BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR AL- QUR’AN
1
Hudan adalah salah satu sifat al-Qur'an, dan sifat al-Qur'an yang lain adalah Nur
(cahaya) Q.S. 4: 74, Syifa (obat), rahmah (rahmat), dan mau’izah (nasihat) Q.S. 10: 57, mubin
(yang menerangkan) Q.S. 5: 15, mubarak (yang diberkati) Q.S. 6: 92, busyra (kabar gembira) Q.S.
2: 97, aziz (yang mulia) Q.S. 41: 41, majid (yang dihormati) Q.S. 85: 21, basyir (pembawa kabar
gembira) dan nazir (pembawa peringatan) Q.S. 41: 3-4.
2
Furqan adalah salah satu nama al-Qur'an, lihat Q.S. 25: 1, dan nama-nama yang lainnya
adalah qur’an (Q.S. 17: 9), kitab (Q.S. 21: 10), zikr (Q.S.15: 9), tanzil (Q.S. 26: 192)
3
Sebut saja syarat-syarat mufassir adalah; mempunyai akidah yang benar, bersih dari
hawa nafsu, lebih dahulu menafsirkan dengan al-Qur'an, sunnah, pendapat sahabat, tabi’in,
mempunyai pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, mempunyai pengetahuan tentang
pokok-pokok ilmu berkaitan dengan al-Qur'an; seperti qira’at, mempunyai pemahaman yang
cermat.
Adapun adab seorang mufassir adalah; berniat baik dan bertujuan benar, berakhlak baik,
taat dan beramal, jujur dan teliti dalam penukilan, tawadhu’, berjiwa mulia, vokal dalam
menyampaikan kebenaran, berpenampilan baik, bersikap tenang dan mantap, mendahulukan orang
lain, mempersiapkan langkah-langkah penafsiran yang baik.
Lihat Mannaa Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an , terjemahan Drs. Mudzakkir
AS, cet. 6, Litera Antar Nusa, Jakarta, 2001, h. 462-466. Bandingkan Muhammad Ali Sh-Shabuny,
Pengantar Study al-Qur'an, terj., H. M.Chudlori Umar dan M. Matsna H.S., Al-Ma’arif, Bandung,
1987, h. 218-225.
13
4
M. Al-Fatih Suryadilaga, dkk., Metodoogi Ilmu Tafsir, cet. I, teras, yogyakarta, 2005, h.
218-225.
14
surat Luqman ayat 13. Kata at-Thaariq ( ) ﺍﻟﻄﺎﺭﻙpada surat ath-Thariq ayat
ayat 238 ditafsirkan dengan shalat ashar. Kata al-maghdlubi alaihim dan
al-dlollin ( ﺍﻟﻀﺎ ﻟﲔ, ) ﺍﳌﻐﻀﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﻢpada surat al-Fatihah ayat 7 ditafsirkan
dengan Yahudi dan Nasrani. Kata quwwah (ﺓ ) ﻗﻮpada surat al-Anfal ayat
60 ditafsirkan dan al-romyu () ﺍﻟﺮﻣﻲ. Kata kiflain ( ) ﻛﻔﻠﲔpada surat al-
5
Ahkmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Qur'an, Studi Atas Pemikiran
Tafsir Kontekstual Fazlur Rahman, Cet. I, Gunungjati, Semarang, 2000, h. 29-30.
15
Hadid ayat 28 ditafsirkan dengan di’fani () ﺿﻌﻔﺎﻥ. Kata awwibi (ﰊ ) ﺍﻭpada
6
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 468 bandingkan Muhammad Ali Sh-Shabuny,
op.cit., h. 206-209.
7
Ahkmad Arif Junaidi, op.cit., h. 31.
8
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1994, h. 71.
16
15
Ibid.
18
Muslim dari Kufah, berasal dari ‘Atkah bin Saa’ib, dari Sa’ad bin Zubair
dari Ibnu Abbas.16
Adapun karir Ibnu Abbas adalah khalifah Utsman memberikannya
kekuasaan pada musim haji tahun 35 H, sedang Ali Bin Abi Thalib
memberikannya kekuasaan atas Bashrah. Ketika Ustman terbunuh, Ibnu
Abbas berangkat ke Hijaz dan menetap di Makkah. Setelah itu pegi ke
Thaif hingga meninggal di kota tersebut tahun 68 H dalam usia 71 tahun.17
Ahli tafsir di kalangan sahabat yang terkenal selain Ibnu Abbas
adalah Ibnu Mas'ud.18 Beliau sempat mempelajari lebih dari 70 surat
dalam al-Qur'an, sebagaimana Nabi pernah bersabda: ”Barang siapa yang
hendak membaca al-Qur'an setepat diturunkan, hendaklah ia membacanya
menurut bacaan Ibnu Umi Abd (Ibnu Mas'ud).” Abdullah bin Mas’ud
termasuk orang yang berkhidmat pada Nabi. Beliau mempersiapkan
sandal, air wudlu , dan bantal Nabi, hingga Abu Musa Al-Asy’ari berkata:
“Suatu saat saya dan saudara saya datang dari Yaman, lalu kami berhenti
(singgah) sebentar, ketika itu pula kami melihat dari keluar masuknya
beliau dan ibunya ke rumah Nabi, bahwa beliau termasuk ahli bait
Nabi.”19
16
Kahar Masykur, op.cit., h. 168. Bandingkan Said Agil Husain Al-Munawar, Al-Qur’an
Membangun Kesalehan Hakiki, Cet. IV, Ciputat Press, Jakarta , 2005, h. 68.
17
Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin, op.cit., h. 46.
18
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil al-Hadzli. Ibunya bernama
Ummu Abd dan terkadang dinisbatkan kepada ibunya. Beliau termasuk orang-orang yang pertama
kali masuk Islam, turut serta berhijrah pada dua hijrah dan peperangan Badar serta peperangan
lainnya. Ibid. h. 44.
