Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

AL-DAKHIL FI AL-TAFSIR: ASAL-USUL, SEJARAH PERKEMBANGAN,


DAN MACAM-MACAMNYA

Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Ashil Wa Al-Dakhil Fi


At-Tafsir yang Diampu Oleh Bapak:

Delta Yaumin Nahri, M.Th.I.

OLEH:

Rizal Umam (19382051064)

Moh. Irwanto Wahyudi (19382051068)

Karuma Afada Himayah (19382052012)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

2021

i
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Segala puja dan puji hanyalah tercurahkan kepada Allah swt. Tuhan
semesta alam. Shalawat serta dalam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw. sebagaimana suri tauladan bagi umat manusia. Dialah Rasulallah,
penyampai, pengamal, serta penafsir pertama dan utama terhadap Al-Quran Al-
Karim.

Atas rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan


makalah Al-Ashil Wa Al-Dakhil Fi At-Tafsir ini, dengan judul “Al-Dakhil Fi Al-
Tafsir: Asal-Usul, Sejarah Perkembangan, dan Macam-Macamnya”. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Besar harapan
penulis agar agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan
saran demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan
pemahaman serta menambah wawasan kepada pembaca mengenai materi makalah
ini. Tak lupa pula, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada yang
membacanya. Penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam proses
pembuatan makalah ini.

Pamekasan, 18 Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

BAB III PENUTUP .............................................................................................

A. Kesimpulan .............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tafsir adalah produk pemikiran manusia, yang mana hal itu tidak akan
lepas dari kekurangan atau penyelewengan. Di antara bentuk penyelewengan itu
adalah dimasukkannya data-data yang tidak valid ke dalam pembahasan tafsir Al-
Quran yang kemudian disebut dengan istilah Al-Dakhil. Penafsiran ini tidak
terjadi pada era kontemporer, tetapi juga sudah terjadi sejak masa-masa klasik.
Hal itu dapat dijumpai dalam beberapa karya tafsir klasik maupun modern,
dengan adanya sistem, orientasi dan metode penafsiran yang tidak sesuai.
Kecenderungan-kecenderungan itu semakin tampak seiring dengan munculnya
pola-pola baru dalam menafsirkan Al-Quran. Karena adanya penyelewengan tafsir
yang terjadi, para ahli Al-Quran melakukan kritik evaluatif dengan membuat
metode dan prosedur kritiknya. Diantarnya: metode kritik terhadap hadis maudlu’¸
kritik isra’iliyyat, dan kritik al-dakhil dalam karya-karya tafsir.1 Istilah Al-Dakhil
merupakan penafsiran yang tidak berlandaskan pada kaidah-kaidah penafsiran
yang telah disepakati oleh ulama. Penafsiran model ini dapat berakibat pada
kerancuan serta menyesatkan umat, sehingga umat Islam akan kehilangan
petunjuknya yang benar. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa Al-Quran
merupakan kitab petunjuk bagi manusia dan rahmat bagi seluruh alam semesta.2
Kaum muslimin menyadari bahwa tiada kemuliaan bagi mereka kecuali
berpegang teguh pada Al-Quran dan As-Sunnah. Namun kitab-kitab suci yang
Allah turunkan kepada para utusan-Nya tidak jarang mendapatkan hujatan bahkan
penyelewengan dari para pengikutnya. Al-Quran tetap saja mendapatkan hujatan
dari berbagai pihak baik itu dari ekstern umat Islam mauun intern umat Islam itu
sendiri. Dalam penjagaan keaslian Al-Quran yang terkandung dalam Ulumul
Quran (ilmu-ilmu Al-Quran), ada satu ilmu yang berfungsi membersihkan

1
Muhammad Ulinnuha, “Konsep Al-Ashil Dan Al-Dakhil Dalam Tafsir Al-Quran”, Jurnal
Madania, Vol. 21, No. 2, hlm 127-128.
2
Mujiburrohman, “Al-Dakhil Dalam Ra’yi Dan Ma’tsur”, Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan
Penelitian Ke-Islaman, Vol. 6, No. 1, hlm 82.

