Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KONSEP TAKHALLI, TAHALLI, DAN

TAJALLI
Dosen Pembimbing : Asmuni, M.Pd.I
Mata Kuliah : Akhlaq Tasawwuf

Disusun Oleh :Kelompok 8

1. M.Ikhbar Pradana
2. Meilin Marantika
3. Yuni Sartika Wahda

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (STIT-YPI )
LAHAT TAHUN AKADEMIK 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu ia


cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia.Menurut
Al-Ghazali, cara hidup seperti ini akan membawa manusia kejurang kehancuran
moral. Kenikmatan hidup didunia telah menjadi tumpuan umat pada umumnya.
            Untuk memperbaiki keadaan mental yang tidak baik tersebut, seseorang
yang ingin memasuki kehidupan Tasawuf harus melalui beberapa tahapan yang
cukup berat. Tujuanya adalah untuk menguasai hawa nafsu, menekan hawa nafsu
sampai ketitik terendah dan bila mungkin mematikan hawa nafsu itu sama
sekali.Tahapan tersebut terdiri atas tiga tingkatanya itu Takhali,Tahalli,Tajalli.
            Oleh karena itu kita sebagai umat manusia harus menanamkan nilai-nilai
yang terkandung dalam pelajaran akhlak Tasawuf, agar kita terhindar dari urusan
yang hanya mementingkan duniawi dan mengesampingkan kepentingan akhirat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Takhalli, Tahalli, Tajalli


1. Langkah Dan Alat Untuk Mencapai Takhalli, Tahalli, Tajalli Serta
Contohnya
a. Takhalli1
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh
seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku
dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak
menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan
kepada urusan duniawi. Takhalli juga dapat diartikan mengosongkan
diri dari sifat ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Hal ini akan
dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam
segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu
jahat.
Takhalli, berarti mengosongkan diri dari sikap ketergantungan
terhadap kelezatan kehidupan duniawi.2 Dalam hal ini manusia tidak
diminta secara total melarikan diri dari masalah dunia dan tidak pula
menyuruh menghilangkan hawanafsu. Tetapi,tetap memanfaatkan
duniawi sekedar sebagaike butuhannya dengan menekan dorongan
nafsu yang dapat mengganggu stabilitas akal dan perasaan. Ia tidak
menyerah kepada setiap keinginan, tidak mengumbar nafsu, tetapi juga
tidak mematikannya. Ia menempatkan segala sesuatu sesuai dengan
secukupnya, sehingga tidak memburu dunia dan tidak terlalu benci
kepada dunia.
Jika hati telah dihinggapi penyakit atau sifat-sifat tercela, maka ia
harus diobati. Obatnya adalah dengan melatihmembersihkannya
terlebih dahulu, yaitu melepaskan diri darisifat-sifat tercela agar dapat

1
Abu Al-Wafa’ Al-Ghamini al-Taftazani, op.cit., h. 187
2
Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf ( Medan : Naspar Djaja, 1981 ), h. 99
mengisinya dengansifat-sifat yang terpuji untuk memperoleh
kebahagiaan yang hakiki.
Ada beberapa sifat yang perlu dibersihkan ketika seorang salik
ingin mempraktekkan tingkatan takhalli ini. Yaitu:
 Hasud : iri/ dengki
 Hiqd : benci
 Su’udzan : buruk sangka
 Takabbur : sombong
 ‘jub : berbangga diri
 Riya : suka pamer kemewahan
 Sama’ah : gemar menunjukkan amal perbuatan orang lain
 Bakhil : kikir
 Hubb al-mal: materialistis
 Tafakhur : bersaing dalam kebanggaan diri
 Ghadab : marah
 Namimah : :menyebar fitnah
 Kidzib : berbohong
 Khianat : tidak jujur/ tidak Amanah
 Ghibah : membicarakan kejelekan orang lain

b. Tahalli
Setelah melalui tahap pembersihan diri dari segala sifat dan
sikap mental yang tidak baik dapat dilalui, usaha itu harus berlanjut
terus ke tahap kedua yang disebut tahalli. Yakni, mengisi diri
dengan sifatsifat terpuji, dengan taat lahir dan batin3. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman :Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat
dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.(QS. 16 : 90 ).