19
Ahlul bait (kata bait dengan al atau tanpa al) disebut sebanyak tiga kali yaitu pada surat
al-Qashash ayat 12, surat al-Ahzab ayat 33 surat Hud ayat 73.
Secara umum arti kata ahlul bait adalah anggota (ahli, penghuni) keluarga. Tetapi al-
Qur’an dalam surat al-Ahzab ayat 33 secara khusus mengidentifikasinya sebagai keluarga dan
keturunan Nabi Saw. Istilah ini identik dengan ahlal bait dan juga ‘Ali-Muhammad (keluarga Nabi
Muhammad). Namun batasan siapa yang termasuk ahlul bait ini menjadi sumber kontroversi,
khususnya di kalangan syi’ah, yang menganggap kepemimpinan umat berada pada ahlul bait.
Memang, sepeninggal Nabi untuk periode yang cukup lama keluarganya tidak mendapatkan hak
istimewa apapun dalam tatanan kepemimpinan umat.
Perbedaan interpretasi tentang ahli bait secara umum dibagi menjadi dua aliran. Syi’ah
Imaniah membatasi ahlul bait hanya kepada keturunan Nabi saja, yang berarti keturunan Fatimah
dengan Ali. Kelompok lain mendasarkan keanggotaan ahlul bait kepada keterkaitan anggota
keluarga dalam urusan warisan baik zawul arham maupun ‘asabat, sehingga mencakup semua
keturunan Hasyim atau bahkan Quraisy secara umum dan kadang-kadang menjangkau “para ahli
19
Ka’bah,” yaitu seluruh umat Islam. M. Ishom, El Saha, M.A. dan Saiful Hadi, S.Ag., Sketsa Al-
Qur’an, cet. I, Listafariska Putra, Jakarta, 2005, h. 27-28.
20
Muhammad bin Saleh Al-‘Utsaimin, op.cit., h.44.
21
Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Nabi sekaligus menantunya, suami Fatimah Az-
Zahra, dan termasuk salah satu khulafa al-Rasyidin, dengan nama julukan yaitu Abu al-Hasan dan
Abu Turab. Beliau dilahirkan sepuluh tahun sebelum kebangkitan Nabi Saw. dan tumbuh terdidik
dalam pangkuan Rasulullah. Beliau turut dalam setiap peperangan, pemegang bendera Islam pada
sebagian besar peperangan. Beliau tidak pernah tertinggal, kecuali perang Tabuk, karena sengaja
ditinggalkan oleh Rasulullah agar dapat menjaga keluarganya. Lihat Ibid. h. 43.
20
22
Ibid.
23
Ahkmad Arif Junaidi, op.cit., h. 33.
21
24
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 33, bandingkan Muhammad bin Saleh Al-
‘Utsaimin, op.cit., h. 46., dan Drs. Kahar Masyhur, op.cit., h. 169.
22
25
Mannaa Khalil Al-Qattan, Ibid. h. 476.
26
Ahkmad Arif Junaidi, op.cit., h. 35.
23
tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-
nukilan yang dinisbatkan kepada mereka sebagaimana termuat dalam
kitab-kitab tafsir bil ma’tsur.
Sesudah golongan tersebut di atas datanglah generasi berikutnya
yang menulis tafsir secara khusus dan independen serta menjadikannya
ilmu yang yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadits. Al-Qur'an mereka
tafsirkan secara sistematis sesuai dengan tertib mushaf. Di antara mereka
adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H), Abu
Bakar bin al-Mundzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibnu Abi Hakim (w. 327
H), Abusy-Syaikh bin Hibban (w. 369 H), Al-Hakim (w. 405 H), dan Abu
Bakar bin Mardawaih (w. 410 H).
Tafsir generasi ini memuat riwayat-riwayat yang disandarkan
kepada Rasulullah, sahabat, tabi’it tabi’in, dan terkadang disertai pen-
tarjih-an terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan penyimpulan
(istimbat) sejumlah hukum serta penjelasan kedudukan kata (i’rab) jika
diperlukan, sebagaimana dilakukan Ibnu Jarir at-Thabari.
Pada perkembangan selanjutnya, di mana ilmu pengetahuan telah
berkembang dengan pesat, pembukuan tafsir telah mencapai
kesempurnaan, cabang-cabangnya bermunculan, perbedaan pendapat terus
meningkat, masalah-masalah “kalam” semakin berkobar, fanatisme
mazhab menjadi serius dan ilmu-ilmu filsafat bercorak rasional
bercampur-baur dengan ilmu-ilmu naqli serta setiap golongan berupaya
mendukung mazhab masing-masing. Ini semua menyebabkan tafsir
ternoda, sehingga para mufasir dalam menafsirkan al-Qur'an berpegang
pada pemahaman pribadi dan mengarah ke berbagai kecenderungan. Ahli
ilmu rasional hanya memperhatikan dalam tafsirannya kata-kata pujangga
dan filosof, seperti Fakhruddin al-Razi (w. 606 H). Ahli fikih hanya
membahas soal-soal fikih, seperti Al-Jassas dan Al-Qurtubi. Sejarawan
hanya mementingkan kisah dan berita-berita, seperti Al-Salabi (w. 426 H)
dan Al-Khazin. Demikian pula golongan ahli bid’ah berupaya
menta’wilkan kalamullah menurut selera mazhabnya yang rusak itu,
24
27
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 477 bandingkan Allamah Sayyid Muhammad
Husain Thabathaba’I, Al-Quran Fi Al-Islam, Terj. A. Malik Madani dan Hamim Ilyas, cet. I,
Mizan, Bandung, 1987, h. 66-67.
