Anda di halaman 1dari 18

PENANGANAN STIGMA NEGATIF TERHADAP PASANGAN

CHILDFREE DALAM AL-QUR’AN

A. Analisis Q.S Ar-Rum Ayat 21 Menggunakan Metodologi Ma’na-cum-Maghza

Pernikahan adalah ikatan perjanjian antara dua orang yaitu laki-laki dan

perempuan. Pernikahan adalah perintah Allah dan Rasulullah yang harus diikuti dan

diteladani, karena begitu banyak pelajaran dan manfaat yang mengalir dari sebuah ikatan

pernikahan. Allah telah membuat segala sesuatunya berpasang-pasangan, dan begitu pula

manusia, terdapat laki-laki dan perempuan. Dengan ketetapan-Nya, ditumbuhkannya cinta

dan kasih sayang diantara keduanya sehingga menjadi halal dan diridhoi oleh Allah. Allah

telah menetapkan hukum pernikahan dalam salah satu ayat Al-Qur’an, yaitu Q.S Ar-Rum

ayat 21 yang berbunyi:

‫ﲆ ﲈﲉ‬
‫ﲇ‬ ‫ﭐ ﱹﱺ ﱻﱼ ﱽﱾ ﱿ ﲀﲁ ﲂﲃ ﲄ ﲅ‬

‫ﲊ ﲋ ﲌ ﲍﲎ‬

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,

dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian

itu benar-benar terdapat tanda tanda bagi kaum yang berfikir.

Ayat di atas menggambarkan penciptaan pasangan manusia yang sejenis (laki-laki

dan perempuan), ayat tersebut memiliki banyak penafsiran yang berbeda-beda.


Perbedaannya terletak pada makna sakinah, mawadah, dan rahmah. Salah satu perbedaan

tersebut adalah konsep interpretasi kontekstual ayat. Seperti, Imam Al-Qurtubi

menafsirkan makna ayat tersebut tentang keluarga bahagia adalah keluarga yang

memperoleh keharmonisan dan kedamaian dalam pernikahannya karena terdapat

hubungan seksual sehingga membuahkan keturunan, di samping itu juga terpenuhi hak dan

kewajiban antara suami dan istri.1 Sementara itu, ulama kontemporer seperti Syekh

Mutawalli Asy-Sya’rawi memaknai tujuan pernikahan lebih ditekankan pada kewajiban

pernikahan sebagai pembangunan ekonomi.2 Dan juga Quraish Shihab menafsirkan ayat

tersebut bahwa salah satu tujuan pernikahan dengan fungsi hubungan seksual yaitu untuk

mendapatkan keturunan.3 Berdasarkan uraian tersebut, sebagian ahli tafsir tampaknya

memiliki pandangan tersendiri terhadap Q.S Ar-Rum ayat 21 tentang tujuan pernikahan.

Berdasarkan tinjauan di atas, analisis ini berfokus pada pembahasan

kontekstualisasi tujuan pernikahan, sebagaimana ditunjukkan dalam Q.S Ar-Rum ayat 21

dengan melihat beberapa pandangan mufassir menggunakan pendekatan ma’na-cum-

maghza dan akan direlevansikan dengan kehidupan keluarga modern saat ini.

1. Analisis Linguistik (Aspek Bahasa/Lughowi)

Berdasarkan Q.S Ar-Rum ayat 21 menjelaskan bahwa Allah menghendaki agar

pasangan suami istri yang telah membangun rumah tangga melalui akad nikah

bersifat langgeng, terjalin keharmonisan antara suami istri yang saling mencintai

dan menyayangi, sehingga masing-masing merasa damai. Terdapat tiga kata kunci

1
Ela Sartika, et.al., “Keluarga Sakinah dalam Tafsir Al- Qur’an ..., 129.
2
Mohammad Fauzan Ni’ami, “Tafsir Kontekstual Tujuan Pernikahan Dalam Surat Ar-Rum: 21”, Jurnal
Nizham, Vol. 9, No. 1, (Januari-Juni 2022): 12.
3
Kurlianto Pradana Putra, et.al., “Makna Sakinah dalam Surat Ar-Rum Ayat 21 ..., 32.
yang disampaikan oleh Allah dalam ayat tersebut, yaitu sakinah, mawaddah, dan

