Anda di halaman 1dari 38

12

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR AL- QUR’AN

A. Sejarah Perkembangan Tafsir


Al-Qur'an melalui salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai
hudan (petunjuk)1 bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap
petunjuk itu dan sebagai al-furqan (pembeda).2 Oleh karena fungsinya yang
sangat strategis itu maka al-Qur'an haruslah dipahami secara tepat dan benar.
Upaya dalam memahami al-Qur'an dikenal dengan istilah tafsir. Sekalipun
demikian, aktivitas menafsirkan al-Qur'an bukanlah pekerjaan gampang,
mengingat kompleksitas persoalan yang dikandungnya serta kerumitan yang
digunakannya.3
Sejarah mencatat, penafsiran al-Qur'an telah tumbuh dan berkembang
sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini
didukung oleh adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi pernah
melakukannya. Pada saat sahabat beliau tidak memahami maksud dan
kandungannya kepada Nabi. Dalam konteks ini Nabi berposisi sebagai
mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat. Penafsiran-penafsiran
yang dilakukan Nabi memiliki sifat-sifat dan karakteristik tertentu,

1
Hudan adalah salah satu sifat al-Qur'an, dan sifat al-Qur'an yang lain adalah Nur
(cahaya) Q.S. 4: 74, Syifa (obat), rahmah (rahmat), dan mau’izah (nasihat) Q.S. 10: 57, mubin
(yang menerangkan) Q.S. 5: 15, mubarak (yang diberkati) Q.S. 6: 92, busyra (kabar gembira) Q.S.
2: 97, aziz (yang mulia) Q.S. 41: 41, majid (yang dihormati) Q.S. 85: 21, basyir (pembawa kabar
gembira) dan nazir (pembawa peringatan) Q.S. 41: 3-4.
2
Furqan adalah salah satu nama al-Qur'an, lihat Q.S. 25: 1, dan nama-nama yang lainnya
adalah qur’an (Q.S. 17: 9), kitab (Q.S. 21: 10), zikr (Q.S.15: 9), tanzil (Q.S. 26: 192)
3
Sebut saja syarat-syarat mufassir adalah; mempunyai akidah yang benar, bersih dari
hawa nafsu, lebih dahulu menafsirkan dengan al-Qur'an, sunnah, pendapat sahabat, tabi’in,
mempunyai pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, mempunyai pengetahuan tentang
pokok-pokok ilmu berkaitan dengan al-Qur'an; seperti qira’at, mempunyai pemahaman yang
cermat.
Adapun adab seorang mufassir adalah; berniat baik dan bertujuan benar, berakhlak baik,
taat dan beramal, jujur dan teliti dalam penukilan, tawadhu’, berjiwa mulia, vokal dalam
menyampaikan kebenaran, berpenampilan baik, bersikap tenang dan mantap, mendahulukan orang
lain, mempersiapkan langkah-langkah penafsiran yang baik.
Lihat Mannaa Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an , terjemahan Drs. Mudzakkir
AS, cet. 6, Litera Antar Nusa, Jakarta, 2001, h. 462-466. Bandingkan Muhammad Ali Sh-Shabuny,
Pengantar Study al-Qur'an, terj., H. M.Chudlori Umar dan M. Matsna H.S., Al-Ma’arif, Bandung,
1987, h. 218-225.
13

diantaranya penegasan makna (bayan al-tashrif); perincian makna (bayan al-


tafshil); perluasan dan penyempitan makna; kwalifikasi makna serta
pemberian contoh. Sedangkan dari segi motifnya, penafsiran Nabi Saw
terhadap ayat-ayat al-Qur'an mempunyai tujuan, pengarahan (bayan irsyad),
peragaan (thatbiq), pembentukan (bayan tash hih) atau koreksi.
Sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran al-Qur'an tidak berhenti malah
boleh jadi semakin meningkat. Munculnya persoalan-persoalan baru seiring
dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong umat Islam generasi
awal sampai sekarang mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab
problematika umat.4
1. Periode periwayatan tafsir
Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, tafsir al-Qur'an telah
menapaki perjalanan sejarahnya yang cukup panjang. Perjalanan sejarah
perkembangan tafsir al-Qur'an bisa ditelusuri jejaknya hingga era awal
perkembangan Islam, yakni pada masa Rasulullah. Karena Rasulullah
dianggap sebagai mufassir pertama yang meretas jalan bagi tumbuh dan
berkembangnya tafsir al-Qur'an hingga dewasa ini.
Bahwa Rasulullah berfungsi ganda –sebagai perantara sampainya
wahyu Allah kepada umat manusia sekaligus mufassir bagi wahyu yang
dibawanya –adalah realitas yang tidak bisa diingkari. Sebagaimana
ditegaskan Allah dalam surat an-Nahl ayat 64.
`Þm„ É ‹Aލu5ˆ %‹ˆ
Ä2Íz 8´P9Í)µ xŠ´ V ¡*«Þ
‚ µlµß ‰Æᄠ*Ýa uµŽ
4܉Œ µQ A‡‹+݉‹s‹ˆ u@kÎK‹ˆ
(64 :‫[ )ﺍﻟﻨﺤﻞ‬J‰ÉAµ%݌Ée

Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur'an) ini,


melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka
perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
beriman. (Q.S. An-Nahl : 64)

4
M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk., Metodoogi Ilmu Tafsir, cet. I, teras, yogyakarta, 2005, h.
218-225.
14

Allah memberikan hak dan kewenangan pada Rasulullah untuk


menafsirkan al-Qur'an. Penafsiran Rasulullah biasanya bermula dari
kemusykilan yang dihadapi oleh para sahabat dalam memahami ayat-ayat
al-Qur'an. Bahkan para sahabat secara sengaja mendatangi Rasulullah
untuk sekedar mengetahui kandungan makna yang terdapat dalam ayat al-
Qur'an yang baru saja mereka pelajari.5 Selain menafsirkan al-Qur'an
dengan al-Qur'an Rasulullah juga menafsirkan al-Qur'an dengan sunnah.
Contoh penafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an diantaranya; kata dzulm (
‫ )ﻇﻠﻢ‬pada surat al-An’am ayat 82 ditafsirkan dengan syirk (‫ ) ﺷﺮﻙ‬dalam

surat Luqman ayat 13. Kata at-Thaariq (‫ ) ﺍﻟﻄﺎﺭﻙ‬pada surat ath-Thariq ayat

1 ditafsirkan dengan al-Najmu al-tsaqib (‫ ) ﺍﻟﻨﺠﻢ ﺍﻟﺜﺎﻗﺐ‬dalam surat yang

sama ayat 3. Kata lailatin mubaarakatin (‫ ) ﻟﻴﻠﺔ ﻣﺒﺎﺭﻛﺔ‬pada surat al-Dukhan

ayat 31 diafsirkan dengan lailati al-qadar (‫ ) ﻟﻴﻠﺔ ﻗﺪﺭ‬pada surat al-qadarr

ayat 1, dan lailati al-qadar ditafsirkan dengan syahru ramadhan ( ‫ﺷﻬﺮ‬

‫ )ﺭﻣﻀﺎﻥ‬pada surat al-Baqarah ayat 185.

Adapun contoh penafsiran al-Qur'an dengan as-sunnah diantaranya


adalah; kata al-shalawat al-wustha (‫ ) ﺍﻟﺼﻠﻮﺓ ﺍﻟﻮﺳﻂ‬pada surat al-Baqarah

ayat 238 ditafsirkan dengan shalat ashar. Kata al-maghdlubi alaihim dan
al-dlollin (‫ ﺍﻟﻀﺎ ﻟﲔ‬,‫ ) ﺍﳌﻐﻀﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﻢ‬pada surat al-Fatihah ayat 7 ditafsirkan

dengan Yahudi dan Nasrani. Kata quwwah (‫ﺓ‬‫ ) ﻗﻮ‬pada surat al-Anfal ayat

60 ditafsirkan dan al-romyu (‫) ﺍﻟﺮﻣﻲ‬. Kata kiflain (‫ ) ﻛﻔﻠﲔ‬pada surat al-

5
Ahkmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Qur'an, Studi Atas Pemikiran
Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman, Cet. I, Gunungjati, Semarang, 2000, h. 29-30.
15

Hadid ayat 28 ditafsirkan dengan di’fani (‫) ﺿﻌﻔﺎﻥ‬. Kata awwibi (‫ﰊ‬‫ ) ﺍﻭ‬pada

surat Saba ayat 10 ditafsirkan dengan sabbihi (‫ﺤﻲ‬‫) ﺳﺒ‬.6

Rasulullah selalu memberikan penjelasan dan penafsiran tentang


kemusykilan-kemusykilan yang dihadapi para sahabat hingga beliau
wafatnya pada tahun 11 H, meskipun harus diakui bahwa tidak semua
penafsiran dan penjelasan Nabi dapat diketahui. Di samping itu, pada
periode tersebut penafsiran al-Qur'an belum terkodifikasi, karena kegiatan
tulis menulis pada masa itu masih jarang sekali dan periwayatan tafsir
masih terbatas pada penyampaian secara lisan saja.7
Semenjak Rasulullah wafat, para sahabat tampil ke muka untuk
mengelaborasikan ayat-ayat al-Qur'an. Kalau pada masa Rasulullah para
sahabat bisa langsung bertanya padanya tentang kesulitan-kesulitan yang
mereka hadapi, maka setelah wafatnya, mereka melakukan ijtihad sendiri
dalam menafsirkan al-Qur'an,8 dan tetap berpegang pada al-Qur'an dan
sunnah Nabi.
Dalam menafsirkan al-Qur'an, para sahabat berpegang pada;
pertama al-Qur'an itu sendiri. Dimana ayat al-Qur'an yang masih bersifat
global terdapat penjelasannya pada ayat lain, begitu pula ayat-ayat yang
masih bersifat mutlak atau umum, pada ayat lain terdapat qayid atau yang
mengkhususkannya. Kedua, dikembalikan kepada Nabi. Hal ini dilakukan
karena beliau merupakan penafsir pertama bagi al-Qur'an, dan diantara
kandungan al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui
ta’wilnya kecuali penjelasan Rasulullah. Misalnya rincian tentang perintah
dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang
difardukan-Nya. Ketiga, melalui pemahaman dan ijtihad. Apabila para
sahabat tidak mendapatkan tafsiran dalam al-Qur'an dan tidak pula
mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan dengan hal itu dari

6
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 468 bandingkan Muhammad Ali Sh-Shabuny,
op.cit., h. 206-209.
7
Ahkmad Arif Junaidi, op.cit., h. 31.
8
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1994, h. 71.
16

Rasulullah, mereka melakukan ijtihad dengan mengerahkan segenap


kemampuan nalar. Hal ini mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli
yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan
mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang ada di dalamnya.9
Banyak sahabat yang ahli menafsirkan al-Qur'an, tetapi yang
terkenal diantara mereka ada 10 orang, yaitu khalifah empat, Ibn Mas'ud,
Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, dan
Abdullah bin Zubair.10 Diantara khalifah empat yang banyak diterima
tafsirnya dan disampaikan kepada masyarakat ialah Ali bin Abi Thalib.
Adapun khalifah yang lain sedikit sekali tafsirnya, karena beliau-beliau
lebih dahulu wafat.
Diantara nama-nama sahabat yang disebutkan di atas, yang paling
terkenal adalah Ibnu Abbas.11 Beliau mendapat julukan Tarjamul qur’an.12
Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud: “Sebaik-baik terjemah oleh
Ibnu Abbas.” Mujahid juga mengatakan: “Ibnu Abbas dijuluki dengan Al-
bahru atau lautan, karena banyak ilmunya.13 Sedangkan Umar bin Khatab
memasukkan Ibnu Abbas ke dalam sekh-syekh Badar.14
Keistimewaan Ibnu Abbas dalam memahami gharibul-qur’an
(kesulitan-kesulitan al-Qur'an) karena mempunyai banyak pengetahuan
mengenai syair-syair Arab (raja-raja) dan pengetahuan bahasa Arab yang
mendalam. Sebagaimana do’a kepada Ibnu Abbas:

