Oleh:
Fakultas Ushuluddin
2021
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 2
C. Tujuan Makalah.......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3
A. Simpulan................................................................................... 18
B. Saran......................................................................................... 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir adalah produk pemikiran manusia yang tidak terlepas dari
kekurangan bahkan penyelewengan. Di antara bentuk penyelewangan
tersebut adalah dimasukkannya data-data yang tidak valid ke dalam
pembahasan tafsir Al-Qur’an yang disebut dengan Ad-Dakhil (infiltrasi)
Praktek Ad-Dakhil (infiltrasi) dalam penafsiran ini tidak hanya terjadi pada
era kontemporer, tapi secara genealogis sudah terjadi sejak masa-masa
klasik seiring dengan penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia. Hal itu
dapat dijumpai dalam beberapa karya tafsir klasik maupun modern, dengan
adanya sistem, orientasi, dan metode penafsiran yang tidak sesuai
(incompatible).
Konsep Al-Ashil dan Ad-Dakhil mulai diperkenalkan pada tahun
1980-an oleh Ibrahim Khalifah, seorang pengajar di Universitas Al-Azhar
Kairo, melalui bukunya yang berjudul Ad-Dakhil fi al-Tafsir. Ad-Dakhil
berarti apa saja yang diduga menjadi penyusup dalam tafsir sehingga harus
dihindari dan dijauhkan. Sementara Al-Ashil adalah kebalikannya. Yaitu
sumber-sumber tafsir yang dianggap valid dan dapat
dipertanggungjawabkan, oleh karena itu berimplikasi pada diterimanya
tafsir.
Melalui hal ini dapat dipahami, bahwa tujuan Ad-Dakhil wa Al-
Ashil adalah untuk memproteksi tafsir dari kesalahan dan penyimpangan.
Kesalahan yang lahir dari tangan seorang mufasir memang bukan hal
mustahil dan penyimpangan yang disengaja olehnya juga bukan tidak
mungkin. Oleh sebab itu, Ad-Dakhil ditampilkan sebagai pengeliminasi
kesalahan dan penyimpangan tersebut, sembari ditawarkan model
penafsiran yang ditetapkan sebagai sahih dan benar (Al-Ashil). Pada
makalah ini penulis akan menjelaskan hal ihwal tentang konsep Ad-Dakhil
dan Al-Ashil.
1
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
beberapa masalah berikut.
1. Apa Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil?
2. Bagaimana Sejarah Munculnya Ad-Dakhil?
3. Apa saja Sumber Tafsir Al-Ashil?
4. Apa Faktor Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil?
5. Bagaimana Klasifikasi Bentuk Ad-Dakhil?
C. Tujuan Makalah
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk Mengetahui Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil.
2. Untuk Mengetahui Sejarah Munculnya Ad-Dakhil.
3. Untuk mengetahui Sumber Tafsir Al-Ashil.
4. Untuk Mengetahui Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil.
5. Untuk Mengetahui Klasifikasi Bentuk Ad-Dakhil.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah Aram, As-Sabil ila Ma'rifat alAshil wa al-
Dakhil fi al-Tafsir. (Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), Jilid I, hlm. 45.
2
Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad ‘Umar, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-
Karîm (Kairo: Universitas Al-Azhar, t.th.), hlm. 11.
3
Sumber Ad-Dakhil dapat berasal dari dua sisi; eksternal dan
internal. Secara eksternal, penafsiran semacam ini berasal dari sebagian
kelompok outsider yang dengan sengaja ingin mem porandakan ajaran
Islam. Mereka menyerang Islam dari berbagai lini, termasuk Al-Qur’an.
Bangunan peradaban yang dibangun baginda Nabi Saw melalui ajaran Al-
Qur’an dirongrong sedemikian rupa dengan cara misalnya, memasukkan
penafsiran-penafsiran berbau mistis dan khurafat yang tidak mempunyai
sumber dan data yang jelas dari doktrin agama. Penafsiran semacam itu
mereka gelindingkan ke dalam Al-Qur’an dengan maksud untuk memecah
belah dan merusak teologi umat.3
Sementara secara internal, Ad-Dakhil berasal dari sebagian
kelompok insider. Mereka mengaku bagian dari Islam, tapi sesungguhnya
secara politis mereka berorientasi untuk merusak ajaran Islam dari dalam.
