Anda di halaman 1dari 23

Konsep Al-Ashil dan Ad-Dakhil

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ad-Dakhil Fi At-Tafsir

Oleh:

Cucun Noviya NIM. 11830214473

Hafizhah NIM. 11830223048

Nia Jusniati NIM. 11830224508

Dosen Pengampu: Lukmanul Hakim, S. Ud., M.I.R.K.H., Ph. D.

Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah ‫ ﷻ‬yang telah memberikan rahmat


dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Salawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬agar
mendapat syafaat di akhirat kelak. Penulis ucapkan terima kasih kepada Ustadz
Lukmanul Hakim, S. Ud., M.I.R.K.H., Ph. D. selaku dosen pengampu mata kuliah
Ad-Dakhil Fi At-Tafsir, dan teman-teman yang telah membantu dalam proses
penyelesaian makalah ini. Penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Demikian
makalah ini penulis buat untuk menambah informasi para pembaca.

Pekanbaru, 25 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

A. Latar Belakang............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah....................................................................... 2

C. Tujuan Makalah.......................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 3

A. Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil ................................................ 3


B. Sejarah Munculnya Ad-Dakhil .................................................. 5
C. Sumber Tafsir Al-Ashil .............................................................. 7
D. Faktor Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil.............................9
E. Klasifikasi Bentuk Ad-Dakhil ..................................................13

BAB III PENUTUP......................................................................................... 18

A. Simpulan................................................................................... 18
B. Saran......................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tafsir adalah produk pemikiran manusia yang tidak terlepas dari
kekurangan bahkan penyelewengan. Di antara bentuk penyelewangan
tersebut adalah dimasukkannya data-data yang tidak valid ke dalam
pembahasan tafsir Al-Qur’an yang disebut dengan Ad-Dakhil (infiltrasi)
Praktek Ad-Dakhil (infiltrasi) dalam penafsiran ini tidak hanya terjadi pada
era kontemporer, tapi secara genealogis sudah terjadi sejak masa-masa
klasik seiring dengan penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia. Hal itu
dapat dijumpai dalam beberapa karya tafsir klasik maupun modern, dengan
adanya sistem, orientasi, dan metode penafsiran yang tidak sesuai
(incompatible).
Konsep Al-Ashil dan Ad-Dakhil mulai diperkenalkan pada tahun
1980-an oleh Ibrahim Khalifah, seorang pengajar di Universitas Al-Azhar
Kairo, melalui bukunya yang berjudul Ad-Dakhil fi al-Tafsir. Ad-Dakhil
berarti apa saja yang diduga menjadi penyusup dalam tafsir sehingga harus
dihindari dan dijauhkan. Sementara Al-Ashil adalah kebalikannya. Yaitu
sumber-sumber tafsir yang dianggap valid dan dapat
dipertanggungjawabkan, oleh karena itu berimplikasi pada diterimanya
tafsir.
Melalui hal ini dapat dipahami, bahwa tujuan Ad-Dakhil wa Al-
Ashil adalah untuk memproteksi tafsir dari kesalahan dan penyimpangan.
Kesalahan yang lahir dari tangan seorang mufasir memang bukan hal
mustahil dan penyimpangan yang disengaja olehnya juga bukan tidak
mungkin. Oleh sebab itu, Ad-Dakhil ditampilkan sebagai pengeliminasi
kesalahan dan penyimpangan tersebut, sembari ditawarkan model
penafsiran yang ditetapkan sebagai sahih dan benar (Al-Ashil). Pada
makalah ini penulis akan menjelaskan hal ihwal tentang konsep Ad-Dakhil
dan Al-Ashil.

1
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
beberapa masalah berikut.
1. Apa Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil?
2. Bagaimana Sejarah Munculnya Ad-Dakhil?
3. Apa saja Sumber Tafsir Al-Ashil?
4. Apa Faktor Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil?
5. Bagaimana Klasifikasi Bentuk Ad-Dakhil?

C. Tujuan Makalah
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Untuk Mengetahui Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil.
2. Untuk Mengetahui Sejarah Munculnya Ad-Dakhil.
3. Untuk mengetahui Sumber Tafsir Al-Ashil.
4. Untuk Mengetahui Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil.
5. Untuk Mengetahui Klasifikasi Bentuk Ad-Dakhil.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Al-Ashil dan Ad-Dakhil