rahmah. Dalam kitab Tafsir Al-Munir dilihat dari sudut linguistik pada kata

sakinah, mawaddah, dan rahmah yaitu:

a. Sakinah

Kata sakinah disebutkan sebanyak enam kali dalam Al-Qur’an di

samping bentuk lain yang serupa, secara keseluruhan totalnya ada 69 kali. Kata

sakinah berasal dari kata sakana-yaskunu, yang berarti sesuatu yang tenang,

tempat untuk memperoleh kenyamanan dan ketenangan, dan atau suasana

damai yang melingkupi sebuah rumah tangga. Sakinah juga berasal dari kata

maskan yang artinya rumah adalah tempat beristirahat setelah beraktivitas. Dan

dari kata sakan yang memiliki arti waktu malam, karena digunakan untuk tidur

dan istirahat setelah sibuk mencari nafkah di siang hari. Sedangkan sukun

digunakan untuk menunjukkan kedamaian bersifat jasmaniah, sedangkan

sukun berarti kedamaian dan kebahagiaan rohaniah adalah majaz isti’arah.

Dengan kata lain, sakinah yang diartikan ketenangan jiwa atau spiritualitas

bersifat rohani justru bukan arti yang sesungguhnya. Namun, sifat dasar dari

kata sakinah adalah kedamaian setelah bergerak atau menggelegak, baik

bersifat jasmaniah maupun rohaniah adalah sama.

Di antara ayat-ayat yang menunjukkan sakana-yaskunu-sakinah bersifat

rohaniah terdapat dalam Q.S Al-A’raf ayat 189 yang artinya: Dialah yang

menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan darinya Dia menciptakan

pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya ....”. Ayat ini menjelaskan

bahwa kehadiran manusia sebagai pasangannya berkaitan dengan tercapainya


ketenangan rohaniah atau jiwa. Artinya laki-laki secara kodrat merasakan

ketenangan dengan adanya pasangan di pihak mereka, yaitu istri mereka. Di

sisi lain, seperti ayat lain yang menunjukkan kata sakan diambil dari kata sukun

yang artinya hilang rasa takut sehingga jiwa merasa tenang, seperti yang

termuat dalam Q.S At-Taubah ayat 103. Oleh karena itu dapat disimpulkan

bahwa kata sakinah menurut asalnya, mengungkapkan makna kedamaian, baik

jasmani maupun rohani. Khusus yang berbentuk sakinah menunjukkan arti

ketenangan, kedamaian, dan ketenteraman pikiran.4

b. Mawaddah

Kata mawaddah muncul delapan kali dalam Al-Qur’an, secara

keseluruhan dengan kata-kata yang mengakar dengannya berjumlah 25. Kata

mawaddah berasal dari kata wadda-yawadda, yang berarti mencintai sesuatu

dan berharap untuk dapat terwujud. Menurut Al-Ashfahani dalam karyanya

yang berjudul Mu’jam Al-Mufradat Li Alfaz Al-Qur’an, kata mawaddah

dipahami dalam beberapa arti.

Pertama, mawaddah diterjemahkan sebagai cinta (mahabbah) dan juga

kemauan untuk memiliki. Terdapat keterkaitan antara kedua aspek tersebut

baik yang berasal dari keinginan yang kuat untuk akhirnya memberikan cinta,

atau karena didorong oleh cinta yang kuat dan pada akhirnya menimbulkan

keinginan untuk mewujudkan sesuatu yang dicintainya. Hal tersebut dapat

ditemukan dalam Q.S Ar-Rum ayat 21. Mawaddah sebagai aspek yang

menghiasi sebuah pernikahan bukan hanya sekedar cinta, seperti halnya cinta

4
Ela Sartika, et.al., “Keluarga Sakinah dalam Tafsir Al- Qur’an ..., 115-116.
orang tua kepada anaknya. Karena rasa cinta disini akan menginspirasi

pemiliknya untuk mewujudkan cintanya sehingga dapat menyatu. Dan

disinilah sebagian ulama menafsirkan kata mawaddah sebagai mujama’ah

(bersenggama).