Salah satu kelompok yang dikategorikan berbahaya adalah kelompok
Bâthinîyah. Dengan alibi Al-Qur’an memiliki makna lahir dan batin,
kelompok ini kemudian mencetuskan beragam penafsiran yang akhirnya
ingin mendegradasi dan bahkan menafikan syariat Islam.4
Kelompok Bâthinîyah mengatakan bahwa Al-Qur’an dan hadis
memiliki makna lahir dan batin. Makna batin merupakan inti dan esensi
ajaran Islam. Karena itu, orang-orang yang ber henti pada pemahaman
makna lahiriah, maka hidupnya akan berada di bawah belenggu syariat.
Sementara yang berani melampauinya dan mampu menangkap makna
batinnya, maka ia akan keluar dari belenggu syariat tersebut dan dapat
beristirahat dari beban perintah-perintah agama.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting.
Pertama, otentisitas tafsir Al-Qur’an sangat bergantung kepada validitas
data dan sumber yang digunakan mufasir. Kedua, penafsiran yang
berlandaskan kepada datadata yang valid dan dapat
3
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Matba’ah al-
Hadharah al‘Arabiyah, 1978), Juz 1, hlm. 14.
4
Kelompok Bathiniyah mengatakan bahwa Al-Qur’an dan hadis memiliki makna lahir
dan batin. Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Juz 1, hlm. 14-15.
4
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dapat dikategorikan sebagai
penafsiran objektif. Ketiga, sumber-sumber otentik penafsiran Al-Qur’an
terdiri dari Al-Qur’an, sunah Nabi, pendapat sahabat dan tabiin, kaidah
bahasa Arab dan akal sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad.
Keempat, penafsiranpenafsiran yang tidak bersumber dari hal-hal di atas
dikategorikan sebagai Ad-Dakhil (tafsir infiltratif) yang patut dikaji,
dievaluasi, dikritisi dan direkonstruksi.
5
Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub wa
al-Hadîts, 1976), Jilid I, hlm. 25
5
kisah-kisah umat terdahulu. Abû Hurayrah (w.57 H/676 M), ‘Abdullah ibn
‘Abbas (w. 68 H/687 M) dan ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash (w.63 H),
adalah diantara sahabat yang kerap bertanya kepada Ahli Kitab.
Dari keterangan singkat di atas, dapat ditarik benang merah bahwa,
proses masuknya Ad-Dakhil ke dalam tafsir Al-Qur’an paling tidak melalui
dua jalan. Pertama, ketika Rasulullah ﷺtinggal di Madinah,
beliau mendakwahi Ahli Kitab dari bangsa Yahudi (bani Qaynuqâ’, bani
Nadhîr dan bani Qurayzhah) sehingga terjadilah pertemuan antara Nabi
ﷺdan sahabat dengan Ahli Kitab. Proses pertemuan dan
perhelatan intelektual inilah yang menyebabkan masuknya Ad-Dakhil dalam
tafsir.
Kedua, masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam, seperti
‘Abdullah ibn Salâm (w.43 H), Mukhayrîq ibn al-Nadhîr (w.3 H/625 M)
dan Ka‘b al-Ahbâr (w.32 H). Ketika segelintir orang Yahudi memeluk Islam
dan sebagian sahabat bertanya kepada mereka mengenai isi Taurat dan Injil,
terutama mengenai cerita umat terdahulu yang disebutkan secara global
dalam Al-Qur’an, maka terjadilah kontak pengetahuan diantara mereka.
Pada awalnya, Rasul memang melarang, bahkan marah ketika melihat
‘Umar ibn al-Khattab datang dengan membawa lembaran-lembaran kitab
suci yang diperoleh dari Ahli Kitab. Tetapi seiring perjalanan waktu, ketika
Islam sudah kuat dan tersebar ke seluruh penjuru Madinah dan sekitarnya,
Rasul pun mengizinkan sahabat untuk meriwayatkan cerita-cerita isra’iliyat
selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kemudian penafsiran riwayat isra’iliyat dari Ahli Kitab ini semakin
marak pada masa tabiin sehingga seorang pembaca tafsir akan sulit
membedakan mana cerita yang sahih dan mana cerita yang dibuat-buat oleh
ahli kitab. Dan begitu seterusnya, dari generasi ke generasi, fenomena Ad-
Dakhil dalam tafsir Al-Qur’an khususnya Ad-Dakhil bi al-ma’tsûr yang
berasal dari isra’iliyat terus berkembang seiring dengan perkembangan
zaman.
