Anda di halaman 1dari 9

Fenomena Jilbab Perspektif Tafsir Maqashidi

Abdullah Azzam Milenia


53020180092
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
Email: abdullahazzam928@gmail.com

ABSTRAK
Pemikiran Jasser Auda ingin mendekati hukum Islam dalam berbagai dimensi. Ini kemudian disebut
pendekatan multidisipliner. Pendekatan multidisiplinernya Ini mencakup aspek metodologi yang ditetapkan
oleh para sarjana sebelumnya, termasuk: ushul fiqh, ilmu tafsir, dll. Selain itu, pendekatan lapangan filsafat
dan teori sistem menjadi pendekatan yang paling penting untuk menentukan dinamika hukum Islam.
Pendekatan multidisipliner ini dikenal sebagai pendekatan maqashid yang dirumuskan Jasser Auda,
merupakan pendekatan teori fiqh yang bersifat holistik (kulliyun) dan tidak membatasi pada teks saja atau
hukum parsial. Namun lebih mengacu pada prinsip-prinsip tujuan universal. Mengenakan jilbab sebagai
kewajiban ajaran Islam bukan satu-satunya alasan wanita muslim perlu memakainya. Karena banyak faktor,
seseorang mengenakan jilbab baik secara internal maupun eksternal. Faktor internal berasal dari kesadaran
diri orang yang menjalankan syariat, sedangkan faktor eksternal berasal dari motivasi orang-orang
terdekatnya, adanya peraturan berjilbab dan pengaruh lingkungan. Fenomena fashion jilbab ini sedang
berkembang di Indonesia dan menciptakan tren baru dalam berjilbab. Fashion jilbab banyak sekali,
sehingga ada kegemaran wanita berjilbab. Namun memakai jilbab disini tidak hanya menutupi aurat, tetapi
juga memiliki unsur fashion. Oleh karena itu, penting untuk mempelajari konsep jilbab yang sebenarnya
dari sudut pandang Al-Qur'an, hadits, dan ulama.
Kata Kunci: Tafsir Maqoshidi, Fenomena Jilbab.

PENDAHULUAN
Salah satu isu yang masih ramai diperbincangkan saat ini adalah jilbab. Jilbab adalah kewajiban
seorang wanita muslim untuk menutupi auratnya. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan, tetapi juga mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk makan, minum, dan
berpakaian.1
Dalam kamus Al-Munawwir, Jilbab berasal dari kata jalaabiyah. Artinya baju kurung panjang,
sejenis jubah. Itu berasal dari akar kata jalaba yang berarti membawa dan mengumpulkan. Jilbab dalam
bahasa Arab disebut juga dengan satir, yaitu pemisah atau penutup. Menurut Tafsir Al-Maraghi, Jilbab
berarti baju kurung, yang menutupi seluruh tubuh wanita daripada pakaian atau kerudung biasa.

1
Astutik, “Jilbab Dalam Pandangan Fatima Mernissi (Studi Kasus Perkembangan Jilbab Di Iain Sunan Ampel
Surabaya Tahun 1982-2002),” hlm 1.
Berdasarkan konsep di atas, keduanya memiliki pengertian yang sama tentang jilbab, yaitu pakaian yang
menutupi aurat.2
Dalam Al-Qur’an, terdapat ayat yang menjelaskan tentang jilbab di antaranya yaitu Q.S Al-Ahzab ayat 59:

‫ﲗ ﲙﲚﲛﲜﲝ‬
‫ﲘ‬ ‫ﲍ ﲎ ﲏﲐﲑ ﲒ ﲓﲔ ﲕ ﲖ‬
‫ﲞ ﲠ ﲡ ﲢﲣ ﲤ‬
‫ﲟ‬

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Supaya mereka lebih mudah
dikenal, oleh karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Q.S An-Nur ayat 31:

‫ﲍﲏ‬
‫ﲀﲁ ﲂﲃﲄﲅﲆﲇﲈ ﲉﲊﲋﲌ ﲎ‬
‫ﲒ ﲔﲕﲖﲗﲘﲙﲚﲛ ﲜﲝﲞﲟﲠﲡﲢ ﲣ‬
‫ﲓ‬ ‫ﲐﲑ‬
‫ﲤ ﲥ ﲦ ﲧ ﲨ ﲩﲪ ﲫﲬ ﲭ ﲮﲯﲰ ﲱ ﲲ ﲳ ﲴﲵ ﲶ ﲷ‬
‫ﳈ ﳊ ﳋ ﳌﳍ‬
‫ﳉ‬ ‫ﲿ ﳁ ﳂﳃ ﳄ ﳅ ﳆ ﳇ‬
‫ﳀ‬ ‫ﲸ ﲹ ﲺ ﲻ ﲼﲽ ﲾ‬
‫ﳎ ﳏ ﳐﳑ ﳒ‬