Kalimat Al-Ashil menurut bahasa adalah sesuatu yang memiliki
asal yang kuat dalam objek yang dimasukinya. Sedangkan menurut istilah,
Al-Ashil adalah tafsir yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan As-
Sunnah, atau pendapat sahabat dan tabi’in dan atau berdasarkan ijtihad dan
ra’yun yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan kaidah syari’ah.1
Abd. Al-Wahhab Fayed mendefinisikan term Al-Ashil yang dapat
dikerucutkan menjadi dua denfisi. Pertama, Al-Ashil adalah tafsir yang
memiliki asal-usul, dalil-dalil dan argumentasi yang jelas dari agama.
Kedua, Al-Ashil adalah tafsir yang ruh, dan nafasnya bersandarkan kepada
Al-Qur’an, sunnah, pendapat para sahabat, dan tabi’in.
Jika diperhatikan, definisi Fayed di atas terlihat hanya mencakup
satu jalur tafsir saja yaitu bi al-ma’tsur dan belum mengakomodir tafsir bi
al-ra’yi. Oleh karena itu, definisi Al-Ashil fi Al-Tafsir yang komprehensif
adalah tafsir yang memiliki sumber rujukan dan dasar yang jelas serta
dapat dipertanggungjawabkan, baik sumber itu berasal dari Al-Qur’an,
hadis shahih, pendapat sahabat dan tabi’in yang valid atay berasal dari
rasio sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad.2
Sedangkan kalimat Ad-Dakhil, dari berbagai kitab lughoh
semuanya mengartikan sesuatu yang masuk dan menyelinap dari luar yang
tidak memiliki asal sedikitpun dalam objek yang dimasukinya. Dalam
istilah mufassir Ad-Dakhil adalah tafsir atau penafsiran yang tidak
memiliki asal sedikitpun dalam agama dengan merusak kandungan Al-
Qur’an. Hal itu terjadi ketika orang-orang lengah darinya dan dakhil ini
masuk ke dalam tafsir setelah Nabi Muhammad saw wafat.

1
Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah Aram, As-Sabil ila Ma'rifat alAshil wa al-
Dakhil fi al-Tafsir. (Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), Jilid I, hlm. 45.
2
Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad ‘Umar, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-
Karîm (Kairo: Universitas Al-Azhar, t.th.), hlm. 11.

3
Sumber Ad-Dakhil dapat berasal dari dua sisi; eksternal dan
internal. Secara eksternal, penafsiran semacam ini berasal dari sebagian
kelompok outsider yang dengan sengaja ingin mem porandakan ajaran
Islam. Mereka menyerang Islam dari berbagai lini, termasuk Al-Qur’an.
Bangunan peradaban yang dibangun baginda Nabi Saw melalui ajaran Al-
Qur’an dirongrong sedemikian rupa dengan cara misalnya, memasukkan
penafsiran-penafsiran berbau mistis dan khurafat yang tidak mempunyai
sumber dan data yang jelas dari doktrin agama. Penafsiran semacam itu
mereka gelindingkan ke dalam Al-Qur’an dengan maksud untuk memecah
belah dan merusak teologi umat.3
Sementara secara internal, Ad-Dakhil berasal dari sebagian
kelompok insider. Mereka mengaku bagian dari Islam, tapi sesungguhnya
secara politis mereka berorientasi untuk merusak ajaran Islam dari dalam.
Salah satu kelompok yang dikategorikan berbahaya adalah kelompok
Bâthinîyah. Dengan alibi Al-Qur’an memiliki makna lahir dan batin,
kelompok ini kemudian mencetuskan beragam penafsiran yang akhirnya
ingin mendegradasi dan bahkan menafikan syariat Islam.4
Kelompok Bâthinîyah mengatakan bahwa Al-Qur’an dan hadis
memiliki makna lahir dan batin. Makna batin merupakan inti dan esensi
ajaran Islam. Karena itu, orang-orang yang ber henti pada pemahaman
makna lahiriah, maka hidupnya akan berada di bawah belenggu syariat.
Sementara yang berani melampauinya dan mampu menangkap makna
batinnya, maka ia akan keluar dari belenggu syariat tersebut dan dapat
beristirahat dari beban perintah-perintah agama.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan penting.
Pertama, otentisitas tafsir Al-Qur’an sangat bergantung kepada validitas
data dan sumber yang digunakan mufasir. Kedua, penafsiran yang
berlandaskan kepada datadata yang valid dan dapat

3
Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Matba’ah al-
Hadharah al‘Arabiyah, 1978), Juz 1, hlm. 14.
4
Kelompok Bathiniyah mengatakan bahwa Al-Qur’an dan hadis memiliki makna lahir
dan batin. Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Juz 1, hlm. 14-15.

4
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dapat dikategorikan sebagai
penafsiran objektif. Ketiga, sumber-sumber otentik penafsiran Al-Qur’an
terdiri dari Al-Qur’an, sunah Nabi, pendapat sahabat dan tabiin, kaidah
bahasa Arab dan akal sehat yang memenuhi kriteria dan prasyarat ijtihad.
Keempat, penafsiranpenafsiran yang tidak bersumber dari hal-hal di atas
dikategorikan sebagai Ad-Dakhil (tafsir infiltratif) yang patut dikaji,
dievaluasi, dikritisi dan direkonstruksi.

B. Sejarah Munculnya Ad-Dakhil


Embrio Ad-Dakhil sejatinya telah muncul sejak sebelum Islam lahir
di jazirah Arab. Pasalnya, sebelum Islam datang di Jazirah Arab, telah ada
sekelompok Ahli Kitab yang sebagian besar beragama Yahudi. Mereka
berhijrah dan masuk jazirah Arab pada sekitar tahun 70 Masehi. Mereka ber
mukim di sebuah lembah yang dikelilingi oleh pegunungan serta terdapat
banyak pohon kurma, tempat itu dinamakan Yatsrib. Mereka datang
berbondong-bondong ke Jazirah Arab karena ramalan para pemuka agama
mereka tentang diutusnya Nabi akhir zaman sebagai penerus Musa yang
akan mengembalikan mereka kepada tanah suci sebagaimana telah
dijanjikan Tuhan. Selain tinggal di Yatsrib, sebagian ada juga yang hidup
berkelompok di Yaman dan Yamamah.5
Interaksi sosial yang berlangsung lama inilah yang menyebabkan
pertukaran kultur dan budaya di antara kaum Yahudi dan bangsa Arab.
Ketika Rasul ‫ ﷺ‬datang dengan syariat Islam dan memperluas
medan dakwah hingga menjamah Yatsrib, kemudian diikuti para sahabat
yang berhijrah dari Mekah menuju Madinah. Mulai dari sinilah beberapa
orang Yahudi masuk Islam, diantaranya adalah Ka‘b ibn Mâti‘ al-Humayrî
alAhbâr (w. 32 H), ‘Abdullah ibn Salâm (w. 43 H) dan Tamîm al-Dârî (w.
40 H/660 M). Setelah memeluk Islam, mereka menjadi salah satu rujukan
para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an, terutama yang berkaitan dengan