28
Kata Metode dalam bahasa Arab adalah manhaj dan thariqat yang berarti cara, dan
dalam bahasa Indonesia berarti; cara yang teratur dan terpikit baik-baik untuk mencapai maksud;
cara kerja yang tersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu
yang ditentukan. Berarti metode tafsir adalah suatu cara yang teratur untuk mencapai pemahaman
yang benar tentang apa yang dimaksudkan Allah di dalam ayat-ayat al-Quran yang diturunkan
kepada Nabi Muhamad Saw.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, edisi II, Pustaka Progressif, Yoyakarta,
1997, h. 489 dan Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Balai Pustaka, Jakarta,
1988, h. 580-581 Bandingkan Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 9. Balai
Pustaka, Jakarta, 1986, h. 649.
29
Abdul Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhui, Terj. Rosihan Anwar, M.Ag., Cet.
Pustaka Setia, Bandung, 2002, h. 23.
30
Nama lengkapnya adalah Ayatullah Baqir Shadr. Lahir pada tanggal 25 Dzul-Qaidah
1353 H. Beliau adalah seorang ulama terkenal dari Irak, dan meninggal karena dibunuh pada
malam 9 April 1980, karena dianggap membahayakan pemerintahan Ba’as di Irak.
31
Muhammad Baqir Shadr, Al-Tafsir al-Maudlu’i wa al-tafsir al-Takziiy fi al-Qur’an al
Karim, Dar al-Taaruf li al-Mathbu’ah, Beirut, tt, h. 10. Lihat juga bukunya yang lain, Tren of
25
History in Qur’an, Terj. M.S. Nasrullah dengan judul Sejarah dalam Perspektif Al-Qur’an,
Pustaka Pelajar, Jakarta, 1993, h.56. Bandingkan Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa
Agama, Sebuah Kajian Heremeneutik, Paramadina, Jakarta, 1996, h. 190.
32
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, cet. II, Pustaka Pelajar, 2000, h.
31. Bandingkan Quraisy Syihab, op.cit., h. 86.
33
Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.24.
34
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 52.
26
dalam benak mufasir, bahkan ide-ide jahat dan ekstrim pun dapat
ditampungnya.
Kelemahan dari metode ini, pertama, menjadikan petunjuk al-
Qur'an parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur'an
memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten, karena
penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang
diberikan pada ayat-ayat yang lain yang sama dengannya. Kedua,
melahirkan subjektif, di mana metode ini memberikan peluang yang luas
sekali kepada mufasir untuk mengemukakan ide-ide dan pemikirannya,
sehingga kadang-kadang ia tidak sadar bahwa dia telah menafsirkan al-
Qur'an secara subjektif, dan tidak mustahil pula di antara mereka yang
menafsirkan al-Qur'an sesuai dengan kemauan hawa nafsunya, tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah yang berlaku. Ketiga, masuknya pemikiran
israiliyat.35
Seperti dikatakan Baqir Shadr, bahwa kelemahan dari metode ini
adalah mufasir menggunakan semua sarana yang ada hanya untuk
menemukan makna harfiah dari suatu ayat, atau hanya menghasilkan suatu
mengkoordinasikan informasi dari ayat-ayat al-Qur'an serta tidak mampu
menyuguhkan pandangan al-Qur'an berkenaan dengan berbagai persoalan
kehidupan.36 Di samping itu, dalam metode ini sering ditemukan adanya
upaya menemukan dalil atau dalih pembenaran pendapat dari para mufasir
dengan ayat-ayat al-Qur'an dan juga tidak mampu memberi jawaban tuntas
terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak
memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektifitas
mufasirnya. Selain itu, sifat penafsiran sangat teoritis, tidak sepenuhnya
mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka
alami, sehingga uraian-uraian yang sangat teoritis dan umum tersebut
35
Ibid. 53-60.
36
Muhammad Baqir Shadr, op.cit., h. 57.
27
40
Ibid., h.22-28.
41
Komaruddin Hidayat, op.cit., h. 192.
42
Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.39, bandingkan M. Quraisy Syihab, Tafsir dengan
Metode Maudhu’iy, di dalam beberapa aspek ilmiah tentang al-Qur’an, 1986, cet. h. 38., dan
Zhahir ibn ‘Awwad al-Alma’i, Dirasat fi Tafsir al-Maudhu’ii, ttp., t. pn, 1405 H, h. 20-21.
29
43
Komaruddin Hidayat, op.cit., h. 193.
30
44
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 142-144.
45
Ibid., h.151.
46
Akhmad Arif Junaidi, op.cit., 26.
47
Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.42.
31
48
Nashruddin Baidan, op.cit., h. 165-168.
32
tabiin).49 Kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini diantaranya adalah
Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur'an karya monumental dari Ibnu Jarir al-
Thabary dan Tafsir al-Qur'an al-Azim karya Ibn Katsir.
Kelebihan dari tafsir dengan menggunakan pendekatan ini terletak
pada kekayaan informasi kesejarahannya yang luas berdasarkan riwayat
yang disampaikan, sehingga pembaca bisa mengenali peristiwa-peristiwa
yang terjadi di seputar turunnya al-Qur'an dan suasana sosial psikologis
Rasulullah dan para sahabat sewaktu al-Qur'an diturunkan. Sedangkan
kelemahannya terletak pada munculnya periwayatan-periwayatan yang
tanpa sanad meskipun hanya kecil prosentasenya. Di samping itu, mufasir
hanya disibukkan oleh pembahasan tentang berbagai pendapat yang ada,
sehingga pesan ayat menjadi terabaikan.
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan bil ra’yi, yaitu
pendekatan tafsir yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam dan
disandarkan pada makna-makna lafadz al-Qur'an, setelah memahami
madlul dan dalalah dari pernyataan-pernyataan al-Qur'an yang terangkai
oleh lafadz tersebut.50 Adapun tafsir yang termasuk kategori ini adalah
Mafatih al-Ghaib karya Al-Razi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil
karya Al-Baidzawy, Al-Kasysyaf karya Zamakhsyary.