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kepadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali
kepada suami mereka, ayah suami mereka, putera-putera suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka,
putera-putera saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, pelayan-
pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) dan anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.”
Ayat ini menjelaskan perintah Allah untuk mengenakan jilbab bagi semua wanita dan menutupinya
dengan kain buram yang tidak tembus pandang dan tidak ketat. Pelajaran dari ayat-ayat ini adalah bahwa
identitas muslimah berbeda dengan identitas muslimah lainnya dan mudah dikenali. Dengan adanya
perintah tersebut, seorang wanita juga tidak akan mudah diganggu dan keamanannya lebih terjamin untuk
menjaga martabatnya sebagai seorang wanita.
Latar belakang turunnya ayat ini adalah bahwa pada zaman Nabi Muhammad, ada seorang laki-
laki berjalan di salah satu kota di Madinah. Pria melihat wanita, wanita melihat pria. Pria itu berjalan menuju
dinding, menatap wanita itu tanpa mengkhawatirkan jejak kakinya, dan akhirnya dia menabrak dinding dan
hidungnya patah. Pria itu mengatakan dia tidak akan mencuci darah dari hidungnya sebelum pergi ke

2
Aisyie, “Jilbab Perspektif Tafsir Maqasidi Ibnu ‘ Ashur Dalam Tafsir Al-Tahrir Wa Al-Tanwir,” hlm 2.
Rasulullah. Setelah bertemu Rasulullah, laki-laki itu menceritakan apa yang telah dia alami, dan Rasulullah
mengatakan itu adalah hukuman atas dosa yang telah dia lakukan.
Selain dua ayat di atas, bagian yang menjelaskan istilah jilbab juga terdapat dalam surah Al-A’raf
ayat 46, Al-Isra’ ayat 45, Maryam ayat 17, Al-Ahzab ayat 53 dan Ash-Shura ayat 51.
Fenomena jilbab terus menjadi perdebatan dan kontroversi setelah berkembangnya ilmu
pengetahuan seperti feminisme dan isu gender. Seiring berjalannya waktu, hal itu juga mempengaruhi nilai
dari berjilbab. Berjilbab yang dulunya memiliki nilai etis, kini banyak kaitannya dengan tujuan mencapai
nilai estetika sebagai model berjilbab. Ini karena kemajuan teknologi, ekonomi dan lainnya.
Gaya jilbab yang ada saat ini memiliki model yang sangat berbeda dengan zaman dahulu yang lebih
sederhana dan hanya dikenakan oleh orang tua. Berbagai model jilbab yang ada di masyarakat
menimbulkan pertanyaan apakah jilbab merupakan tanda ketaatan seseorang dan apakah jilbab sekedar
mengikuti trend fashion yang ada atau sekedar adat istiadat yang turun-menurun.