5
Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Dâr al-Kutub wa
al-Hadîts, 1976), Jilid I, hlm. 25

5
kisah-kisah umat terdahulu. Abû Hurayrah (w.57 H/676 M), ‘Abdullah ibn
‘Abbas (w. 68 H/687 M) dan ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash (w.63 H),
adalah diantara sahabat yang kerap bertanya kepada Ahli Kitab.
Dari keterangan singkat di atas, dapat ditarik benang merah bahwa,
proses masuknya Ad-Dakhil ke dalam tafsir Al-Qur’an paling tidak melalui
dua jalan. Pertama, ketika Rasulullah ‫ ﷺ‬tinggal di Madinah,
beliau mendakwahi Ahli Kitab dari bangsa Yahudi (bani Qaynuqâ’, bani
Nadhîr dan bani Qurayzhah) sehingga terjadilah pertemuan antara Nabi
‫ ﷺ‬dan sahabat dengan Ahli Kitab. Proses pertemuan dan
perhelatan intelektual inilah yang menyebabkan masuknya Ad-Dakhil dalam
tafsir.
Kedua, masuknya sebagian orang Yahudi ke dalam Islam, seperti
‘Abdullah ibn Salâm (w.43 H), Mukhayrîq ibn al-Nadhîr (w.3 H/625 M)
dan Ka‘b al-Ahbâr (w.32 H). Ketika segelintir orang Yahudi memeluk Islam
dan sebagian sahabat bertanya kepada mereka mengenai isi Taurat dan Injil,
terutama mengenai cerita umat terdahulu yang disebutkan secara global
dalam Al-Qur’an, maka terjadilah kontak pengetahuan diantara mereka.
Pada awalnya, Rasul memang melarang, bahkan marah ketika melihat
‘Umar ibn al-Khattab datang dengan membawa lembaran-lembaran kitab
suci yang diperoleh dari Ahli Kitab. Tetapi seiring perjalanan waktu, ketika
Islam sudah kuat dan tersebar ke seluruh penjuru Madinah dan sekitarnya,
Rasul pun mengizinkan sahabat untuk meriwayatkan cerita-cerita isra’iliyat
selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kemudian penafsiran riwayat isra’iliyat dari Ahli Kitab ini semakin
marak pada masa tabiin sehingga seorang pembaca tafsir akan sulit
membedakan mana cerita yang sahih dan mana cerita yang dibuat-buat oleh
ahli kitab. Dan begitu seterusnya, dari generasi ke generasi, fenomena Ad-
Dakhil dalam tafsir Al-Qur’an khususnya Ad-Dakhil bi al-ma’tsûr yang
berasal dari isra’iliyat terus berkembang seiring dengan perkembangan
zaman.

6
Adapun terkait dengan Ad-Dakhil dalam tafsir bi al-ra’y, para
ulama mencatat ada beberapa sebab yang turut mendorong
perkembangannya. Antara lain, yang paling utama adalah pemahaman
mufasir yang sangat subjektif. Subjektifitas pemahaman/penafsiran tersebut
terjadi karena; pertama, tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai penafsir
Al-Qur’an. Karena itu, ketika ia bertemu dengan ayat yang secara zahir
bertentangan dengan akal, mufasir langsung mengambil kesimpulan dan
menerjemahkan ayat tersebut secara literal, tanpa memandang konteks dan
kemungkinan makna lain yang dikandung ayat itu. Kedua, penafsiran yang
berorientasi untuk menjustifikasi pandangan golongan atau kelompok
tertentu, seperti yang dilakukan sebagian sekte Mu’tazilah, Bâbiyah,
Bahâ’iyah dan Ahmadiyah. Mereka menyelewengkan tafsir Al-Qur’an
menurut hawa nafsu, dan menolak teks-teks yang bertentangan dengan
akidah dan keyakinan mereka.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa potensi Ad-Dakhil
sudah ada sebelum Islam hadir di jaziah Arab. Kemudian benih-benihnya
mulai ada pada masa Rasul dan sahabat. Lalu benih-benih itu tumbuh pada
masa tabiin dan terus berkembang pada masa-masa setelahnya, terutama
pada masa dinasti Umayyah (661-750 M) dan dinasti ‘Abbasiyah (750-1258
M) ketika kebudayaan, tradisi penerjemahan dan kajian-kajian ilmiah dalam
berbagai disiplin ilmu ditumbuh suburkan.