3
Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf , h. 69
Dengan demikian, tahap tahalli ini merupakan tahap
pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi.4 Sikap mental dan
perbuatan luhur yang sangat penting diisikan ke dalam jiwa
seseorang dan dibiasakan dalam kehidupannya adalah taubah,
sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, cinta, ma’rifah, dan kerelaan. 5
Apabila manusia mampu mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji,
maka ia akan menjadi cerah dan terang.
Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan
jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan
agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal(dalam).
Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat
formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat
dalam adalah seperti keimanan,ketaatan dan kecintaan kepada
Tuhan. artinya membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari
maksiat lahir dan batin. Di antara sifat-sifat tercela itu menurut
Imam al-Ghazali adalah pemarah, dendam, hasad, kikir, ria,
takabbur, dan lain-lain.
Sifat-sifat yang menyinari hati atau jiwa, setelah manusia
itu melakukan pembersihan hati, harus dibarengi pula penyinaran
hati agar hati yang kotor dan gelap menjadi bersih dan terang.
Karena hati yang demikian itulah yang dapat menerima pancaran
nur cahaya Tuhan6.
Sifat-sifat yangmenyinarihatiitu olehkaumsufi dinamakan
sifat-sifat terpuji (akhlaq mahmudah), di antaranya adalah :
1). Taubat:menyesali dari perbuatan tercela
2). Khauf/taqwa : perasaan takut kepada Allah
3). Ikhlas : niat dan amal yang tulus dan suci
4). Syukur :rasa terima kasih atassegala nikmah
5). Zuhud: hidup sederhana, apa adanya
4
Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 102
5
Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf , h. 71
6
ftalhah, Hasan, Mukhtashar Ilmu Tasawuf, hal. 23
6). Sabar :tahan darisegala kesukaran
7). Ridho :rela dalammenerima taqdir Allah
8). Tawakkal : berserah diri padaAllah
9). Mahabbah : perasaan cinta hanya kepadaAllah
10). Dzikrul maut : selalu ingat akan mati.

Apabila manusia telah membersihkan hatinya dari sifat-


sifat tercela dan mengisi dengan sifat-sifat terpuji itu, maka hatinya
menjadi cerah dan terang dan hati itu dapat menerima cahaya dari
sifat-sifat terpuji tadi. Hati yang belum dibersihkan tak akan dapat
menerima cahaya dari sifat-sifat terpuji itu.7

c. Tajalli
Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir
dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-
Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan
selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi
hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk
hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli,
lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah
dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya
ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran
Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat.
Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat.
Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain.8
Tajalli juga merupakan istilah tasawuf yang berarti
”penampakan diri Tuhan” yang bersifat absolut dalam bentuk alam
yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau
yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”.Tajali merupakan poin

7
ibid
8
Rosihon Anwar, amukhtar Solihin, ilmu Tasawuf. h.56
poros dalam pemikiran Ibn’Arabi.Sebenarnya, konsep tajalli adalah
pijakan dasar pandangan Ibnu Arobi mengenairealitas. Semua
pemikiran Ibn’ Arabi mengenai struktur ontology salam berkisar
pada poros ini, dan dari situ berkembang menjadi sistem kosmik
berjangkauan luas. Tidak ada bagian dalam pandangan Ibnu Arobi
tentang realitas yang bisa dipahami tanpa merujuk pada konsep
utama ini. Keseluruhan filsafatnya, secara ringkas, adalah teori
tajalli.9
Bagi Ibn Arabi pengertian tajalli tidak terbatas pada
penampakan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami kasyf
(keterbukaan tabir dari mata batin mereka), tapi lebih dari itu.
Menurutnya, pengetahuan kasyf memberi informasi bahwa alam
adalah tajalli Tuhan dalam bentuk yang beraneka ragam,sesuai
dengan ide-ide tetap (tentangalam) dalam ilmuTuhan.Bentuk tajalli
dengan tajalli yang lain tidak pernah persis sama, bentuk suatu
tajalli tidak pernah berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus
tanpa henti.
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah
dilalui pada fase tahalli, maka tahapan pendidikan mental itu
disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti terungkapnya nur
gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan pendapatnya
pada firman Allah SWT : Allah adalah nur (cahaya)langit dan
bumi(QS. 24:35 )10
Para sufi sependapat bahwa untuk mencapai tingkat
kesempurnaan kesucian jiwa itu hanya dengan satu jalan, yaitu cinta
kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan kesucian
jiwa ini, barulah akan terbuka jalan untuk mencapai Tuhan. Tanpa jalan
ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan itu dan perbuatan yang
dilakukan tidak dianggap perbuatan yang baik. (M.M. Syarif:1999). 11