Kelebihan yang dimiliki pendekatan tafsir ini terletak pada
upayanya untuk menangkap pesan-pesan dan pemahaman al-Qur'an tidak
secara tekstual serta tidak terkurungi oleh lingkup historis-sosiologis yang
bersifat lokal, melainkan menggali substansi pesan al-Qur'an yang bersifat
rasional dan universal yang hadir dalam “busana” lokal. Sedangkan
kelemahannya terletak pada kesulitan kita untuk mengontrol pengaruh
subyektif mufasir sehingga dikhawatirkan yang terjadi adalah penalaran
penafsir yang disandarkan pada al-Qur'an.51
Sebagai dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam
muncullah tafsir dengan berbagai kecenderungannya. Beberapa
49
Mannaa Khalil Al-Qattan, op.cit., h. 482.
50
Akhmad Arif Junaidi, op.cit., 27-29.
51
Ibid.
33
Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki
batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk
melihatnya.
Kitab tafsir yang termasuk kategori ini adalah Tafsir al-Qur'an al-Adzim
karya Imam At-Tutsuri (w. 283 H), Haqaiq at-Tafsir karya Al-Allamah as-
Sulami (w. 412 H), Arais al-Bayan Fi Haqaiq al-Qur'an karya Imam As-
Syirazi (w. 606 H).52
52
Abdul Hayy al-Farmawy, op.cit., h.27-30.
34
53
Ibid.30-32.
54
Ibid.
36
Qur'an dari segi bahasa.55 Corak ini ditampilkan oleh az-Zamakhsyari dan
al-Nasafi.56
Corak yang kelima adalah corak ‘ilmi. Ajaran al-Qur'an adalah
ajaran ilmiah yang berdiri diatas prinsip pembebasan akal dari tahayul dan
kemerdekaan berfikir. Manakala para ulama menyadari hal-hal yang
demikian, maka sebagian dari mereka mencoba menafsirkan ayat-ayat al-
Qur'an tersebut berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka
terhadap gejolak atau fenomena alam yang terjadi pada saat mufasir
menulis kitab tafsir mereka. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam kategori
ini diantaranya adalah imam Fakhrurrazi dalam karyanya Tafsir al-Kabir,
al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir al-Qur'an, al-
Suyuthi dalam karyanya al-Itqan.57
Corak yang keenam adalah corak adabi ijtima’i, dimana corak ini
berupaya menyingkapkan keindahan bahasa al-Qur'an dan mukjizat-
mukjizatnya, menjelaskan makna-makna dan maksudnya,
memeperlihatkan aturan-aturan al-Qur'an tentang kemasyarakatan, dan
mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat islam secara khusus,
dan permasalahan umat lainya secara umum. Corak tafsir inipun berupaya
mengkompromikan antara al-Qur'an dengan teori-teori pengetahuan yang
valid. Adapun tokoh yang menggunakan corak ini dalam tafsirnya,
diantaranya adalah Rasyidh ridha (w. 1354 H) dalam karyanya Tafsir al-
Manar.58
55
Quraish Sihab, op. cit., h. 72
56
Abdul Hayy al-Farmawy, op. cit., h. 26
57
Ibid., h. 33-34
58
Ibid., h. 37
37
pertama, periode sebelum abad ke-20, dan kedua, periode sesudah abad
ke-20.
1. Periode Pertama; sebelum abad ke-20
Seiring dengan masuknya agama islam ke Indonesia, yang
berdasarkan seminar di Medan tahun 1963, bahwa Islam telah masuk ke
Indonesia pada abad I/ II H atau abad VII/ VIII M dan berlangsung
sampai abad X H atau XV M. Usaha memahami pesan-pesan al-Qur'an
dalam bahasa setempat sejak itu dimulai. Namun penafsiran yang ada
belum tertulis dan belum mengacu dalam bentuk buku tafsir tersendiri,
tetapi masih integral dan bercampur dengan ajaran-ajaran islam yang lain
semisal tauhid, fiqih, tasawuf dan lain-lain, serta disajikan secara praktis
dalam bentuk amaliah sehari-hari.
Contoh populer yang dapat ditemukan adalah istilah “molimo”
yang dikemukakan oleh Sunan Ampel (w. 1478 M), yang berarti
menghindari lima hal, yaitu emoh main (judi), emoh ngombe (minuman
keras), emoh madat (menghisap candu), emoh maling (mencuri), emoh
madon (berzina) itu semua adalah penafsiran dari surat al-Maidah : 38-39
dan 90, serta surat al-Isra : 32.59
Kemudian kita bisa mencatat bahwa pada abad ke-16 di Nusantara
telah muncul proses penulisan tafsir yang lebih maju dibanding tahun
tahun sebelumnya. Setidaknya ini dapat dilihat dari naskah Tafsir Surat al-
Kahfi: 9. Teknis tafsir ini ditulis secara parsial berdasarkan surat tertentu,
yakni surat al-Kahfi dan tidak diketahui siapa penulisnya. Manuskripnya
dibawa dari Aceh ke Belanda oleh seorang ahli bahasa Arab dari Belanda,
Erpinus (w. 1624) pada awal abad ke-17. sekarang manuskrip itu menjadi
koleksi Cambridge University Library dengan katalog MS Ii, 6. 45. diduga
manuskrip ini dibuat pada masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636 M) dimana mufti kesultanannya adalah Syams al-Din al-
Sumatrani, atau bahkan sebelumnya, Sultan ’Ala al-Din Ri’ayat Syah
59
Jurnal Esensia, Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, vol. 3. No. 2, juli 2002, h. 191
38
60
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir indonesia, dari Hermeneutika hingga Ideologi, cet I,
Teraju, Bandung, 2003, h. 53-54
61
Diantara para ilmuan yang meneliti Abd al-Rauf al-Sinkili adalah D. A. Rinkes,
menulis disertasinya mengenai Abd al-Rauf al-Sinkili pada tahun 1909. dalam disertasinya ia
hanya membahas segi tasawufnya saja pada karangan Abd Ar-rauf Rinkes tidak menerbitkan teks
asli Abd al-Rauf, tetapi hanya memberikan terjemahan dan ringkasan. Memnag istilah khas
dimasukkan, tetapi selain itu, semuanya digambarkan dalam bahasa dan sistematika Rinkes
sendiri. Sebagai tulisan pokok diberikan ringkasan Umdatu al-Muhtadin, barang kali karya Abd al-
Rauf ini yang paling penting di bidang tasawuf. Rauf adalah seorang yang membawa tarikat
Syattariyah ke Indonesia, sehingga banyak informasi mengenai tarikat ini, juga di jawa (walaupun
sangat mungkin tarikat syattariyah tidak dibawa ke Jawa oleh Rauf, tetapi oleh ulama lainya)
A.H. Johns dan Voorhoeve termasuk ilmuwan yang meneliti karya Rauf. Dalam
penelitianya mereka berdua hanya menerbitkan satu atau dua buah naskah kecil karya Rauf dengan
beberapa catatan tambahan mengenai riwayat Hidupnya dan karangan lainya. Mereka berdua juga
memberikan tambahan pengetahuan mengenai tokoh ini, khususnya karyanya dibidang tasawuf,
tetapi mereka tidak berusaha memberikan sebuah overall-study yang meliputi semua aspeknya.