‫ﻳ ِﻦ ﻭﻋﻠﹼﻤﻪ ﺍﻟﺘﺄﻭﻳﻞ‬‫ﻪ ِﻓﻰ ﺍﹼﻟ ِﺪ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻢ ﹶﻓ ِّﻘ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﹶﺍﻟﹼﻠ‬


9
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 470-472.
10
Sumber lain menyebutkan Aisyah di dalamnya, dan tidak menyebutkan Abu Musa Al-
Asy’ari. Lihat Kahar Masyhur, Pokok-pokok Ulumul Qur’an, cet.I, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, h.
166-167.
11
Namanya adalah Abdullah bin Abbas anak dari Abbas paman Nabi. Ia lahir 3 tahun
sebelum hijrah. Dalam kesehariannya Ibnu Abbas sudah biasa bergaul dengan Nabi. Hingga pada
suatu saat Nabi mendekatkannya ke dada beliau dan mendo’akan: ‫ (ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻋﻠﹼﻤﻪ ﺍﳊﻜﻤﺔ‬Ya Allah,
ajarkanlah kepadanya hikmah. HR. Bukhari). Dalam riwayat lain, “Ya Allah, ajarkanlah
kepadanya al-Qur’an.” Muhammad bin Saleh al-‘Utsaimin, Ushulun fi al-Tafsir, terj. S. Agil
Husain Al-Munawar, dan Ahmad Rifqi Mukhtar, Cet. I, Dina Utama, Semarang, 1989, h. 45.
12
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002,
h. 200.
13
Kahar Masyhur, op.cit., h. 167.
14
Ibid. h. 168.
17

Artinya: “Ya Allah berilah ia kedalaman pemahaman mengenai agama


dan ajari ia tafsir.”

Contoh keahlian Ibnu Abbas dalam menafsirkan al-Qur'an suatu


hari Umar bin Khathab menyertakan Ibnu Abbas dalam suatu pertemuan.
Umar berkata, “Apa pendapat kalian tentang firman Allah dalam surat:

‫ﺍﺫﺍﺟﺎ ﺀ ﻧﺼﺮﺍﷲ ﻭﺍﻟﻔﺘﺢ‬


hingga ayat terakhir.” Sebagian mereka menjawab: “(Dalam surat ini) kita
diperintahkan memuji dan beristighfar kepada Allah jika kita mendapatkan
kemenangan.” Sebagian yang lain berdiam diri. Lalu Umar bertanya
kepada Ibnu Abbas:”Seperti tadikah pendapat engkau?” Ibnu Abbas
menjawab: “Surat ini menandakan dekatnya ajal Rasulullah, Allah
memberitahukannya dengan datangnya pertolongan dan kemenangan
(fathu Makkah) seolah-olah Allah mengatakan: “Itu adalah tanda ajal
engkau, maka bertasbihlah dengan memuji dan bersitighfar kepada
Tuhanmu, maka sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.” Umar berkata:
“Sungguh saya tidak mengetahui seperti yang engkau ketahui.”15
Kehebatan Ibnu Abbas dalam menafsirkan al-Qur'an tidak
terbantahkan lagi, sehingga dikatakan ada tafsir yang berasal dari Ibnu
Abbas dan dicetak di Mesir yang dinamakan Tafsirul-Miqyas (standar
tafsir) dan dikumpulkan oleh Thahir Muhammad bin Yakub Fairuzi
Ayaadi Assyafi’i. Adapun metode yang terbaik dari Ibnu Abbas adalah
metode Mu’awiyah bin Saleh dari Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas.
Ini adalah metode yang paling mudah menjadi pegangan bagi Bukhari,
Muslim, Ahmad dan Ashhasbus-sunan. Tafsir-tafsir lain yang berasal dari
Ibnu Abbas kebanyakan beredar pada Muhammad bin Marwan Assad,
Asshagir, dan Muhammad bin Sa’ib Kilabi.
Selain metode Mu’awiyah, yaitu metode yang kedua dan sahih
menurut syarat Syaikhani (Bukhari dan Muslim) ialah metode Qais bin

15
Ibid.
18

Muslim dari Kufah, berasal dari ‘Atkah bin Saa’ib, dari Sa’ad bin Zubair
dari Ibnu Abbas.16
Adapun karir Ibnu Abbas adalah khalifah Utsman memberikannya
kekuasaan pada musim haji tahun 35 H, sedang Ali Bin Abi Thalib
memberikannya kekuasaan atas Bashrah. Ketika Ustman terbunuh, Ibnu
Abbas berangkat ke Hijaz dan menetap di Makkah. Setelah itu pegi ke
Thaif hingga meninggal di kota tersebut tahun 68 H dalam usia 71 tahun.17
Ahli tafsir di kalangan sahabat yang terkenal selain Ibnu Abbas
adalah Ibnu Mas'ud.18 Beliau sempat mempelajari lebih dari 70 surat
dalam al-Qur'an, sebagaimana Nabi pernah bersabda: ”Barang siapa yang
hendak membaca al-Qur'an setepat diturunkan, hendaklah ia membacanya
menurut bacaan Ibnu Umi Abd (Ibnu Mas'ud).” Abdullah bin Mas’ud
termasuk orang yang berkhidmat pada Nabi. Beliau mempersiapkan
sandal, air wudlu , dan bantal Nabi, hingga Abu Musa Al-Asy’ari berkata:
“Suatu saat saya dan saudara saya datang dari Yaman, lalu kami berhenti
(singgah) sebentar, ketika itu pula kami melihat dari keluar masuknya
beliau dan ibunya ke rumah Nabi, bahwa beliau termasuk ahli bait
Nabi.”19

16
Kahar Masykur, op.cit., h. 168. Bandingkan Said Agil Husain Al-Munawar, Al-Qur’an
Membangun Kesalehan Hakiki, Cet. IV, Ciputat Press, Jakarta , 2005, h. 68.
17
Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin, op.cit., h. 46.
18
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hadzli. Ibunya bernama
Ummu Abd dan terkadang dinisbatkan kepada ibunya. Beliau termasuk orang-orang yang pertama
kali masuk Islam, turut serta berhijrah pada dua hijrah dan peperangan Badar serta peperangan
lainnya. Ibid. h. 44.
19
Ahlul bait (kata bait dengan al atau tanpa al) disebut sebanyak tiga kali yaitu pada surat
al-Qashash ayat 12, surat al-Ahzab ayat 33 surat Hud ayat 73.
Secara umum arti kata ahlul bait adalah anggota (ahli, penghuni) keluarga. Tetapi al-
Qur’an dalam surat al-Ahzab ayat 33 secara khusus mengidentifikasinya sebagai keluarga dan
keturunan Nabi Saw. Istilah ini identik dengan ahlal bait dan juga ‘Ali-Muhammad (keluarga Nabi
Muhammad). Namun batasan siapa yang termasuk ahlul bait ini menjadi sumber kontroversi,
khususnya di kalangan syi’ah, yang menganggap kepemimpinan umat berada pada ahlul bait.
Memang, sepeninggal Nabi untuk periode yang cukup lama keluarganya tidak mendapatkan hak
istimewa apapun dalam tatanan kepemimpinan umat.
Perbedaan interpretasi tentang ahli bait secara umum dibagi menjadi dua aliran. Syi’ah
Imaniah membatasi ahlul bait hanya kepada keturunan Nabi saja, yang berarti keturunan Fatimah
dengan Ali. Kelompok lain mendasarkan keanggotaan ahlul bait kepada keterkaitan anggota
keluarga dalam urusan warisan baik zawul arham maupun ‘asabat, sehingga mencakup semua
keturunan Hasyim atau bahkan Quraisy secara umum dan kadang-kadang menjangkau “para ahli
19

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, beliau diutus ke Kufah


untuk mengajarkan kepada penduduknya ajaran-ajaran agama. Pada masa
pemerintahan Utsman, beliau diangkat sebagai Amir di Kufah, dan setelah
beberapa lama dipanggil kembali ke Madinah hingga wafat pada tahun 32
H. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’ dalam usia 70 tahun lebih.20
Adapun ahli tafsir yang terkenal diantara khalifah empat adalah Ali
bin Abi Thalib.21 Sebagaimana Rasulullah pernah mengatakan kepada Ali:
“ Relakah engkau ditempatkan disampingku bagaikan Nabi Harun as. di
samping Nabi Musa as, hanya saja tidak ada Nabi setelahku?”
Beliau terkenal dengan keberaniannya dan kepintarannya dalam
bidang ilmu dan kesucian jiwa. Suatu riwayat mengatakan bahwa
tanyakanlah saya tentang kitabullah! Demi Allah, tidak satu ayat pun
dalam kitabullah, kecuali saya mengetahui diturunkannya siang atau
malam hari. Ibnu Abbas mengatakan: “Bila datang kepada kami riwayat
seorang yang jujur mengatakan dari Ali ra. Kami tidak akan menyimpang
darinya.” Riwayat lain mengatakan: “ Saya tidak akan mengambil riwayat
tafsir al-Qur'an melainkan dari Ali ra.”
Ali bin Abi Thalib termasuk anggota musyawarah yang ditunjuk
Umar bin Khatab untuk menentukan seorang khalifah. Abdurrahman bin
‘Auf menawarkan kepada beliau masalah kekhalifahan, namun belaiu
enggan kecuali dengan beberapa syarat yang tidak diterima oleh sebagian
anggota. Kemudian Abdurrahman bin ‘Auf membai’at Utsman untuk
menjadi khalifah, dan dilanjutkan oleh Ali dan lainnya. Beliau dibai’at

Ka’bah,” yaitu seluruh umat Islam. M. Ishom, El Saha, M.A. dan Saiful Hadi, S.Ag., Sketsa Al-
Qur’an, cet. I, Listafariska Putra, Jakarta, 2005, h. 27-28.

20
Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin, op.cit., h.44.
21
Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Nabi sekaligus menantunya, suami Fatimah Az-
Zahra, dan termasuk salah satu khulafa al-Rasyidin, dengan nama julukan yaitu Abu al-Hasan dan
Abu Turab. Beliau dilahirkan sepuluh tahun sebelum kebangkitan Nabi Saw. dan tumbuh terdidik
dalam pangkuan Rasulullah. Beliau turut dalam setiap peperangan, pemegang bendera Islam pada
sebagian besar peperangan. Beliau tidak pernah tertinggal, kecuali perang Tabuk, karena sengaja
ditinggalkan oleh Rasulullah agar dapat menjaga keluarganya. Lihat Ibid. h. 43.
20

menjadi khalifah setelah Utsman, hingga terbunuh pada malam ke-17


bulan Ramadhan tahun 40 H di Kufah sebagai syahid.22
Ketika wilayah Islam semakin luas –sebagai hasil nyata dari
penaklukkan -penaklukkan tentara Islam ke wilayah-wilayah atau negara
sekitarnya –para sahabat pun banyak yang berpindah ke wilayah-wilayah
baru yang ditaklukkan, termasuk juga para sahabat ahli tafsir. Di wilayah
yang baru tersebut para sahabat ahli tafsir banyak yang mendirikan
madrasah-madrasah tafsir. Dari situlah tafsir berkembang pesat di
kalangan generasi setelah sahabat, yaitu generasi tabi’in. Madrasah-
madrasah tafsir yang didirikan para mufassir sahabat tersebut banyak
memunculkan ahli tafsir di kalangan tabi’in yang kemudian juga banyak
tersebar ke wilayah-wilayah lain.23
Di Makkah, misalnya, berdiri perguruan Ibnu Abbas. Diantara
muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair (w. 94 H), Ikrimah Maula
Ibni Abbas, Tawus bin Kaisan al-Yamani (w. 106 H) dan Ata’ bin Abi
Rabah (w.115 H). Mereka ini semuanya dari golongan maula (sahaya yang
telah dibebaskan). Dalam hal periwayatan tafsir dari Ibnu Abbas, mereka
tidaklah setingkat; ada yang sedikit dan ada pula yang banyak,
sebagaimana para ulama pun berbeda pendapat mengenai kadar
“keterpercayaan” dan kredibilitas mereka. Dan yang mempunyai kelebihan
diantara mereka tetapi mendapat sorotan adalah Ikrimah. Para ulama
berbeda pandangan di sekitar penilaian terhadap kredibilitasnya meskipun
mereka mengakui keilmuan dan keutamaannya.
Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal di bidang tafsir dari
pada orang lain. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak dinukilkan
generasi sesudahnya. Diantara murid-muridnya dari kalangan tabi’in, yang
belajar kepadanya secara langsung atau tidak, yang terkenal adalah Zaid
bin Aslam (w. 136 H), Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi
(keduanya hidup pada abad I H).