Kedua, artinya adalah kasih sayang sebagaimana firman Allah dalam Q.S

Asy-Syura’ ayat 23,

‫ﭐﱁﱂﱃﱄﱅﱆﱇﱈﱉﱊﱋﱌ ﱍﱎﱏﱐﱑﱒ‬
‫ﱛ ﱝ ﱞﱟﱠ‬
‫ﱜ‬ ‫ﱓﱕﱖﱗﱘ ﱙ ﱚ‬
‫ﱔ‬
Artinya “itulah (karunia) yang diberitahukan Allah untuk menggembirakan

hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Katakanlah

(Muhammad), “aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas

seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” Dan barang siapa

mengerjakan kebaikan akan kami tambahkan kebaikan baginya. Sungguh,

Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri”. Kata mawaddah sebatas

mencintai dan menyayangi, layaknya dalam hubungan kekerabatan, berbeda

dengan kasih sayangnya pasangan suami istri.

Ketiga, memiliki arti ingin, seperti firman Allah dalam Q.S Al-Hijr ayat

2,

‫ﱉ ﱊ ﱋﱌ ﱍ ﱎ ﱏ‬
Artinya “orang kafir itu kadang-kadang (nanti di akhirat) menginginkan,

sekiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang muslim”. Dari ayat ini

terlihat bahwa kata wadda-yawaddu berarti ingin atau keinginan, dan

kecendrungan bentuk ini adalah dalam konteks yang negative. Sedangkan kata
mawaddah dalam pernikahan adalah cinta, keinginan, atau kerinduan dalam

konteks positif.5

c. Rahmah

Kata rahmah muncul 114 kali dalam Al-Qur’an, bersama kata lain

dengan akar yang sama memiliki total 339 muncul dalam Al-Qur’an. Kata

rahmah berasal dari kata rahima-yarhamu, yang berarti kasih sayang, rahmat

(riqqah). Merupakan sikap yang mendorong seseorang untuk berbuat baik dan

peduli terhadap sesama atau siapa saja yang dikasihi. Menurut Al-Ashfahani,

kata rahmah memiliki dua arti, kasih sayang (riqqah) dan baik hati atau murah

hati (ihsan). Kata rahmah yang berarti kasih sayang diberikan oleh Allah

kepada manusia, artinya dengan rahmat Allah hati manusia dapat dengan

mudah tersentuh ketika mereka melihat orang lain lemah atau bersimpati pada

penderitaan orang lain. Sedangkan rahmah yang diartikan dengan kemurahan

hati (ihsan), merupakan sifat khusus yang dimiliki Allah. Artinya hanya Allah

yang menyatakan atau mengklaim sebagai pemilik kemurahan hati atau Maha

Pemurah. Atau dengan kata lain, kebaikan, perhatian, anugerah, kasih sayang,

apapun bentuk yang diberikan kepada makhluk-Nya adalah atas kemurahan

Allah.

2. Meninjau Konteks Historis

Pengkajian konteks historis merupakan upaya untuk menemukan posisi atau

status Q.S Ar-Rum ayat 21 jika ditelaah bagian tekstual dari ayat itu sendiri.

Diantaranya adalah melihat dari pandangan posisi tempat turunnya ayat (asbab an-

5
Ibid., 116.
nuzul), serta kesesuaian Q.S Ar-Rum ayat 21. Q.S Ar-Rum merupakan surat ke 30

yang termasuk dalam surat Makiyyah, karena surat ini diturunkan di Mekah dan

terdiri dari 60 ayat. Ciri-ciri surat Makiyyah adalah: a) teknik dakwah ayat-ayat

Makiyyah cenderung bersifat kultural dan menekankan pada perbaikan akhlak, b)

