Disusun Oleh :
Abdurrazzaq Dzaky W 19323015
Dosen Pengampu :
Dr. Mukhsin Achmad, MA
PONDOK PESANTREN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
A. Pendahuluan
Pada masa ketika Rasulullah masih hidup, beliau adalah sosok yang paling dikagumi
dan dihormati oleh seluruh masyarakat, beliau juga sebagai sosok yang bertindak sebagai
pemutus suatu perkara dan penengah dalam suatu pertikaian. Dalam meminta fatwa dan
keputusan Rasulullah menjadi referensi nomer satu kala itu, keputusan yang dibuat pun bukan
atas dasar emosi dirinya sendiri melainkan itu atas dasar wahyu dan sunnah serta musyawarah
dengan para sahabat rasul. Sehingga pada masa Rasulullah segala persoalan dapat dengan
mudah dikembalikan pada Rasulullah.
Kemudian dengan wafatnya Rasulullah, wahyu yang selama ini turun sepanjang 22
tahun 2 bulan 22 hari telah berhenti. Begitu juga dengan sunnah, berakhir juga ketika masa
sepeninggal Rasulullah SAW. Kedudukan Rasulullah sebagai utusan Allah tidak mungkin
dapat terganti, akan tetapi tugas beliau sebagai pemimpin umat harus tetap ter-estafet kan pada
orang-orang pilihan. Maka dengan hal tersebut muncullah permasalahan tentang bagaimana
cara pemutus dan pelerai masalah dilaksanakan dan siapa sosok yang berhak hingga
mempunyai wewenang seperti itu.
B. Pembahasan
ُْ ْْْخ ل ي َ ة ً ۖ ق َ ال وا أ َت َ ُج ع َ ل ف ي هَ ا َم ُن ي ُ سْْْْ ِ ف ي هَ ا َو ي َ س
َ اْل َ ُر ض
ُ ج اع ٌل ف ي َ َو إ ذ ُ ق َ ا َل َر ب ُّ َ ل ل ُ َم ََل ئ ك َة إ ن ي
ك َو ن ق َ ِ س ل َ َ ۖ ق َ ا َل إ ن ي أ َ عُ ل َ م َم ا ََل ت َع ُ ل َ م و َنَ ِ ح ُم َ الِ َم ا ءَ َو ن َ ُح ن ن س َ ب ح ب
Artinya :
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (Q.S. AlBaqarah: 30)
Maka dari itu, sebagai seorang pengganti nabi, ummat islam secara otomatis
menganggap bahwa khalifah juga bertugas untuk memutuskan perkara yang terjadi di
masyarakat. Selain itu, para sahabat yang terkenal dengan kedalaman ilmunya juga menjadi
pemutus perkara-perkara yang terjadi saat itu, semisal Abdullah ibnu abbas, zaid bin tsabit,
Abdullah ibnu umar di madinah. Abdullah ibnu mas’ud di kuffah., Abdullah ibn amr ibn ash
di mesir. Aisyah dan zadhi yang mashur. Abu musa al asyari dan muadz bin jabal. Mereka itu
terpencar di beberapa kota dan membimbing peletakan dasar fiqh islami dan
pengembangannya.
Artinya:
Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya tidak
akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.
b. Ijtihad Shahabat
Namun ternyata ada masalah yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam Alquran
dan Sunnah. Hal ini disebabkan karena pada masa nabi, wilayah kekuasaan islam hanya sebatas
semenanjung arab. Tapi pada masa khulafaurrasyidin, kekuasaan islam mulai meluas dan
membentang keluar dari jazirah arab, meliputi: Mesir, Syiria, Persia dan Irak. Luasnya wilayah
tersebut menyebabkan kaum Muslimin menghadapi banyak kejadian dan persoalan yang
belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini mendorong umat muslim untuk berijitihad, yakni
mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’
sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah nabinya. Ijtihad para sahabat dalam arti luas adalah
bahwa mereka melihat dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap hal-hal lain dan lain
sebagainya.
Ijtihad ada dua:
1. Mengambil hukum dari dzahir-dzahir nash apabila hukum itu diperoleh dari nash-nash
itu.
2. Mengambil hukum dari ma’qul nash karena nash itu mengandung illat yang
menerangkannya, atau illat itu dapat diketahui dan tempat kejadiannya yang di
dalamnya mengandung illat, sedang nash tidak memuat hukum itu.