22
Ibid.
23
Ahkmad Arif Junaidi, op.cit., h. 33.
21

Di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas'ud yang dipandang oleh para


ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y. dan banyak pula tabiin di Irak
yang terkenal dalam bidang tafsir. Yang masyhur diantaranya ialah
Alqamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hamazan,
Amir asy-Sya’bi, Hasan al-Basri (w. 110 H) dan Qatadah bin Di’amah as-
Sadusi (w. 117 H).
Para ulama berbeda pendapat tentang tafsir yang berasal dari tabiin
jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari Rasulullah atau para
sahabat; apakah pendapat mereka itu dapat dipegangi atau tidak?
Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus)
dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa
atau situasi dan kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat al-
Qur'an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa
yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufasir berpendapat, tafsir mereka
dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para
sahabat.
Pendapat yang kuat ialah jika para tabiin sepakat atas sesuatu
pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh
24
meninggalkannya untuk mengambil yang lain.
Pada masa ini, tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan
dan periwayatan. Akan tetapi setelah banyak ahli kitab Islam, para tabi’in
banyak menukil dari mereka cerita-cerita israiliyat yang kemudian
dimasukkan ke dalam tafsir. Misalnya, yang didiriwayatkan dari Abdullah
bin Salam, Ka’bul Ahbar, Wahb bin Munabbih, dan Abdul Malik bin
Abdul Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang
pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena
banyak pendapat-pendapat mereka. Namun demikian pendapat-pendapat
tersebut sebenarnya berdekatan satu dengan yang lain atau hanya
merupakan sinonim semata. Dengan demikian perbedaan itu hanya dari

24
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 33, bandingkan Muhammad bin Saleh Al-
‘Utsaimin, op.cit., h. 46., dan Drs. Kahar Masyhur, op.cit., h. 169.
22

segi redaksional, bukan perbedaan yang saling bertentangan dan


kontradiktif.25
2. Periode Pembukuan Tafsir
Pelacakan sejarah tafsir al-Qur'an tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kodifikasi hadits Nabi. Karena sebagaimana diketahui, pada tahap awal
penyusunan tafsir masih bercampur- baur dengan kodifikasi hadits.
Sejarah kodifikasi tafsir bermula dari kekhawatiran Umar ibn
Abdul Aziz, khalifah Bani Umayah ke-8, akan timbulnya pemalsuan dan
punahnya hadits Nabi. Kekhawatiran tersebut berlanjut dengan pengiriman
surat perintah sang khalifah kepada seluruh pejabat dan ulama berbagai
wilayah pada akhir tahun 100 H. Isi surat perintah tersebut adalah agar
seluruh hadits Nabi yang ada di wilayah tersebut dihimpun. Surat perintah
tersebut menjadi dasar hukum bagi upaya kodifikasi hadits Nabi hampir
diseluruh wilayah Islam.
Kurangnya tingkat selektifitas dalam kegiatan kodifikasi hadits
Nabi agaknya memberi celah bagi munculnya embrio kodifikasi tafsir al-
Qur'an. Para ulama ahli hadits yang mengembara ke berbagai wilayah
untuk mencari, mengumpulkan, dan mengkodifikasikan hadits Nabi pada
akhirnya memasukkan produk-produk penafsiran al-Qur'an ke dalam kitab
hadits mereka. Produk-produk penafsiran al-Qur'an yang dinisbakan
kepada Rasulullah, sahabat dan tabiin tersebut biasanya masuk ke dalam
satu bab tersendiri dalam kitab hadits tersebut.26 Sehingga dikatakan pada
masa ini kegiatan membukukan tafsir belum mandiri, karena masih
numpang dalam kitab-kitab hadits.
Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Yazid bin Harun
as-Sulami (w. 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w.160 H), Waki’ bin Jarrah
(w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H ), Rauh bin ‘Ubadah al-Bisri
(w. 205 H), Abdurrazaq bin Hummam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w.
220 H), dan ‘Abd bin Humaid (w. 249 H). Tafsir golongan ini sedikit pun

25
Mannaa Khalil Al-Qattan, Ibid. h. 476.
26
Ahkmad Arif Junaidi, op.cit., h. 35.
23

tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-
nukilan yang dinisbatkan kepada mereka sebagaimana termuat dalam
kitab-kitab tafsir bil ma’tsur.
Sesudah golongan tersebut di atas datanglah generasi berikutnya
yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya
ilmu yang yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadits. Al-Qur'an mereka
tafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf. Di antara mereka
adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H), Abu
Bakar bin al-Mundzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibnu Abi Hakim (w. 327
H), Abusy-Syaikh bin Hibban (w. 369 H), Al-Hakim (w. 405 H), dan Abu
Bakar bin Mardawaih (w. 410 H).
Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan
kepada Rasulullah, sahabat, tabi’it tabi’in, dan terkadang disertai pen-
tarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan
(istimbat) sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan kata (i’rab) jika
diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir at-Thabari.
Pada perkembangan selanjutnya, di mana ilmu pengetahuan telah
berkembang dengan pesat, pembukuan tafsir telah mencapai
kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus
meningkat, masalah-masalah “kalam” semakin berkobar, fanatisme
mazhab menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional
bercampur-baur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya
mendukung mazhab masing-masing. Ini semua menyebabkan tafsir
ternoda, sehingga para mufasir dalam menafsirkan al-Qur'an berpegang
pada pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecenderungan. Ahli
ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirannya kata-kata pujangga
dan filosof, seperti Fakhruddin al-Razi (w. 606 H). Ahli fikih hanya
membahas soal-soal fikih, seperti Al-Jassas dan Al-Qurtubi. Sejarawan
hanya mementingkan kisah dan berita-berita, seperti Al-Salabi (w. 426 H)
dan Al-Khazin. Demikian pula golongan ahli bid’ah berupaya
menta’wilkan kalamullah menurut selera mazhabnya yang rusak itu,
24

seperti Al-Rummani, Al-Juba’i, Al-Qadi Abdul Jabbar, dan Zamakhsyari


(w. 538 H) dari kaum Mu’tazilah, Mala Muhsin al-Kasyi dari golongan
Syi’ah Imamiah al-Isna ‘Asyriyah, dan golongan ahli tasawuf hanya
mengemukakan makna-makna isyari, seperti Ibnu ‘Arabi.27

3. Macam-macam Metode dan Corak Tafsir


Untuk menghasilkan suatu produk penafsiran yang dapat
dipertanggungjawabkan, seorang mufasir harus menggunakan metode28
yang memadai. Dalam sejarah perkembangan tafsir banyak berkembang
metode penafsiran yang dipergunakan oleh para mufasir untuk
menafsirkan al-Qur'an.
Berikut ini akan ditampilkan metode tafsir, sebagaimana
diungkapkan oleh al-Farmawy adalah metode tahlili, ijmali, muqarin, dan
maudlu’iy.29
Metode pertama yakni metode tahlily (analitis), dimana Baqir
Shadr30 menyebutkannya dengan metode tajzi’iy, yaitu suatu metode tafsir
dimana mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an
dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat dan surat-
surat al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.31

27
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 477 bandingkan Allamah Sayyid Muhammad
Husain Thabathaba’I, Al-Quran Fi Al-Islam, Terj. A. Malik Madani dan Hamim Ilyas, cet. I,
Mizan, Bandung, 1987, h. 66-67.
28
Kata Metode dalam bahasa Arab adalah manhaj dan thariqat yang berarti cara, dan
dalam bahasa Indonesia berarti; cara yang teratur dan terpikit baik-baik untuk mencapai maksud;
cara kerja yang tersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu
yang ditentukan. Berarti metode tafsir adalah suatu cara yang teratur untuk mencapai pemahaman
yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran yang diturunkan
kepada Nabi Muhamad Saw.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, edisi II, Pustaka Progressif, Yoyakarta,
1997, h. 489 dan Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Balai Pustaka, Jakarta,
1988, h. 580-581 Bandingkan Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 9. Balai
Pustaka, Jakarta, 1986, h. 649.
29
Abdul Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhui, Terj. Rosihan Anwar, M.Ag., Cet.
Pustaka Setia, Bandung, 2002, h. 23.
30
Nama lengkapnya adalah Ayatullah Baqir Shadr. Lahir pada tanggal 25 Dzul-Qaidah
1353 H. Beliau adalah seorang ulama terkenal dari Irak, dan meninggal karena dibunuh pada
malam 9 April 1980, karena dianggap membahayakan pemerintahan Ba’as di Irak.
31
Muhammad Baqir Shadr, Al-Tafsir al-Maudlu’i wa al-tafsir al-Takziiy fi al-Qur’an al
Karim, Dar al-Taaruf li al-Mathbu’ah, Beirut, tt, h. 10. Lihat juga bukunya yang lain, Tren of
25

Dalam menafsirkan al-Qur'an dengan menggunakan metode ini,


mufasir menguraikan hal-hal sebagai berikut; arti kosa kata, asbabun-
nuzul, munasabah, konotasi kalimatnya, pendapat-pendapat yang telah
diberikan berkenaan dengan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang
disampaikan oleh Nabi, sahabat, tabiin, maupun ahli tafsir lainnya.32
Prosedur ini dilakukan dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat
dan surat per surat. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan
kebudayaan generasi Nabi sampai tabiin, terkadang pula diisi dengan
uraian-uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang
kesemuanya ditujukan untuk memahami al-Qur'an yang mulia.33
Perlu dicatat bahwa yang menjadi ciri dalam metode ini bukan
menafsirkan al-Qur'an dari awal mushaf sampai akhirnya, melainkan
terletak pada pola dari pembahasan dan analisisnya. Artinya, selama
pembahasan tidak mengikuti pola perbandingan, atau tipikal, atau juga
global, maka penafsiran tersebut dapat digolongkan ke dalam tafsir tahlili,
sekalipun uraiannya tidak mencakup keseluruhan mushaf mulai dari surat
al-Fatihah sampai surat an-Nas, seperti; tafsir al-Manar karya monumental
Rasyid Ridha. Walaupun kitab tafsir ini belum menafsirkan al-Qur'an
sampai akhir mushaf, kitab tersebut tetap dapat dikategorikan ke dalam
tafsir tahlili.34
Kelebihan dari metode ini, pertama, mempunyai ruang lingkup
yang luas, artinya dapat dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran
sesuai dengan keahlian masing-masing mufasir. Kedua, memuat berbagai
ide, di mana mufasir diberi kesempatan yang luas untuk mencurahkan ide-
ide dan gagasannya dalam menafsirkan al-Qur'an. Itu artinya pola
penafsiran metode ini dapat menampung berbagai ide yang terpendam di