PEMBAHASAN
A. Tafsir Maqashid
1. Definisi tafsir maqashid
Tafsir maqashid berasal dari dua kata, tafsir dan maqashid. Kata tafsir secara etimologi
berasal dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, yang berarti pembuktian. Ada yang mengatakan
bahwa kata tafsir berasal dari kata safru, ada pula yang mengatakan berasal dari kata tafsirah yang
artinya alat kedokteran yang digunakan untuk memeriksa pasien.3
Secara terminologi pengertian tafsir menurut Jalaluddin al-Suyuti adalah ilmu yang
membahas turunnya suatu ayat, situasi, kisah-kisah, asbab al-nuzul, makki-madani surat, muhkam
mutashabih, nasikh mansukh, mutlaq-muqayyad, mujmal mufassar, halal haram, janji dan
ancaman dan contoh dari perumpamaan itu.4
Dari tafsir-tafsir sebelumnya dapat kita simpulkan bahwa pengertian tafsir adalah ilmu
yang menjelaskan maksud Allah menurut kemampuan manusia.
Kata maqashid merupakan jamak dari maqashid-maqsud yang berarti makna. Menurut
Louis Ma'luf dalam kamus Munjid fial-Lughah, kata maqashid berarti takdir atau tempat tujuan.
Kata ini memiliki arti yang hampir sama dengan al-hadaf, al-gharad, al-matlub, al-ghayah, al-
hikam, al-ma'ani, al-asrar. Kata maqashid secara umum terdiri dari maqasid Al-Qur'an dan
maqasid al-shari’ah. Al-Qur'an dapat mencakup seluruh isi Al-Qur'an, tetapi maqasid al-shari’ah
hanya berisi masalah Fiqh. Tujuan Al-Qur'an sendiri memiliki arti tujuan mulia dari rangkaian
hukum-hukum Al-Qur'an. Maqashid al-syari'ah merupakan bidang ilmu yang membantu
menjawab berbagai pertanyaan. Maqasid al-shari’ah dapat menjelaskan hikmah di balik peristiwa
tersebut, seperti adanya kohesi sosial, merupakan hikmah berbuat baik kepada sesama.5
Dari penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa makna tafsir maqashid merupakan cabang
baru dalam penafsiran Al-Qur'an yang berorientasi pada maqashid, baik itu maqashid Al-Qur'an
maupun maqasid al-shari’ah. Munculnya pendekatan baru terhadap tafsir Al-Qur'an disebabkan
adanya kegagalan produk tafsir dalam mengkompromikan antara wawasan teks, konteks dan
kontekstualisasi.

3
AISYIE, hlm 19.
4
AISYIE, hlm 20.
5
Auda, “The ‘Imams of Maqāṣid’ (Fifth To Eighth Islamic Centuries),” hlm 6.
2. Fenomenal tafsir maqashid
Kata maqashid bukanlah hal yang baru secara genetis karena sudah ada dalam kitab-kitab
yang ditulis oleh para ulama fiqh, namun belum menjadi satu kesatuan dan bercampur dengan dalil
qiyas. Secara umum, sejarah tafsir maqashidi dapat dibagi menjadi tiga era: era ta’sis, era tadwin,
dan era tajdid.6 Penjelasan dari ketiga periode tersebut adalah sebagai berikut:
a. Era ta’sis
Setelah Pertempuran Yamama di masa Khalifah Abu Bakar, yang menyebabkan banyak
syahidnya sahabt penghafal Al-Qur'an, Umar bin Khattab menyampaikan kepada Khalifa Abu
Bakar ide untuk memasukkan Al-Qur'an ke dalam satu mushaf. Namun, gagasan Umar bin
Khattab ditolak oleh Abu Bakar karena Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya dan
dianggap bid’ah. Setelah Umar bin Khattab mengumumkan maqashidnya (niatnya), Khalifah
Abu Bakar akhirnya menerima masukan tersebut.7
b. Era tadwin
Pada masa inilah teori maslahah mulai dirumuskan. Dalam hal ini, tidak menutup
kemungkinan adanya maslahah yang tidak sesuai dengan nas. Jika maslahah bertentangan
dengan nas, maka maslahah yang diutamakan. Pada era tadwin ini, maqasid al-syari'ah
dirumuskan dan dibagi menjadi lima maqashid. Yaitu, pertama adalah pemeliharaan agama
(hifz al-din). Kedua, menjaga kelangsungan hidup (hifz al-nafs). Ketiga, menjaga nasab atau
keturunan (hifz al-nasl). Keempat, menjaga harta benda (hifz al-mal). Kelima, menjaga akal
(hifz al-'aql).8
c. Era tajdid
Pada masa ini, maqashid al-syari'ah mulai terjadi pembaharuan dari pandangan klasik menjadi
protection and preservation. Munculnya tokoh-tokoh modern seperti Jasser Auda, a yang
mengubah menjadi konsep development and rigths. Sejak konsep menjaga agama (hifz al-din)
di maqashid al-syari'ah, yang semula berakar pada hukum riddah, telah berubah menjadi
kebebasan beragama (freedom of religion). Adanya hukuman atas perbuatan riddah dianggap
sebagai pelanggaran HAM.9

