Anda di halaman 1dari 17

MATA KULIAH DOSEN PENGAMPU

Ad-Dakhil Fi At-Tafsir Lukmanul Hakim, S.Ud., M.IRKH., Ph.D.

MAKALAH
KONSEP AL-ASHIL DAN AD-DAKHIL

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 1

ALI ASYRO HASIBUAN 11930215337


DIAN PRATAMA 11930210850
ILHAM PRASETYO 11930210874

ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR VI B

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

1443 H/2022 M
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala. Tuhan semesta alam yang telah
menciptakan bumi seisinya untuk dipelihara dan digunakan manfaatnya dengan sebaik-
baiknya, serta menjadikan manusia makhluk yang sempurna untuk berfikir dan
berkembang lebih maju sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.

Sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi-Nya dan Rosul-Nya,


Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta para Sahabatnya yang menolong
Agama-Nya dengan usaha yang sungguh-sungguh serta orang-orang yang mengikuti
mereka yang mewarisi ilmu mereka dan ulama itu pewaris para Nabi.

Makalah ini disusun sebagai tugas untuk memenuhi persyaratan dalam


mengikuti proses belajar pada mata kuliah Ad-Dakhil Fi At-Tafsir yang dibimbing oleh
beliau Bapak Lukmanul Hakim, S.Ud., M.IRKH., Ph.D. yang senantiasa setia
mendampingi dan membimbing kami dalam proses belajar.

Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yaitu Bapak
Lukmanul Hakim, S.Ud., M.IRKH., Ph.D. yang telah memberi motivasi dan pengarahan
dalam melaksanakan tugas ini.

Pada akhirnya hanya kepada Allah lah penulis berserah diri dan berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.

Pekanbaru, 18 Juni 2022

Penyusun

i
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang.............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

C. Tujuan ........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 3

A. Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil ................................................................. 3