History in Qur’an, Terj. M.S. Nasrullah dengan judul Sejarah dalam Perspektif Al-Qur’an,
Pustaka Pelajar, Jakarta, 1993, h.56. Bandingkan Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa
Agama, Sebuah Kajian Heremeneutik, Paramadina, Jakarta, 1996, h. 190.
32
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, cet. II, Pustaka Pelajar, 2000, h.
31. Bandingkan Quraisy Syihab, op.cit., h. 86.
33
Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.24.
34
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 52.
26

dalam benak mufasir, bahkan ide-ide jahat dan ekstrim pun dapat
ditampungnya.
Kelemahan dari metode ini, pertama, menjadikan petunjuk al-
Qur'an parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur'an
memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten, karena
penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang
diberikan pada ayat-ayat yang lain yang sama dengannya. Kedua,
melahirkan subjektif, di mana metode ini memberikan peluang yang luas
sekali kepada mufasir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya,
sehingga kadang-kadang ia tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan al-
Qur'an secara subjektif, dan tidak mustahil pula di antara mereka yang
menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya, tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah yang berlaku. Ketiga, masuknya pemikiran
israiliyat.35
Seperti dikatakan Baqir Shadr, bahwa kelemahan dari metode ini
adalah mufasir menggunakan semua sarana yang ada hanya untuk
menemukan makna harfiah dari suatu ayat, atau hanya menghasilkan suatu
mengkoordinasikan informasi dari ayat-ayat al-Qur'an serta tidak mampu
menyuguhkan pandangan al-Qur'an berkenaan dengan berbagai persoalan
kehidupan.36 Di samping itu, dalam metode ini sering ditemukan adanya
upaya menemukan dalil atau dalih pembenaran pendapat dari para mufasir
dengan ayat-ayat al-Qur'an dan juga tidak mampu memberi jawaban tuntas
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak
memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektifitas
mufasirnya. Selain itu, sifat penafsiran sangat teoritis, tidak sepenuhnya
mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka
alami, sehingga uraian-uraian yang sangat teoritis dan umum tersebut

35
Ibid. 53-60.
36
Muhammad Baqir Shadr, op.cit., h. 57.
27

mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur'an untuk setiap tempat dan


waktu.37
Metode yang kedua adalah metode ijmaly (global), yaitu metode
tafsir di mana mufasirnya berusaha menafsirkan al-Qur'an secara singkat
dan global. Dengan metode ini, mufasir mengemukakan penafsiran yang
tidak terlalu jauh dari bunyi teks ayat al-Qur'an. Mufasir memberikan
penafsiran dengan cara yang paling mudah dan tidak berbelit-belit.38
Artinya, mufasir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an menggunakan
uraian yang ringkas tetapi mencakup, dengan bahasa yang populer, mudah
dimengerti dan enak dibaca. Kitab tafsir yang termasuk kategori ini di
antaranya adalah Kitab Tafsir Al-Qur'an al-Karim karya Muhammad Farid
Wajdi, Al-Tafsir al-Wasith terbitan Majma’ al-Buhits al-Islamiyyat, Tafsir
Jalalain karya Al-Mahally dan Al-Suyuthy, dan Taj al-Tafasir karya
Muhammad Utsman al-Mirghani.39
Kelebihan dari metode ini, pertama, mudah dipahami dan praktis,
tanpa berelit-belit pemahaman al-Qur'an segera dapat diserap oleh
pembacanya. Pola penafsiran seperti ini lebih cocok untuk para pemula
seperti mereka yang berada di jenjang pendidikan SLTA ke bawah, atau
mereka yang baru belajar tafsir al-Qur'an. Demikian pula bagi mereka
yang ingin memperoleh pemahaman ayat-ayat al-Qur'an dalam waktu yang
relatif singkat.
Kedua, bebas dari penafsiran israiliyat, karena penafsirannya lebih
murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyat. Dengan demikian,
pemahaman al-Qur'an akan dapat dijaga dari intervensi pemikiran-
pemikiran yang kadang-kadang tidak sejalan dengan martabat al-Qur'an
sebagai kalam Allah yang Maha Suci. Selain itu juga dapat membendung
pemikiran-pemikiran spekulatif yang dikembangkan oleh teolog, sufi, dan
lain-lain. Ketiga, akrab dengan bahasa al-Qur'an sehingga pembaca tidak
merasakan bahwa dia telah membaca kitab tafsir.
37
Quraisy Syihab, op.cit., h. 86-87.
38
Komaruddin Hidayat, op.cit., h. 192.
39
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 13.
28

Kekurangan metode ini adalah pertama, menjadi petunjuk al-


Qur'an bersifat parsial. Kedua, tidak ada ruangan untuk mengemukakan
analisis yang memadai. Dalam hal ini mufasir harus menyadari bahwa
memang tidak ada ruangan bagi mereka untuk mengemukakan
pembahasan-pembahasan yang memadai sesuai dengan keahlian mereka
masing-masing.40 Dengan demikian, model penafsiran seperti ini tidak
cukup untuk mengantarkan pembaca dalam mendialogkan al-Qur'an
dengan persoalan sosial maupun problema keilmuan yang aktual dan
problematis.41
Metode yang ketiga adalah metode muqarin (perbandingan). Dari
berbagai literatur yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud
dengan metode komparatif ialah: 1) membandingkan teks (nash) ayat-ayat
al-Qur'an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus
yang sama; 2) membandingkan ayat al-Qur'an dengan hadits yang pada
lahirnya terlihat bertentangan; 3) membandingkan berbagai pendapat
ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an. Dari definisi tersebut terlihat
jelas bahwa tafsir al-Qur'an dengan menggunakan metode ini ruang
lingkupnya sangat luas.42 Jika dilaksanakan secara konsisten, tentu saja
metode ini sangat bagus, bisa memperkaya wawasan pembacanya.
Penafsir dituntut menguasai sekian banyak kepustakaan mengenai tafsir al-
Qur'an, sejak dari salaf sampai kepustakaan kontemporer. Mengingat
luasnya cakupan yang bisa diperbandingkan, biasanya tafsir muqarin
hanya membatasi pada sejumlah ayat atau surat-surat tertentu.
Sebagaimana diketahui, berbeda-beda kepekaan dan perhatian
intelektualnya, sekalipun yang dihadapi sama-sama al-Qur'an. Ada di
antara mereka yang mengkhususkan kajiannya pada aspek hukum, filsafat,

40
Ibid., h.22-28.
41
Komaruddin Hidayat, op.cit., h. 192.
42
Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.39, bandingkan M. Quraisy Syihab, Tafsir dengan
Metode Maudhu’iy, di dalam beberapa aspek ilmiah tentang al-Qur’an, 1986, cet. h. 38., dan
Zhahir ibn ‘Awwad al-Alma’i, Dirasat fi Tafsir al-Maudhu’ii, ttp., t. pn, 1405 H, h. 20-21.
29

tasawuf, kesusastraan, keilmuan, ekonomi, dan aspek-aspek lain yang


memungkinkan, karena al-Qur'an terbuka untuk diajak dialog oleh setiap
pembacanya.43 Adapun kitab tafsir yang masuk dalam kategori ini adalah
Rawa’i al-Bayan Fi Tafsir Ayat al-Ahkam karya Ali Ash-Shabuny.
Kelebihan metode ini adalah pertama, memberikan wawasan
penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bisa dibandingkan
metode-metode yang lain. Di mana semua pendapat atau penafsiran yang
diberikan itu dapat diterima selama proses penafsirannya melalui metode
dan kaidah yang benar. Kedua, membuka pintu untuk selalu bersikap
toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda
dari pendapat kita dan tidak mustahil ada yang kontradiktif. Dengan
demikian, dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu
madzhab atau aliran tertentu. Ketiga, metode ini sangat berguna bagi
mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tetapi suatu ayat. Oleh
karena itu, penafsiran semacam ini cocok untuk mereka yang ingin
mendalami dan memperluas penafsiran al-Qur'an. Keempat, mufasir
didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-hadits serta pendapat-
pendapat para mufasir yang lain. Dengan demikian, pola ini akan
membuatnya lebih berhati-hati dalam proses penafsiran suatu ayat,
sehingga penafsiran yang diberikannya relatif lebih terjamin kebenarannya
dan lebih dapat dipercaya.
Kekurangan metode ini adalah pertama, metode ini tidak dapat
diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada
tingkat sekolah menengah ke bawah, karena pembahasan yang
dikemukakan di dalamnya terlalu luas dan kadang-kadang bisa ekstrim.
Kedua, metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab
permasalahan sosial yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Hal itu
disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan daripada
pemecahan masalah. Ketiga, metode ini terkesan lebih banyak menelusuri
penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada

43
Komaruddin Hidayat, op.cit., h. 193.
30

mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. Sebenarnya hal ini bisa saja


tidak terjadi apabila mufasir bisa mengaitkannya dengan kondisi yang
dihadapinya.44
Metode ke empat adalah metode maudlu’iy (tematik), yaitu
membahas ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan tema atau judul yang telah
ditetapkan.45 Metode tafsir yang ide awalnya berasal dari Al-Syathiby dan
mengkristal dalam tulisan Mahmud Syalthuth ini dalam operasionalnya
mempunyai beberapa langkah. Pertama, menetapkan tema yang akan
dibahas. Kedua, menginventarisir ayat-ayat yang berkaitan dengan tema
tersebut. Ketiga, menyusun himpunan ayat yang tersebut sesuai dengan
kronologi turunnya ayat yang dibarengi dengan pemahaman akan asbabun-
nuzulnya. Keempat, memahami munasabah ayat tersebut dalam suratnya
masing-masing. Kelima, menyusun pembahasan dalam outline yang
sempurna. Keenam, melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang
relevan dan yang terahir mempelajari ayat-ayatnya tersebut mempunyai
pengertian yang sama atau mengkompromikan yang amm dan khash,
mutlaq dan muqayyad, atau yang secara zhahir bertentangan, sehingga
semuanya bertemu pada muara yang sama tanpa perbedaan atau
pemaksaan.46
Selain penafsiran maudlu’iy dalam bentuk ayat, sebagaimana
dikemukakan di atas, juga dikenal penafsiran maudlu’iy dalam bentuk
surat, di mana sebuah surat dikaji dengan kajian yang universal (tidak
parsial) yang di dalamnya dikemukakan misi awalnya lalu misi utamanya,
serta kaitan antara satu bagian surat dan bagian yang lain, sehingga wajah
surat itu mirip seperti bentuk yang sempurna dan saling melengkapi.47
Di antara tafsir yang termasuk kategori tafsir maudlu’iy, misalnya;
Al-Insan Fi al-Qur'an dan Mar-at Fi al-Qur'an, keduanya karangan
Mahmud al-‘Aqqad; Al-Riba Fi al-Qur'an karangan Al-Maududi.