3. Urgensi tafsir maqashid


Ayat-ayat Alquran tidak semuanya dipahami oleh manusia secara langsung. Sebab, Al-
Qur'an memiliki ayat-ayat yang bersifat mutashabih yang maknanya hanya dapat dipahami melalui
penafsiran dan penjelasan yang lebih rinci.
Selain itu, tafsir maqasidi sangat penting bagi moderasi islam, dalam perbedaan
epistemologis antara pendekatan tafsir tekstualis-skriptualis-literalis dan pendekatan de-tekstualis-
liberalis. Kedua pandangan ini saling bersebrangan satu sama lain. Paradigma pertama
menganggap teks sebagai asl (pokok) dan konteks sebagai far' (cabang). Paradigma pertama hanya
bertumpu pada teks dan tidak terbuka dengan model hermeneutis (ya’ budun al-nushus),
sedangkan paradigma kedua lebih membuka diri pada pendekatan hermeneutis yang masih
diperdebatkan oleh para ulama hingga kini dan cenderung yu’attilun al-nushus (de-sakralitas
teks).10

6
Umayah, “Tafsir Maqashidi: Metode Alternatif Dalam Penafsiran Al-Qur’an,” hlm 42.
7
Hamam and Thahir, “Menakar Sejarah Tafsir Maqāṣidī,” hlm 6.
8
Hamam and Thahir, hlm 6.
9
Hamam and Thahir, hlm 6.
10
Mustaqim, Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Modernisasi Islam, hlm 14.
B. Jilbab
1. Definisi jilbab
Banyak arti dari kata jilbab yang sebenarnya merupakan kosa kata bahasa Arab. Jilbab
adalah jamak jalaabiib, yang berarti baju kurung panjang. Artinya pakaian yang luas yang dapat
menutupi aurat wanita, kecuali wajah dan telapak tangan.11
Jilbab, dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai kerudung lebar
yang dikenakan oleh wanita muslimah untuk menutupi kepala, leher dan dada. Jilbab di Indonesia
sendiri pada awalnya dikenal dengan sebutan kerudung. Jilbab adalah kain yang menutupi kepala,
tetapi sebagian leher dan rambut tetap ada. Istilah jilbab mulai dikenal pada awal tahun 1980-an,
yaitu kerudung yang juga menutup leher dan semua rambut.
Menurut Imam al-Alusy dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani arti jilbab dijelaskan sebagai kain
yang dimaksudkan untuk menutupi tubuh dari atas ke bawah yang bertujuan untuk menutupi aurat
wanita.12 Ibnu Manzur menjelaskan makna jilbab sebagai selendang, pakaian yang luas yang lebih
lebar dari penutup kepala yang berguna untuk menutup dada. Di sisi lain, menurut pendapat Fuad
Moch. Fachruddin, jilbab berasal dari kata jalaba yang artinya mencari. Sebab aurat wanita
merupakan pandangan umum, maka hendaklah ditutup.13
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa jilbab adalah pakaian yang
dimaksudkan untuk menutup aurat wanita, kecuali wajah dan telapak tangan, menurut syarat-
syarat yang harus dipenuhi.

2. Jilbab dalam Al-Qur’an


Jilbab adalah salah satu topik yang paling banyak dibicarakan hingga saat ini. Seiring
perkembangan zaman, nilai-nilai berjilbab pun berubah. Menurut Albani, ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi dalam berjilbab. Pertama, jilbab harus menutupi seluruh tubuh kecuali bagian yang
dikecualikan (wajah dan telapak tangan). Kedua, jangan jadikan jilbab hanya untuk perhiasan dan
hiasan saja. Ketiga, jangan memakai jilbab transparan. Keempat, longgar dan tidak ketat atau
membentuk tubuh. Kelima, tidak menggunakan parfum atau wewangian. Keenam, jangan terlihat
seperti pakaian orang kafir. Ketujuh, jilbab bukan pakaian yang mencolok.14
Jilbab merupakan salah satu atribut yang dikenakan oleh wanita muslim. Allah
memerintahkan kepada kaum wanita untuk menutup aurat, seperti yang tercantum dalam Q.S al-
Ahzab ayat 59:

‫ﲗ ﲙﲚﲛﲜ‬
‫ﲘ‬ ‫ﲍ ﲎ ﲏﲐﲑ ﲒ ﲓﲔ ﲕ ﲖ‬
‫ﲞﲠ ﲡﲢﲣﲤ‬
‫ﲟ‬ ‫ﲝ‬

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri


orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Supaya
mereka lebih mudah dikenal, oleh karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”