proses dialektika dengan kaum musyrikin, c) menceritakan kisah umat terdahulu

secara spesifik, d) Nabi Muhammad bertugas sebagai pemberi peringatan dan kabar

gembira dari Allah. Terkait dengan keseusaian Q.S Ar-Rum ayat 21, Imam Al-

Qurthubi berpendapat bahwa ayat ini sangat erat kaitannya dengan ayat

sebelumnya, yakni Q.S Ar-Rum ayat 20. Imam Al-Qurthubi menginterpretasikan

kesesuaian Q.S Ar-Rum ayat 21 dengan mengacu pada ayat sebelumnya, yaitu

penciptaan manusia yang berasal dari tanah. Karena tanah merupakan bagian dari

proses dan pertumbuhan suatu kehidupan. Seperti manusia yang menjalani proses

reproduksi melalui proses perkawinan. Dengan demikian Imam Al-Qurthubi

menganggap fungsi reproduksi sebagai fitrah manusia yang serupa dengan tanah.6

Sama halnya dengan Imam Al-Qurthubi, Quraish Shihab dalam tafsirnya

menyatakan bahwa Q.S Ar-Rum ayat 21 berkaitan dengan ayat 20 dan ayat

setelahnya, yaitu ayat 22. Dalam ayat 20 membahas mengenai fitrah perilaku

manusia yang mengarah pada proses reproduksi dan menjadikan keturunannya

sebagai pengisi muka bumi. Lalu ayat 21 dengan jelas menggambarkan

perkembangan reproduksi manusia dan bukti kuasa serta rahmat Allah. Dan dalam

ayat 22 selalu berkaitan dengan bukti kebesaran dan kekuasaan Allah. Menurut

Quraish Shihab, terdapat persamaan antara laki-laki dengan langit dan perempuan

6
Mohammad Fauzan Ni’ami, “Tafsir Kontekstual Tujuan Pernikahan ..., 15.
dengan bumi. Hujan turun dari langit diterima dan membasahi bumi agar tanaman

atau makhluk di bumi dapat tumbuh dan berkembang. Begitupun dengan pasangan

yang telah menikah. Secara garis besar Quraish Shihab menginterpretasikan

konteks internal Q.S Ar-Rum ayat 21 menjelaskan tanda-tanda kebesaran Allah

pada ruang lingkup kebahagiaan dunia dan akhirat.7

Menurut tinjauan di atas, secara garis besar dapat diketahui bahwa turunnya ayat

21 Q.S Ar-Rum berkaitan erat dengan ayat sebelum dan setelahnya yang membahas

mengenai proses penciptaan manusia, yaitu proses reproduksi sebagai tujuan dari

sebuah pernikahan yang dilambangkan dengan kehadiran anak sebagai pengikat

atau menjadi ikatan pasangan suami istri (litaskunu ilaiha) untuk mencapai rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah

3. Menggali Maghza (Makna/Perspektif Ayat)

a. Menggali Maghza Q.S Ar-Rum Ayat 21 Perspektif Beberapa Mufassir

Untuk mendapatkan maghza dari Q.S Ar-Rum ayat 21 penulis akan

menggunakan perspektif dari beberapa mufassir klasik maupun kontemporer

terkait kontekstualisasi Q.S Ar-Rum ayat 21 sebagai berikut:

1) Quraish Shihab

Quraish Shihab menjelaskan kata sakinah sebagai bagian dari penjelasan

penciptaan manusia berpasang-pasangan dengan satu tujuan. Menurut

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah volume 10, kata sakinah dalam

Q.S Ar-Rum ayat 21 berasal dari kata taskunu yang berasal dari kata

sakana yang berarti diam setelah diguncang dan sibuk. Kata sakan

7
Kurlianto Pradana Putra, et.al., “Makna Sakinah dalam Surat Ar-Rum Ayat 21 ..., 23.
digambarkan sebagai keadaan tenang setelah memasuki rumah yang