C. Sumber Tafsir Al-Ashil


Sumber-sumber tafsir mengandung arti adanya faktor-faktor yang
dapat dijadikan acuan dalam memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Ia
dapat digunakan sebagai penjelas, perbendaharaan dan perbandingan
dalam menafsirkan. Dengannya, hasil penafsiran itu walau tidak semuanya
benar namun setidaknya dapat mendekati kepada maksud asli ayat yang
bersangkutan.
Sumber tafsir adalah:

7
Referensi utama yang dijadikan rujukan oleh seorang mufassir ketika
menafsirkan al-Qur’an.
Sumber tafsir al-ashil yakni dapat digolongkan atas dua
pengelompokan, yaitu: bi al-ma’tsur (bi ar-riwayah au bi al-manqul) dan
bi ar-ra’yi (bi ad-dirayah au bi al-ma’qul).
a. Tafsir bi Al-Ma’tsur
Tafsir bi Al-Ma’tsur juga bisa disebut dengan tafsir bi ar-riwayah
dan bi al-manqul. Dinamakan dengan bi al-ma’tsur (dari kata “atsar” yang
berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam melakukan
penafsiran, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu
dari generasi sebelumnya, hingga kepada masa nabi ‫ﷺ‬.
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah tafsir dengan riwayat, dikatakan
demikian, karena semua yang dinukilkan pada saat ini melalui jalur
periwayatan yang dapat dirujuk. Tafsir bi al-Ma’tsur terbagi menjadi
beberapa pembahasan yang secara detail telah kami jelaskan dalam tulisan
kami al-Bidayah Fi Ushul at-Tafsir lengkap dengan dalil contoh dan
argumentasi yang kuat, tafsir bi al-Ma’tsur terbagi menjadi beberapa
pembahasan yaitu:
a. Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
b. Penafsiran Al-Qur’an dan as-Sunnah
c. Penafsiran Al-Qur’an dengan pendapat para ulama salaf.
d. Penafsiran Al-Qur’an dengan kaidah bahasa
e. Penafsiran Al-Qur’an dengan riwayat Isra’iliyat.

b. Tafsir bil al-Ra’yi

Secara bahasa al-Ra’yi berarti al-I’tidaqu (keyakinan), al-‘Aqlu


(akal) dan al-Tadbiru (perenungan). Al-Ra’yi juga identik dengan Ijtihad.
Karena itu tafsir bi al-Ra’yi disebut juga dengan Tafsir bi al-Dirayah dan
tafsir bi al-ijtihady, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.

Menurut istilah, tafsir bi al-Ra’yi adalah upaya untuk memahami


nash Al-Qur’an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufasir) yang

8
memahami betul bahasa arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-
lafadznya dan dalalahnya, mengerti syiar syair arab sebagai dasar
pemaknaan, mengetahui betul ashab nuzul, mengerti nasikh dan mansukh
di dalam Al-Qur’an, dan mneguasai juga ilmu-ilmu lainyang dibutuhkan
seorang mufassir.

Tafsir jenis ini terbagi atas dua bagian, yaitu tafsir yang bisa
diterima atau disebut juga dengan Mahmudah dan tafsir yang tidak bisa
diterima disebut juga dengan Mazmumah.6

D. Faktor Penyebab Berkembangnya Ad-Dakhil


Beberapa faktor yang melatarbelakangi kemunculan dan
perkembangan Ad-Dakhil dalam tafsir Al-Qur’an adalah:
a. Faktor Politik dan Kekuasaan
Pertentangan politik yang timbul sejak akhir kekhalifahan ‘Ustman
ibn ‘Affan dan awal kekhalifahan ‘Ali ibn Abi Thalib bisa dikatakan
sebagai sebab munculnya sekte-sekte yang saling menyerang dengan cara
membuat hadis-hadis dan beragam penafsiran sektarian. Syi’ah Rafidhah
misalnya, menafsirkan ayat Tabbat Yadâ Abî Lahabin wa Tabb (Q.S. al-
Lahab [111]:1) sebagai Abu Bakar dan ‘Umar ibn al-Khattab, Maraj al-
Bahrayn Yaltaqiyân (Q.S. al-Rahmân [55]:19) sebagai ‘Ali dan Fathimah,
al-Lu’lu’ wa al-Marjân (Q.S. al-Rahmân [55]:19) sebagai Hasan dan
Husayn, ‘An al-Naba’ al-‘Azhîm (Q.S. al-Naba’ [78]:2) sebagai Ali ibn
Abu Thalib, dan masih banyak lagi penafsiran-penafsiran subjektif yang
mendukung mazhab mereka.7
Setelah itu, datang masa-masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah.
Dinasti Abbasiyah berdiri di atas puing-puing dinasti Umayyah. Masa itu
merupakan masa transisi tampuk kekuasaan dari rezim ke rezim lain.
Sebagaimana lazimnya masa transisi, maka tentu saja tidak terjadi secara

6
Muhammad Novendri Spt, Al-Bidayah fi Ad-Dakhil, (Pekanbaru: Maktabah Umam,
2020), hlm. 32-35
7
Op. Cit., hlm. 193-224

9
seketika, tapi dilakukan dengan berbagai cara dan strategi. Salah satu
strategi yang digunakan adalah dengan kampanye terselubung atas nama
agama. Salah satunya adalah dengan manafsirakan ayat-ayat Al-Qur’an.
Contoh penafsiran infiltratif yang dilakukan adalah tafsir atas firman Allah
Swt.