B. Sejarah Munculnya Ad-Dakhil ..................................................................... 4

C. Faktor Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil .............................................. 6

D. Klasifikasi Ad-Dakhil ................................................................................... 9

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 13

A. Kesimpulan ................................................................................................. 13

B. Saran ........................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir merupakan suatu produk pemikiran manusia yang tidak terlepas
dari kekurangan dan penyelewengan. Di antara bentuk penyelewangan
tersebut adalah dimasukkannya data-data yang tidak valid ke dalam
pembahasan tafsir Al-Qur’an yang disebut dengan Ad-Dakhil (infiltrasi)
Praktek Ad-Dakhil (infiltrasi) dalam penafsiran ini tidak hanya terjadi pada
era kontemporer, tapi secara genealogis sudah terjadi sejak masa-masa klasik
seiring dengan penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia. Hal itu dapat
dijumpai dalam beberapa karya tafsir klasik maupun modern, dengan adanya
sistem, orientasi, dan metode penafsiran yang tidak sesuai (incompatible).
Konsep Al-Ashil dan Ad-Dakhil mulai diperkenalkan pada tahun 1980-
an oleh Ibrahim Khalifah, seorang pengajar di Universitas Al-Azhar Kairo,
melalui bukunya yang berjudul Ad-Dakhil fi al-Tafsir. Ad-Dakhil berarti apa
saja yang diduga menjadi penyusup dalam tafsir sehingga harus dihindari dan
dijauhkan. Sementara Al-Ashil adalah kebalikannya. Yaitu sumber-sumber
tafsir yang dianggap valid dan dapat dipertanggungjawabkan, oleh karena itu
berimplikasi pada diterimanya tafsir.
Melalui hal ini dapat dipahami, bahwa tujuan ad-dakhil wa al-ashil
adalah untuk memproteksi tafsir dari kesalahan dan penyimpangan. Kesalahan
yang lahir dari tangan seorang mufasir memang bukan hal mustahil dan
penyimpangan yang disengaja olehnya juga bukan tidak mungkin. Oleh sebab
itu, ad-dakhil ditampilkan sebagai pengeliminasi kesalahan dan penyimpangan
tersebut, sembari ditawarkan model penafsiran yang ditetapkan sebagai sahih
dan benar. Dengan demikian, penulis akan menjelaskan hal ihwal terkait
konsep al-ashil dan ad-dakhil.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merumuskan masalah
sebagai berikut, yaitu :
1. Apakah Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil ?
2. Bagaimana Sejarah Munculnya Ad-Dakhil ?
3. Apa Faktor Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil ?
4. Bagaimana Klasifikasi Ad-Dakhil ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis telah merumuskan
tujuannya sebagai berikut, yaitu :
1. Untuk mengetahui Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil ?
2. Untuk mengetahui Sejarah Munculnya Ad-Dakhil ?
3. Untuk mengetahui Faktor Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil ?
4. Untuk mengetahui Klasifikasi Ad-Dakhil ?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil
Kalimat Al-Ashil menurut bahasa adalah sesuatu yang memiliki asal
yang kuat dalam objek yang dimasukinya. Sedangkan menurut istilah, Al-
Ashil adalah tafsir yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau
pendapat sahabat dan tabi’in dan atau berdasarkan ijtihad dan ra’yun yang
sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan kaidah syari’ah.1
Secara terminologi para ahli berbeda pendapat mengenai definisi al-ashil.
Menurut Abdul Wahhab Fayed, ia mendefinisikan term al-ashil yang dapat
dikerucutkan menjadi dua denfisi. Pertama, Al-Ashil adalah tafsir yang
memiliki asal-usul, dalil-dalil dan argumentasi yang jelas dari agama. Kedua,
al-ashil adalah tafsir yang ruh, dan nafasnya bersandarkan kepada Al-Qur’an,
sunnah, pendapat para sahabat, dan tabi’in.
Jika diperhatikan definisi Abdul Wahhab Fayed di atas terlihat hanya
mencakup satu jalur tafsir saja yaitu bi al-ma’tsur dan belum mengakomodir
tafsir bi al-ra’yi. Oleh karena itu, definisi al-ashil fi al-tafsir yang
komprehensif adalah tafsir yang memiliki sumber rujukan dan dasar yang
jelas serta dapat dipertanggungjawabkan, baik sumber itu berasal dari Al-
Qur’an, hadis shahih, pendapat sahabat dan tabi’in yang valid atau berasal
dari rasio sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad.2
Sedangkan Ad-Dakhil secara bahasa memiliki arti “sesuatu yang
masuk”. Seperti ungkapan “Da’un Dakhil” yang berarti penyakit yang masuk
ke dalam anggota badan. Menurut al-Raghib al-Asfahany “Ad-Dakhil”
adalah kata kiasan yang bermakna rusak atau permusuhan yang tersembunyi.
Istilah al-dakhil juga dikiaskan dengan burung. Disebut demikian, karena
kelincahannya berlindung menyelinap diantara rerimbunan pepohonan.3

1
Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah Aram, As-Sabil ila Ma'rifat alAshil wa
alDakhil fi al-Tafsir, (Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), Jilid I, hlm. 45.
2
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhil fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Matba’ah al-
Hadharah al‘Arabiyah, 1978), hlm.13.
3
Louis Al-Ma’luf, al-Munjid Fi al-lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Mashriq, Cet.38,
2000), hlm. 209.