Karya Rauf dalam bidang Fiqih, Mir’atu al-Tullab, belum pernah mendapat perhatian
yang cukup serius dari sarjana barat, pada tahun 1844 telah diterbitkan suatu saduran karya ini
oleh Meursinge, akan tetapi Meursinge hanya mengambil-dari karangan Rauf ini – apa yang
dianggap cukup relevan untuk pengetahuan mengenai hukum islam secara praktis. Dan Dr. Peunuh
Dali di IAIN Ciputat, Jakarta, dalam disertasinya ia memandang bahwa karangan Rauf dari segi
fiqih umum saja. Dalam studi ini Peunuh Khusus membahas bab nikah dari karya Rauf (ada
pendapat bahwa Rauf hendak mengisi kekosongan yang masih ada sesudah karangan al-Raniri
dibidang fiqih ibadah, yang disusun dalam kitab Sirathal-Mustaqim, karena Rauf membahas Fiqih
selain Fiqih Ibadah). Dalam Disertasinya yang belum diterbitkan itu, Peunuh berangkat dari
asumsi dan catatan Rauf bahwa bukunya merupakan terjemahan dasri karangan Zakarya al-
Anshari. Lihat. Karel A. Steenbrink, mencari tuhan dengan kaca mata barat, kajian kritis mengenai
agama di Indonesia, Cet Islam, IAIN sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1988, h. 183-185
39
dari manuskrip tertua karya ini, mengambil kesimpulan tentatif, karya ini
ditulis sekitar tahun 1675 M.
Tarjuman al-Mustafid karya Abd al-Rauf al-Sinkili ini menurut
banyak pengamat merupakan terjemah dari Tafsir al-Baydlawi. Ilmuwan
yang berpendapat semacam ini adalah Snouck Hurgronje. Namun Peter
Ridel mempunyai pendapat lain, yaitui Tarjuman al-Mustafid ini justru
merupakan terjemah dari Tafsir al-Jalalayn, meskipun banyak merujuk
pula pada Tafsir al-Baydlawi, Tafsir Khazin dan beberapa tafsir yang lain.
Sebab Tafsir al-Baydlawi merupakan karya tafsir yang ekstensif dan rumit,
sedangkan Tarjuman al-Mustafid sebagaimana Tafsir al-Jalalain,
62
modelnya singkat, jelas, dan elementer.
Adapun bahasa melayu yang digunakan oleh ‘Abdul Rauf tidak
menjadi masalah, karena bahasa ini adalah salah satu dari bahasa yang
berkembang di wilayah Indonesia, khususnya di wilayah Sumatra dan
menjadi salah satu penyumbang terpenting dalam bangunan bahasa
Indonesia modern. Pada periode ini juga diinformasikan terdapat kitab
tafsir yang berjudul Tasdiq al-Ma’arif yang ditulis di Sampon Aceh, tetapi
tidak diketahui siapa pengarangnya. Dimana, tafsir ini merupakan tafsir
sufistik dan ditulis untuk membela prinsip-prinsip ajaran sufi.63
Pada abad ke-19 M, muncul sebuah karya tafsir yang
menggunakan bahasa Melayu-Jawi, yaitu kitab Faraidl al-Qur'an. Kitab
tafsir ini tidak diketahui siapa penulisnya. Ditulis dalam bentuk yang
sangat sederhana, dan tampak lebih sebagai artikel tafsir, sebab hanya
terdiri dari dua halaman dengan huruf kecil dan spasi rangkap. Naskahnya
masuk dalam sebuah buku koleksi beberapa tulisan ulama’ Aceh yang
diedit oleh Ismail bin Abd al-Mutalib al-‘Asyi, Jami’ al-Jawami’ al-
Mushannafat: Majmu’ Beberapa Kitab Karangan Beberapa Ulama Aceh.
Manuskrip buku ini disimpan di Perpustakaan Universitas Amsterdam
62
Ibid., h. 184
63
Jurnal Esensia, op. cit., h. 193
40
dengan kode katalog: Amst. IT. 481/ 96(2). Karya ini kemudian
diterbitkan di Bulaq, Mesir.
Objek penafsiran naskah ini adalah surat al-Nisa’: 11-12 yang
berbicara tentang hukum waris. Keterangan yang diberikannya sederhana
tetapi lebih dari sekedar terjemah. Setelah memaparkan ayat tertentu,
uraian selanjutnya selalu diawali dengan kata “tafsirnya”. Namun, karena
tidak adanya data tentang penulisnya, kita kesulitan untuk menguraikanya
lebih dalam.
