengan makhluk secara umum,seperti
50
Abdur Rahman al-Wakil, Hadza Hiya as-Shufiyah, (Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah), hlm.53
51
Mushtafa Hilmi, Ibnu Taimiyah wa at-Tasawuf, (Dar ad-Dakwah, cet. kedua), hlm.213
52
Ibnu Arabi, at-Tajaliyat, (Cairo: Dar al-Husain al-Islamiyah), hlm.233
53
Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, (Beirut:Daar shadr, 1410 H), 8/340; at-Thahir Ahmad az-Zawy, al-Qamus al-Muhith,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), 3/85
17 | P a g e
kebersamaan ilmu Allah, qudrah Allah. Dan kebersamaan secara khusus, seperti
pertolongan Allah kepada para wali Allah tergantung kondisi. Dan yang dimaksud
kebersamaan dalam ayat ini adalah kebersamaan yang pertama.54
Ibn katsir menafsirkan bahwa maksud ayat tersebut adalah Allah selalu
mengawasi dan menyaksikan perbuatan hambanya dimanapun ia berada, di daratan,
lautan, siang ataupun malam, di rumah maupun diluar rumahnya. Seluruh perbuatan
dibawah pengawasan-Nya juga pendengaran-Nya, maka Ia selalu mendengar segala
perkataan para hamba-Nya. Ia mengetahui segala sesuatu baik yang nampak maupun
yang tidak nampak.56
﴾ َاجدِين
ِ سَ ُوحي فَقَعُوا لَه
ِ ﴿ َونَفَ ْختُ ِفي ِه ِم ْن ُر
Para sufi meyakini yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah bahwa Allah
meniupkan ruh dari diri-Nya ke dalam tubuh manusia, sehingga dalam diri manusia
terdapat bagian ruh Allah. Hal ini yang mendorong mereka yakini adanya wihdatul wujud.
Bila dikaji lebih dalam, sesuatu yang disandarkan kepada Allah itu ada dua macam.
Pertama, penyandaran sifat kepada Allah Ta’ala. Seperti ilmu, qudrah, kalam,
pendengaran, serta penglihatan, inilah yang disebut penyandaran sifat kepada Allah,
begitu pula wajh, yadd yang disandarkan kepada Allah. Kedua, penyandaran sesuatu
yang terpisah dari diri-Nya, seperti Bait Allah, Hamba Allah, Rasul Allah, Ruh Allah. Dan
ini adalah penyandaran makhluk dengan sang Khaliq. 57 Maknanya ruh yang ditiupkan
oleh Allah kepada makhluknya bukan berarti bagian dari diri Allah, melainkan ruh yang
Allah tiupkan adalah ruh yang terpisah dari diri-Nya dan disiapkan untuk para makhluk-
Nya.
54
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, (Cairo: Dar al-Hadits), 5/103-104
55
Al-Qurthubi, al-Jami’ liahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet. Kedua, 1964), 17/237; as-Suyuthi,
ad-Dar al-Mantsur fi tafsir al-Ma’tsur, (beirut: Dar al-fikr,1414 H)8/49
56
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Mesir: maktabah tauqifiyah), 8/8
57
Abdul Akhir Hammad al-Ghunaimi, al-Minhah Ilahiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1416 H), hlm. 233
18 | P a g e
3. Hadits Qudsi
“Jika Aku telah mencintainya, maka jadilah Aku sebagai pendengarannya yang ia
gunakan untuk mendengar, sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat,
sebagai tangannya yang ia gunakan untuk memegang, sebagai kakinya yang ia gunakan
untuk berjalan.”
Para sufi menganggap dalil ini menjelaskan bahwa Tuhan sejatinya adalah hamba
itu sendiri. Karena seorang hamba itu terbentuk dari kemuliaan dan kekuatan Allah,
bahkan ia terbentuk dari bagian Allah.58 Dan mereka pun menyimpulkan bahwa hadits ini
menjelaskan akan keyakinan wihdatul wujud.
Makna yang dijelaskan para ulama berbeda dengan apa yang pasa penganut sufi
pahami. Para ulama memaknai hadits tersebut dengan, seorang hamba yang selalu
melaksanan fardhu dengan bersungguh-sungguh ingin mendekatkan diri dengan Allah
Ta’ala, juga mengerjakan amalan sunnah. Hingga Allah merasa jatuh cinta kepada
hamba tersebut. Maka pada saat itu terjadi, hamba tersebut dijaga oleh Allah dalam
segala hal dari segala keburukan. Ia tidak mendengar kecuali sesuatu yang baik dan ia
hanya menerima segala sesuatu yang baik pula. Jika ia melihat, ia melihat dengan
cahaya Allah, atas petunjuk Allah, maka ia hanya melihat sesuatu yang baik dan benar
lalu ia ikuti, dan ia melihat sesuatu yang buruk lalu ia jauhi. Jika ia menyentuh, ia
menyentuh dengan kekuatan dari Allah ta’ala sebagai pertolongan pada kebenaran. Jika
ia berjalan, ia berjalan dalam ketaatan kepada Allah, menuntut ilmu, berjihad di jalan Allah,
berdakwah, dan lain sebagainya.59
58
Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, (Al-Andalus: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hlm.189; as-Sya’rani, at-Thabaqat al-Kubra,
(Cairo: Maktabah al-Khaniky,2002), 2/24
59
Ibnu Taimiyah, Majmu’ fatawa, (Cairo: Dar al-Hadits), 2/341; Ibnu al-Qayyim, ad-Da’u wa Ad-Dawa’, (Al-
Maktabah al-Iman) 315-319; Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bary, (Beirut: Dar al-Fikr), 11/344; Fatawa Lajnah ad-
Da’imah lil Ifta’, (Mamlukah al-‘Arabiyah as-su’udiyah: Dar al-‘Ashimah, cet. ketiga) ,3/158; Sholih bin Utsaimin,
Majmu’ Fatawa, (Dar Tsuroyya lin Nasyr), 1/257-258
19 | P a g e
1. Tasawuf jika ditinjau dari segi akhlak, itu sesuatu yang baik karena sesuai dengan
apa yang Rasul ajarkan. Namun jika di tinjau dari segi aqidah, banyak
bermunculan keyakinan-keyakinan yang menyimpang dari Islam, juga telah
tercampuri ajaran selain dari Islam seperti Nasrani.