44
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 142-144.
45
Ibid., h.151.
46
Akhmad Arif Junaidi, op.cit., 26.
47
Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.42.
31

Kelebihan metode ini adalah pertama, menjawab tantangan zaman,


artinya metode ini ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan. Di mana
metode ini mengkaji semua ayat al-Qur'an yang berbicara tentang kasus
yang sedang dibahas secara tuntas dari berbagai aspeknya. Kedua, praktis
dan sistematis. Kondisi semacam ini sangat cocok dengan kehidupan umat
yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka
seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang
besar, padahal untuk mendapatkan petunjuk al-Qur'an mereka harus
membacanya. Ketiga, dinamis, artinya sesuai dengan tuntutan zaman
sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengarnya
bahwa al-Qur'an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di
muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial. Keempat, membuat
pemahaman menjadi utuh, karena tema-tema yang akan dibahas terlebih
dahulu ditetapkan, sehingga pemahaman ayat-ayat al-Qur'an dapat diserap
secara utuh.
Kekurangan dari metode ini adalah pertama, memenggal ayat al-
Qur'an, di mana cara ini kadang dipandang tidak sopan oleh kaum
tekstualis. Kedua, membatasi pemahaman ayat. Dengan ditetapkannya
tema atau judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas
pada permasalahan yang dibahas tersebut. Padahal tidak mustahil satu ayat
itu dapat ditinjau dari berbagai aspek.48
Sementara itu dalam menafsirkan al-Qur'an, para ulama ahli tafsir
mempergunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda. Tercatat ada dua
pendekatan yang masyhur dan banyak digunakan oleh para ulama untuk
memahami dan menafsirakan ayat-ayat al-Qur'an. Pertama, pendekatan bil
ma’tsur, yaitu pendekatan yang berpegang teguh pada kesahihan manqul
secara berurutan, yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, apabila
tidak ditemukan penjelasannya dalam ayat yang lain maka berpegang pada
sunnah Nabi, kemudian qaul sahabat, bila ternyata masih belum ditemukan
penjelasannya, maka berpegang pada pendapat pembesar tabiin (Kibarut

48
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 165-168.
32

tabiin).49 Kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah
Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur'an karya monumental dari Ibnu Jarir al-
Thabary dan Tafsir al-Qur'an al-Azim karya Ibn Katsir.
Kelebihan dari tafsir dengan menggunakan pendekatan ini terletak
pada kekayaan informasi kesejarahannya yang luas berdasarkan riwayat
yang disampaikan, sehingga pembaca bisa mengenali peristiwa-peristiwa
yang terjadi di seputar turunnya al-Qur'an dan suasana sosial psikologis
Rasulullah dan para sahabat sewaktu al-Qur'an diturunkan. Sedangkan
kelemahannya terletak pada munculnya periwayatan-periwayatan yang
tanpa sanad meskipun hanya kecil prosentasenya. Di samping itu, mufasir
hanya disibukkan oleh pembahasan tentang berbagai pendapat yang ada,
sehingga pesan ayat menjadi terabaikan.
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan bil ra’yi, yaitu
pendekatan tafsir yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam dan
disandarkan pada makna-makna lafadz al-Qur'an, setelah memahami
madlul dan dalalah dari pernyataan-pernyataan al-Qur'an yang terangkai
oleh lafadz tersebut.50 Adapun tafsir yang termasuk kategori ini adalah
Mafatih al-Ghaib karya Al-Razi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil
karya Al-Baidzawy, Al-Kasysyaf karya Zamakhsyary.
Kelebihan yang dimiliki pendekatan tafsir ini terletak pada
upayanya untuk menangkap pesan-pesan dan pemahaman al-Qur'an tidak
secara tekstual serta tidak terkurungi oleh lingkup historis-sosiologis yang
bersifat lokal, melainkan menggali substansi pesan al-Qur'an yang bersifat
rasional dan universal yang hadir dalam “busana” lokal. Sedangkan
kelemahannya terletak pada kesulitan kita untuk mengontrol pengaruh
subyektif mufasir sehingga dikhawatirkan yang terjadi adalah penalaran
penafsir yang disandarkan pada al-Qur'an.51
Sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam
muncullah tafsir dengan berbagai kecenderungannya. Beberapa
49
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 482.
50
Akhmad Arif Junaidi, op.cit., 27-29.
51
Ibid.
33

kecenderungan atau corak yang nampak adalah pertama, corak sufistik.


Terdapat dua aliran dalam corak sufistik, yaitu aliran tasawuf teoritis dan
aliran tasawuf praktis.
Penafsiran sebagaimana yang disalurkan oleh para ahli tasawuf
teoritis ditolak oleh ulama, karena mereka menakwilkan ayat-ayat al-
Qur'an tanpa mengikuti cara-cara yang benar. Dan penafsiran model ini
sangat sedikit jumlahnya yang dapat diterima. Menurut Adz-Dzahabi,
belum ada ulama tasawuf yang menyusun sebuah kitab tafsir khusus, yang
di dalamnya dijelaskan ayat per ayat, seperti tafsir isyari, yang ditemukan
hanyalah penafsiran-penafsiran al-Qur'an secara parsial yang dinisbatkan
kepada Ibn Arabi, yaitu pada Kitab Al-Futuh al-Makiyyah dan Kitab Al-
Fushush, keduanya ditulis oleh Ibn Arabi.
Adapun penafsiran yang dilakukan oleh aliran tasawuf praktis
adalah menakwilkan al-Qur'an dengan penjelasan yang berbeda dengan
kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang hanya dapat
ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk. Namun, tetap
memungkinkan untuk menggabungkan antara penafsiran tekstual dan
penafsiran isyarat itu. Dan ulama aliran ini menyebut karya tafsirnya
dengan tafsir isyarat. Rupanya penafsiran ini bukanlah hal yang baru,
sebagaimana sabda Nabi:

‫ﻊ‬ ‫ﻣ ﹾﻄﹶﻠ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻭِﻟﻜﹸ ﱢﻞ‬ ‫ﺣﺪ‬ ‫ﻑ‬


ٍ ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻭِﻟﻜﹸ ﱢﻞ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ ِﻄ‬‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻳ ٍﺔ ﹶﻇ ِﻬ‬‫ِﻟ ﹸﻜﻞﱢ ﺍ‬

Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki
batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk
melihatnya.

Kitab tafsir yang termasuk kategori ini adalah Tafsir al-Qur'an al-Adzim
karya Imam At-Tutsuri (w. 283 H), Haqaiq at-Tafsir karya Al-Allamah as-
Sulami (w. 412 H), Arais al-Bayan Fi Haqaiq al-Qur'an karya Imam As-
Syirazi (w. 606 H).52

52
Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.27-30.
34

Corak yang kedua adalah corak fiqih atau hukum. Bersamaan


dengan lahirnya tafsir bil ma’tsur, lahirlah tafsir yang bercorak fiqih. Di
mana keduanya dinukil tanpa dibeda-bedakan. Hal ini terjadi karena
tatkala menemukan kemuskilan dalam memahami al-Qur'an, para sahabat
– sebagaimana telah dijelaskan – langsung bertanya kepada Nabi dan
beliaupun menjawabnya. Jawaban-jawaban Nabi ini, di samping
dikategorikan sebagai tafsir bil ma’tsur, juga dikategorikan sebagai tafsir
fiqih. Setelah nabi wafat, para sahabat berijtihad menggali sendiri hukum-
hukum syara dari al-Qur'an ketika mereka menghadapi permasalahan-
permasalahan yang belum pernah terjadi pada masa Nabi. Ijtihad para
sahabat pun di samping dikategorikan sebagai tafsir bil ma’tsur, juga
dikategorikan sebagai tafsir fiqih. Demikian pula ijtihad para tabiin.
Tafsir bercorak fiqih seiring dengan majunya intensitas ijtihad.
Pada awalnya penafsiran-penafsiran fiqih lepas dari kontaminasi hawa
nafsu dan motivasi-motivasi negatif. Hal itu berjalan sampai periode
munculnya madzhab fiqih yang berbeda-beda. Pada periode munculnya
madzhab yang empat dan yang lainnya, kaum muslimin dihadapkan pada
kejadian-kejadian yang tidak pernah terjadi pada genarasi sebelumnya,
sehingga belum ada keputusan hukum mengenainya.
Oleh karena itu, setiap imam madzhab berijtihad di bawah naungan
al-Qur'an, sunnah dan sumber-sumber penetapan hukum syariat lainnya.
Mereka lalu memberi hukum dan hasil ijtihadnya yang telah dibangun
dengan berbagai dalil.
Setelah periode ini berlalu, muncullah para pengikut imam-imam
madzhab. Di antara mereka ada orang-orang yang fanatik terhadap
madzhab yang dianutnya. Ketika memahami al-Qur'an, mereka
menggiringnya agar sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Namun ada
juga yang tidak fanatik dengan madzhab yang dianutnya, mereka
memahami al-Qur'an dengan pemikiran yang bersih dari kecenderungan
hawa nafsu. Bahkan, mereka memahami dan menafsirkannya atas dasar
makna-makna yang mereka yakini kebenarannya. Dan kitab tafsir yang
35

termasuk kategori ini di antaranya adalah Ahkam al-Qur'an karya Al-


Jashshash (w. 370 H), Ahkam al-Qur'an karya Ibnu Al-Arabi (w. 543 H),
Al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an karya Al-Qurthubi (w. 671 H).53
Corak yang ketiga adalah corak falsafi. Pada masa khalifah
Abbasiyah digalakkan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa
Arab. Di antaranya adalah buku-buku filsafat, yang pada gilirannya
dikonsumsi oleh umat Islam. Menyikapi hal ini, umat Islam terbagi
menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan yang menolak
filsafat, karena menganggapnya bertentangan dengan aqidah dan agama.
Di antara tokohnya adalah Imam Al-Ghazali dan Al-Fakhr ar-Razi.
Golongan kedua adalah golongan yang mengagumi filsafat. Mereka
menekuni dan menerimanya sepanjang tidak bertentangan dengan norma-
norma Islam. Mereka berusaha memadukan antara filsafat dan agama serta
menghilangkan pertentangan antara keduanya, tetapi gagal. Yang mereka
capai hanya menengah-nengahi antara keduanya. Sebab, tidak mungkin
nash al-Qur'an mengandung teori-teori filsafat.
Dari golongan pertama lahirlah kitab Mafatih al-Ghaib karya Al-
Fakhr ar-Razi (w. 606 H). Adapun golongan kedua. Dr. Adz-Dzahabi
berkata, “Kami tidak pernah mendengar ada seorang filsuf –yang
mengagung-agungkan filsafat – yang mengarang satu kitab tafsir al-Qur'an
yang lengkap. Yang kami temukan hanya sebagian pemahaman mereka
terhadap al-Qur'an yang berpencar-pencar dalam buku-buku filsafat
karangan mereka”.54
Corak yang keempat adalah corak sastra dan bahasa. Corak ini
timbul akibat banyaknya orang non arab yang memeluk agama islam dan
mereka tidak menguasai bahasa arab, juga kelemahan orang-orang arab
sendiri dibidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan
kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan al-

53
Ibid.30-32.
54
Ibid.
36

Qur'an dari segi bahasa.55 Corak ini ditampilkan oleh az-Zamakhsyari dan
al-Nasafi.56
Corak yang kelima adalah corak ‘ilmi. Ajaran al-Qur'an adalah
ajaran ilmiah yang berdiri diatas prinsip pembebasan akal dari tahayul dan
kemerdekaan berfikir. Manakala para ulama menyadari hal-hal yang
demikian, maka sebagian dari mereka mencoba menafsirkan ayat-ayat al-
Qur'an tersebut berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka
terhadap gejolak atau fenomena alam yang terjadi pada saat mufasir
menulis kitab tafsir mereka. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam kategori
ini diantaranya adalah imam Fakhrurrazi dalam karyanya Tafsir al-Kabir,
al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir al-Qur'an, al-
Suyuthi dalam karyanya al-Itqan.57
Corak yang keenam adalah corak adabi ijtima’i, dimana corak ini
berupaya menyingkapkan keindahan bahasa al-Qur'an dan mukjizat-
mukjizatnya, menjelaskan makna-makna dan maksudnya,
memeperlihatkan aturan-aturan al-Qur'an tentang kemasyarakatan, dan
mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat islam secara khusus,
dan permasalahan umat lainya secara umum. Corak tafsir inipun berupaya
mengkompromikan antara al-Qur'an dengan teori-teori pengetahuan yang
valid. Adapun tokoh yang menggunakan corak ini dalam tafsirnya,
diantaranya adalah Rasyidh ridha (w. 1354 H) dalam karyanya Tafsir al-
Manar.58

B. Sejarah Perkembangan Tafsir di Indonesia


Tradisi penulisan tafsir di Indonesia sebenarnya telah bergerak
cukup lama, dengan keragaman teknis penulisan, corak, dan bahasa yang
dipakai. Pada bagian ini akan diuraikan tentang perjalanan dan sejarah
penulisan tafsir di Indonesia, dimana penulis membagi dua periode;