1
sekaligus mensterilisasi Al-Quran dari hal-hal yang bukan sebenarnya dari Al-
Quran, yang dikenal dengan ilmu Ad-Dakhil.3
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan al-dakhil?
2. Bagaimana asal usul serta perkembangan kajian al-dakhil?
3. Apa saja macam-macam al-dakhil?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan serta
pemahaman mengenai “Al-Dakhil Fi Al-Tafsir: Asa Usul, Sejarah Perkembangan,
dan Macam-Macamnya”. Diantaranya penjelasan bertujuan untuk mengetahui:
1. Untuk mengetahui pengertian dari al-dakhil.
2. Untuk mengetahui asal usul serta perkembangan kajian al-dakhil.
3. Untuk mengetahui macam-macam al-dakhil.

3
Rofiq Junaidi, “Al-Ashil Wa Dakhil Fi Tafsir”, Jurnal Al-A’raf, Vol. XI, No. 2, hlm 69-70.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Dakhil
Al-Dakhil secara bahasa memiliki arti “sesuatu yang masuk”. Seperti
ungkapan “Da’un Dakhil” yang berarti penyakit yang masuk ke dalam anggota
badan. Menurut Al-Raghib Al-Asfahany “Al-Dakhil” adalah kata kiasan yang
bermakna rusak atau permusuhan yang tersembunyi. Al-Dakhil menurut ulama
tafsir didefinisikan dengan “al-tafsir alladhy la asla lahu fi al-din...”, yaitu
penafsiran yang tidak mempunyai pijakan dalam agama yang menyelinap ke
dalam makna dan kandungan Al-Quran disaat terjadi kelengahan. Ad-Dakhil
masuk ke dalam kategori tafsir muncul setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. 4
Jamal Musthafa menyimpulkan bahwa yang disebut dengan al-dakhil dalam tafsir
adalah sesuatu yang dengan kebohongan dinisbatkan kepada Rasulullah saw.,
sahabat, dan tabi’in (penafsir Al-Quran dengan al-ma/’tsur yang tidak shahih),
atau sesuatu yang telah ditetapkan periwayatannya kepada sahabat, tabi’in, yaitu
penafsiran Al-Quran dengan al-ma’tsur yang shahih tetapi tidak memenuhi syarat-
syarat diterimanya periwayatan tersebut, atau sesuatu yang lahir dari pendapat
yang tercela (menafsirkan Al-Quran dengan pikiran yang salah). 5 Sedangkan
menurut istilah tafsir, Ibrahim Khalifah mengartikan al-dakhil dengan tafsir bi al-
ma’tsur dengan riwayat yang tidak sah, atau penafsiran yang sah akan tetapi tidak
memenuhi syarat-syarat penerimaan, atau penafsiran yang berasal dari pikiran
yang sesat. Definisi ini juga hampir sama dengan definisi yang diungkapkan oleh
Jum’ah Ali Abdul Qadir, bahwa al-dakhil adalah tafsir yang tidak mempunyai
dasar dalam agama.6
Untuk mempertajam pengertian al-dakhil secara etimpologi penting untuk
melihat pengertian yang berlawanan, yakni kata al-ashil. Penjelasan ini sebagai
upaya untuk memperoleh pemahaman yang lebih utuh. Ibnu Manzur misalanya
menjelaskan kata al-ashil dengan memberikan contoh kalimat syai’un asilun yang
4
Mujiburrohman, “Al-Dakhil Dalam Ra’yi Dan Ma’tsur”, Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan
Penelitian Ke-Islaman”, Vol. 6, No. 1, hlm 82.
5
Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, “Al-Dakhil Fi Al-Tafsir (Studi Kritis Dalam Metodologi
Tafsir)”, Jurnal Tafaqquh, Vol. 2, No. 2, hlm 78.
6
Moh. Alwy Amru Ghozali, “Menyoal Legalitas Tafsir (Telaah Kritis Konsep Al-Ashil Wa Al-
Dakhil)”, Jurnal Tafsere, Vol. 6, No. 2, hlm 73-74.