ِ ‫ك اِاَّل فِْتنَ ةً لِّلن‬


‫َّاس‬ َ ‫الر ْءيَ ا الَّٓيِت ْٓ^]ٓي اََر ْي ٰن‬ ِ ۗ ‫ك اَ َح ا َط بِالنَّا‬
ُّ ‫س َو َم ا َج َع ْلنَ ا‬
ِ َ‫واِ ْذ ُقْلن ا ل‬
َ َّ‫ك ا َّن َرب‬
َ َ َ

ࣖ ‫َّجَرةَ الْ َم ْلعُ ْونَةَ ىِف الْ ُق ْراٰ ِن ۗ َوخُنَِّو ُف ُه ۙ ْم فَ َما يَِزيْ ُد ُه ْم اِاَّل طُ ْغيَانًا َكبِْيًرا‬
َ ‫َوالش‬
“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu:
“Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami
tidak menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan kepadamu,
melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang
terkutuk dalam Al-Quran. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang
demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (Q.S. al-
Isrâ’ [17]: 60)
Diriwayatkan dari Ya‘lâ ibn Murrah bahwa yang dimaksud dengan
al-shajarah al-mal‘ûnah adalah Bani Umayyah. Mereka meriwayatkan
dari ‘Aisyah bahwa dia berkata kepada Marwan ibn Hakam (w. 65 H),
“Saya mendengar Rasul Saw berkata kepada ayah dan kakekmu, (wahai
Marwan), kalian (Bani Umayyah) adalah al-shajarah al-mal‘ûnah (pohon
terkutuk) yang disebutkan dalam Q.S. al-Isrâ’ [17] ayat 60.”

b. Faktor Kebencian Terhadap Islam


Golongan yang tidak senang dengan Islam sengaja membuat
berbagai riwayat palsu dengan tujuan untuk mengoyak Islam secara
internal. Berbagai penafsiran yang tidak memiliki dasar kuat mereka buat
dan sebarkan di tengah-tengah umat. Salah satu contoh Ad-Dakhil melalui
hadis palsu yang dibuat dalam konteks ini adalah kisah Gharânîq, yang
dikaitkan dengan asbab nuzul Q.S. al-Hajj [22]: 53.

10
‫اس يَ ِة ُقلُ ْوبُ ُه ۗ ْم َواِ َّن ال ٰظّلِ ِمنْي َ لَِف ْي‬
ِ ‫الش ي ٰطن فِْتنَ ةً لِّلَّ ِذين يِف ُقلُ وهِبِم َّمرض َّوالْ َق‬
ٌ َ ْ ْ ْ َْ
ِ
ُ ْ َّ ‫لِّيَ ْج َع َل َم ا يُْلقى‬
ۙ ‫ق بَعِْي ٍد‬
ٍ ۢ ‫ِش َقا‬
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak
(pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan,
setanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah
menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayatNya.” (Q.S. al-Hajj [22]:53).
Tentu riwayat gharaniq ini dianggap tidak rasional dan
bertentangan dengan logika hukum ishmah al-nubuwah (perlindungan
terhadap Nabi ‫) ﷺ‬. Karenanya tidak berlebihan jika para
pakar hadis dan tafsir membantah status riwayat tersebut dari da’i
menggolongkannya ke dalam hadits palsu. Beberapa diantaranya adalah
Ibn ‘Athiyah (481-541 H) dan Syihabuddin al-Alusi (1217-1270 H).

c. Faktor Fanatisme
Fanatisme adalah sikap yang tidak baik, sebab sikap ini dapat
merusak objektifitas mufasir. Diantara contoh ad-dakhil yang disebabkan
faktor fanatisme adalah penafsiran sebagian kelompok Syi‘ah terhadap
Q.S. al-Mâ’idah [5]:55. Mereka mengatakan bahwa ketika ‘Ali ibn Abi
Thalib sedang shalat tiba-tiba datang seorang pengemis, maka Ali –yang
sedang dalam keadaan ruku’- memberikan cincin kepada si pengemis itu.
Terkait dengan kejadian inilah, maka Q.S. al-Mâ’idah [5] ayat 55 itu
diturunkan. Contoh lain adalah penafsiran kaum Syi‘ah atas Q.S. Qâf
[50]:24. Mereka melansir sebuah riwayat palsu yang berbunyi: “Ketika
kiamat datang, Allah berfirman kepadaku (Muhammad) dan ‘Ali ibn Abi
Thalib: ‘Masukkanlah orang-orang yang kalian cintai ke surga, dan
masukkanlah orang-orang yang kalian benci ke neraka. Riwayat ini —
menurut mereka— merupakan tafsiran ayat Alqiyâ fî Jahannama Kulla

11
Kaffârin ‘Anîd (Q.S. Qâf [50]: 24). Hal yang sama juga dilakukan oleh
pengikut Muktazilah, Khawarij, Murji’ah dan sekte-sekte lainnya.