55
Quraish Sihab, op. cit., h. 72
56
Abdul Hayy al-Farmawy, op. cit., h. 26
57
Ibid., h. 33-34
58
Ibid., h. 37
37

pertama, periode sebelum abad ke-20, dan kedua, periode sesudah abad
ke-20.
1. Periode Pertama; sebelum abad ke-20
Seiring dengan masuknya agama islam ke Indonesia, yang
berdasarkan seminar di Medan tahun 1963, bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia pada abad I/ II H atau abad VII/ VIII M dan berlangsung
sampai abad X H atau XV M. Usaha memahami pesan-pesan al-Qur'an
dalam bahasa setempat sejak itu dimulai. Namun penafsiran yang ada
belum tertulis dan belum mengacu dalam bentuk buku tafsir tersendiri,
tetapi masih integral dan bercampur dengan ajaran-ajaran islam yang lain
semisal tauhid, fiqih, tasawuf dan lain-lain, serta disajikan secara praktis
dalam bentuk amaliah sehari-hari.
Contoh populer yang dapat ditemukan adalah istilah “molimo”
yang dikemukakan oleh Sunan Ampel (w. 1478 M), yang berarti
menghindari lima hal, yaitu emoh main (judi), emoh ngombe (minuman
keras), emoh madat (menghisap candu), emoh maling (mencuri), emoh
madon (berzina) itu semua adalah penafsiran dari surat al-Maidah : 38-39
dan 90, serta surat al-Isra : 32.59
Kemudian kita bisa mencatat bahwa pada abad ke-16 di Nusantara
telah muncul proses penulisan tafsir yang lebih maju dibanding tahun
tahun sebelumnya. Setidaknya ini dapat dilihat dari naskah Tafsir Surat al-
Kahfi: 9. Teknis tafsir ini ditulis secara parsial berdasarkan surat tertentu,
yakni surat al-Kahfi dan tidak diketahui siapa penulisnya. Manuskripnya
dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda,
Erpinus (w. 1624) pada awal abad ke-17. sekarang manuskrip itu menjadi
koleksi Cambridge University Library dengan katalog MS Ii, 6. 45. diduga
manuskrip ini dibuat pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636 M) dimana mufti kesultanannya adalah Syams al-Din al-
Sumatrani, atau bahkan sebelumnya, Sultan ’Ala al-Din Ri’ayat Syah

59
Jurnal Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, vol. 3. No. 2, juli 2002, h. 191
38

Sayyid al-Mukammil (1537-1604 M), dimana mufti kesultanannya adalah


Hamzah al-Fansyuri.
Dilihat dari corak atau nuansa tafsir, Tafsir Surat al-Kahfi ini
sangat kental dengan warna sufistik. Ini tentu mencerminkan bahwa
penulisnya adalah orang yang mempunyai pandangan spiritual yang tinggi,
atau bahkan pengikut tarikat yang mapan pada saat di Aceh, yaitu tarikat
Qadiriyah. Dari sisi referensi merujuk pada Tafsir al-Khazin dan Tafsir al-
Baydlawi. Hal ini juga menunjukkan bahwa penulisnya seorang yang
menguasai bahasa arab dengan baik dan mempunyai keilmuan yang
tinggi.60
Setelah Tafsir Surat al-Kahfi, selang waktu yang lama muncul
karya tafsir yaitu Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Abd al-Rauf al-
Sinkili (1615-1693)61 lengkap 30 juz. Tahun penulisan karya ini tidak bisa
diketahui dengan pasti. Menurut Peter Riddel setelah melihat informasi

60
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet I,
Teraju, Bandung, 2003, h. 53-54
61
Diantara para ilmuan yang meneliti Abd al-Rauf al-Sinkili adalah D. A. Rinkes,
menulis disertasinya mengenai Abd al-Rauf al-Sinkili pada tahun 1909. dalam disertasinya ia
hanya membahas segi tasawufnya saja pada karangan Abd Ar-rauf Rinkes tidak menerbitkan teks
asli Abd al-Rauf, tetapi hanya memberikan terjemahan dan ringkasan. Memnag istilah khas
dimasukkan, tetapi selain itu, semuanya digambarkan dalam bahasa dan sistematika Rinkes
sendiri. Sebagai tulisan pokok diberikan ringkasan Umdatu al-Muhtadin, barang kali karya Abd al-
Rauf ini yang paling penting di bidang tasawuf. Rauf adalah seorang yang membawa tarikat
Syattariyah ke Indonesia, sehingga banyak informasi mengenai tarikat ini, juga di jawa (walaupun
sangat mungkin tarikat syattariyah tidak dibawa ke Jawa oleh Rauf, tetapi oleh ulama lainya)
A.H. Johns dan Voorhoeve termasuk ilmuwan yang meneliti karya Rauf. Dalam
penelitianya mereka berdua hanya menerbitkan satu atau dua buah naskah kecil karya Rauf dengan
beberapa catatan tambahan mengenai riwayat Hidupnya dan karangan lainya. Mereka berdua juga
memberikan tambahan pengetahuan mengenai tokoh ini, khususnya karyanya dibidang tasawuf,
tetapi mereka tidak berusaha memberikan sebuah overall-study yang meliputi semua aspeknya.
Karya Rauf dalam bidang Fiqih, Mir’atu al-Tullab, belum pernah mendapat perhatian
yang cukup serius dari sarjana barat, pada tahun 1844 telah diterbitkan suatu saduran karya ini
oleh Meursinge, akan tetapi Meursinge hanya mengambil-dari karangan Rauf ini – apa yang
dianggap cukup relevan untuk pengetahuan mengenai hukum islam secara praktis. Dan Dr. Peunuh
Dali di IAIN Ciputat, Jakarta, dalam disertasinya ia memandang bahwa karangan Rauf dari segi
fiqih umum saja. Dalam studi ini Peunuh Khusus membahas bab nikah dari karya Rauf (ada
pendapat bahwa Rauf hendak mengisi kekosongan yang masih ada sesudah karangan al-Raniri
dibidang fiqih ibadah, yang disusun dalam kitab Sirathal-Mustaqim, karena Rauf membahas Fiqih
selain Fiqih Ibadah). Dalam Disertasinya yang belum diterbitkan itu, Peunuh berangkat dari
asumsi dan catatan Rauf bahwa bukunya merupakan terjemahan dasri karangan Zakarya al-
Anshari. Lihat. Karel A. Steenbrink, mencari tuhan dengan kaca mata barat, kajian kritis mengenai
agama di Indonesia, Cet Islam, IAIN sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1988, h. 183-185
39

dari manuskrip tertua karya ini, mengambil kesimpulan tentatif, karya ini
ditulis sekitar tahun 1675 M.
Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf al-Sinkili ini menurut
banyak pengamat merupakan terjemah dari Tafsir al-Baydlawi. Ilmuwan
yang berpendapat semacam ini adalah Snouck Hurgronje. Namun Peter
Ridel mempunyai pendapat lain, yaitui Tarjuman al-Mustafid ini justru
merupakan terjemah dari Tafsir al-Jalalayn, meskipun banyak merujuk
pula pada Tafsir al-Baydlawi, Tafsir Khazin dan beberapa tafsir yang lain.
Sebab Tafsir al-Baydlawi merupakan karya tafsir yang ekstensif dan rumit,
sedangkan Tarjuman al-Mustafid sebagaimana Tafsir al-Jalalain,
62
modelnya singkat, jelas, dan elementer.
Adapun bahasa melayu yang digunakan oleh ‘Abdul Rauf tidak
menjadi masalah, karena bahasa ini adalah salah satu dari bahasa yang
berkembang di wilayah Indonesia, khususnya di wilayah Sumatra dan
menjadi salah satu penyumbang terpenting dalam bangunan bahasa
Indonesia modern. Pada periode ini juga diinformasikan terdapat kitab
tafsir yang berjudul Tasdiq al-Ma’arif yang ditulis di Sampon Aceh, tetapi
tidak diketahui siapa pengarangnya. Dimana, tafsir ini merupakan tafsir
sufistik dan ditulis untuk membela prinsip-prinsip ajaran sufi.63
Pada abad ke-19 M, muncul sebuah karya tafsir yang
menggunakan bahasa Melayu-Jawi, yaitu kitab Faraidl al-Qur'an. Kitab
tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya. Ditulis dalam bentuk yang
sangat sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, sebab hanya
terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap. Naskahnya
masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama’ Aceh yang
diedit oleh Ismail bin Abd al-Mutalib al-‘Asyi, Jami’ al-Jawami’ al-
Mushannafat: Majmu’ Beberapa Kitab Karangan Beberapa Ulama Aceh.
Manuskrip buku ini disimpan di Perpustakaan Universitas Amsterdam

62
Ibid., h. 184
63
Jurnal Esensia, op. cit., h. 193
40

dengan kode katalog: Amst. IT. 481/ 96(2). Karya ini kemudian
diterbitkan di Bulaq, Mesir.
Objek penafsiran naskah ini adalah surat al-Nisa’: 11-12 yang
berbicara tentang hukum waris. Keterangan yang diberikannya sederhana
tetapi lebih dari sekedar terjemah. Setelah memaparkan ayat tertentu,
uraian selanjutnya selalu diawali dengan kata “tafsirnya”. Namun, karena
tidak adanya data tentang penulisnya, kita kesulitan untuk menguraikanya
lebih dalam.
Pada abad ke-19 M terdapat tafsir utuh yang ditulis oleh ulama’
asal Indonesia, Imam Muhammad Nawawi al-Bantani(1813-1879M), yaitu
Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid atau Tafsir Munir li
Ma’alim Tanzil. Namun, tafsir yang menggunakan bahasa Arab sebagai
bahasa pengantar ini, ditulis diluar Nusantara, yaitu Makkah. Penulisannya
selesai pada hari Rabu, 5 Rabi’al- Akhir 1305 H. Sebelumnya, naskahnya
disodorkan kepada para ulama’ Makkah dan Madinah untuk diteliti, lalu
naskahnya dicetak di negeri itu. Atas kecemerlangannya dalam menulis
tafsir itu, oleh ulama Mesir, Imam Nawawi di beri gelar “Sayyid Ulama al-
Hijaz”, pemimpin ulama’ Hijaz.64
2. Periode kedua; sesudah abad ke-20
Secara kronologis dari dekade ke dekade, literatur tafsir al-Qur'an
di Indonesia mengalami dinamika yang menarik baik dari segi
penyampaian, tema-tema kajian serta sifat penafsir. Pada dekade 1920-an
muncul Alqoeranoel Hakim Beserta Toedjoean dan Maksoednja, karya H.
Iljas dan Abdul Jalil (Padang Panjang: 1925). meskipun hanya penafsiran
atas juz pertama saja, karya tafsir ini menunjukan bahwa pada saat itu
telah muncul-dari segi sifat penafsir-model penafsiran kolektif.65
Selain tafsir tersebut diatas, juga terdapat tafsir al-Qur'an yang
ditulis dan terbit dalam bahasa Indonesia adalah Tafsir Qur’an Karim yang