sebelumnya berada luar rumah. Ketenangan dalam ayat 21 berkaitan

dengan fungsi biologis manusia dengan adanya organ reproduksi yang

bila difungsikan dapat mencapai ketentraman perkawinan. Secara

naluriah, dengan selesainya hubungan biologis akan menimbulkan

ketenangan, rasa damai. Kata litaskunu digabungkan dengan kata ilaiha

yang artinya bersandar atau kecenderungan padanya, maka pada ayat 21

artinya Allah menjadikan setiap suami istri merasa tenang disamping

pasangannya dan cenderung kepadanya. Sebagai penutup, Quraish

Shihab memaknai tujuan pernikahan bahwa dalam hubungan seksual

(reproduksi) setidaknya memiliki tujuan, baik bagi suami maupun istri

agar mencapai ketenangan dan untuk melanjutkan keturunan sebagai

warisan dunia.8

2) Imam al-Qurthubi

Imam al-Qurthubi menjelaskan ayat 21 dari Q.S Ar-Rum yang

mengartikan hubungan yang dibentuk antara laki-laki dan perempuan

dalam ikatan pernikahan sebagai pasangan suami dan istri. Imam al-

Qurthubi menyatakan pandangannya dalam kitab tafsirnya, beliau

mengartikan kata mawaddah sebagai jimak dan dilanjutkan dengan kata

rahmah yang berarti anak yang lahir dari hubungan tersebut. Imam al-

Qurthubi menambahkan pandangan lain bahwa kata mawaddah juga

dapat diartikan sebagai rasa sayang, sedangkan rahmah ialah cinta atau

8
M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Jilid 10, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), 167.
kasih sayang yang sangat kuat. Imam al-Qurthubi memaknai secara

kontekstual ayat tersebut dengan menekankan fungsi reproduksi dalam

pernikahan. Pandangan Imam al-Qurthubi didasarkan pada awal

penciptaan manusia. Secara teologis, manusia diibaratkan sebagai tanah,

tanah memiliki retakan atau rongga dalam strukturnya saat terjadi proses

pertumbuhan atau terdapat kehidupan di dalam tanah. Tanah akan retak

ketika tanaman tumbuh dan terdapat kehidupan lain di dalamnya.

Demikian pula ketika seorang laki-laki melakukan fungsi reproduksinya,

perempuan adalah ladang atau tanah yang harus ditanami suaminya, dari

mana ia (perempuan) melahirkan seorang anak sebagai pewaris

kehidupan. Fungsi reproduksi inilah yang oleh Imam al-Qurthubi

dianggap sebagai sebab dan akibat dari penciptaan manusia yang

menyerupai tanah, sebagaimana firman Allah dalam Q.S Ar-Rum ayat

20.9

3) Muhammad bin Jarir at-Tabari

Imam at-Tabari memaknai Q.S Ar-Rum ayat 21 sebagai ayat yang

mengandung kekuasaan Allah dan bukti kebesaran Allah yaitu bahwa

Allah menciptakan pasangan untuk bapakmu sendiri (Adam), agar Adam

merasa tentram dan nyaman. Pasangan yang dimaksud adalah Hawa,

yang diciptakan dari salah satu tulang rusuk Adam. Berbeda dengan

Imam al-Qurtubi yang memaknai tujuan pernikahan sebagai fungsi

reproduksi, Imam at-Tabari lebih menekankan pada menjalin hubungan

9
Abi Bakr bin Farah al-Qurtuby, Al-Jami' Li Ahkam al-Qur'an, ( Kairo: Dar Syu'b, 1950), 254.
keluarga ketika menikah. Hubungan ini menimbulkan rasa saling

mencintai antara keluarga baru dengan menantu yang kini menjadi

anggota keluarga tersebut. Perspektif Imam at-Tabari tidak hanya

berfokus pada dua insan yang saling mencintai, tetapi pernikahan adalah

tempat untuk membangun hubungan antara dua keluarga besar. Dalam

tafsir Imam at-Tabari menjelaskan bahwa perkawinan bukan

hanya sebagai fungsi reproduksi, tetapi juga merupakan pranata

kemasyarakatan dalam pembentukan kerukunan sosial antar kelompok

masyarakat.10

4) Sayyid Qutb

Sayyid Qutb menjelaskan kata sakinah sebagai hubungan dalam ruangan

yang menenangkan urat syaraf dan jiwa, tenang hati dan pikiran,

membawa kedamaian dalam hidup dan juga mendatangkan rasa nyaman

dan tenteram bagi pasangan. Itulah mengapa untuk mendapatkan

pernikahan yang harmonis (sakinah) yaitu adanya mawaddah dan

rahmah. Sayyid Qutb mengartikan kata mawaddah sebagai perasaan

emosional yang menenangkan tubuh dan hati. Sedangkan kata rahmah

berarti membawa kedamaian dalam hidup dan selalu mencapai keridhaan

Allah. Dari pandangan tersebut Sayyid Qutb berpendapat bahwa tujuan

pernikahan mencakup aspek pemenuhan kebutuhan intrinsik atau fitrah,

psikologis, intelektual, dan biologis manusia.11

10
Abu Ja'far Muhamad Bin Jarir aṭ-Ṭabari, Jami' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an, 16th edn, (Beirut: Darul Fikr,
1983), 176.
11
Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zilal al-Qur’an XI, dalam https://tafsirzilal.files.wordpress.com/2012/06/ar-
rum.indon.pdf, diakses 30 Juni 2021.
5) Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi

Syekh Mutawalli Asy-Sya`rawi menjelaskan bahwa Allah tidak

memasangkan manusia dengan selainnya, tetapi manusia dengan

manusia yang hanya memiliki perbedaan jenisnya saja (gender).