3
Ad-Dakhil menurut istilah ulama tafsir didefinisikan dengan “al-tafsir
alladhy la asla lahu fi al-din.....”, yaitu penafsiran yang tidak mempunyai
pijakan dalam agama yang menyelinap ke dalam makna dan kandungan Al-
Qur’an disaat terjadi kelengahan. Ad-Dakhil masuk ke dalam kategori tafsir
muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw.4 Jamal Musthafa di dalam
kitabnya “Usul ad-Dakhil” menyimpulkan, bahwa ad-dakhil dalam kajian
tafsir adalah sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw., sahabat, dan
tabi’in, atau sesuatu yang telah ditetapkan periwayatannya kepada sahabat,
tabi’in tetapi tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya periwayatan tersebut,
atau sesuatu yang lahir dari pendapat yang tercela.5
Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting.
Pertama, otentisitas tafsir Al-Qur’an sangat bergantung kepada validitas data
dan sumber yang digunakan mufassir. Kedua, penafsiran yang berlandaskan
kepada datadata yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
dapat dikategorikan sebagai penafsiran objektif. Ketiga, sumber-sumber
otentik penafsiran Al-Qur’an terdiri dari Al-Qur’an, sunnah Nabi, pendapat
sahabat dan tabiin, kaidah bahasa Arab dan akal sehat yang memenuhi
kriteria dan prasyarat ijtihad. Keempat, penafsiranpenafsiran yang tidak
bersumber dari hal-hal di atas dikategorikan sebagai Ad-Dakhil (tafsir
infiltratif) yang patut dikaji, dievaluasi, dikritisi dan direkonstruksi.
B. Sejarah Munculnya Ad-Dakhil
Ad-Dakhil sejatinya telah muncul sejak sebelum Islam lahir di jazirah
Arab. Pasalnya, sebelum Islam datang di Jazirah Arab, telah ada sekelompok
ahli Kitab yang sebagian besar beragama Yahudi. Mereka berhijrah dan
masuk Jazirah Arab pada sekitar tahun 70 Masehi. Mereka bermukim di
sebuah lembah yang dikelilingi oleh pegunungan serta terdapat banyak pohon
kurma, tempat itu dinamakan Yatsrib. Mereka datang berbondong-bondong
ke Jazirah Arab karena ramalan para pemuka agama mereka tentang
diutusnya Nabi akhir zaman sebagai penerus Musa yang akan
4
Muhammad sa’id muhammad ‘atiyat ‘aram, al-Sabil ila ma’rifati al-Asil wa al-Dakhil fi
al-Tafsir, (Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), Jilid I, hlm. 44.
5
Jamal mustafa, Usul al-Dakhil fi Tafsiri ayi al-Tanzil, (Cet. 1, 2001), hlm. 26.

4
mengembalikan mereka kepada tanah suci sebagaimana telah dijanjikan
Tuhan. Selain tinggal di Yatsrib, sebagian ada juga yang hidup berkelompok
di Yaman dan Yamamah.6
Interaksi sosial yang berlangsung lama inilah yang menyebabkan
pertukaran kultur dan budaya di antara kaum Yahudi dan bangsa Arab.
Ketika Rasul saw datang dengan syariat Islam dan memperluas medan
dakwah hingga menjamah Yatsrib, kemudian diikuti para sahabat yang
berhijrah dari Mekah menuju Madinah. Mulai dari sinilah beberapa orang
Yahudi masuk Islam, diantaranya adalah Ka‘b ibn Mati‘ al-Humayrî alAhbâr
(w. 32 H), ‘Abdullah ibn Salâm (w. 43 H) dan Tamîm al-Dârî (w. 40 H/660
M). Setelah memeluk Islam, mereka menjadi salah satu rujukan para sahabat
dalam menafsirkan Al-Qur’an, terutama yang berkaitan dengan kisah-kisah
umat terdahulu.
Dari keterangan singkat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa, proses
masuknya Ad-Dakhil ke dalam tafsir Al-Qur’an paling tidak melalui dua
jalan. Pertama, ketika Rasulullah saw tinggal di Madinah, beliau mendakwahi
Ahli Kitab dari bangsa Yahudi (bani Qaynuqa’, bani Nadhir dan bani
Qurayzhah) sehingga terjadilah pertemuan antara Nabi saw dan sahabat
dengan Ahli Kitab. Proses pertemuan dan perhelatan intelektual inilah yang
menyebabkan masuknya Ad-Dakhil dalam tafsir.
Kedua, masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam, seperti
‘Abdullah ibn Salam (w.43 H), Mukhayriq ibn al-Nadhir (w.3 H/625 M) dan
Ka‘b al-Ahbar (w.32 H). Ketika segelintir orang Yahudi memeluk Islam dan
sebagian sahabat bertanya kepada mereka mengenai isi Taurat dan Injil,
terutama mengenai cerita umat terdahulu yang disebutkan secara global
dalam Al-Qur’an, maka terjadilah kontak pengetahuan diantara mereka. Pada
awalnya, Rasul memang melarang, bahkan marah ketika melihat ‘Umar ibn
al-Khattab datang dengan membawa lembaran-lembaran kitab suci yang
diperoleh dari Ahli Kitab. Tetapi seiring perjalanan waktu, ketika Islam