6
Adapun terkait dengan Ad-Dakhil dalam tafsir bi al-ra’y, para
ulama mencatat ada beberapa sebab yang turut mendorong
perkembangannya. Antara lain, yang paling utama adalah pemahaman
mufasir yang sangat subjektif. Subjektifitas pemahaman/penafsiran tersebut
terjadi karena; pertama, tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai penafsir
Al-Qur’an. Karena itu, ketika ia bertemu dengan ayat yang secara zahir
bertentangan dengan akal, mufasir langsung mengambil kesimpulan dan
menerjemahkan ayat tersebut secara literal, tanpa memandang konteks dan
kemungkinan makna lain yang dikandung ayat itu. Kedua, penafsiran yang
berorientasi untuk menjustifikasi pandangan golongan atau kelompok
tertentu, seperti yang dilakukan sebagian sekte Mu’tazilah, Bâbiyah,
Bahâ’iyah dan Ahmadiyah. Mereka menyelewengkan tafsir Al-Qur’an
menurut hawa nafsu, dan menolak teks-teks yang bertentangan dengan
akidah dan keyakinan mereka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa potensi Ad-Dakhil
sudah ada sebelum Islam hadir di jaziah Arab. Kemudian benih-benihnya
mulai ada pada masa Rasul dan sahabat. Lalu benih-benih itu tumbuh pada
masa tabiin dan terus berkembang pada masa-masa setelahnya, terutama
pada masa dinasti Umayyah (661-750 M) dan dinasti ‘Abbasiyah (750-1258
M) ketika kebudayaan, tradisi penerjemahan dan kajian-kajian ilmiah dalam
berbagai disiplin ilmu ditumbuh suburkan.
7
Referensi utama yang dijadikan rujukan oleh seorang mufassir ketika
menafsirkan al-Qur’an.
Sumber tafsir al-ashil yakni dapat digolongkan atas dua
pengelompokan, yaitu: bi al-ma’tsur (bi ar-riwayah au bi al-manqul) dan
bi ar-ra’yi (bi ad-dirayah au bi al-ma’qul).
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur
Tafsir bi Al-Ma’tsur juga bisa disebut dengan tafsir bi ar-riwayah
dan bi al-manqul. Dinamakan dengan bi al-ma’tsur (dari kata “atsar” yang
berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan
penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu
dari generasi sebelumnya, hingga kepada masa nabi ﷺ.
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir dengan riwayat, dikatakan
demikian, karena semua yang dinukilkan pada saat ini melalui jalur
periwayatan yang dapat dirujuk. Tafsir bi al-Ma’tsur terbagi menjadi
beberapa pembahasan yang secara detail telah kami jelaskan dalam tulisan
kami al-Bidayah Fi Ushul at-Tafsir lengkap dengan dalil contoh dan
argumentasi yang kuat, tafsir bi al-Ma’tsur terbagi menjadi beberapa
pembahasan yaitu:
a. Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
b. Penafsiran Al-Qur’an dan as-Sunnah
c. Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat para ulama salaf.
d. Penafsiran Al-Qur’an dengan kaidah bahasa
e. Penafsiran Al-Qur’an dengan riwayat Isra’iliyat.
8
memahami betul bahasa arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-
lafadznya dan dalalahnya, mengerti syiar syair arab sebagai dasar
pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh
di dalam Al-Qur’an, dan mneguasai juga ilmu-ilmu lainyang dibutuhkan
seorang mufassir.