3
berati sesuatu yang memiliki asal-usul yang kuat, rajulun asilun yang berarti
pemuda yang memiliki asal-usul yang jelas serta memiliki akal yang kuat dan
sehat, ra’yun asilun yang berarti pendapat yang orisinil atau yang memiliki dasar
kebenaran.7
Berdasarkan pemaparan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa al-
dakhil adalah penambahan hal yan dapat merusak, yakni penambahan yang tidak
memiliki dasar, data, dan sumber yang valid. Secara khusus dalam pengertian ini
adalah penambahan hal yang merusak ke dalam penafsiran, baik yang bersumber
dari al-naql maupun al-‘aql.8 Al-dakhil atau penafsiran yang tanpa asas yang kuat
menurut para ulama tafsir masuk dalam kitab-kitab tafsir melalui dua sumber,
yaitu: dakhil fi al-manqul (ma’tsur) melalui riwayat isra’iliyyat (riwayat yang
bersumber dari ahlul kitab) dan hadis maudlu’ (palsu) dan dakhil fi al-ra’yi yang
bersumber dari akal yang fasid (rusak).9
B. Asal Usul Kajian Al-Dakhil
Embrio al-dakhil sejatinya telah muncul sejak sebelum Islam lahir di
Jazirah Arab. Pasaalnya, sebelum Islam lahir di Jazirah Arab, telah ada
sekelompok ahli kitab yang sebagian besar beragama Yahudi. Mereka berhijrah
dan masuk Jazirah Arab pada sekitar tahun 70 Masehi, mereka bermukim di
Yatsrib, sebagian ada juga yang hidup berkelompok di Yaman dan Yamamah.
Mereka datang berbondong-bondong ke Jazirah Arab karena ramalan para
pemuka agama mereka tentang diutusnya Nabi akhir zaman sebagai penerus Musa
yang akan mengembalikan mereka kepada tanah suci sebagaimana telah
dijanjikan Tuhan. Interaksi sosial yang berlangsung lama inilah yang
menyebabkan pertukaran kultur dan budaya diantara kaum Yahudi dan bangsa
Arab. Ketika Rasulullah saw. datang dengan syariat Islam dan memperluas medan
dakwah hingga menjamah Yatsrib, kemudian diikuti para sahabat yang berhijrah
dari Mekah menuju Madinah. Dari sinilah beberapa orang Yahudi masuk Islam,
diantaranya: Ka’b Ibn Mati’ Al-Humayri Al-Ahbar, ‘Abdullah Ibn Salam, dan

7
Siar Ni’mah, “Al-Dakhil Dalam Tafsir (Studi Atas Penafsiran Esoterik Ayat-Ayat Imamah
Husain Al- Tabataba’i Dalam Tafsir Al-Mizan)”, Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI AL
FITHRAH, Vol. 9, No. 1, hlm 47.
8
Ibid.
9
Mujiburrohman, “Al-Dakhil Dalam Ra’yi Dan Ma’tsur”, Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan
Penelitian Ke-Islaman”, Vol. 6, No. 1, hlm 82-83.

4
Tamim Al-Dari. Setelah memeluk Islam, mereka menjadi salah satu rujukan para
sahabat dalam menafsirkan Al-Quran.10
Lebih singkatnya, proses merasuknya al-dakhil ke dalam tafsir Al-Quran
paling tidak melalu dua jalan: Pertama, ketika Rasulullah saw. tinggal di
Madinah, beliau mendakwahi ahli kitab dari bangsa Yahudi sehingga terjadilah
pertemuan antara Nabi saw. dan sahabat dengan ahli kitab. Proses inilah yang
menyebabkan masuknya al-dakhil dalam tafsir. Kedua, masuknya sebagian orang
Yahudi ke dalam Islam, yang kemudian sebagian sahabat bertanya kepada mereka
mengenai isi Taurat dan Injil, terutama mengenai cerita umat terdahulu yang
disebutkan secara global di dalam Al-Quran, maka terjadilah kontak pengetahuan
diantara mereka. Pada mulanya, Rasulullah melarang ketika Umar Ibn Al-Khattab
datang dengan membawa lembaran-lembaran kitab suci yang diperoleh dari ahli
kitab. Tetapi, ketika Islam sudah kuat dan tersebar ke seluruh penjuru Madinah
dan sekitarnya, Rasul pun mengizinkan sahabat untuk meriwayatkan cerita-cerita
isra’iliyyat selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kemudian pelansiran
riwayat isra’iliyyat dari ahli kitab semakin marak pada masa tabi’in sehingga
seorang pembaca tafsir akan sulit membedakan antara cerita yang shahih dan yang
dibuat-buat.11
Fenomena al-dakhil dalam tafsir Al-Quran khusunya al-dakhil bi al-
ma’tsur yang berasal dari isra’iliyyat tersu berkembang seiring dengan
perkembangan zaman. Adapun terkait dengan al-dakhil dalam tafsir bi al-ra’yi,
para ulama mencatat ada beberapa sebab yang turut mendorong
perkembangannya. Antara lain, yang paling utama adalah pemahaman mufassir
yang subjektif. Subjektifitas penafsiran mufassir tersebut terjadi karena: Pertama,
tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai penafsir Al-Quran. Karena itu, ketika ia
bertemu dengan ayat yang secara zahir bertentangan dengan akal, mufassir
langsung mengambil kesimpulan dan menerjemahkan ayat tersebut secara literal,
tanpa memandang konteks dan kemungkinan makna lain yang dikandung ayat itu.
Kedua, penafsiran yang berorientasi untuk menjustifikasi pandangan golongan
atau kelompok tertentu. Mereka menyelewengkan tafsir Al-Quran menurut hawa