6
Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dâr al-Kutub wa
al-Hadîts, 1976), Jilid I, hlm. 25.

5
sudah kuat dan tersebar ke seluruh penjuru Madinah dan sekitarnya, Rasul
pun mengizinkan sahabat untuk meriwayatkan cerita-cerita isra’iliyat selama
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.7
Kemudian penafsiran riwayat isra’iliyat dari Ahli Kitab ini semakin
marak pada masa tabiin sehingga seorang pembaca tafsir akan sulit
membedakan mana cerita yang sahih dan mana cerita yang dibuat-buat oleh
ahli kitab. Dan begitu seterusnya, dari generasi ke generasi, fenomena ad-
dakhil dalam tafsir Al-Qur’an khususnya ad-dakhil bi al-ma’tsur yang berasal
dari isra’iliyat terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Adapun terkait dengan ad-dakhil dalam tafsir bi al-ra’y, para ulama
mencatat ada beberapa sebab yang turut mendorong perkembangannya.
Antara lain, yang paling utama adalah pemahaman mufassir yang sangat
subjektif. Subjektifitas pemahaman atau penafsiran tersebut terjadi karena;
pertama, tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai penafsir Al-Qur’an. Karena
itu, ketika ia bertemu dengan ayat yang secara zahir bertentangan dengan
akal, mufasir langsung mengambil kesimpulan dan menerjemahkan ayat
tersebut secara literal, tanpa memandang konteks dan kemungkinan makna
lain yang dikandung ayat itu. Kedua, penafsiran yang berorientasi untuk
menjustifikasi pandangan golongan atau kelompok tertentu, seperti yang
dilakukan sebagian sekte Mu’tazilah, Babiyah, Baha’iyah dan Ahmadiyah.
Mereka menyelewengkan tafsir Al-Qur’an menurut hawa nafsu, dan menolak
teks-teks yang bertentangan dengan akidah dan keyakinan mereka.
C. Faktor Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil
Ada lima faktor yang memengaruhi perkembangan ad-Dakhîl fi at-
Tafsîr (infiltrasi tafsir) yang disampaikan oleh Abdul Wahhab Fayed, yaitu:
1. Faktor Politik dan Kekuasaan
Pada masa kekhalifahan Ustman bin Affan, mulai terjadi
perpecahan di tubuh umat Islam. Hal ini terjadi hingga Khalifah Ali
bin Abi Thalib sampai periode dinasti Umayah dan Abbasiyah.

7
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhil fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Kairo: Matba’ah al-
Hadharah al‘Arabiyah, 1978), hlm.110-111.