d. Faktor Perbedaan Mazhab


Perbedaan (ikhtilâf) adalah suatu kepastian, sunnatullah, dan
manusia tidak mungkin untuk menghindarinya. Ikhtilâf dapat dibenarkan
selama tidak menyangkut masalah akidah yang prinsip, melainkan dalam
masalah furû‘. Karena itu, kehadiran berbagai macam sekte kerap menjadi
bumerang bagi umat Islam. Mereka tidak segan-segan menjadi kan Al-
Qur’an sebagai alat justifikasi terhadap ajaran sekte mereka. Salah satu
contonya adalah apa yang dilakukan Ahmadiyah Qadyan. Karena
meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi, maka
berbagai ayat yang memungkinkan untuk dijadikan pembenar ajaran
tersebut, mereka tafsirkan secara subjektif sesuai ajarannya. Ketika
menafsirkan Q.S. al-Nisâ’ [5]:69 misalnya, mereka mengatakan bahwa
frase min al-nabîyîn wa al-shiddîqîn wa alsyuhadâ’ wa al-shâlihîn adalah
penjelasan (bayân) bagi frase sebelumnya; wa man yuthi‘illah wa al-rasûl.
Berdasarkan penjelasan semacam ini maka umat Muhammad sangat
dimungkinkan untuk mencapai empat derajat sebagaimana disebutkan
pada ayat tersebut, yakni; kenabian (al-nubûwah), kebenaran (al-
shiddîqîyah), persaksian (al-syahâdah), dan kebaikan (al-shalâh). Dengan
demikian, semua orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya
dimungkinkan dapat mencapai derajat kenabian, seperti halnya Ghulam
Ahmad.
Tafsiran sektarian yang subjektif semacam inilah yang menjadikan
ad-dakhil dalam tafsir Al-Qur’an semakin tumbuh subur. Padahal ketika
mufasir melihat ayat di atas secara jujur dan objektif, tanpa terbelenggu
dengan doktrin kenabian Ghulam Ahmad, maka ia akan mampu
mempersembahkan penafsiran yang universal dan kompatibel untuk semua
anak zaman. Penafsiran mayoritas ulama menjelaskan bahwa ayat di atas
merupakan tafsiran bagi ayat ketujuh surat al-Fâtihah. Artinya, jalan bagi

12
orang-orang yang tidak tersesat dan tidak dimurkai Allah adalah ketaatan
kepada Allah dan Rasul-Nya yang sudah direfleksikan dan diaplikasikan
oleh para Nabi, shiddîqîn, syuhadâ’ dan shâlihîn.8

e. Faktor Ketidaktahuan
Niat baik yang tidak dilandasi pengetahuan yang cukup tidak
selamanya berimplikasi kepada kebaikan. Salah satu contohnya adalah apa
yang dilakukan sebagian muballigh yang dengan sengaja melansir riwayat
tanpa mengetahui status dan validitas riwayat tersebut. Alih-alih membawa
kebaikan, riwayat-riwayat semacam itu bisa jadi malah menimbulkan
polemis yang berkepanjangan.9
Menurut catatan al-Suyûthî (849-911 H), diantara orang-orang
yang kerap membuat riwayat palsu dengan maksud baik tapi tidak
dibarengi dengan ilmu yang mendalam adalah Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abu
Maryam (w.173 H), Maysarah ibn ‘Abdi Rabbih, Bazî‘ ibn Hassân dan
Mukhlid ibn ‘Abd al-Wâhid. Mereka sengaja membuat riwayat-riwayat
palsu mengenai keutamaan (fadhî’il) surat-surat Al-Qur’an dengan tujuan
agar umat Islam gemar membaca dan mengamalkan Al-Qur’an. Riwayat-
riwayat palsu itu kemudian dinukil oleh sebagian mufasir seperti al-
Zamakhsyari (467-538 H). Di dalam tafsirnya, al-Zamakhsyari melansir
berbagai riwayat mengenai keutamaan surat-surat Al-Qur’an seperti surat
al-Nâzi‘ât, al-Infithâr, al-Burûj, al-Fajr, al-Dhuhâ, al-Tîn, al-Takâtsur, al-
Kautsar, al-Kâfirûn dan beberapa surat lainnya. Namun setelah diselidiki
ternyata status riwayat-riwayat tersebut tidak valid dan karenanya dapat
dikategorikan sebagai ad-dakhil (tafsir ilfiltratif).

E. Klasifikasi Bentuk Ad-Dakhil


Contoh:
1. Penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an
8
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm, (Kairo: Dâr al-Turâts, 2000), Juz 1, hlm. 75.
9
Jalaluddin al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî, (Kairo: Dâr al-Manâr, 2000), Juz 1, hlm. 282-
289.

13
ُ ۙ ‫ىك َما الطَّا ِر‬
‫ق‬ َ ‫َو َمٓا اَ ْد ٰر‬
“Dan tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?”
(Q.S. Ath-Thariq [86] : 02)

Kata ath-thariq ditafsirkan dengan ayat al-Qur’an pada lanjutan ayat


berikutnya (ayat ke-3).