64
Islah Gusmian, op. cit., h. 54-55
65
Ibid., h. 56
41

ditulis oleh Mahmud Yunus66, pada awal abad ke-20. Tafsir ini mulai
ditulis pada bulan November 1922 dan selesai pada tahun 1938.
Penulisannya terjadi menjadi empat tahap, tahap pertama, juz 1-3 ditulis
oleh Mahmud Yunus sendiri, tahap kedua penulisannya dilakukan oleh H.
Ilyas Muhammad Ali dibawah bimbingan Mahmud Yunus dan
merampungkan juz 4, tahap ketiga dimulai tahun 1935 hingga
menyelesaikan juz 18, dalam tahap ini dia dibantu oleh H. M. Kasim
Bakry, tahap keempat diselesaikannya sendiri pada tahun 1938.
Mahmud memulai karyanya dengan menggunakan Arab Melayu
bukan dengan huruf latin, barang kali sebagai jalan tengah yang
ditempuhnya agar tidak terlalu konfrontatif. Bagi Mahmud Yunus upaya
menafsirkan al-Qur'an ke dalam bahasa setempat merupakan sebuah upaya
teramat penting, sebab tanpa penafsiran kedalam bahasa setempat, banyak
orang Islam bangsa ini yang tidak mengetahui isi al-Qur'an, padahal al-
Qur'an diturunkan oleh Allah supaya isinya diperhatikan, sebagai petunjuk
dan pengajaran, bukan semata-mata untuk dilagukan. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa al-Qur'an sudah diterjemahkan orang kedalam bahasa
Belanda, Inggris, Jerman, dan lain-lain, sehingga mereka mengerti al-
Qur'an tetapi banyak orang Islam Indonesia yang tidak mengetahuinya67.
Pada tahun 1998 terbitlah tafsir juz pertama karya A Hasan68 yang

66
Mahmud Yunus dilahirkan di Sungayang, Batu Sangkar, Sumatra Barat, pada hari
Sabtu, 30 Ramadhan 1316 H, bertepatan dengan 10 pebruari 1899 M. Ayahnya bernama Yunus
bin Incek dan ibunya bernama Hafsah binti M. Tahir. Buyutnya dari pihak ibu adalah seorang
ulama besar di Sungayang, bernama M. Ali gelar Angku Kolok. Pada usia 7 tahun ia belajar di
Surau Kakeknya M. Tahir tentang al-Qur'an dan bahas Arab. Yunus pernah memasuki sekolah
Rakyat tapi hanya sampai kelas 3. kemudian ia pindah ke madrasah yang di asuh oleh Syaikh H.
M. Thaib di Surau Tanjung Pauh. Berkat ketekunanya dalam waktu 4 tahun, Yunus telah sanggup
mengajarkan kitab-kitab Mahalli, Alfiyah, Jamul Jawami’. Ketika Syiakh H. M Thaib Umar jatuh
sakit dan berhenti mengajar, yang menggantikanya adalah Yunus. Pada tahun 1924, ia mendapat
kesempatan belajar di Universitaaas al-Azahr, Mesir, dan dalam waktu satu tahun telah
memperopleh Syahadah aliyyah, kemudian berusaha masuk Darul Ulum Mesir, dan tercata
tsebagai mahasiswa Indonesia yang belajar di sana. Pada tahun 1930, setelah mengambil
Takhassus Tadris, akhirnya Yunus memperoleh Ijazah Tadris dari perguruan tinggi ini. Lih. M
Yunan Yusuf, karakteristik al-Qur'an di Indonesia Abad ke-20, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal ilmu
dan Kebudayaan, No. 4/ vol III/ 1992, h.60
67
Jurnal Esensia, op. cit., h. 194
68
Hasan dilahirkan di Singapura pada tahun 1887. ayahnya bernama Ahmad atau dikenal
bernama Sinna Vappu Marica, seorang penulis dan ahli dalam Islam kesustraan Tamil. Hasan
42

berjudul al-Furqan Tafsir Qur’an, tepatnya pada bulan Muharram 1347/


Juli 1924.69 sebagaimana penulisan tafsir karya Mahmud Yunus, penulisan
tafsir yang dilakukan oleh A. Hasan juga mengalami beberapa tahapan.
Tahap pertama sampai tahun 1941 dengan menyelesaikan hingga surat
Maryam dan yang kedua atas permintaan Salim bin Nabhan seorang
pengusaha percetakan dan penerbitan di Surabaya Hasan mengulang
kembali tafsirnya dari awal sampai akhir dengan menempuh cara lain,
yakni lebih mementingkan pemberian keterangan tiap-tiap ayat agar
pembaca bisa memahami maknanya dengan mudah.70 Penerbitan secara
lengkap tafsir ini dilakukan pada tahun 1956 sebagaimana tercantum pada
tahun pertama penerbitannya.
Al-furqan karya A. Hasan tidak lagi mengalami kondisi seperti
yang dialami Mahmud Yunus, dimana kegiatan menterjemahkan dan
menafsirkan al-Qur'an diluar bahasa arab belum dapat diterima. Pada
masanya, A. Hasan telah menulis tafsirnya dengan huruf latin, namun
suasana yang dihadapi A. Hasan adalah suasana riuh rendahnya
pertentangan antara kaum tradisionalis dan modernis dalam bentuk
berpegang teguh terhadap mazhab dengan taklid atau kembali kepada al-
Qur'an dan al-Sunnah dengan ijtihad. Perdebatan tentang sumber hukum
islam; ijtihad, ittiba’, taklid, bid’ah, dan faham kebangsaan yang
mewarnai pikiran-pikiran A. Hasan juga terpantul dalam tafsirnya.71
Pada tahun 1932 terbit tafsir yang berjudul Qoer’an Indonesia
yang diterbitkan oleh Sjarikat Kwekschool Moehammadijah Bahagian

sendiri tidak pernah menyelesaiakn sekolah dasarnya di Singapura. Ia masuk sekolah melayu
sampai kelas 4 dan sekolah Inggris sampai kelas yang sama. Hasan mulai bekerja mencari nafkah
pada usia 12 tahun. Ia mengambil pelajaran secara privat dan berusaha untuk menguasai bahasa
Arab dengan Maksud agar dapat memperdalam pengetahuanya tentang silam atas usaha sendiri.
Tahun 1921 Hasan pindah ke Surabya, negeri dimana tempat tinggal keluarga ibunya. Pada masa
itu Surabaya telah merupakan pusat pertikaian antara kaum muda dan kaum tua. Kemudian Hasan
pindah ke bandung. Dan tinggal dirumah Muhammad Yunus, seorang pendiri persatuan islam.
Akhirnya hasan sendiri menjadi tokoh penting pula dalam PERSIS. Lihat. M.Yunan Yusuf,
Karakteristik.........op. cit., h. 60
69
A. Hasan, al-Furqan Tafsir Qur’an, Tinta Masyarakat, Jakarta, 1962, h. vii
70
Ibid
71
M. Yunan Yusuf, Krakterustik.....op. cit., h. 53
43

Karang Mengarang.72. Selang dua tahun yaitu tahun 1934 Iskandar Idris
menerbitkan tafsir berbahasa daerah Sunda dengan judul Tafsir
Hibarna.73. Selanjutnya tahun 1935 terbit berturut-turut dua tafsir yaitu
Tafsir al-Syamsiyah yang diterbitkan oleh bagian Penerbitan Terjemah dan
Tafsir “al-Ittihadul Islamiyah” pimpinan KH. Sanusi Sukabumi dan karya
Munawwar Khalil yang berjudul Tafsir Hidayatur Rahman.74
Kemudian menyusul Tafsir al-Qur'an al-Karim, karya tiga orang
ulama asal Sumatra Timur; al-Ustadz H. A. Halim Hasan75, H. Zaenal
Arifin Abbas76, dan Abdurrahim Haitami.77 Dimana penyusunannya
dimulai awal Ramadhan 1355 H di Binjai, Langkat. Sementara penerbitan
pertamanya baru dalam bentuk majalah sebanyak 20 halaman, dimulai
pada April 1937, terbit sebulan sekali. Pada akhir 1941, menjelang

72
Departemen Agama RI, Mukadimah al-Qur'an Tafsirnya, Yayasan Dana Bakti Waqaf,
UII, Yogyakarta,. 1991, h. 61
73
Ibid., Tafsir ini ternyata judulnya saja yang berbahasa Sunda, isi dan tafsirnya sendiri
berbahasa Indonesia.
74
Departemen Agama RI, pendahuluan untuk al-Qur'an dan terjemahnya, Thaha Putra,
Semarang, tt, h. 37
75
al-Ustad H. A. Halim Hasan Lahir pada tanggal 15 mei 1901 di Binjai Sumatra Utara.
Pada usia 7 tahun mulai belajar ilmu agama pada beberapa ulama di Binjai, antara lain: H.
Abdullah Umar Kadhi dan Syaikh H. Muhammad Samah. Pada taun 1926 pergi ke Mekkah
menunaikan ibadah haji dan belajar disana. Disamping belajar ilmu-ilmu agama juga belajar ilmu
umum, seperti: Jurnalistik dan Politik pada Jamaluddin Adinegoro di Medan serta bahasa Inggris
pada M. Ridwan, seorang pensiunan kepala jawatan penerbangan kabupaten Langkat. Keahlian
beliau adalah dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah dan Fiqih. Beliau meninggal dunia sangat tiba-
tiba, yaitu ketika beliau selesai sholat jum’at di Masjid Muhammadiyah, Beliau terjatuh dan kata
Dokter mengalami pendarahan Otak. Keesokan harinya tanggal 15 Nopember 1969 beliau wafat di
rumah sakit PNP II bangkatan Binjai. Lihat. M. Yunan Yusuf, Karakteristik.......op. cit., h. 60
76
H. Zaenal Arifin Abbas diduga lahir tahun 1920. Pendidikanya pada College
Madrasatul Arabiyah dan Tsanawiyah tahun 1927-1935. Syaikh H. Abdul Halim Hasan adalah
gurunya yang paling berpengaruh padanya. Kebiasaan menulis sudah di tekuni paada usia 16
tahun. Karyanya disamping tafsir Qur’an tersebut, terdapat pula perihidup sebanyak 6 jilid,
Tasawuf Islam, perkembangan Pikiran terhadap agama dan berbagai buku pengetahuan agama
untuk siswa sekolah lanjutan. Pada tahun 1945 menjadi ketua umum peratuan perjuangan dan
tahun 1948-1949 bertugas sebagai kepala bagian keagamaan Divisi X TNI Sumatra dengan
pangkat Mayor. Karirnya dibidang politik dimulai pada tahun 1955 sebgai ketua umum Masyumi
sumatra utara, dan memegang jabatan pada pemerintahan sebagai kepala penerangan agama
propinsi Sumatra Utara. Pada tahun 1970 beliau diangkat sebagai ketu umum Parmusi Sumatra
Utara dan pada tahun 1973 sebagai ketua koordinator PPP Sumatra Utara. Wafat pada tahun 1979
( informasi ini diperoleh dari Usulan penelitian Drs. Fachrurazy Dalimonte tentang pemikiran H
Zaenal Arifin Abbas bagi pembaharu Islam, 1971, Naskah ini tidak diterbitkan). Ibid
77
Tidak diperoleh keterangan riwayat hidup Abdurrahim Haitamy. Informasi yang
diperoleh hanyalah tentang wafatnya pada tahun 1948, dalam pengungsian di Lansa, Aceh Timur.
ibid
44

pendudukan Jepang dan sesudah pecahnya perang dunia II, karena kertas
tidak masuk lagi dari Eropa dan Amerika , penerbitan tafsir tersebut
dihentikan. Demikianlah sampai akhir tahun 1941 Tafsir al-Qur'an Karim
ini baru selesai juz 7, dan selama masa lima tahun, 1937-1941, juz I dan 2
pernah diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan memakai huruf Arab.
Penerbitan dalam tulisan Arab Melayu itu dimaksudkan untuk konsumsi di
seluruh 9 kerajaan Malaysia. Adapun penulisannya hanya berhasil
dikerjakan sampai juz 7 saja78.
Satu tahun berikutnya yaitu tahun 1942 terbit Tafsir al-Qur’an
bahasa Indonesia karya Mahmud Aziz.79 Tahun-tahun berikutnya, 1942-
1952 adalah tahun-tahun suram bagi perkembangan tafsir di Indonesia.
Betapa tidak, selama sepuluh tahun, sejarah tidak mencatat adanya tafsir
yang terbit. Kebekuan ini diperkirakan karena adanya pengaruh penjajahan
Jepang dan persiapan hiruk pikuk kemerdekaan serta menghadapi perang
kemerdekaan.
Dalam kebekuan tersebut, mulai mencair dengan munculnya Tafsir
al-Qur'an al-Nur karya Hasbi ash-Shiddieqy pada tahun 1952.80 Karya ini
memperlihatkan corak yang lain, yaitu tinjauan tentang hukum islam yang
menampakan warna yang cukup jelas. Penafsiran ayat-ayat hukum lebih
panjang diungkapkan. Banyak orang menganggap Tafsir al-Nur ini
merupakan terjemah dari Tafsir al-Maraghi, kendatipun ia membantahnya
pada penerbitan ulang tafsirnya itu, demikian pula telah dibuktikan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Djalal dalam disertasi
doktornya pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Setelah itu, terbit Tafsir Qur’an karya Zainuddin Hamidy dan
Fachruddin Hs tahun 1959. Angkatan tafsir ini mulai dikerjakan sejak
1953. Kesimpulan ini diambil dari kata sambutan H. Agus Salim
bertanggal Januari 1953 dan Syaikh Sulaiman al-Rasuli serta Syaikh