Perbedaan antara manusia satu dengan manusia lainnya tidak berarti

bahwa hal tersebut tidak baik, tetapi perbedaan ini untuk saling

melengkapi. Wanita identik dengan kasih sayang dan kelembutan,

sedangkan pria identik dengan kekuatan dan ketangguhan. Inilah

sebabnya mengapa ada perbedaan yang perlu disempurnakan untuk

mencapai tujuan Allah dalam kelangsungan hidup. Syekh Mutawalli

Asy-Sya'rawi menjelaskan bahwa lafaz litaskunu illaiha adalah alasan

utama pernikahan. Artinya ketenangan suami istri tergantung di antara

keduanya, ketenangan suami adalah ketenangan istri dan sebaliknya.

Sedangkan ketenangan ada setelah bekerja atau berperilaku. Seorang

suami keluar pada siang hari untuk mencari nafkah bagi keluarga, pada

malam hari ia akan menemukan kedamaian ketika kembali ke rumah dan

bertemu dengan seseorang yang dapat membuat hatinya tenteram setelah

seharian bekerja. Kedamaian adalah bentuk cinta suami istri dan

sebaliknya. Kedamaian ini juga menjadi sumber semangat bagi suaminya

untuk melanjutkan aktivitasnya esok hari. Oleh karena itu, Syekh

Mutawalli Asy-Sya'rawi telah menjelaskan tujuan pernikahan dengan


lebih menekankan pada fungsinya sebagai upaya meningkatkan

kesejahteraan ekonomi keluarga.12

6) Wahbah Zuhaili

Wahbah Zuhaili dalam menafsirkan Q.S Ar-Rum ayat 21 mendefinisikan

sakinah sebagai keadaan fisik dan mental yang merasa tenang dan damai.

Sedangkan mawaddah diartikan sebagai hasrat akan cinta, kasih sayang

dan keinginan. Sedangkan rahmah diartikan sebagai pemberian Allah

yang memungkinkan seseorang berbuat baik kepada orang lain dengan

pengorbanan yang ikhlas. Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa tujuan

pernikahan bukan berarti pernikahan tanpa masalah atau menghindar dari

masalah, tetapi tujuan pernikahan adalah untuk memperoleh mawaddah

dan rahmah sebagai dasar untuk menciptakan keluarga yang harmonis

(sakinah) dengan peran masing-masing pihak dalam berusaha mengatasi

masalah yang muncul atas dasar keinginan yang kuat untuk mengarah

pada tercapainya kedamaian dan ketenangan jiwa.13

b. Menganalisis Maghza Q.S Ar-Rum Ayat 21 dalam Keluarga Modern

Awal sejarah manusia berpasangan mengacu pada pernikahan Adam

dan Siti Hawa. Dengan demikian pernikahan menjadi norma di seluruh dunia

sebagai institusi formal yang mewujudkan kebutuhan manusia akan

pasangan. Pada masa pra-Islam dan awal perkembangan Islam, tujuan utama

pernikahan adalah untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang, karena

12
Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi, Jilid 10, (Jakarta: Duta Azhar, 2011), 538-539.
13
Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidat wa al-Syarī'at wa al-Manhaj, Jilid 11, (Damaskus: Dar Al-
Fikr, 2005), 92.
setiap manusia memiliki hasrat seksual yang harus disalurkan. Oleh karena

itu manusia secara alamiah berusaha mencari pasangan untuk memenuhi

fungsi kesenangan dan reproduksi. Realitas masyarakat Arab pra-Islam

adalah bahwa aktivitas sehari-hari mereka ditujukan untuk kepuasan seksual.