2. Wihdatul wujud merupakan pengembangan dari keyakinan hulul. Ibnu Arabi
selaku pengembang keyakinan wihdatul wujud, ia memiliki konsep yang sama
dengan keyakinan hulul. Hanya sedikit perbedaan antara keduanya. Hulul, yaitu
lahut bersatu dengan nasut. Sedang wihdatul wujud, bersatunya Allah dengan
segala sesuatu. Adapun ittihad, Allah bersatu dengan manusia pilihan.
3. Keyakinan wihdatul wujud dan hulul memang dilandasi dengan nash. Namun, apa
yang mereka yakini berbeda dengan apa yang para ulama mufassir tafsirkan.
4. Sebagai seorang muslim diharuskan untuk menghindari ajaran dan keyakinan
yang dapat membuat seorang menyimpang dari Islam. Apalagi setelah ajaran
tersebut telah tercampuri dengan ajaran di luar Islam.
Referensi
1. KBBI.
2. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang,1978)
3. Samsul Munir Amin , Ilmu Ilmu Tasawuf, (Jakarta: Amzah, 2012)
4. Ibnu al-Jauzy, Talbis al-Iblis, (Beirut: Dar al-Arqam)
5. Abiddun Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009)
6. Yasir nasution, Cakrawala tasawuf, (Jakarta: Putra grafika, 2007)
7. Ahmad bin Faris al-Qazwainy ar-Razy, Mu’jam Maqayis a-Lughah,( Beirut: Dar al-
Fikr)
8. Ahmad bin Abdul Aziz al-Qashir, Aqidah as-Shufiyah wihdatuh al-Wujud al-
khafiyah,(Riyadh, Maktabah ar-Rusyd)
9. Ahmad bin Abd al-Halim Ibn Taimiyah, Majmu’ Fatawa,(Cairo: Dar al-Hadits)
20 | P a g e
10. Hamka , Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya,(Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983)
11. Muhammad bin Ali Ibn arabi, at-Tajaliyat, (Cairo: Dar al-Husain al-Islamiyah)
12. Bukhari, Shohih Bukhari, (Beirut: Dar as-Salam, cet pertama)
13. Muhammad bin Ali Ibn arabi, Fushush al-Hikam, (Al-Andalus: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah)
14. as-Sya’rani, at-Thabaqat al-Kubra, (Cairo: Maktabah al-Khaniky,2002)
15. Wikipedia
16. Jamil HM, Cakrawala Tasawuf .sejarah,pemikiran dan kontekstualitas, (Jakarta:
Gaung Persada, 2004)
17. Isma’il bin Umar ibn Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, (Beirut:al-Ma’arif,1987)
18. Rosihan Anwar dan Mukhtai Sholihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka
Setia,2000)
19. as-Suyuthi, ad-Dar al-Mantsur fi tafsir al-Ma’tsur, (beirut: Dar al-fikr,1414 H)
20. Ibnu Katsir, tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, (Mesir: maktabah tauqifiyah)
21. Abdul Akhir Hammad al-Ghunaimi, al-Minhah Ilahiyah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1416
H)
22. Ibnu al-Qayyim, ad-Da’u wa Ad-Dawa’, (Al-Maktabah al-Iman)
23. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bary, (Beirut: Dar al-Fikr)
24. Ahmad bin Abur Razaq ad-Duwais, Fatawa Lajnah ad-Da’imah lil Ifta’, (Mamlukah
al-‘Arabiyah as-su’udiyah: Dar al-‘Ashimah, cet. ketiga)
25. Sholih bin Utsaimin, Majmu’ Fatawa, (Dar Tsuroyya lin Nasyr)
26. Suryadilangga, dkk, Miftahus Sufi, (Yogyakarta: Teras, 2008)
27. Qasim Muhammad Abbas, Al-Hallaj al-A’mal al-Kamilah,(Beirut: Riyadh ar-Rays
al-Kutub wa an-Nasyr)
28. Ibnu Manzhur, Lisanul ‘Arab, (Beirut:Daar shadr, 1410 H)
29. Said bin Abdullah Al-Hamdany, Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi,
(Bandung: Pelita,1969)
30. Louis Massignon , Diwan al-Hallaj, terj. (Jakarta: Putra Langit)
31. Yusuf Zaidan, al-Fikr as-Shufi bayna al-Jili wa Kibar as-SHufiyah, (Mesir: Dar al-
Amin,cet. Ke-2,1998)
21 | P a g e
32. Abdul Qahir bin Thahir Al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq, (Mesir: Maktabah Ibn
Sina,)
33. Mushtafa Hilmi, Ibnu Taimiyah wa at-Tasawuf, (Dar ad-Dakwah, cet. kedua)
34. Abdur Rahman al-Wakil, Hadza Hiya as-Shufiyah, (Beirut, Dar al-Kitab al-Ilmiyah)
35. at-Thahir Ahmad az-Zawy, al-Qamus al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah)
36. Al-Qurthubi, al-Jami’ liahkam al-Qur’an, (Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, cet.
Kedua, 1964)
22 | P a g e