ُ‫َّج ُم الثَّاقِ ۙب‬


ْ ‫الن‬
“(yaitu) bintang yang bersinar tajam,” (Q.S. Ath-Thariq [86]: 03)

2. Penafsiran al-Qur’an dengan as-Sunnah


Contohnya dalam firman Allah ‫ﷻ‬:
ۤ ِ ِِ
‫ب‬
ُ ‫ص ٰح‬ َ ‫۞ للَّذيْ َن اَ ْح َسنُوا احْلُ ْسىٰن َو ِزيَ َادةٌ ۗ َواَل َيْر َه ُق ُو ُج ْو َه ُه ْم َقَت ٌر َّواَل ذلَّةٌۗ اُو ٰل ِٕى‬
ْ َ‫ك ا‬
‫اجْلَن َِّة ُه ِف ْم ْي َها ٰخلِ ُد ْو َن‬
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik
(surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Dan wajah
mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dalam kehinaan.
Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S.
Yunus [10]: 26)
Nabi ‫ ﷺ‬telah menafsirkan kata ziyadatun
(tambahan) dengan: “Melihat wajah Allah ‫ﷻ‬,” sebagaimana
dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim
secara jelas dari hadis Abu Musa dan Ubay bin Ka’ab, dan juga
diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari hadis Ka’ab bin Uzrah, dan dalam
Shahih Muslim dari Suhaib bin Sinan.

3. Penafsiran al-Qur’an dengan Pendapat Para Ulama Salaf


Di antara contoh penafsiran al-Qur’an dengan ucapan sahabat
adalah sebagai berikut.

14
‫وة فَا ْغ ِس لُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم َواَيْ ِديَ ُك ْم اِىَل الْ َمَرافِ ِق‬ َّ ‫ٰيٓاَيُّ َه ا الَّ ِذيْ َن اٰ َمُن ْٓوا اِذَا قُ ْمتُ ْم اِىَل‬
ِ ‫الص ٰل‬

‫َو ْام َس ُح ْوا بُِرءُْو ِس ُك ْم َواَْر ُجلَ ُك ْم اِىَل الْ َك ْعَبنْي ۗ ِن َواِ ْن ُكْنتُ ْم ُجنُبً ا فَ اطَّ َّهُر ْو ۗا َواِ ْن ُكْنتُ ْم‬
ِ ٰ ِ ٍ ٰ ٓ
ً‫ِّس اۤءَ َفلَ ْم جَت ُد ْوا َم اۤء‬
َ ‫َّم ْر ٰض]ى اَْو َعلى َس َفر اَْو َج اۤءَ اَ َح ٌد ِّمْن ُك ْم ِّم َن الْغَاۤ ِٕىط اَْو ل َم ْس تُ ُم الن‬
‫صعِْي ًدا طَيِّبًا فَ ْام َس ُح ْوا بُِو ُج ْو ِه ُك ْم َواَيْ ِديْ ُك ْم ِّمْنهُ ۗ َما يُِريْ ُد ال ٰلّهُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُك ْم ِّم ْن‬
َ ‫َفَتيَ َّم ُم ْوا‬
‫َحَر ٍج َّوٰل ِك ْن يُِّريْ ُد لِيُطَ ِّهَر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكُر ْو َن‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak


melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai
ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke
kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci);
usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.” (Q.S.
Al-Maidah [05]: 06)

‫ٰل َم ْس تُ ُم‬ Dalam riwayat yang sahih, dari Ibnu Abbas

ٰ
radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau menafsirkan
َ‫ِّس اۤء‬
َ ‫ل َم ْس تُ ُم الن‬
(menyentuh wanita) dengan makna jima’ (bersetubuh).

4. Penafsiran al-Qur’an dengan Kaidah Bahasa


Contoh ayat yang mengandung makna lughawiy, firman Allah
‫ ﷻ‬tentang orang-orang munafik:

15
‫ات اَبَ ًدا َّواَل َت ُق ْم َع ٰلى َقرْبِ ٖۗه اِن َُّه ْم َك َف ُر ْوا بِال ٰلّ ِه َو َر ُس ْولِه‬ ٍ ٰٓ
َ ‫ص ِّل َعلى اَ َح د ِّمْن ُه ْم َّم‬
َ ُ‫َواَل ت‬
‫َو َما ُت ْوا َو ُه ْم ٰف ِس ُق ْو َن‬
“Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan salat untuk
seseorang yang mati di antara mereka (orang-orang munafik),
selama-lamanya dan janganlah engkau berdiri (mendoakan) di atas
kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (Q.S. At-Taubah [09]: 84)

Makna ‫ صلى‬secara konotatif terbagi atas beberapa pengertian

seperti doa, salat, salawat, dll. Namun makna ‫ صلى‬yang cocok untuk
di sini adalah salat berdiri di hadapan orang yang meninggal dunia
untuk mendoakannya dengan syarat dan rukun tertentu (salat jenazah).
Contoh lain dari ayat yang terdapat di dalamnya mengandung
perbedaan makna lughawiy adalah firman Allah ‫ﷻ‬:
ِۗ ‫هِب‬ ِ‫هِل‬ ِ
‫ك َس َك ٌن هَّلُ ۗ ْم‬ َ ‫ص ِّل َعلَْي ِه ْما َّن‬
َ َ‫ص ٰلوت‬ َ ‫ص َدقَةً تُطَ ِّهُر ُه ْم َو ُت َز ِّكْي ِه ْم َ ا َو‬
َ ‫ُخ ْذ م ْن اَْم َوا ْم‬
‫َوال ٰلّهُ مَسِ ْي ٌع َعلِْي ٌم‬

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan


menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya
doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah
Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (Q.S. At-Taubah [09]: 103)

Yang dimaksud dengan ‫ص ِّل‬


َ di sini adalah doa, dengan dalil yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Abi Aufah, dia
berkata, “Apabila Nabi ‫ ﷺ‬dikirimi sedekah dari suatu
kaum, beliau mendoakan mereka. “Bapakku mendatangi beliau
dengan membawa sedekah, kemudian beliau berdoa: “Ya Allah,
berikanlah salat (keselamatan) atas keluarga Abu Aufah.”