9
Ibid, hal.57
10
Ibid, h. 71
11
Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf , h. 111
B. Dalil Naqli Dan Aqli Tentang Takhalli, Tahalli, Dan Tajalli
Hakikt pensucian awalnya dengan cara membersihkan jiwa
(takhalli) dengan cara membersihkannya dari kotoran, maksiat dan
perbuatan dosa, kemudian diikuti dengan proses tahalli, yaitu melakukan
ketaatan dan amal- amal yang mendekatkan jiwa kepada Allah. Allah
memberikan jalan kepada umat islam dalam membersihkan diri melalui
berzakat sebagaimna Allah ta’ala berfirman :

‫ص ِّل َعلَ ْي ِه ۗ ْم‬ َ ‫ُخ ْذ ِم ْن اَ ْم َوالِ ِه ْم‬


َ ‫ص َدقَةً تُطَهِّ ُرهُ ْم َوتُزَ ِّك ْي ِه ْم بِهَا َو‬
Artinya:
Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan
menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. ( QS. At- taubah: 103 )
Ayat tersebut mengimplikasikan pesan bahwa takhalli didahulukan dari
pada proses tahalli sebagaimana proses pembersihan didahulukan dari
proses pensucian agar kualitas ibadah menjadi lebih baik.

Orang yang mensucikan jiwa hendaknya ia membersihkan jiwa nya


terlebih dahulu dari dosa-dosa yang merusak hati sehingga menghalangi
cahaya hidayah dan keimanan. Dari Abu Hurairah r.a dari nabi
Muhammad SAW, bersabda yang artinya :
“Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka
dititikan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkan dan
meminta ampunan serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali
( berbuat maksiat ), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga
menutupi hatinya. Itulah yng di istilhkan “ar roan” yang Allah sebutkan
dalam ( yang artinya), sekali- kali tidak ( demikian ), sebenarnya apa yang
selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” ( HR. At Tirmidzi, Ibn
Majah, Ibn Hibban, dan Ahmad )
Nabi Muhammad juga pernah bersabda mengenai masalah tajalli
atau melihat Allah : “ dari Abi Hurairah r.a sesunguhnya orang- orang
( para sahabat ) bertanya : ya rasulullah, apakah kitab isa melihat Tuhan
kita di hari kiamat ? maka rasulullah. Menjawab : sulitkah kamu melihat
bulan dimalam bulan purnama ? para sahabat menjawab : tidak ya
rasulullah. Rasulullah berkata lagi : “ apakah kamu sulit melihat matahari
diwaktu tanpa awan ? “ para shabat menjawab : tidak ya rasulullah.
Sesungguhnya kamu melihat tuhan seperti itu” ( HR Bukhari dari Abu
Hurairah )12
Al – Ghazali menerangkan bahwa tajalli ialah terbuka nur cahaya
Allah bagi hati seseorang. Hati yang bersih, di dalamnya ada lampu yang
ber-cahaya yang demikian itu adalah hari orang mukmin. ( HR. Ahmad
dan Thabarani dari Abu said l-khudri )

C. Imam Al Ghozali dan konsep Takhalli, thalli, dan tajalli


1. Biografi imam Al Ghozali
Imam Al-Ghazali lahir pada tahun 450 H (1058 M) didesa Taberan
Distrik Thus Persia dan bernama “Abu Hamid Muhammad” dan juga
Al-Ghazali memiliki gelar yaitu “Hujjatul Islam” dan gelar bangsanya
adalah Ghazali.13 Nama ayahnya kurang begitu dikenal namun
kakeknya adalah orang terpandang pada masanya. Ayahnya meninggal
di usia muda sehingga meninggalkan dia dalam asuhan ibu dan
kakeknya.
Al-Ghazali lahir dari keluarga yang taat beragama dan hidup dalam
keluarga yang sederhana ayahnya seorang pemintal dan penjual wol
yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari
selain untuk mencukupi kebutuhan hidup hasil dari penjualan wol