10
Muhammad Ulinnuha, “Konsep Al-Ashil Dan Al-Dakhil Dalam Tafsir Al-Quran”, Jurnal
Madania, Vol. 21, No. 2, hlm 130-131.
11
Ibid.

5
nafsu, dan menolak teks-teks yang bertentangan dengan akidah dan keyakinan
mereka.12
Faktor penyebab masuknya al-dakhil ada dua:
1. Faktor eksternal/intervensi luar
Maksudnya adalah faktor yang datang dari orang-orang non-Islam, seperti
orang-orang Yahudi, Nasrani, athies dan lain sebagainya yang sangat
memusuhi Islam serta Al-Quran. Mereka bertujuan merusak Islam dan
mengotori ajaran-ajarannya dengan hal-hal yang tidak layak. Mereka
menyebar, menyelipkan serta menyimpangkan kebatilan-kebatilan Al-Quran
agar umat Islam merasa ragu terhadap kitab sucinya serta bercerai berai.
Akibatnya pemahaman terhadap Al-Quran menjadi sesat.
2. Faktor internal/dalam
Maksudnya adalah hal-hal negatif dalam tafsir yang datang dari mereka yang
mengaku bagian dari umat Islam. Padahal mereka memiliki hubungan yang
kuat dengan musuh Islam. Mereka hanya menjalankan setrategi yang
dirumuskan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan agama Islam,
yang bisa membuat umat Islam hancur, sesat dan bercerai berai.13
C. Perkembangan Kajian Al-Dakhil
Ketika Rasulullah saw. masih hidup, para sahabat menanyakan langsung
kepadanya apa yang tidak mereka pahami dalam hal agama dan maksud dari ayat-
ayat Al-Quran. Maka ketika menjelang akhir kehidupan Nabi, Allah swt.
menetapkan bahwa syari’at yang dibawanya telah sempurna, maka tidak ada
tambahan atau pengurangan apapun dalam dalam masalah syari’at. Pengembalian
permasalahan sahabat dikembalikan kepada Rasulullah saw. Para sahabat bertanya
kepada Nabi tentang ayat-ayat yang dianggap sulit. Oleh karena itu, tafsir sahabat
semuanya shahih dan benar. Kemudian berlanjut ke masa tabi’in. Pada masa ini
mulai terdapat kelemahan dalam tafsir. Mereka kurang berpegang pada manhaj
para sahabat dalam menyaring berita yang datang dari ahli kitab dan tidak
menelitinya dengan penelitian yang dalam. Ada beberapa tabi’in yang

12
Muhammad Ulinnuha, “Konsep Al-Ashil Dan Al-Dakhil Dalam Tafsir Al-Quran”, Jurnal
Madania, Vol. 21, No. 2, hlm 131-132.
13
Enok Ghosiyah, “Al-Dakhil Fi Al-Tafsir Sebagai Objek Kajian Ilmu Al-Quran”, Jurnal Al-Fath,
Vol. 09, No. 01, hlm 102.