16
5. Penafsiran al-Qur’an dengan riwayat Israilliyat
Salah satu riwayat israilliyat yang terdapat dalam kitab tafsir,
sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah surah Hud: 40.
‫ك اِاَّل‬ ِ ِ
َ َ‫َحىّٰت ٓى اذَا َج اۤءَ اَْمُرنَ ا َوفَ َار التَّن ُّْو ُر ُقْلنَ ا امْحِ ْل فْي َه ا ِم ْن ُك ٍّل َز ْو َجنْي ِ ا ْثَننْي ِ َواَ ْهل‬
ۙ

‫َم ْن َسبَ َق َعلَْي ِه الْ َق ْو ُل َو َم ْن اٰ َم َن ۗ َو َمٓا اٰ َم َن َم َع ٗٓه اِاَّل قَلِْي ٌل‬


“Hingga apabila perintah Kami datang dan tanur (dapur) telah
memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalamnya (kapal
itu) dari masing-masing (hewan) sepasang (jantan dan betina), dan
(juga) keluargamu kecuali orang yang telah terkena ketetapan
terdahulu dan (muatkan pula) orang yang beriman.” Ternyata orang-
orang beriman yang bersama dengan Nuh hanya sedikit.”

Para ulama tafsir berbeda pendapat dalam menafsirkan pada


makna ‫ قَلِ ْي ٌل‬dalam ayat ini. Ada yang mengatakan 8 orang atau 7 orang,
ada pula yang mengatakan 9 atau 10 orang selain istrinya, dan ada
yang mengatakan 80 orang.10

10
Op. cit., hlm. 39

17
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
hal-hal berikut:
1. Al-Ashil menurut bahasa adalah sesuatu yang memiliki asal yang kuat
dalam objek yang dimasukinya. Sedangkan Ad-Dakhil adalah tafsir
atau penafsiran yang tidak memiliki asal sedikitpun dalam agama
dengan merusak kandungan Al-Qur’an.
2. Embrio Ad-Dakhil sejatinya telah muncul sejak sebelum Islam lahir di
jazirah Arab. Pasalnya, sebelum Islam datang di Jazirah Arab, telah
ada sekelompok Ahli Kitab yang sebagian besar beragama Yahudi.
Mereka berhijrah dan masuk jazirah Arab pada sekitar tahun 70
Masehi. Mereka ber mukim di sebuah lembah yang dikelilingi oleh
pegunungan serta terdapat banyak pohon kurma, tempat itu
dinamakan Yatsrib.
3. Sumber tafsir al-ashil yakni dapat digolongkan atas dua
pengelompokan, yaitu: bi al-ma’tsur (bi ar-riwayah au bi al-manqul)
dan bi ar-ra’yi (bi ad-dirayah au bi al-ma’qul).
4. Beberapa faktor yang melatarbelakangi kemunculan dan
perkembangan Ad-Dakhil dalam tafsir Al-Qur’an adalah:
- Faktor Politik dan Kekuasaan
- Faktor Kebencian Terhadap Islam
- Faktor Fanatisme
- Faktor Perbedaan Mazhab
- Faktor Ketidaktahuan
5. Klasifikasi Ad-Dakhil adalah: penafsiran Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan As-Sunnah, penafsiran Al-
Qur’an dengan pendapat para ulama salaf, penafsiran Al-Qur’an
dengan kaidah bahasa, penafsiran Al-Qur’an dengan riwayat
israiliyyat.

18
B. Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca agar mencari referensi lebih
lanjut karena sumber yang penulis gunakan dalam menyelesaikan makalah
ini sangat terbatas.

19
DAFTAR PUSTAKA

‘Umar, Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad. ad-dakhilfî Tafsîr al-Qur’ân al-


Karîm. Kairo: Universitas Al-Azhar.

Al-Dzahabi, Muhammad Husayn. 1976. al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Kairo: Dâr


al-Kutub wa al-Hadîts.

Al-Suyûthî, Jalaluddin. 2000. Tadrîb al-Râwî, Juz 1. Kairo: Dâr al-Manâr.

Aram, Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah. 1998 M/1414 H. As-Sabil ila


Ma'rifat alAshil wa al-Dakhil fi al-Tafsir. Zaqaziq: Misr.

Fayed, Abdul Wahhab. 1978. ad-dakhilfî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm. Kairo:


Matba’ah al-Hadharah al‘Arabiyah.

Katsir, Ibnu. 2000. Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm. Juz 1, Kairo: Dâr al-Turâts.

Novendri Spt, Muhammad. 2020. Al-Bidayah fi Ad-Dakhil. Pekanbaru: Maktabah


Umam.

Nurisman. 2014. Al-Ashil Wa Dakhil Fi Tafsir. Vol. XI. No. 2, Juli – Desember
ISSN: 1693-9867

20

Anda mungkin juga menyukai