Pada abad ke-19 M terdapat tafsir utuh yang ditulis oleh ulama’
asal Indonesia, Imam Muhammad Nawawi al-Bantani(1813-1879M), yaitu
Marah Labid li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid atau Tafsir Munir li
Ma’alim Tanzil. Namun, tafsir yang menggunakan bahasa Arab sebagai
bahasa pengantar ini, ditulis diluar Nusantara, yaitu Makkah. Penulisannya
selesai pada hari Rabu, 5 Rabi’al- Akhir 1305 H. Sebelumnya, naskahnya
disodorkan kepada para ulama’ Makkah dan Madinah untuk diteliti, lalu
naskahnya dicetak di negeri itu. Atas kecemerlangannya dalam menulis
tafsir itu, oleh ulama Mesir, Imam Nawawi di beri gelar “Sayyid Ulama al-
Hijaz”, pemimpin ulama’ Hijaz.64
2. Periode kedua; sesudah abad ke-20
Secara kronologis dari dekade ke dekade, literatur tafsir al-Qur'an
di Indonesia mengalami dinamika yang menarik baik dari segi
penyampaian, tema-tema kajian serta sifat penafsir. Pada dekade 1920-an
muncul Alqoeranoel Hakim Beserta Toedjoean dan Maksoednja, karya H.
Iljas dan Abdul Jalil (Padang Panjang: 1925). meskipun hanya penafsiran
atas juz pertama saja, karya tafsir ini menunjukan bahwa pada saat itu
telah muncul-dari segi sifat penafsir-model penafsiran kolektif.65
Selain tafsir tersebut diatas, juga terdapat tafsir al-Qur'an yang
ditulis dan terbit dalam bahasa Indonesia adalah Tafsir Qur’an Karim yang
64
Islah Gusmian, op. cit., h. 54-55
65
Ibid., h. 56
41
ditulis oleh Mahmud Yunus66, pada awal abad ke-20. Tafsir ini mulai
ditulis pada bulan November 1922 dan selesai pada tahun 1938.
Penulisannya terjadi menjadi empat tahap, tahap pertama, juz 1-3 ditulis
oleh Mahmud Yunus sendiri, tahap kedua penulisannya dilakukan oleh H.
Ilyas Muhammad Ali dibawah bimbingan Mahmud Yunus dan
merampungkan juz 4, tahap ketiga dimulai tahun 1935 hingga
menyelesaikan juz 18, dalam tahap ini dia dibantu oleh H. M. Kasim
Bakry, tahap keempat diselesaikannya sendiri pada tahun 1938.
Mahmud memulai karyanya dengan menggunakan Arab Melayu
bukan dengan huruf latin, barang kali sebagai jalan tengah yang
ditempuhnya agar tidak terlalu konfrontatif. Bagi Mahmud Yunus upaya
menafsirkan al-Qur'an ke dalam bahasa setempat merupakan sebuah upaya
teramat penting, sebab tanpa penafsiran kedalam bahasa setempat, banyak
orang Islam bangsa ini yang tidak mengetahui isi al-Qur'an, padahal al-
Qur'an diturunkan oleh Allah supaya isinya diperhatikan, sebagai petunjuk
dan pengajaran, bukan semata-mata untuk dilagukan. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa al-Qur'an sudah diterjemahkan orang kedalam bahasa
Belanda, Inggris, Jerman, dan lain-lain, sehingga mereka mengerti al-
Qur'an tetapi banyak orang Islam Indonesia yang tidak mengetahuinya67.
Pada tahun 1998 terbitlah tafsir juz pertama karya A Hasan68 yang
66
Mahmud Yunus dilahirkan di Sungayang, Batu Sangkar, Sumatra Barat, pada hari
Sabtu, 30 Ramadhan 1316 H, bertepatan dengan 10 pebruari 1899 M. Ayahnya bernama Yunus
bin Incek dan ibunya bernama Hafsah binti M. Tahir. Buyutnya dari pihak ibu adalah seorang
ulama besar di Sungayang, bernama M. Ali gelar Angku Kolok. Pada usia 7 tahun ia belajar di
Surau Kakeknya M. Tahir tentang al-Qur'an dan bahas Arab. Yunus pernah memasuki sekolah
Rakyat tapi hanya sampai kelas 3. kemudian ia pindah ke madrasah yang di asuh oleh Syaikh H.
M. Thaib di Surau Tanjung Pauh. Berkat ketekunanya dalam waktu 4 tahun, Yunus telah sanggup
mengajarkan kitab-kitab Mahalli, Alfiyah, Jamul Jawami’. Ketika Syiakh H. M Thaib Umar jatuh
sakit dan berhenti mengajar, yang menggantikanya adalah Yunus. Pada tahun 1924, ia mendapat
kesempatan belajar di Universitaaas al-Azahr, Mesir, dan dalam waktu satu tahun telah
memperopleh Syahadah aliyyah, kemudian berusaha masuk Darul Ulum Mesir, dan tercata
tsebagai mahasiswa Indonesia yang belajar di sana. Pada tahun 1930, setelah mengambil
Takhassus Tadris, akhirnya Yunus memperoleh Ijazah Tadris dari perguruan tinggi ini. Lih. M
Yunan Yusuf, karakteristik al-Qur'an di Indonesia Abad ke-20, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal ilmu
dan Kebudayaan, No. 4/ vol III/ 1992, h.60
67
Jurnal Esensia, op. cit., h. 194
68
Hasan dilahirkan di Singapura pada tahun 1887. ayahnya bernama Ahmad atau dikenal
bernama Sinna Vappu Marica, seorang penulis dan ahli dalam Islam kesustraan Tamil. Hasan
42
sendiri tidak pernah menyelesaiakn sekolah dasarnya di Singapura. Ia masuk sekolah melayu
sampai kelas 4 dan sekolah Inggris sampai kelas yang sama. Hasan mulai bekerja mencari nafkah
pada usia 12 tahun. Ia mengambil pelajaran secara privat dan berusaha untuk menguasai bahasa
Arab dengan Maksud agar dapat memperdalam pengetahuanya tentang silam atas usaha sendiri.