6
Masing-masing sekte yang bermunculan menafsirkan al-Qur’an
sesuai dengan kepentingan yang mereka bawa. Seperti yang
dilakukan oleh sekte Syi’ah Rafidah yang menafsirkan (QS. al-Lahab
ayat 1) dengan menyebut Abu Bakar dan Umar bin al-Khattab sebagai
tokoh yang ditunjuk al-Qur’an. Lalu Bani Abbasiyah menafsirkan as-
syajarah al-mal’unah (QS. al-Isra ayat 60) sebagai Bani Umayah.
2. Faktor Kebencian Terhadap Islam
Faktor kebencian terhadap Islam yang lebih banyak dibawa oleh
orientalis yaitu golongan yang tidak senang dengan Islam sengaja
membuat berbagai riwayat palsu dengan tujuan untuk mengoyak
Islam secara internal. Berbagai penafsiran yang tidak memiliki dasar
kuat mereka buat dan sebarkan di tengah-tengah umat. Salah satu
contoh Ad-Dakhil melalui hadis palsu yang dibuat dalam konteks ini
adalah kisah Gharanq yaitu kisah palsu dan tidak masuk akal tentang
pujian Nabi Muhammad terhadap berhala kaum musyrik.
3. Faktor Fanatisme
Fanatisme adalah sikap yang tidak baik, sebab sikap ini dapat
merusak objektifitas mufasir. Diantara contoh ad-dakhil yang
disebabkan faktor fanatisme adalah penafsiran sebagian kelompok
Syi’ah yang teramat cinta dengan Ali bin Abi Thalib menafsirkan
dengan mengambil hadis palsu yaitu ketika mereka menafsirkan (QS.
Qaf ayat 24) pada kalimat “alqiyâ fî jahannama kulla kaffârin anîd”.
Menurutnya, Muhammad Saw dan Ali diberikan kewenangan untuk
memasukkan orang-orang ke surga atau neraka.8
4. Faktor Perbedaan Madzhab
Perbedaan (ikhtilaf) adalah suatu kepastian, sunnatullah, dan
manusia tidak mungkin untuk menghindarinya. Ikhtilâf dapat
dibenarkan selama tidak menyangkut masalah akidah yang prinsip,

8
M. Badruz Zaman, “Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan
dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran”, dikutip dari https://tafsiralquran.id/mengenal-konsep-ad-
dakhil-fi-at-tafsir-sejarah-perkembangan-dan-faktor-faktor-infiltrasi-penafsiran/ pada hari Selasa
tanggal 7 Juni 2022 jam 10.09 WIB.

7
melainkan dalam masalah furu‘. Karena itu, kehadiran berbagai
macam sekte kerap menjadi bumerang bagi umat Islam. Mereka tidak
segan-segan menjadi kan Al-Qur’an sebagai alat justifikasi terhadap
ajaran sekte mereka.
Salah satu contonya adalah apa yang dilakukan Ahmadiyah
Qadyan. Karena meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
seorang nabi, maka berbagai ayat yang memungkinkan untuk
dijadikan pembenar ajaran tersebut, mereka tafsirkan secara subjektif
sesuai ajarannya. Ketika menafsirkan (QS. An-Nisa’ ayat 69)
misalnya, mereka mengatakan bahwa frase min al-nabiyin wa al-
shiddiqin wa alsyuhada’ wa al-shâlihîn adalah penjelasan (bayân)
bagi frase sebelumnya; wa man yuthi‘illah wa al-rasûl. Berdasarkan
penjelasan semacam ini maka umat Muhammad sangat dimungkinkan
untuk mencapai empat derajat sebagaimana disebutkan pada ayat
tersebut, yakni; kenabian (al-nubuwah), kebenaran (alshiddiqiyah),
persaksian (al-syahadah), dan kebaikan (al-shalah). Dengan demikian,
semua orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dimungkinkan
dapat mencapai derajat kenabian, seperti halnya Ghulam Ahmad.
Tafsiran sektarian yang subjektif semacam inilah yang
menjadikan ad-dakhil dalam tafsir Al-Qur’an semakin tumbuh subur.
Padahal ketika mufasir melihat ayat di atas secara jujur dan objektif,
tanpa terbelenggu dengan doktrin kenabian Ghulam Ahmad, maka ia
akan mampu mempersembahkan penafsiran yang universal dan
kompatibel untuk semua anak zaman. Penafsiran mayoritas ulama
menjelaskan bahwa ayat di atas merupakan tafsiran bagi ayat ketujuh
surat al-Fatihah. Artinya, jalan bagi orang-orang yang tidak tersesat
dan tidak dimurkai Allah adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-
Nya yang sudah direfleksikan dan diaplikasikan oleh para Nabi,
shiddiqin, syuhada’ dan shalihin.