12
https://id.scribd.com/document/501138948/kel-2-makna-konsep-takhalli-tahalli-tajalli
13
imam Al-Ghazali, “Ihya Ulumuddin” (Bandung: Marja, 2013), hlm 11)
digunakan untuk para fuqaha (ahli fiqih) serta orang-orang yang
membutuhkannya.14
Selain sebagai seorang pemintal wol, ayahnya Al-Ghazali juga
seorang pengamal tasawuf dan seorang yang mencintai ilmu dan ulama.
Hal ini dapat dibuktikan bahwa dalam waktu-waktu senggangnya
setelah selesai bekerja ia mengunjungi para fuqaha, pemberi nasihat dan
duduk bersama, sehingga apabila mendengarkan nasihat dari para
ulama ayahnya Al-Ghazali terkadang menangis dan lebih rendah hati.
Dan senantiasa agar dikaruniai seorang anak seperti para ulama
tersebut.15
Berkat bantuan sufi yang sederhana itu dengan sedikit harta
warisan yang diwariskan oleh orang tuanya Al-Ghazali dan saudaranya
memasuki madrasah tingkat dasar (Madrasah Ibtidaiyah) dengan
memahami ilmu-ilmu dasar “gurunya yang utama di Madrasah adalah
Yusuf Al-Nassaj, seorang sufi yang kemudian disebut juga Imam Al-
Haramain. Al-Nassaj pertama kali yang meletakkan dasar-dasar
pemikiran sufi pada dirinya.
Pada saat ayahnya meninggal, dipercayakanlah pendidikan kedua
anak laki-lakinya, Muhammad dan Ahmad kepada seorang teman
kepercayaannya yang bernama “Ahmad bin Muhammad Al-Rizakani”
yang dikenal sebagai seorang ahli tasawuf. Dia memberikan kepada
keduanya pendidikan dasar lalu mengirimkannya ke Maktab Swasta.
Kedua anak itu mampu menghafal Al-Qur’an dalam waktu singkat.
Setelah itu, mereka mulai belajar bahasa arab.16
Selain belajar kepada Ahmad bin Muhammad Al-Rizkani
kemudian Al-Ghazali belajar disebuah sekolah negeri yang memberikan
beasiswa kepada orang asing yang mau belajar. Di sekolah ini Al-

14
Abudin Nata, “Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid Study Pemikiran Tasawuf
AlGhazali”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 56.
15
M Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991),
hlm 22.
16
M. Bahri Ghazali, hlm 12.
Ghazali mendapat bimbingan dari seorang ahli sufi yang bernama
Yusuf AlNassaj.
Setelah menyelesaikan pelajarannya, Al-Ghazali melanjutkannya
pelajarannya ke kota Zarzan dan belajar dibawah bimbingan seorang
ulama besar yang bernama “Imam Abu Nasr Al-Ismail”. 17 Dimana pada
saat itu kota Zarzan menjadi pusat kegiatan ilmiah. Al-Ghazali
senantiasa mencatat pelajaran yang diberikan oleh gurunya Abu Nasr
Al-Ismail. Namun pada suatu perjalanan catatan bersama barang-barang
milikya dirampok orang. Al-Ghazali memberanikan diri dan pergi
menemui para perampok dan meminta kembali barang-barang miliknya,
sehigga akhirnya semua catatan dikembalikan.
Setelah mengikuti dan mengikuti lembaga pendidikan yang
dipimpin oleh Abu Nasr AlIsmail, “Al-Ghazali kemudian mempelajari
ilmu tasawuf kepada tokoh sufi terkenal dari Thus yang bernama
Syeikh Yusuf Al-Nassaj” dari Al-Nassaj Al-Ghazali pertama kali
menerima dasar-dasar pemikiran tentang Sufi.
Kehidupan Abu Hamid yang selalu tidak puas dengan apa yang
dimilikinya, membuat dirinya meninggalkan Thus untuk memperluas
ilmu pengetahuan kepada para tokoh sufi yang terkenal yang berada
diluar kota Thus, diantaranya Al-Ghazali mendalami ilmu tasawuf
kepada Abu Ma’al Al-Juwaini bergelar Imam Al-Harramajj seorang
ulama Syafi’i yang mengikuti aliran Asy’ariyah. Dan dari Imam Al-
Harramajj ini Al-Ghazali mempelajari ilmu kalam, ilmu ushul, dan ilmu
agama lainnya.85 “Karena kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa
dalam berdebat, sehingga Imam Al-Juwani memberinya gelar Bahrun
Mughriq (Lautan yang menenggelamkan). Setelah Al-Juwani wafat, Al-
Ghazali kemudian meninggalkan Naisabur dan pergi menuju Bagdad,
hingga akhirnya terlibat suatu berdebatan dengan beberapa ulama dan
ahli fikih di hadapan pembantu raja. Berkat kebijaksanaan, keluasan