Perbedaan yang signifikan dapat dilihat melalui berbagai aktivitas antara

orang Mesir kuno dan orang Arab. Masyarakat Mesir kuno disibukkan dengan

kegiatan keagamaan yang sangat kompleks dari tempat ibadah dan altar,

produksi artefak, dan bangunan. Intelektual juga menonjol di masyarakat itu,

terdapat ilmu pasti (eksakta), kedokteran, dan dialog. Berbeda halnya dengan

masyarakat Arab, isu seksual mendominasi kehidupan mereka. Selain

kebutuhan seksual yang melekat pada manusia, iklim panas dan kering sangat

mempengaruhi meningkatnya libido seseorang, membuat mereka lebih

bergejolak.14 Tidak heran jika kita cermati penafsiran beberapa ulama seperti

Imam Al-Qurthubi dan Quraish Shihab, tujuan pernikahan yang termuat

dalam ayat 21 Q.S Ar-Rum terbatas pada fungsi reproduksi, tidak ada

keterkaitan antara sosial, masalah psikologis, kesehatan, intelektual, dll.

Sehingga dalam konteks kuno hidup dalam harmoni ketika mereka menikah

dan memiliki anak.

Lalu terdapat berbagai pandangan akademisi tentang penafsiran Q.S

Ar-Rum ayat 21 yang mengalami sedikit perubahan dalam konteks

pemahaman terkait tujuan pernikahan. Seperti Imam Al-Qurthubi yang

berpendapat bahwa tujuan pernikahan bukan hanya fungsi reproduksi, tetapi

14
Mohammad Fauzan Ni’ami, “Tafsir Kontekstual Tujuan Pernikahan ..., 8-9.
juga fungsi sosiologis yang erat kaitannya dengan lingkungan dan peran

bersama untuk mencapai keharmonisan sosial antar kelompok. Kemudian

Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi yang berpendapat bahwa tujuan pernikahan

adalah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga. Sayyid Qutb

juga menjelaskan bahwa ruang lingkup tujuan pernikahan sangat luas, bukan

hanya fungsi reproduksi, tetapi mencakup aspek pemenuhan kebutuhan fitrah

manusia, psikologis, intelektual, dan biologis manusia. Dan pandangan

Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya berpendapat bahwa tujuan pernikahan

tidak lain adalah kebahagiaan, unutk mendapatkan mawaddah dan rahmah

untuk mencapai keluarga yang sakinah. Seperti dalam masyarakat modern,

konsep sejahtera bukan hanya tentang sandang, pangan, dan papan. Tujuan

pernikahan bukan hanya sekedar fungsi reproduksi, sosiologis atau fungsi

lainnya seperti fungsi intelektual, psikologis, ekonomi, dan biologis. Namun

tujuan pernikahan lebih luas, tujuan pernikahan merupakan tujuan bersama

kedua belah pihak, suami dan istri, yaitu ketentraman (sakinah).15

B. Tujuan Pernikahan dalam Keluarga Modern Berdasarkan Analisis Q.S Ar-Rum:

21

Sejatinya pernikahan bukanlah halangan bagi siapa pun, terutama bagi seorang

wanita, untuk mencapai tujuan dari fitrah manusia. Pernikahan merupakan penyatuan dua

insan yaitu laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi, mendukung dan membantu

satu sama lain sebagai bentuk peningkatan kualitas hidup kedua belah pihak, terutama

15
Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif Untuk Keadilan Gender Dalam Islam
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2019), 341.
untuk lima prinsip dasar, yaitu: perlindungan jiwa, perlindungan agam, akal pemikiran dan

pengetahuan, keturunan dan hak-hak reproduksi, dan harta kepemilikan. Oleh karena itu,

sejak awal setiap orang yang ingin menikah mereka harus meluruskan niat dan tujuannya

dengan baik, dan untuk mencapainya diperlukan komitmen yang kuat antara kedua belah

pihak, sehingga pernikahan dapat menghadirkan kebaikan yang diharapkan seperti tujuan

pernikahan tersebut yang terdapat di dalam Al-Qur'an.