11
Yulikhah, “Jilbab Antara Kesalehan Dan Fenomena Sosial,” hlm 99.
12
Gunawan, “Perspektif Remaja Muslimah Tentang Jilbab Di Kelurahan Sumber Sari Bantul Kecamatan Metro
Selatan Kota Metro,” hlm 18.
13
AISYIE, “JILBAB PERSPEKTIF TAFSIR MAQASIDI IBNU ‘ ASHUR DALAM TAFSIR AL-TAHRIR WA AL-TANWIR,” hlm 40.
14
AISYIE, hlm 43.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa, sebagai pembeda antara Muslim dan non-Muslim, Allah
memerintahkan Nabi Muhammad untuk meminta semua wanita beriman untuk menutupi aurat
mereka dengan jilbab.
Para ulama memiliki tiga pandangan terkait batasan aurat wanita. Pertama, aurat wanita,
tanpa kecuali, adalah suara dan ujung kepala sampai ujung kaki. Karena itu, penganut paham ini
menutup seluruh tubuh mereka tanpa terkecuali dan hanya memberikan lubang kecil di bagian
muka untuk melihat. Kedua, seluruh tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki, kecuali telapak
tangan dan wajah, merupakan aurat dan perlu ditutup. Ketiga, perempuan dapat memilih untuk
berpakaian sesuai dengan harkat dan martabat yang berlaku di masyarakat. Pada pandangan ketiga
ini, rambut di kepala tidak dianggap sebagai aurat, sehingga tidak perlu ditutup dengan jilbab. Dari
sudut pandang ini, ada negosiasi antara agama dan budaya masyarakat tentang norma-norma
kerendahan hati berpakaian.15
Dari ketiga perspektif di atas terlihat bahwa batas-batas aurat wanita pada setiap kelompok
berbeda menurut pandangannya. Adanya perbedaan pandangan terhadap aurat wanita juga
mempengaruhi penggunaan jilbab sebagai penutup aurat. Mereka yang mengikuti perspektif ketiga
bebas memutuskan apakah akan mengenakan jilbab atau tidak. Sebaliknya, mereka yang
menempati posisi 1 dan 2 harus menutupi auratnya dengan jilbab, suka atau tidak suka. Namun,
hukum jilbab wajib bukan satu-satunya alasan perempuan harus mengenakan jilbab. Menghindari
godaan dan sebagai keamanan adalah alasan lain untuk ini.

3. Fenomena jilbab di Indonesia


Di Indonesia, pada tahun 1980-an, ada kasus seorang siswi yang harus memakai jilbab di
sekolah umum dan harus memilih tetap bersekolah di sana tanpa berjilbab atau terus berjilbab dan
akibatnya, ia mendapati dirinya keluar dari sekolah yang dimaksud. Alasannya sangat klasik,
untuk memudahkan komunikasi dan proses produksi. Situasi ini berbalik pada 1990-an, larangan
berjilbab bagi siswi sekolah umum dicabut dan pemerintah mengizinkan siswi belajar tanpa
meninggalkan jilbab mereka.
Saat itu, jilbab hanya dianggap sebagai simbol pakaian kaum pinggiran. Selain batasan
ruang dan waktu, hal ini berarti jilbab hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu yang berkaitan
dengan upacara keagamaan seperti shalat ke masjid, Idul Fitri/Adha, dan berkabung. Selain itu,
jilbab hanya dikenakan oleh wanita muslim yang telah berhaji. Jilbab pada waktu itu adalah simbol
kedalaman dan keyakinan agama. Namun, di akhir tahun 90-an, istilah jilbabber (pemakai jilbab)
menjadi populer dan menjadi tren tersendiri. Ketika dampak kebebasan berbicara mulai terbuka,
banyak yang mulai mengungkapkan kebutuhan mereka yang telah lama tertahan. Banyak wanita
muslimah yang memilih untuk berjilbab.16
Maraknya globalisasi ekonomi, informasi dan budaya telah mempengaruhi berbagai
aktivitas manusia, termasuk pilihan pakaian (fashion). Interaksi interpersonal dan lintas budaya
yang melampaui batas geografis, budaya dan agama menambah kekuatan dan kompleksitas
konsumsi fashion itu sendiri. Hal ini akhirnya menyebabkan penyebaran jilbab bagi sebagian besar
orang Indonesia.
Salah satu akibat penggunaan jilbab adalah maraknya penggunaan jilbab pada acara-acara
formal dan informal tertentu. Masyarakat tidak lagi takut berjilbab. Sangat mudah untuk
menemukan wanita berjilbab di pasar, terminal, sekolah, kantor, bank, bahkan restoran cepat saji.
Seolah-olah jilbab sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia.