8
5. Faktor Ketidaktahuan
Niat baik yang tidak dilandasi pengetahuan yang cukup tidak
selamanya berimplikasi kepada kebaikan. Salah satu contohnya
adalah apa yang dilakukan sebagian muballigh yang dengan sengaja
melansir riwayat tanpa mengetahui status dan validitas riwayat
tersebut. Alih-alih membawa kebaikan, riwayat-riwayat semacam itu
bisa jadi malah menimbulkan polemis yang berkepanjangan.
Menurut catatan al-Suyuthi, diantara orang-orang yang kerap
membuat riwayat palsu dengan maksud baik tapi tidak dibarengi
dengan ilmu yang mendalam adalah Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abu
Maryam (w.173 H), Maysarah ibn ‘Abdi Rabbih, Bazi‘ ibn Hassan
dan Mukhlid ibn ‘Abd al-Wahid. Mereka sengaja membuat riwayat-
riwayat palsu mengenai keutamaan (fadhi’il) surat-surat Al-Qur’an
dengan tujuan agar umat Islam gemar membaca dan mengamalkan
Al-Qur’an. Riwayatriwayat palsu itu kemudian dinukil oleh sebagian
mufasir seperti al-Zamakhsyari (467-538 H). Di dalam tafsirnya, al-
Zamakhsyari melansir berbagai riwayat mengenai keutamaan surat-
surat Al-Qur’an seperti surat An-Nazi‘at, Al-Infithar, Al-Buruj, Al-
Fajr, Ad-Dhuha, At-Tin, At-Takatsur, Al-Kautsar, Al-Kafirun dan
beberapa surat lainnya. Namun setelah diselidiki ternyata status
riwayat-riwayat tersebut tidak valid dan karenanya dapat
dikategorikan sebagai ad-dakhil (tafsir ilfiltratif).9
D. Klasifikasi Ad-Dakhil
Ad-Dakhil atau penafsiran yang tanpa asas yang kuat menurut para
ulama tafsir masuk dalam kitab-kitab tafsir melaui dua sumber. Pertama; ad-
dakhil fi al-manqul (ma’tsur yaitu riwayat). Kedua; dakhil fi al-Ra’yi yang
bersumber dari akal yang fasid (rusak):
1. Ad-Dakhil Fi al-Manqul (al-ma’tsur)

9
Muhammad Ulinnuha, “Konsep Al-Ashil Dan Al-Dakhil Dalam Tafsir Al-Qur’an”,
Jurnal Madania, Vol. 21, No. 2, (Desember 2017), hlm. 133-134.

9
Di dalam tafsir bi al-ma’tsur terdapat riwayat-riwayat yang shahih
dan maudhu’. Riwayat-riwayat yang shahih dapat diterima dan diamalkan
kandungannya, sedangkan riwayat-riwayat yang maudhu’ tidak dapat
diterima dan diamalkan.
Adapun ad-dakhil dalam tafsir bi al-ma’tsur mencakup beberapa
sumber sebagai berikut:
a. Ad-Dakhil melalui Riwayat Hadits Maudhu’
Secara umum, Sebab-sebab ke-maudu’an Hadits dilatar
belakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Adanya kaum Zindiq (Zandaqat);
2. Adanya intervensi dari para ahli bid’ah dan ahli ra’yi serta
para pengikut aliran sesat dan hawa nafsu tanpa menggunakan
dalil dari alQur’an maupun Sunnah;
3. Adanya fanatisme terhadap madhhab fikih;
4. Adanya keinginan untuk mendekati para khalifah dan meminta
kerelaannya;
5. Adanya Targhib dan Tarhib dalam Hadits yang salah dan
berlebihan;
6. Mengutamakan atau mencela sebagian sekte atau negeri
dengan mempertahankan fanatisme yang tercela;
7. Adanya keinginan untuk dipuji, kemasyhuran, dan sum’ah dari
sekelompok manusia.10
b. Ad-Dakhil melalui Riwayat Isra’iliyat
Yang dimaksud dengan ad-dakhil melalui riwayat israiliyat
adalah riwayat-riwayat isra’iliyat yang berseberangan dengan Al-
Qur’an dan Sunnah yang shahih. Riwayat israiliyat diselundupkan
ke dalam tafsir bermula pada masa tabi’in. Penyebabnya yaitu
pertama: semakin banyaknya orang-orang ahli kitab yang masuk
islam; Kedua: adanya keinginan dari umat muslim pada waktu itu
untuk mengetahui kisah-kisah selengkapnya mengenai ummat