Tafsir jenis ini terbagi atas dua bagian, yaitu tafsir yang bisa
diterima atau disebut juga dengan Mahmudah dan tafsir yang tidak bisa
diterima disebut juga dengan Mazmumah.6
6
Muhammad Novendri Spt, Al-Bidayah fi Ad-Dakhil, (Pekanbaru: Maktabah Umam,
2020), hlm. 32-35
7
Op. Cit., hlm. 193-224
9
seketika, tapi dilakukan dengan berbagai cara dan strategi. Salah satu
strategi yang digunakan adalah dengan kampanye terselubung atas nama
agama. Salah satunya adalah dengan manafsirakan ayat-ayat Al-Qur’an.
Contoh penafsiran infiltratif yang dilakukan adalah tafsir atas firman Allah
Swt.
ࣖ َّجَرةَ الْ َم ْلعُ ْونَةَ ىِف الْ ُق ْراٰ ِن ۗ َوخُنَِّو ُف ُه ۙ ْم فَ َما يَِزيْ ُد ُه ْم اِاَّل طُ ْغيَانًا َكبِْيًرا
َ َوالش
“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu:
“Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami
tidak menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu,
melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang
terkutuk dalam Al-Quran. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang
demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (Q.S. al-
Isrâ’ [17]: 60)
Diriwayatkan dari Ya‘lâ ibn Murrah bahwa yang dimaksud dengan
al-shajarah al-mal‘ûnah adalah Bani Umayyah. Mereka meriwayatkan
dari ‘Aisyah bahwa dia berkata kepada Marwan ibn Hakam (w. 65 H),
“Saya mendengar Rasul Saw berkata kepada ayah dan kakekmu, (wahai
Marwan), kalian (Bani Umayyah) adalah al-shajarah al-mal‘ûnah (pohon
terkutuk) yang disebutkan dalam Q.S. al-Isrâ’ [17] ayat 60.”
10
اس يَ ِة ُقلُ ْوبُ ُه ۗ ْم َواِ َّن ال ٰظّلِ ِمنْي َ لَِف ْي
ِ الش ي ٰطن فِْتنَ ةً لِّلَّ ِذين يِف ُقلُ وهِبِم َّمرض َّوالْ َق
ٌ َ ْ ْ ْ َْ
ِ
ُ ْ َّ لِّيَ ْج َع َل َم ا يُْلقى
ۙ ق بَعِْي ٍد
ٍ ۢ ِش َقا
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak
(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayatNya.” (Q.S. al-Hajj [22]:53).
Tentu riwayat gharaniq ini dianggap tidak rasional dan
bertentangan dengan logika hukum ishmah al-nubuwah (perlindungan
terhadap Nabi ) ﷺ. Karenanya tidak berlebihan jika para
pakar hadis dan tafsir membantah status riwayat tersebut dari da’i
menggolongkannya ke dalam hadits palsu. Beberapa diantaranya adalah
Ibn ‘Athiyah (481-541 H) dan Syihabuddin al-Alusi (1217-1270 H).
c. Faktor Fanatisme
Fanatisme adalah sikap yang tidak baik, sebab sikap ini dapat
merusak objektifitas mufasir. Diantara contoh ad-dakhil yang disebabkan
faktor fanatisme adalah penafsiran sebagian kelompok Syi‘ah terhadap
Q.S. al-Mâ’idah [5]:55. Mereka mengatakan bahwa ketika ‘Ali ibn Abi
Thalib sedang shalat tiba-tiba datang seorang pengemis, maka Ali –yang
sedang dalam keadaan ruku’- memberikan cincin kepada si pengemis itu.
Terkait dengan kejadian inilah, maka Q.S. al-Mâ’idah [5] ayat 55 itu
diturunkan. Contoh lain adalah penafsiran kaum Syi‘ah atas Q.S. Qâf
[50]:24. Mereka melansir sebuah riwayat palsu yang berbunyi: “Ketika
kiamat datang, Allah berfirman kepadaku (Muhammad) dan ‘Ali ibn Abi
Thalib: ‘Masukkanlah orang-orang yang kalian cintai ke surga, dan
masukkanlah orang-orang yang kalian benci ke neraka. Riwayat ini —
menurut mereka— merupakan tafsiran ayat Alqiyâ fî Jahannama Kulla
11
Kaffârin ‘Anîd (Q.S. Qâf [50]: 24). Hal yang sama juga dilakukan oleh
pengikut Muktazilah, Khawarij, Murji’ah dan sekte-sekte lainnya.