15
Rahayu and Fathonah, “Antara Diri Dan ‘Liyan’’,’” hlm 266.
16
Budiati, “Jilbab: Gaya Hidup Baru Kaum Hawa,” hlm 62.
4. Tafsir maqashidi terhadap fashion jilbab
Tafsir maqashidi berupaya menggali makna dan tujuan Al-Qur'an dan berusaha untuk
merealisasikan dalam kehidupan, di seluruh dunia dan sebagian, untuk kepentingan manusia.
Tafsir ini selalu memberikan kontribusi pada dunia tafsir dan memiliki hubungan yang begitu kuat
sehingga tidak dapat dipisahkan dari tafsir lainnya.
Ada tiga surat dalam Al-Qur'an. Ini adalah referensi yang digunakan tafsir maqashidi
terkait dengan subjek pakaian wanita. Diantaranya adalah Q.S al-A'rāf (7): 26; 31, Q.S al-Aḥzāb
(33): 53; 59, dan Q.S al-Nur (24): 30-31. Dari beberapa ayat tersebut, salah satu maqashid (tujuan)
dari agama adalah menjaga kehormatan manusia. Salah satu cara manusia dapat melindungi
kehormatan mereka adalah dengan menutupi aurat mereka. Prinsip dasar menutup aurat yang
dijelaskan dalam Al-Qur'an adalah zahir, namun dalam arti pakaian tertutup, maksud dalam Al-
Qur'an tidak hanya zahir untuk menutup aurat, tetapi juga seimbang dengan prinsip bathiniyah
(pakaian taqwa), inilah prinsip yang biasa dikenal dengan inner beauty (kecantikan batin). Oleh
karena itu, dengan menyeimbangkan kedua prinsip ini, manusia menjadi insan kamil (manusia
seutuhnya) sebagaimana yang diklaim oleh Muthahhari bahwa insan kamil adalah orang-orang
teladan dan ideal.17
Menurut Abdul Mustaqim, ahli tafsir maqashidi, pakaian yang bermanfaat bagi manusia
memiliki tiga fungsi. Pertama, fungsi dasar untuk menutupi aurat. Dalam hal ini, orang tersebut
tidak boleh memperlihatkan bagian tubuh yang terdapat pada aurat kecuali dalam keadaan darurat.
Misalnya, jika ketika sedang mencari pengobatan, penanganan kecelakaan atau kesaksian. Seperti
diketahui, batas antara aurat pria dan wanita sangat berbeda. Aurat laki-laki berada di antara pusar
dan lutut dan perlu ditutup. Aurat wanita menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Oleh karena itu, Allah memerintahkan wanita untuk memakai jilbab, pakaian longgar yang dapat
menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.18
Kedua, fungsi ganda (bilateral), yaitu melindungi laki-laki dan perempuan dari bahaya
iklim/cuaca, baik panas maupun dingin. Juga, untuk melindungi diri dari kerugian sosial akibat
ketidaksetujuan terhadap adat dan kondisi setempat. Misalnya daerah Aceh yang masyarakatnya
mayoritas beragama Islam dan ada qanun khusus yang memuat perempuan wajib memakai jilbab
dan busana Islami ketika berada di luar rumah dan yang melanggar aturan tersebut diberikan sanksi
oleh pihak yang berwenang. Selain itu, menutup aurat memiliki manfaat lain. Dengan kata lain,
terhindar dari tatapan yang mengundung syahwat akibat terbukanya aurat. Oleh karena itu, Allah
memerintahkan agar menundukkan pandangan, tidak hanya berlaku bagi laki-laki, tetapi juga bagi
perempuan, disebabkan adanya kesamaan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
menjaga keamanan dan perlindungan terhadap fitnah, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S al-Nur
[24]: 30-31.19 Ketiga, memperbaiki penampilan sebagai hiasan tambahan, yaitu sebagai penghias
manusia agar terlihat indah. Namun, jika hiasan lebih dari yang diperlukan, itu dianggap buruk.