6
memasukkan isra’iliyyat yang asing, dan cerita-cerita yang ajaib. Cerita-cerita
isra’iliyyat bertambah lebih banyak lagi pada masa setelah tabi’in.14
Beberapa faktor yang melatar belakangi kemunculan dan perkembangan
al-dakhil dalam tafsir Al-Quran, diantaranya:
1. Faktor politik dan kekuasaan.
Pertentangan politik yang timbul sejak akhir kekhalifahan Utsman Bin Affan
dan awal kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib bisa dikatakan sebagai sebab
munculnya sekte-sekte yang saling menyerang dengan cara membuat hadis-
hadis dan beragam penafsiran sektarian. Pada saat masa dinasti Umayyah dan
Abbasiyah, yang mana masa itu merupakan masa transisi tampuk kekuasaan
dari rezim ke rezim lain yang dilakukan dengan berbagai macam strategi. Salah
satu strategi yang digunakan adalah dengan kampanye terselubung atas nama
agama. Salah satunya adalah dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
2. Faktor kebencian terhadap Islam.
Golongan yang tidak senang dengan Islam sengaja membuat berbagai riwayat
palsu dengan tujuan untuk mengoyak Islam secara internal. Berbagai
penafsiran yang tidak memilikid dasar kuat mereka buat dan sebarkan di
tengah-tengah umat Islam.
3. Faktor fanatisme.
Fanatisme adalah sikap yang tidak baik, sebab sikap ini dapat merusak
objektifitas maufasir.
4. Faktor perbedaan madzhab.
Perbedaan (ikhtilaf) adalah suatu kepastian, sunnatullah, dan manusia tidak
mungkin untuk menghindarinya. Ikhtilaf dapat dibenarkan selama tidak
menyangkut masalah akidah dan prinsip, melainkan dalam masalah furu’.
Karena itu, kehadiran berbagai macam sekte kerap menjadi bumerang bagi
umat Islam. Mereka tidak segan-segan menjadikan Al-Quran sebagai alat
justifikasi terhadap ajaran sekte mereka.
5. Faktor ketidaktahuan.
Niat baik yang tidak dilandasi dengan pengetahuan yang cukup tidak
selamanya berimplikasi pada kebaikan. Alih-alih membawa kebaikan, namun

14
Rofiq Junaidi, “Al-Ashil Wa Dakhil Fi Tafsir”, Jurnal Al-A’raf, Vol. XI, No. 2, hlm 72-73.

7
apabila tidak mengetahui status dan validitas riwayatnya, maka hal itu bisa
menimbulkan polemis yang berkepanjangan. Status riwayat-riwayat yang tidak
valid dapat dikategorikan sebagai al-dakhil.15
D. Macam-Macam Al-Dakhil
Secara garis besar, al-dakhil dibagi menjadi dua macam, diantaranya: al-
dakhil fi al-manqul (ma’tsur) dan dakhil fi al-ra’yi.
1. Dakhil Fi Al-Manqul (Al-Ma’tsur)
Di dalam tafsir bi al-ma’tsur terdapat riwayat-riwayat yang shahih dan
maudlu’. Riwayat-riwayat yang shahih dapat diterima dan diamalkan
kandungannya. Sedangkan riwayat-riwayat yang maudlu’ tidak dapat diterima dan
diamalkan. Adapun sebab-sebab lemahnya riwayat dalam tafsir bi al-ma’tsur
diantaranya: al-wad’u, riwayat isra’iliyyat serta menghilangkan mata rantai
periwayatan (khadhf al-sinad).16 Al-dakhil bi al-ma’tsur itu sendiri meliputi dua
aspek, diantaranya: a). Memasukkan kebohongan dalam menafsirkan Al-Quran
dengan menyandarkan pada tabi’in, sahabat, hadis-hadis mursal yang tidak
dikutkan oleh hadis-hadis yang lain. b). Menafsirkan Al-Quran dengan
memasukkan hadis maudlu’, mardud, dha’if, atau isra’iliyyat yang bertentangan
dengan Al-Quran dan hadis shahih.17
2. Al-Dakhil Fi Ra’yi
Yang dimaskud al-dakhil bi al-ra’yi adalah menafsirkan Al-Quran dengan
menggunakan pemikiran yang salah dan sesat. Dengan asalan tidak kuatnya
seseorang memenuhi syarat ijtihad, ia menyalahgunakan aturan tafsir serta tidak
mengindahkan pemahamannya terhadap penafsiran. Akibatnya, ia membawa serta
hawa nafsu dan akal pikirannya untuk menafsirkan Al-Quran, yang karenanya
mendapatkan hasil pemikiran yang salah dan tercela. Al-dakhil bi al-ra’yi itu
sendiri meliputi: a). Lughah (bahasa), yaitu menafsirkan Al-Quran dengan
menggunakan bahasa atau hal-hal yang terkait dengan bahasaan yang tidak sesuai

15
Muhammad Ulinnuha, “Konsep Al-Ashil Dan Al-Dakhil Dalam Tafsir Al-Quran”, Jurnal
Madania, Vol. 21, No. 2, hlm 132-134.
16
Mujiburrohman, “Al-Dakhil Dalam Ra’yi Dan Ma’tsur”, Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan
Penelitian Ke-Islaman”, Vol. 6, No. 1, hlm 83.
17
Enok Ghosiyah, “Al-Dakhil Fi Al-Tafsir Sebagai Objek Kajian Ilmu Al-Quran”, Jurnal Al-Fath,
Vol. 09, No. 01, hlm 100.