Tahun 1921 Hasan pindah ke Surabya, negeri dimana tempat tinggal keluarga ibunya. Pada masa
itu Surabaya telah merupakan pusat pertikaian antara kaum muda dan kaum tua. Kemudian Hasan
pindah ke bandung. Dan tinggal dirumah Muhammad Yunus, seorang pendiri persatuan islam.
Akhirnya hasan sendiri menjadi tokoh penting pula dalam PERSIS. Lihat. M.Yunan Yusuf,
Karakteristik.........op. cit., h. 60
69
A. Hasan, al-Furqan Tafsir Qur’an, Tinta Masyarakat, Jakarta, 1962, h. vii
70
Ibid
71
M. Yunan Yusuf, Krakterustik.....op. cit., h. 53
43
Karang Mengarang.72. Selang dua tahun yaitu tahun 1934 Iskandar Idris
menerbitkan tafsir berbahasa daerah Sunda dengan judul Tafsir
Hibarna.73. Selanjutnya tahun 1935 terbit berturut-turut dua tafsir yaitu
Tafsir al-Syamsiyah yang diterbitkan oleh bagian Penerbitan Terjemah dan
Tafsir “al-Ittihadul Islamiyah” pimpinan KH. Sanusi Sukabumi dan karya
Munawwar Khalil yang berjudul Tafsir Hidayatur Rahman.74
Kemudian menyusul Tafsir al-Qur'an al-Karim, karya tiga orang
ulama asal Sumatra Timur; al-Ustadz H. A. Halim Hasan75, H. Zaenal
Arifin Abbas76, dan Abdurrahim Haitami.77 Dimana penyusunannya
dimulai awal Ramadhan 1355 H di Binjai, Langkat. Sementara penerbitan
pertamanya baru dalam bentuk majalah sebanyak 20 halaman, dimulai
pada April 1937, terbit sebulan sekali. Pada akhir 1941, menjelang
72
Departemen Agama RI, Mukadimah al-Qur'an Tafsirnya, Yayasan Dana Bakti Waqaf,
UII, Yogyakarta,. 1991, h. 61
73
Ibid., Tafsir ini ternyata judulnya saja yang berbahasa Sunda, isi dan tafsirnya sendiri
berbahasa Indonesia.
74
Departemen Agama RI, pendahuluan untuk al-Qur'an dan terjemahnya, Thaha Putra,
Semarang, tt, h. 37
75
al-Ustad H. A. Halim Hasan Lahir pada tanggal 15 mei 1901 di Binjai Sumatra Utara.
Pada usia 7 tahun mulai belajar ilmu agama pada beberapa ulama di Binjai, antara lain: H.
Abdullah Umar Kadhi dan Syaikh H. Muhammad Samah. Pada taun 1926 pergi ke Mekkah
menunaikan ibadah haji dan belajar disana. Disamping belajar ilmu-ilmu agama juga belajar ilmu
umum, seperti: Jurnalistik dan Politik pada Jamaluddin Adinegoro di Medan serta bahasa Inggris
pada M. Ridwan, seorang pensiunan kepala jawatan penerbangan kabupaten Langkat. Keahlian
beliau adalah dalam bidang Tafsir, Hadits, Sejarah dan Fiqih. Beliau meninggal dunia sangat tiba-
tiba, yaitu ketika beliau selesai sholat jum’at di Masjid Muhammadiyah, Beliau terjatuh dan kata
Dokter mengalami pendarahan Otak. Keesokan harinya tanggal 15 Nopember 1969 beliau wafat di
rumah sakit PNP II bangkatan Binjai. Lihat. M. Yunan Yusuf, Karakteristik.......op. cit., h. 60
76
H. Zaenal Arifin Abbas diduga lahir tahun 1920. Pendidikanya pada College
Madrasatul Arabiyah dan Tsanawiyah tahun 1927-1935. Syaikh H. Abdul Halim Hasan adalah
gurunya yang paling berpengaruh padanya. Kebiasaan menulis sudah di tekuni paada usia 16
tahun. Karyanya disamping tafsir Qur’an tersebut, terdapat pula perihidup sebanyak 6 jilid,
Tasawuf Islam, perkembangan Pikiran terhadap agama dan berbagai buku pengetahuan agama
untuk siswa sekolah lanjutan. Pada tahun 1945 menjadi ketua umum peratuan perjuangan dan
tahun 1948-1949 bertugas sebagai kepala bagian keagamaan Divisi X TNI Sumatra dengan
pangkat Mayor. Karirnya dibidang politik dimulai pada tahun 1955 sebgai ketua umum Masyumi
sumatra utara, dan memegang jabatan pada pemerintahan sebagai kepala penerangan agama
propinsi Sumatra Utara. Pada tahun 1970 beliau diangkat sebagai ketu umum Parmusi Sumatra
Utara dan pada tahun 1973 sebagai ketua koordinator PPP Sumatra Utara. Wafat pada tahun 1979
( informasi ini diperoleh dari Usulan penelitian Drs. Fachrurazy Dalimonte tentang pemikiran H
Zaenal Arifin Abbas bagi pembaharu Islam, 1971, Naskah ini tidak diterbitkan). Ibid
77
Tidak diperoleh keterangan riwayat hidup Abdurrahim Haitamy. Informasi yang
diperoleh hanyalah tentang wafatnya pada tahun 1948, dalam pengungsian di Lansa, Aceh Timur.
ibid
44
pendudukan Jepang dan sesudah pecahnya perang dunia II, karena kertas
tidak masuk lagi dari Eropa dan Amerika , penerbitan tafsir tersebut
dihentikan. Demikianlah sampai akhir tahun 1941 Tafsir al-Qur'an Karim
ini baru selesai juz 7, dan selama masa lima tahun, 1937-1941, juz I dan 2
pernah diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan memakai huruf Arab.