KESIMPULAN
Mengenakan jilbab sebagai kewajiban dan persyaratan agama bukan satu-satunya alasan wanita
perlu memakainya. Ada dua faktor yang membuat seseorang berjilbab: internal dan eksternal. Faktor
internal muncul dari kesadaran diri individu yang menjalankan syari’at dengan menutupi aurat, dan faktor

17
Syahridawati, “Fenomena Fashion Hijab Dan Niqab Perspektif Tafsir Maqāsidi,” hlm 146.
18
Syahridawati, hlm 146.
19
Syahridawati, hlm 147.
eksternal dapat muncul dari berbagai hal, antara lain motivasi dari orang-orang terdekatnya, adanya
peraturan yang mewajibkan berjilbab, dan dampak lingkungan yang mendukung seseorang berjilbab.
Tafsir maqashidi meyakini bahwa fenomena jilbab secara keseluruhan sudah cukup karena telah
menjalankan perintah untuk menutupi aurat. Namun jika dilihat dari fenomena fashion jilbab yang
digunakan di Indonesia, tidak semuanya sesuai dengan ketentuan syara’. Hal ini dikarenakan beragamnya
fashion jilbab dan tutorial memakainya, maka dari itu wanita cenderung mengikuti model yang ada, namun
tidak semua. Tidak semua mode yang mengikuti sesuai dengan konteks syari’at, misalnya mode jilbab tidak
menutup dada. Esensi yang paling penting dari berpakaian adalah untuk menutupi aurat, bukan agar terlihat
cantik dan kekinian (trendy). Signifikansi dari tafsir maqashidi terkait topik jilbab adalah tafsir ini
mempertimbangkan fungsi jilbab tidak hanya secara zahir tetapi juga batinniyah, dan tafsir maqashidi
selalu berupaya menemukan kemaslahatan manusia dalam segala keadaan. Oleh karena itu, , selain adanya
perintah untuk menutup aurat dengan sempurna, secara tidak langsung juga ada anjuran untuk memperbaiki
moral.

DAFTAR PUSTAKA
Aisyie, Hamamah Al. “Jilbab Perspektif Tafsir Maqasidi Ibnu ‘ Ashur Dalam Tafsir Al-Tahrir Wa Al-
Tanwir,” 2021, 1–108.
Astutik, Rita Dwi Puji. “Jilbab Dalam Pandangan Fatima Mernissi (Studi Kasus Perkembangan Jilbab Di
Iain Sunan Ampel Surabaya Tahun 1982-2002).” Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
2019.
Auda, Jasser. “The ‘Imams of Maqāṣid’ (Fifth To Eighth Islamic Centuries).” Maqasid Al-Shariah, 2008,
1–53. https://doi.org/10.2307/j.ctvkc67c6.5.
Budiati, Atik Catur. “Jilbab: Gaya Hidup Baru Kaum Hawa.” Jurnal Sosiologi Islam 1, no. 1 (2011): 60–
70.
Gunawan, Dadan. “Perspektif Remaja Muslimah Tentang Jilbab Di Kelurahan Sumber Sari Bantul
Kecamatan Metro Selatan Kota Metro.” Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro, 2018.
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1120700020921110%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.reuma.20
18.06.001%0Ahttps://doi.org/10.1016/j.arth.2018.03.044%0Ahttps://reader.elsevier.com/reader/sd/p
ii/S1063458420300078?token=C039B8B13922A2079230DC9AF11A333E295FCD8.
Hamam, Zaenal, and A. Halil Thahir. “Menakar Sejarah Tafsir Maqāṣidī.” Qof 2, no. 1 (2018): 1–13.
https://doi.org/10.30762/qof.v2i1.496.
Mustaqim, Prof.Dr.H.Abdul. Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqashidi Sebagai Basis Modernisasi
Islam. UIN Sunan Kalijaga, 2019.
Rahayu, Titik, and Siti Fathonah. “Antara Diri Dan ‘Liyan’’.’” Al- A’raf 13, no. 2 (2016): 264–82.
Syahridawati, Syahridawati. “Fenomena Fashion Hijab Dan Niqab Perspektif Tafsir Maqāsidi.”
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 22, no. 2 (2020): 135–50.
https://doi.org/10.22373/substantia.v22i2.8206.
Umayah. “Tafsir Maqashidi: Metode Alternatif Dalam Penafsiran Al-Qur’an.” Diya Al-Afkar 4, no. 1
(2016): 36–58. https://syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/diya/article/view/778.
Yulikhah, Safitri. “Jilbab Antara Kesalehan Dan Fenomena Sosial.” Jurnal Ilmu Dakwah 36, no. 1
(2016): 96–117. https://doi.org/10.21580/jid.v36i1.1627.

Anda mungkin juga menyukai