17
Fathiyah Hasan Sulaiman, “Alam Pikiran Al-Ghazali mengenai Pendidikan dan Ilmu,
Diponegoro (Bandung: Bumi Aksara, 1986), hlm 19.
ilmu, kejelasan dalam memberikan penjelasan dan kekuatan
berargumentasi, akhirnya Al-Ghazali memenangkan perdebatan. Dari
hasil dan pengetahuan luar biasa Al-Ghazali, akhirnya diberi tugas dan
amanat untuk mengajar di sekolah Nizamiyah yang didirikan oleh
perdana mentri Nizam Al-Muluk seorang sultan yang berasal dari Bani
Saljuk
Kurang lenih empat tahun Al-Ghazali mengajar di madrasah
Nizamiyah hingga memutuskan untuk meninggalkan Bagdad dan
menunaikan ibadah haji, dan menetap di masjid Al-Ummami dan
meninggalkan semua kenikmatan dunia dan menjadikan dirinya untuk
senantiasa beribadah kepada Allah, Al-Ghazali juga mengembara di
gurun-gurun pasir untuk melatih dirinya untuk merasa kesusahan. Al-
Ghazali meninggalkan kemewahan dunia dan memusatkan dirinya
kepada zuhud dan memahami suasana rohaniyah dan mendalami
renungan keagamaan. Kemudian Al-Ghazali kembali lagi ke Bagdad
untuk meneruskan kegiatan mengajarnya dan bertugas sebagai guru.18
Buku pertama yang dikarang Al-Ghazali setelah kembali ke Bagdad
adalah Al-Mungidz Minad Dlalal.
Setelah sepuluh tahun Al-Ghazali kembali ke Bagdad, kemudian
Al-Ghazali berangkat menuju ke Naisabur dan sempat mengajar di
beberapa tempat, hingga akhirnya Al-Ghazali kembali ke kota
kelahiranya yaitu Thus dan di negeri kelahirannya.
Imam Al-Ghazali meninggal Pada subuh hari senin, di pangkuan
saudaranya Ahmad ketika saudaraku Abu Hamid berwudlu dan shalat,
lalu berkata “bawa kemari kain kafan saya”. Lalu beliau mengambil dan
menciumnya serta meletakkan di kedua matanya, dan berkata, “Saya
patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut. “kemudian beliau
meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum
langit meguning menjelang pagi hari. Beliau wafat di kota Thusi pada

18
Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT Remaja
Rosda Karya, 2014), hlm 323.
hari Senin, 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dalam usia 55 tahun dan di
kuburkan di pekuburan Ath Thabaran.