12
orang-orang yang tidak tersesat dan tidak dimurkai Allah adalah ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya yang sudah direfleksikan dan diaplikasikan
oleh para Nabi, shiddîqîn, syuhadâ’ dan shâlihîn.8
e. Faktor Ketidaktahuan
Niat baik yang tidak dilandasi pengetahuan yang cukup tidak
selamanya berimplikasi kepada kebaikan. Salah satu contohnya adalah apa
yang dilakukan sebagian muballigh yang dengan sengaja melansir riwayat
tanpa mengetahui status dan validitas riwayat tersebut. Alih-alih membawa
kebaikan, riwayat-riwayat semacam itu bisa jadi malah menimbulkan
polemis yang berkepanjangan.9
Menurut catatan al-Suyûthî (849-911 H), diantara orang-orang
yang kerap membuat riwayat palsu dengan maksud baik tapi tidak
dibarengi dengan ilmu yang mendalam adalah Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abu
Maryam (w.173 H), Maysarah ibn ‘Abdi Rabbih, Bazî‘ ibn Hassân dan
Mukhlid ibn ‘Abd al-Wâhid. Mereka sengaja membuat riwayat-riwayat
palsu mengenai keutamaan (fadhî’il) surat-surat Al-Qur’an dengan tujuan
agar umat Islam gemar membaca dan mengamalkan Al-Qur’an. Riwayat-
riwayat palsu itu kemudian dinukil oleh sebagian mufasir seperti al-
Zamakhsyari (467-538 H). Di dalam tafsirnya, al-Zamakhsyari melansir
berbagai riwayat mengenai keutamaan surat-surat Al-Qur’an seperti surat
al-Nâzi‘ât, al-Infithâr, al-Burûj, al-Fajr, al-Dhuhâ, al-Tîn, al-Takâtsur, al-
Kautsar, al-Kâfirûn dan beberapa surat lainnya. Namun setelah diselidiki
ternyata status riwayat-riwayat tersebut tidak valid dan karenanya dapat
dikategorikan sebagai ad-dakhil (tafsir ilfiltratif).
13
ُ ۙ ىك َما الطَّا ِر
ق َ َو َمٓا اَ ْد ٰر
“Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?”
(Q.S. Ath-Thariq [86] : 02)
14
وة فَا ْغ ِس لُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َواَيْ ِديَ ُك ْم اِىَل الْ َمَرافِ ِق َّ ٰيٓاَيُّ َه ا الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْٓوا اِذَا قُ ْمتُ ْم اِىَل
ِ الص ٰل
َو ْام َس ُح ْوا بُِرءُْو ِس ُك ْم َواَْر ُجلَ ُك ْم اِىَل الْ َك ْعَبنْي ۗ ِن َواِ ْن ُكْنتُ ْم ُجنُبً ا فَ اطَّ َّهُر ْو ۗا َواِ ْن ُكْنتُ ْم
ِ ٰ ِ ٍ ٰ ٓ
ًِّس اۤءَ َفلَ ْم جَت ُد ْوا َم اۤء
َ َّم ْر ٰض]ى اَْو َعلى َس َفر اَْو َج اۤءَ اَ َح ٌد ِّمْن ُك ْم ِّم َن الْغَاۤ ِٕىط اَْو ل َم ْس تُ ُم الن
صعِْي ًدا طَيِّبًا فَ ْام َس ُح ْوا بُِو ُج ْو ِه ُك ْم َواَيْ ِديْ ُك ْم ِّمْنهُ ۗ َما يُِريْ ُد ال ٰلّهُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُك ْم ِّم ْن
َ َفَتيَ َّم ُم ْوا
َحَر ٍج َّوٰل ِك ْن يُِّريْ ُد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكُر ْو َن
ٰ
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau menafsirkan
َِّس اۤء
َ ل َم ْس تُ ُم الن
(menyentuh wanita) dengan makna jima’ (bersetubuh).