Adapun tujuan pernikahan dalam keluarga modern berdasarkan Q.S. Ar-Rum ayat

21 menurut Faqihuddin dalam bukunya yang berjudul Qira’ah Mubadalah: Tafsir

Progresif Untuk Keadilan Gender Dalam Islam, yaitu ketentraman (sakinah). Dalam

tujuan pernikahan seorang manusia menikahi lawan jenisnya untuk mencari ketentraman

kepada pasangannya, nyaman dalam merajut cinta (mawaddah warahmah), dan mudah

untuk mencapai kebahagiaan dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat. Dalam

tujuan ketentraman (sakinah) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti hal-

hal biologis, ekonomi, sosial dan keluarga, dan agama. Beberapa faktor tersebut merupakan

hal-hal yang biasa terjadi untuk mencapai tujuan pernikahan. Dalam faktor biologis,

ekonomi, sosial dan keluarga dapat berubah seiring berjalannya waktu yang dialami oleh

manusia, karena manusia dapat berubah menjadi tua sehingga tidak menarik seperti saat

muda, perekonomian yang tidak stabil, serta kedudukan sosial dan keluarga yang bisa saja

suatu waktu tidak lagi menjadi pendukung dalam kehidupan.

Jika manusia menikah hanya dengan tiga faktor tersebut maka ketentraman yang

didapatkannya bersifat sementara. Akan tetapi jika manusia mengutamakan faktor agama

maka ketentraman yang dirasakan akan bersifat abadi. Seperti dalam hadis Rasulullah yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra sebagai berikut: Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, dari Rasulullah, beliau bersabda “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena

hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah

karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung”. Maksud “agama” dalam hadis tersebut

ialah agar dapat memberi makna yang lebih kuat, kokoh, tidak mudah goyah, dan dapat

meningkatkan spiritual sehingga dapat menguatkan tujuan pernikahan sehingga dapat

menghadirkan ketentraman dalam hati selain ketentraman secara biologis, finansial, dan

sosial.

Untuk menuju ketentraman dalam tujuan pernikahan harus memiliki keterkaitan

antara suami dan istri, keduanya harus saling menghadirkan kebahagiaan kepada

pasangannya dengan berlandaskan mawaddah dan rahmah yang harus dirasakan oleh

kedua belah pihak, melalui proses yang mereka tempuh agar menjadi tanggung jawab

bersama. Jika kebahagiaan tersebut hanya dihadirkan oleh salah satu pihak saja, maka

kebahagiaan tersebut tidak akan lengkap dan hanya separuhnya saja. Maka dibutuhkan

separuh lainnya untuk melengkapi kebahagiaan tersebut agar tercapainya tujuan

pernikahan yaitu ketentraman (sakinah). Selain empat tujuan yang disebutkan oleh

Rasulullah (ketentraman finansial, sosial, biologis, dan agama) terdapat tujuan lainnya,

yaitu keinginan memperoleh keturunan, memperkuat dakwah, politik, dan kekuasaan.

Tujuan tersebut tidak disalahkan selama tidak ada pemaksaan, kekerasan, dan kedzoliman

yang diharamkan dalam Islam.

Tujuan-tujuan di atas akan lebih kuat jika dikaitkan dengan motivasi hidup dalam

Islam, yaitu untuk mencapai keridaan Allah, untuk mengabdikan diri demi kebaikan dalam

keluarga, kemaslahatan masyarakat dan umat, serta kemakmuran negara. Jadi, kebaikan

dan kemaslahatan keluarga merupakan pondasi dasar dan arah yang memandu jalan bahtera
pernikahan agar sampai pada tujuan akhir, yaitu kebaikan dunia yang dirasakan secara

bersama yang dibalut untuk meningkatkan ibadah kepada Allah, sehingga nanti

mendapatkan kebahagiaan yang kekal di akhirat secara bersama-sama. Untuk mencapai

tujuan-tujuan tersebut diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: komitmen pada ikatan

pernikahan sebagai tanggung jawab individu tersebut kepada Allah (mistaqan zhalidzan),

prinsip berpasangan dan saling berkaitan (zawaj), saling memberikan kenyamanan antar

pasangan (taradhin), saling memberikan perilakuan yang baik kepada pasangan

(mua’syarah bil ma’ruf), menjaga komunikasi antara suami dan istri (musyawarah). Jika

langkah-langkah ini dapat dilakukan dengan baik, maka tujuan dari pernikahan dapat

dirasakan dan dinikmati bersama.

Anda mungkin juga menyukai