Penerbitan dalam tulisan Arab Melayu itu dimaksudkan untuk konsumsi di
seluruh 9 kerajaan Malaysia. Adapun penulisannya hanya berhasil
dikerjakan sampai juz 7 saja78.
Satu tahun berikutnya yaitu tahun 1942 terbit Tafsir al-Qur’an
bahasa Indonesia karya Mahmud Aziz.79 Tahun-tahun berikutnya, 1942-
1952 adalah tahun-tahun suram bagi perkembangan tafsir di Indonesia.
Betapa tidak, selama sepuluh tahun, sejarah tidak mencatat adanya tafsir
yang terbit. Kebekuan ini diperkirakan karena adanya pengaruh penjajahan
Jepang dan persiapan hiruk pikuk kemerdekaan serta menghadapi perang
kemerdekaan.
Dalam kebekuan tersebut, mulai mencair dengan munculnya Tafsir
al-Qur'an al-Nur karya Hasbi ash-Shiddieqy pada tahun 1952.80 Karya ini
memperlihatkan corak yang lain, yaitu tinjauan tentang hukum islam yang
menampakan warna yang cukup jelas. Penafsiran ayat-ayat hukum lebih
panjang diungkapkan. Banyak orang menganggap Tafsir al-Nur ini
merupakan terjemah dari Tafsir al-Maraghi, kendatipun ia membantahnya
pada penerbitan ulang tafsirnya itu, demikian pula telah dibuktikan dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Djalal dalam disertasi
doktornya pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Setelah itu, terbit Tafsir Qur’an karya Zainuddin Hamidy dan
Fachruddin Hs tahun 1959. Angkatan tafsir ini mulai dikerjakan sejak
1953. Kesimpulan ini diambil dari kata sambutan H. Agus Salim
bertanggal Januari 1953 dan Syaikh Sulaiman al-Rasuli serta Syaikh
78
ibid., h. 51-52
79
Departemen Agama RI, Mukaddimah......., h. 61
80
Departemen Agama RI, Pendahuluan........., h. 34
45
81
Zaenuddin Hamidi dan Fachrudin Hs., Tafsir Quir’an, Wijaya, Jakarta, 1982, h. ix
82
Departemen Agama RI, Pendahuluan .........., h.37
83
HAMKA, tafsir al-Azhar, Pembina Masa Jakarta, 1967, h. 41
84
Ibid., h. 43-46
85
Ibid, h. 37-43
46
86
Departemen Agama RI, Pendahuluan ......, h. 34 -37
87
Hasbi asy-Syidieqy, Tafsir al-Qur'an Karim al-Bayan, al-Ma’arif, Bandung, 1971, h. 1-
2
88
Departemen agama RI, Pendahuluan........, h. 37
89
Departemen agama RI, Mukaddimah...., h. xi
47
Mishbah Musthafa dari pesantren Bangilan Tuban, mulai menulis tafsir al-
Iklil fi Ma’ani al-Tanzil tahun 1977 dan selesai tahun 1985, sebanyak 30
jilid, dimana masing-masing satu jilid merupakan satu juz, dan semuanya
ditulis dalam bahasa arab jawa.90 Tahun 1978 Bakhtiar Surin menerbitkan
Terjemah dan Tafsir al-Qur'an: Huruf Arab dan Latin.91 Pada tahun 1983
Oemar Bakry menerbitkan tafsir yang berjudul Tafsir Rahmat.92 Tahun
1987 Mishbah Musthafa kembali menulis tafsir yang berjudul Taj al-
Muslimin Min Kalami Rabbi al-Alamin, sebagai koreksi terhadap tafsirnya
terdahulu, namun tafsir ini hanya sampai jilid empat – akhir surat Ali
Imran 93– karena beliau meninggal dunia pada tahun 1994.94
Pasca tahun 1980-an, proses kreatif penulisan tafsir tidak saja terus
terjadi, tetapi terus berkembang. Dalam periode 1990-an beragam karya
tafsir dari intelektual muslim Indonesia. Setidaknya ada 24 karya tafsir
yang keseluruhanya mencerminkan adanya keragaman teknis penulisan
tafsir serta metodologi yang digunakan. Ini merupakan fenomena yang
memperlihatkan adanya trend baru dalam sejarah penulisan tafsir pada
dasawarsa 1990-an. 24 tafsir tersebut adalah95:
a. Konsep Kufur dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis dengan
Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang 1991) karya
Harifuddin cawidu
b. Konsep Perbuatan Manusia Menurut al-Qur'an, Suatu Kajian Tafsir
Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) karya Jalaluddin Rahman
c. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur'an (Yogyakarta:
LESFI, 1992) karya Dr. Musa Asy’ari
90
Misbah Mustafa, al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil, al-Ihsan, Surabaya, 1986, h. 3
91
Departemen Agama RI, Mukaddimah....., h. 61
92
Howard M Federspield, Kajian al-Qur'an di Indonesia, terj. Tajul Arifin, Mizan,
Bandung, 1996, h. 102
93
Misbah al-Musthafa, Tafsir Taj al-Muslimin min Kalami Rabbi al-Alamin, cet II,
Majlis Ta’lif wa al-Khatath, Tuban, 1990
94
Misbah al-Qur'an-Mustafa, Solat dan Tata Krama, cet I, al-Misbah, 2006, bandingkan
dengan hasil wawancara dengan salah satu putranya yang akan diuraikan pada Bab III
95
Islah Gusmian, op. cit., h. 69-99
48