8
pada tempatnya. b). Al-‘aql (akal), yaitu menafsirkan Al-Quran dengan rasio yang
sesat, baik di sengaja maupun tidak di sengaja.18
E. Aplikasi Kajian Fonologis Dalam Surah Al-Ashr (Reviu Jurnal)

Kesamaan atau kesesuaian bunyi huruf akhir pada dua kalimat atau lebih
dinamakan dengan sajak. Misalnya sajak dalam al-Qur'an pada surat al-'Ashr ayat
3 ditemukan empat bagian kalimat (kata) yang termasuk jenis sajak dengan huruf
akhirnya sama.

Sajak adalah kesamaan bunyi akhir pada tiap dua fashilah. Dengan kata
lain bahwa sajak merupakan kesamaan, kecocokkan atau kesesuaian pada dua
akhir kata pada huruf akhirnya Sajak di sini merupakan kesamaan huruf akhir
antara dua fashihah atau lebih. Fashilah adalah kata terakhir yang ada pada tiap
bagian kalimat atau tiap faqrah. Oleh karena itu, kesamaan bunyi pada setiap dua
kata atau lebih yang muncul dalam suatu kalimat termasuk sajak.

Sajak terdiri dari tiga jenis, yaitu sajak mutarraf, sajak al murashasha' dan
sajak al mutawazi. Sajak mutarraf merupakan sajak yang dua akhir kata memiliki
huruf akhir yang sama namun dengan wazan yang berbeda. Sedangkan sajak al
murashasha' adalah sajak yang rangkaian lafazhnya baik sebagian ataupun
keseluruhannya sama dengan lafazh perbandingannya Adapun sajak al mutawazi
yaitu letak kesamaan hurufnya terjadi pada bagian akhir kata sajak.

Dalam aksara Arab hanya terdapat tiga jenis vokal, yaitu A, I, dan U. Hal
ini berbeda dengan aksara latin yang juga mengenal vokal E dan O. Bunyi vokal
merupakan jenis bunyi bahasa yang dihasilkan dengan tanpa hambatan dalam alat
ucap setelah arus ujar keluar dari glotis, misalnya bunyi (a), (i), (u). Sedangkan
bunyi konsonan dihasilkan setelah arus ujar melewati pita suara dan kemudian ke
rongga mulut dengan mendapat hambatan dari artikulator aktif dan artikulator
pasif, diakhiri secara konsonan, misalnya bunyi (w), y).

Sedangkan bunyi vokal yang terkandung pada beberapa kata sajak tersebut
yaitu vokal /a/ sejumlah delapan huruf, vokal /u/ sejumlah empat huruf dan vokal i
sejumlah satu huruf. Jika huruf atau bunyi bunyi vokal tersebut diurutkan maka
18
Enok Ghosiyah, “Al-Dakhil Fi Al-Tafsir Sebagai Objek Kajian Ilmu Al-Quran”, Jurnal Al-Fath,
Vol. 09, No. 01, hlm 101.

9
menjadi a-a-u-i-u-a-a-a-u-a-a-a-u atau dengan pertambangan menjadi A-A-B-C B-
A-A-A-B-A-A-A-B.

Kemudian terdapat beberapa lafazh sajak dalam surat al-Ashr tersebut


yang menggunakan huruf konsonan /m/, yaitu sebanyak dua huruf. Sedangkan
bunyi konsonan lain yang terkandung pada beberapa kata sajak pada ayat tersebut
yaitu konsonan /n/, /a/, /l/, /t/./w/,dan /s. Konosnan /n/ sejumlah satu huruf dan
konsonan /a/ sejumlah satu huruf, serta konsonan N sejumlah satu huruf.
Sedangkan konsonan , /w/, dan /s masing-masing sejumlah dua huruf. Jika huruf
atau bunyi-bunyi konsonan tersebut diurutkan maka menjadi m-n-'a-m-1-t-w-s. t-
w-s atau dengan pertambangan menjadi A-B-C-A-D-E-F-G-E-F-G. Pada urutan
huruf tersebut menunjukkan konsonan /e/, /f/ dan /g/ yang berada di setiap dua
lafazh pada bagian belakang dengan diulang dua kali.

 kelebihan : dilengkapi dengan table,


 kekurangan : tidak mencantumkan terjemah ayat

BAB III

PENUTUP

10

Anda mungkin juga menyukai