10
Jamal mustafa, Usul al-Dakhil fi Tafsiri ayi al-Tanzil, (Cet. 1, 2001), hlm. 153.

10
Yahudi, Nasrani dan sebagainya yang dalam al-Qur’an hanya
disebut secara garis besar saja.11
c. Ad-Dakhil Yang Dinisbatkan Kepada Sahabat Dengan Cara Dusta
Diantara kekeliruan riwayat yang disandarkan kepada sahabat
adalah disebabkan oleh prilaku sahabat yang saling terjadi
penerimaan dan periwayatan Hadits, tanpa mengecek terlebih
dahulu apakah hadis tersebut benar-benar dari Rasulullah saw.
atau hanya perkataan seseorang. Al-Imam ibn al-Jauzy, seperti
yang dikutip oleh al-Adlabi mengatakan, bahwa pada masa
permulaan Islam, sebagian Sahabat menerima Hadits dari Sahabat
yang lain, dengan hanya mengatakan: “Rasulullah bersabda.....”,
tanpa menyebutkan siapa yang meriwayatkan Hadits itu
kepadanya. Hal itu mereka lakukan karena tidak adanya
kecurigaan pada periwayat yang bersangkutan, bahkan telah
diyakini kejujuran-nya.12
d. Ad-Dakhil Yang Dinisbatkan Kepada Tabi’in Dengan Cara Dusta
Termasuk dari jenis tafsir ad-dakhil adalah riwayat yang
disandarkan kepada tabi’in dengan cara berdusta atau kepada
mursal tabi’in yang mana Hadits tersebut tidak diambil melalui
tabi’in yang meriwayatkan Hadits. Seperti, meriwayatkan melalui
jalur yang berbeda dengan perawi yang berbeda pula, atau
mengambil perkataan sahabat, atau perkataan kebanyakan ulama
yang diambil pendapatnya, padahal dalam hadis mursal tidak
diperbolehkan, karena mengikutsertakan periwayatannya dari
tabi’in lain.
Ad-Dakhil dalam riwayat yang disandarkan kepada tabi’in
dengan cara berdusta dapat ditemukan dalam tafsir yang terkait
dengan ceritacerita nabi, awal penciptaan makhluk, ya’juj dan

11
Muhammad Husein al-dhahaby, Penyimpanganpenyimpangan dalam Tafsir, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo persada, 1996), hlm. 25.
12
Salahuddin Ibn Ahmad al-Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis, (Jakarta: GMP,
2004), hlm. 71.

11
ma’juj, tentang kondisi dinginya air yang berada dalam sumur-
sumur pada waktu shaif (musim panas) dan dahsyatnya panas
pada saat kedatangan Shita’ (musim dingin). Riwayat-riwayat
yang terkait dengan cerita-cerita tersebut terdapat banyak yang
tidak disebutkan sanadnya, sehingga sangat sulit untuk ditelaah
dan diteliti status perawinya dalam kitab-kitab jarh wa Ta’dil.13
2. Ad-Dakhil Fi Ra’yi
Adapun ad-dakhil dalam Ra’yi mencakup beberapa bagian sebagai
berikut:
a. Ad-Dakhil al-lughah
Yaitu menafsirkan ayat AlQur’an dengan penggunaan ejaan
bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah atau pada tempatnya.
b. Dakhil al-ra’yi
Yaitu menafsiran ayat Al-Qur’an dengan ra’yi (pendapat)
yang keliru dan tercela, baik disengaja maupun tidak disengaja.