2. Pandangan imam Al Ghozali tentang Takhalli, Tahalli, dan Tajalli


1. Takhalli
Merupakan langkah pertama yang harus dijalani seseorang,
yaitu usaha mengkosongkan diri dari perilaku atau akhlak yang
tercela. Yang dimaksud dengan takhali itu sendiri ialah
menosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan
kehidupan duniawi dengan cara menjauhkan diri dari maksiat dan
berusaha menguasai hawa nafsu. Takhali (membersihkan diri dari
sifat-sifat tercela merupakan dinding-dinding tebal yang membatasi
manusia dengan Tuhannya). Oleh karena itu, untuk membentuk
akhlak yang baik maka seseorang harus mampu melepaskan diri
dari sifat tercela dan mengisinya dengan akhlak-akhlak terpuji
untuk meperoleh kebahagiaan yang hakiki.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan
jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak
terpuji. Tahap ini dilakukan setelah menghilangkan akhlak yang
buruk.
Maksudnya mengisi atau menghiasi diri dari sifat dan sikap
serta perbuatan-perbuatan yang baik. Dengan kata lain, setelah
mengkosongkan diri dari sifat tercela (takhalli), maka usaha itu
harus berlanjut terus ke tahap tahalli (pengisian jiwa yang telah
dikosongkan tadi).
3. Tajalli
Tajalli dapat di katakan terungkapnya dari nur gaib untuk
hati. Rasulullah SAW bersabda: “ada saat-saat tiba karunia dari
tuhanmu maka siapkanlah dirimu untuk itu. Oleh karena itu,
setiap manusia hendaklah mengadakan latihan jiwa, berusaha
membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela, mengkosongkan
dari sifat yang keji ataupun dari hal-hal yang bersifat duniawi,
lalu mengisinya dengan sifat-sifat terpuji seperti: beribadah,
menghindari diri dari hal-hal yang dapat menghambat diri dalam
mendekatkan diri kepada Allah dalam pembentukan akhlak yang
sesuai dengan akhlak Islami.
Dari uraian diatas bahwa Al-Ghazali menegaskan untuk
memperkuat dan menjaga keimanan, karena iman sangat penting
sekali. Dengan sebab iman yaang ada di hati maka semua akhlak
dapat keluar. Hati yang bersih berisi iman yang kuat menjadi
muara, muara inilah yang menjadi sumber setiap akhlak
seseorang. Semua yang nampak (empiris, lahiriyah) merupakan
perwujudan dari bentuk batiniyah.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh
seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku
dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak
menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang
berlebihan kepada urusan duniawi. Takhalli juga dapat diartikan
mengosongkan diri dari sifat ketergantungan terhadap kelezatan
duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari
kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan
dorongan hawa nafsu jahat.
2. Setelah melalui tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap
mental yang tidak baik dapat dilalui, usaha itu harus berlanjut terus ke
tahap kedua yang disebut tahalli. Yakni, mengisi diri dengan sifatsifat
terpuji, dengan taat lahir dan batin
3. Tajalli juga merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan
diri Tuhan” yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat
terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya
“menyatakan diri”.
Daftar Pustaka

Abu Al-Wafa’ Al-Ghamini al-Taftazani, op.cit., h. 187

Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf ( Medan : Naspar Djaja, 1981 ), h. 99

Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf , h. 69

Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf , h. 71

ftalhah, Hasan, Mukhtashar Ilmu Tasawuf, hal. 23

Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf, h. 102

Ibid

Rosihon Anwar, amukhtar Solihin, ilmu Tasawuf. h.56

Ibid, hal.57

Ibid, h. 71

Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf , h. 111


https://id.scribd.com/document/501138948/KEL-2-MAKNA-KONSEP-
TAKHALLI-TAHALLI-TAJALLI

imam Al-Ghazali, “Ihya Ulumuddin” (Bandung: Marja, 2013), hlm 11)

Abudin Nata, “Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru Murid Study
Pemikiran Tasawuf
AlGhazali”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm 56.

M Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali (Jakarta: CV Pedoman Ilmu


Jaya, 1991), hlm 22.

M. Bahri Ghazali, hlm 12.

Fathiyah Hasan Sulaiman, “Alam Pikiran Al-Ghazali mengenai Pendidikan dan


Ilmu, Diponegoro (Bandung: Bumi Aksara, 1986), hlm 19.

Heri Gunawan, Pendidikan Islam Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh,


(Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2014), hlm 323.

Anda mungkin juga menyukai