15
ات اَبَ ًدا َّواَل َت ُق ْم َع ٰلى َقرْبِ ٖۗه اِن َُّه ْم َك َف ُر ْوا بِال ٰلّ ِه َو َر ُس ْولِه ٍ ٰٓ
َ ص ِّل َعلى اَ َح د ِّمْن ُه ْم َّم
َ َُواَل ت
َو َما ُت ْوا َو ُه ْم ٰف ِس ُق ْو َن
“Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk
seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik),
selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas
kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (Q.S. At-Taubah [09]: 84)
seperti doa, salat, salawat, dll. Namun makna صلىyang cocok untuk
di sini adalah salat berdiri di hadapan orang yang meninggal dunia
untuk mendoakannya dengan syarat dan rukun tertentu (salat jenazah).
Contoh lain dari ayat yang terdapat di dalamnya mengandung
perbedaan makna lughawiy adalah firman Allah ﷻ:
ِۗ هِب ِهِل ِ
ك َس َك ٌن هَّلُ ۗ ْم َ ص ِّل َعلَْي ِه ْما َّن
َ َص ٰلوت َ ص َدقَةً تُطَ ِّهُر ُه ْم َو ُت َز ِّكْي ِه ْم َ ا َو
َ ُخ ْذ م ْن اَْم َوا ْم
َوال ٰلّهُ مَسِ ْي ٌع َعلِْي ٌم
16
5. Penafsiran al-Qur’an dengan riwayat Israilliyat
Salah satu riwayat israilliyat yang terdapat dalam kitab tafsir,
sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah surah Hud: 40.
ك اِاَّل ِ ِ
َ ََحىّٰت ٓى اذَا َج اۤءَ اَْمُرنَ ا َوفَ َار التَّن ُّْو ُر ُقْلنَ ا امْحِ ْل فْي َه ا ِم ْن ُك ٍّل َز ْو َجنْي ِ ا ْثَننْي ِ َواَ ْهل
ۙ
10
Op. cit., hlm. 39
17
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
hal-hal berikut:
1. Al-Ashil menurut bahasa adalah sesuatu yang memiliki asal yang kuat
dalam objek yang dimasukinya. Sedangkan Ad-Dakhil adalah tafsir
atau penafsiran yang tidak memiliki asal sedikitpun dalam agama
dengan merusak kandungan Al-Qur’an.
2. Embrio Ad-Dakhil sejatinya telah muncul sejak sebelum Islam lahir di
jazirah Arab. Pasalnya, sebelum Islam datang di Jazirah Arab, telah
ada sekelompok Ahli Kitab yang sebagian besar beragama Yahudi.
Mereka berhijrah dan masuk jazirah Arab pada sekitar tahun 70
Masehi. Mereka ber mukim di sebuah lembah yang dikelilingi oleh
pegunungan serta terdapat banyak pohon kurma, tempat itu
dinamakan Yatsrib.
3. Sumber tafsir al-ashil yakni dapat digolongkan atas dua
pengelompokan, yaitu: bi al-ma’tsur (bi ar-riwayah au bi al-manqul)
dan bi ar-ra’yi (bi ad-dirayah au bi al-ma’qul).
4. Beberapa faktor yang melatarbelakangi kemunculan dan
perkembangan Ad-Dakhil dalam tafsir Al-Qur’an adalah:
- Faktor Politik dan Kekuasaan
- Faktor Kebencian Terhadap Islam
- Faktor Fanatisme
- Faktor Perbedaan Mazhab
- Faktor Ketidaktahuan
5. Klasifikasi Ad-Dakhil adalah: penafsiran Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan As-Sunnah, penafsiran Al-
Qur’an dengan pendapat para ulama salaf, penafsiran Al-Qur’an
dengan kaidah bahasa, penafsiran Al-Qur’an dengan riwayat
israiliyyat.
18
B. Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca agar mencari referensi lebih
lanjut karena sumber yang penulis gunakan dalam menyelesaikan makalah
ini sangat terbatas.
19
DAFTAR PUSTAKA
Katsir, Ibnu. 2000. Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm. Juz 1, Kairo: Dâr al-Turâts.
Nurisman. 2014. Al-Ashil Wa Dakhil Fi Tafsir. Vol. XI. No. 2, Juli – Desember
ISSN: 1693-9867
20