13
Mujiburrohman, “Al-Dakhil Dalam Ra’yi Dan Ma’tsur”, Jurnal Pemikiran, Pendidikan
dan Penelitian Ke-Islaman, Vol. 6, No.1 (Februari 2020), hlm. 86.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Ashil menurut
bahasa adalah sesuatu yang memiliki asal yang kuat dalam objek yang
dimasukinya. Sedangkan ad-dakhil adalah tafsir atau penafsiran yang tidak
memiliki asal sedikitpun dalam agama dengan merusak kandungan Al-
Qur’an. Ad-Dakhil sejatinya telah muncul sejak sebelum Islam lahir di
jazirah Arab. Pasalnya, sebelum Islam datang di Jazirah Arab, telah ada
sekelompok Ahli Kitab yang sebagian besar beragama Yahudi. Mereka
berhijrah dan masuk jazirah Arab pada sekitar tahun 70 Masehi. Mereka
bermukim di sebuah lembah yang dikelilingi oleh pegunungan serta terdapat
banyak pohon kurma, tempat itu dinamakan Yatsrib. Dan juga terdapat
beberapa faktor yang melatarbelakangi kemunculan dan perkembangan Ad-
Dakhil dalam tafsir Al-Qur’an yaitu Faktor Politik dan Kekuasaan, Faktor
Kebencian Terhadap Islam, Faktor Fanatisme, Faktor Perbedaan Mazhab, dan
Faktor Ketidaktahuan.
Ad-Dakhil dengan beragam varian yang telah dipaparkan di atas sangat
jelas telah menimbulkan efek negatif terhadap dunia penafsiran. Diantara
efek negatif yang dapat ditimbulkan adalah munculnya penafsiranpenafsiran
yang menyimpang dan bertolak belakang dari kaidah-kaidah yang shahih.
Oleh karena itu, sebagai umat Islam, sudah seharusnya menolak ad-dakhil
sebagai sebuah metode penafsiran, serta tetap berpegang teguh kepada
sumber penafsiran yang otentik, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits serta riwayat-
riwayat yang dapat diterima kebenarannya .
B. Saran
Diharapkan dengan adanya bahan bacaan ini dapat menambah wawasan
dan pengetahuan pembaca mengenai tulisan tentang konsep al-ashil dan ad-
dakhl . Penulis sangat yakin bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat
di dalam makalah ini. Penulis mengharapkan banyak saran dan kritikan agar
kiranya makalah ini bisa menjadi lebih sempurna.

13
DAFTAR PUSTAKA

al-Adlabi, S. I. (2004). Metodologi Kritik Matan Hadis. Jakarta: GMP.

al-dhahaby, M. H. (1996). Penyimpangan penyimpangan dalam Tafsir. Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada.

al-Dzahabi, M. H. (1976). al-Tafsir wa al-Mufassirun. Kairo: Dâr al-Kutub wa al-


Hadîts.

Al-Ma’luf, L. (2000). al-Munjid Fi al-lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-


Mashriq.

Aram, M. S. (1998). As-Sabil ila Ma'rifat alAshil wa al Dakhil fi al-Tafsir.


Zaqaziq: Misr.

Fayed, A. W. (1978). al-Dakhil fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. Kairo: Matba’ah al-


Hadharah al‘Arabiyah.

Mujiburrohman. (2020). “Al-Dakhil Dalam Ra’yi Dan Ma’tsur”. Jurnal


Pemikiran, Pendidikan dan Penelitian Ke-Islaman, 86.

mustafa, J. (2001). Usul al-Dakhil fi Tafsiri ayi al-Tanzil.

Ulinnuha, M. (2017). “Konsep Al-Ashil Dan Al-Dakhil Dalam Tafsir Al-Qur’an".


Jurnal Madania, 133-134.

Zaman., B. M. “Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan


dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran”, dikutip dari
https://tafsiralquran.id/mengenal-konsep-ad-dakhil-fi-at-tafsir-sejarah-
perkembangan-dan-faktor-faktor-infiltrasi-penafsiran/ pada hari Selasa
tanggal 7 Juni 2022 jam 10.09 WIB.

14

Anda mungkin juga menyukai