78
ibid., h. 51-52
79
Departemen Agama RI, Mukaddimah......., h. 61
80
Departemen Agama RI, Pendahuluan........., h. 34
45

Ibrahim Musa yang dimuat dalam pendahuluan tafsir tersebut bertanggal


Agustus 1956. 81
Tafsir al-Ibris karya Bisri Mustofa dari Rembang dengan
menggunakan huruf Arab berbahasa Jawa khas pesantren yaitu
menggunakan terjemahan yang menggantung dibawah ayat, terbit 1960.
Kemudian terbit Tafsir Sinar karya Malik Ahmad yang disusun
berdasarkan urutan turunnya surat al-Qur'an tidak disusun seperti Mushaf
Utsmani serta tafsir al-Qur'an Hakim karya Hakim Bakry Cs pada tahun
yang sama.82 Dua tahun berikutnya yaitu tahun 1962 majalah Gema Islam
memuat tafsir karya HAMKA yang tadinya adalah kuliah-kuliah tafsir
pada acara Kuliah Subuh di Masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta.83
Pada 27 Januari 1964, HAMKA ditangkap penguasa rezim Orde
Lama dengan tuduhan berkhianat terhadap tanah air. Penahanan yang
dialami HAMKA selama lebih kurang dua setengah tahun memberikan
peluang baginya untuk menyelesaikan tafsirnya. Menurutnya beberapa
hari sebelum ia dipindahkan menjadi tahanan rumah, tafsirnya sudah dapat
diselesaikan 30 juz dan masa tahanan rumah selama dua bulan
dipergunakannya untuk menyempurnakan beberapa hal yang dirasa masih
84
kurang lengkap. Ia memberi nama tafsirnya ini dengan Tafsir al-Azhar,
sebagai kenangan karena tafsir ini dimulai dari Masjid al-Azhar, sebuah
nama yang diberikan oleh Syaikh Jami’ah al-Azhar pada waktu itu
Mahmud Syaltout karena HAMKA memperoleh gelar Ustadziyyah
Fakriyyah dari Universitas tersebut. Tafsir ini terbit pertama secara
lengkap tahun 1967.85
Tafsir al-Azhar karya HAMKA merupakan karya monumental
penulisnya sendiri. Lewat tafsir ini HAMKA berhasil mendemonstrasikan
keluasan pengetahuannya hampir disemua disiplin yang tercakup oleh

81
Zaenuddin Hamidi dan Fachrudin Hs., Tafsir Quir’an, Wijaya, Jakarta, 1982, h. ix
82
Departemen Agama RI, Pendahuluan .........., h.37
83
HAMKA, tafsir al-Azhar, Pembina Masa Jakarta, 1967, h. 41
84
Ibid., h. 43-46
85
Ibid, h. 37-43
46

bidang-bidang ilmu agama Islam. Suasana rumah tahanan memberikan


dorongan tersendiri bagi penulisan tafsirnya. Kehidupan politik yang tidak
menentu, bahaya komunis yang bertambah mencekam, secara panjang
lebar dikisahkannya dalam pendahuluan tafsirnya.
Dua tahun berikutnya yaitu 1969, terbit al-Qur'an Suci Basa Jawi
karya Muhammad Adnan. Tahun 1971 terbit dua tafsir yaitu al-Qur’an
dan Terjemahannya karya tim yang dibentuk oleh Departemen Agama
RI86 dan tafsir al-Qur'an al-Karim al-Bayan karya Hasbi asy-Syiddieqy.
Karya Hasbi ini tampaknya diterbitkan karena ketidakpuasannya terhadap
karya tafsirnya yang pertama, yaitu tafsir an-Nur.87
Tahun 1972 terbit Tafsir al-Huda berbahasa Jawa karya Bakri
Syahid.88 Tafsir yang muncul kemudian adalah al-Qur'an dan Tafsirnya
terbit tahun 1975. Tafsir ini sebagai lanjutan dari al-Qur'an dan
Terjemahannya karya tim yang dibentuk oleh Departemen Agama RI
sebagai salah satu proyek pemerintah dalam pembangunan lima tahun
dibidang agama. Proyek ini dimulai pada pertengahan pelita pertama dan
selesai pada pertengahan pelita ketiga.89 Al-Qur'an dan Terjemahannya
dan al-Qur'an dan Tafsirnya menampakan pula semangat alam
pembangunan Indonesia, sebuah pengantar panjang lebar yang dimuat
dalam kitab tersebut membicarakan tentang sejarah al-Qur'an, sejarah Nabi
Muhammad, al-Qur'an dan ilmu pengetahuan. Sayangnya pengantar ini
diisi dengan satu terjemahan harfiah The Holy Qur’an karya Abdullah
Yusuf Ali. Demikian pula halnya dengan al-Qur'an dan Tafsirnya yang
masih kentara sekali berbau tafsir al-Maraghi, terutama pada jilid-jilid
terakhir.
Tahun 1977 H. B. Yasin menerbitkan al-Qur'an Bacaan Mulia.
Pada tahun ini juga, adik dari penulis Tafsir al-Ibriz yang bernama

86
Departemen Agama RI, Pendahuluan ......, h. 34 -37
87
Hasbi asy-Syidieqy, Tafsir al-Qur'an Karim al-Bayan, al-Ma’arif, Bandung, 1971, h. 1-
2
88
Departemen agama RI, Pendahuluan........, h. 37
89
Departemen agama RI, Mukaddimah...., h. xi
47

Mishbah Musthafa dari pesantren Bangilan Tuban, mulai menulis tafsir al-
Iklil fi Ma’ani al-Tanzil tahun 1977 dan selesai tahun 1985, sebanyak 30
jilid, dimana masing-masing satu jilid merupakan satu juz, dan semuanya
ditulis dalam bahasa arab jawa.90 Tahun 1978 Bakhtiar Surin menerbitkan
Terjemah dan Tafsir al-Qur'an: Huruf Arab dan Latin.91 Pada tahun 1983
Oemar Bakry menerbitkan tafsir yang berjudul Tafsir Rahmat.92 Tahun
1987 Mishbah Musthafa kembali menulis tafsir yang berjudul Taj al-
Muslimin Min Kalami Rabbi al-Alamin, sebagai koreksi terhadap tafsirnya
terdahulu, namun tafsir ini hanya sampai jilid empat – akhir surat Ali
Imran 93– karena beliau meninggal dunia pada tahun 1994.94
Pasca tahun 1980-an, proses kreatif penulisan tafsir tidak saja terus
terjadi, tetapi terus berkembang. Dalam periode 1990-an beragam karya
tafsir dari intelektual muslim Indonesia. Setidaknya ada 24 karya tafsir
yang keseluruhanya mencerminkan adanya keragaman teknis penulisan
tafsir serta metodologi yang digunakan. Ini merupakan fenomena yang
memperlihatkan adanya trend baru dalam sejarah penulisan tafsir pada
dasawarsa 1990-an. 24 tafsir tersebut adalah95:
a. Konsep Kufur dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang 1991) karya
Harifuddin cawidu
b. Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Qur'an, Suatu Kajian Tafsir
Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) karya Jalaluddin Rahman
c. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an (Yogyakarta:
LESFI, 1992) karya Dr. Musa Asy’ari

90
Misbah Mustafa, al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil, al-Ihsan, Surabaya, 1986, h. 3
91
Departemen Agama RI, Mukaddimah....., h. 61
92
Howard M Federspield, Kajian al-Qur'an di Indonesia, terj. Tajul Arifin, Mizan,
Bandung, 1996, h. 102
93
Misbah al-Musthafa, Tafsir Taj al-Muslimin min Kalami Rabbi al-Alamin, cet II,
Majlis Ta’lif wa al-Khatath, Tuban, 1990
94
Misbah al-Qur'an-Mustafa, Solat dan Tata Krama, cet I, al-Misbah, 2006, bandingkan
dengan hasil wawancara dengan salah satu putranya yang akan diuraikan pada Bab III
95
Islah Gusmian, op. cit., h. 69-99
48

d. Tafsir bil Ma’tsur, Pesan Moral al-Qur'an (Bandung: Rosda karya,


1993) karya Jalaluddin Rahmat
e. al-Qur'an Dan Tafsirnya (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf
Universitas Islam Indonesia, 1995) karya Tim UII Yogyakarta
f. Ensiklopedi al-Qur'an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
Kunci (Jakarta: Paramadina, 1996) karya Prof. M. dawam Rahardjo
g. Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis Terhadap Konsepsi al-
Qur'an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) karya Dr. Machasin
h. Wawasan al-Qur'an, Tafsir Maudlui Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 1996) karya Dr. M. Quraish Shihab, M. A
i. Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997) karya M.
Quraish Shihab
j. Tafsir al-Qur'an al-Karim, Tafsir Atas Surat-surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997) karya
Dr,. M. Quraish Shihab
k. Memahami Surat Yaasin (Jakarta: Golden Terayon Press, 19998)
karya Radiks Purba
l. Ayat Suci Dalam Renungan 1-30 juz (Bandung: Pustaka, 1998) karya
M. E. Hasim
m. Ahl al-Kitab, Makna Dan Cakupanya (Jakarta: Paramadina, 1998)
karya Muhammad Ghalib Mattalo
n. Argumen Kesetaraan Gender, Perspektif al-Qur'an (Jakarta:
Paramadina, 1999) karya Dr. Nasaruddin Umar, M. A
o. Tafsir Bi al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita Dalam al-Qur'an
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) karya Dr. Nashruddin Baidan
p. Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender Dalam Tafsir (Yogyakarta: LKiS,
1999) karya Dr. H. Zaitunah Subhan
q. Tafsir Sufi Surat al-Fatihah (Bandung: Rosda Karya, 1999) karya
Jalaluddin Rahmat
r. Tafsir Hijri, Kajian Tafsir al-Qur'an surat an-Nisa’ (Jakarta: Logos,
2000) karya KH. Didin Hafidhuddin
49

s. Tafsir Tematik al-Qur'an Tentang Hubungan Sosial Antar Umat


Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000) karya Majlis Tarjih dan
Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
t. Memasuki Makna Cinta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) karya
Abdurrasyid Ridha, S. Ag
u. Dalam Cahaya al-Qur'an, Tafsir Sosial Politik al-Qur'an (Jakarta:
Gramedia, 2000) karya Syu’bah Asa
v. Jiwa dalam al-Qur'an, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern
(Jakarta: Paramadina, 2000) karya Dr. Achmad Mubarok
w. Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul (Jakarta: Pustaka Dwi Par,
2000) karya Rafiuddin S. Ag dan Drs. KH. Edham Syifa’i
x. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta:
Lentera Hati, 2000) karya Dr. M. Quraish Shihab

Anda mungkin juga menyukai