Sebab-sebab adanya ijtihad :
Sebelum adanya ijtihad dan qiyas itu perlu dijelaskan terlebih dahulu yaitu tentang
pemahaman dalil-dalil. Dalil-dalil tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Dalil yang bersifat Qath’i (pasti dan jelas)
2. Dalil yang bersifat dhanni (perkiraan dan dugaan berat)
Kalau pada dalil yang bersifat Qath’i, itu sudah pasti jelas maksud dan hukumnya.
Sedangkan pada dalil yang bersifat dhanni ini masih bisa menimbulkan berbagai macam
penafsiran-penafsiran, disebabkan karena pada dalil-dalil yang bersifat dhanni ini terdapat
ketidakjelasan tentang maksud dan hukumnya. Dalil yang bersifat dzonni inilah para ulama
membuat istilah ijtihad dan qiyas, dengan tujuan untuk menafsirkan maksud dan hukum yang
terdapat pada dalil-dalil dzanni tersebut.
c. Ijma’
Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad
kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hokum suatu masalah. Hasil
musyawaroh sahabat ini disebut ijma’. Kemudian rasulullah telah menyediakan metode-
metode buat ijtihad bagi mereka, melatih dan meridhoi mereka serta menetapkan pahala
ijtihadnya baik salah maupun benar. Tentang ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan dalil bahwa
seorang hakim ketika ia berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kemudian benar hasilnya,
maka ia mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia mendapatkan satu pahala.
Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram, yaitu
suatu gambaran cara-cara mereka melakukan istimbath hukum, ia berkata : apabila suatu
perselihan di ajukan kepada abu bakar, maka ia lihat kitab Allah. Apabila di temukan di sana
hukum yang dapat memutuskan masalah yang terjadi di antar mereka, maka ia putuskan dengan
hukum tersebut. Bila tidak ditemukan dalm kitab Allah, ia ketahui dari sunnah rasul tantang
masalah itu, maka ia putuskan dengan sunnah tersebut. Bila tidak di temukan jaga ia keluar
dan bertanya pada kaum muslimin: suatu masalah di ajukan padaku lalu apakah kalian
mengetahui bahwa nabi pernah memutuskan suatu hukum dalam masalah ini? Terkadang
semua golongan berkumpul dan menuturkan suatu kepusan dari rasulullah. Bila tidak di
temukan juga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang
terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh kesepakatan hukumnya, maka ia putuskan
masalah tersebut dengan hasil kesepakatan itu.
Langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar dalam mengambil keputusan adalah sebagai
berikut :
a. Mencari ketentuan hukum dalam Alquran. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan
ketetapan yang ada dalam Alquran.
b. Apabila tidak menemukannya dalam Alquran, ia mencari ketentuan hukum dalam
Sunnah. Bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada pada sunnah.
c. Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah
rasulullah telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia
memutuskan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah
memenuhi beberapa syarat.
d. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar
sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada
kesepakatan diantara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.
D. Ro’yu
Untuk menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu para sahabat terlebih dahulu
menunjuk kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak menemukan ketetapan
hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat menggunakan akal
pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran islam. Sebagai contoh dapat diungkapkan siapa yang
menjadi khalifah sesudah Nabi Muhammad meninggal dunia. Permasalahan ini diselesaikan
berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagi pengganti nabi menjadi Imam shalat ketika
nabi tidak dapat menjadi imam karena sakit. Tentang qiyas boleh di pakai selama tidak
menyalahi dalil yang shohih. Hanya saja mereka menyebut kata ra’yu (pendapat) terhadap
sesuatu yang dipertimbangkan oleh hati setelah berpikir, mengamati, dan mencari untuk
mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang terlihat. Sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu
Qayyim. Dengan demikian, menurut mereka ra’yu tidak sebatas qiyas (analogi) saja,
sebagaimana dikenal sekarang, tetapi meliputi analogi, ihtisan, Baraah, Ashliyah, Saddu
Dzara’i dan Maslahah al-Mursalah.
2. Faktor Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri’ Islam masa
Khulafaur Rasyidin
Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(Q.S. Al-Baqarah: 228)
Kalimat “yang diceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’,membuat
para sahabat berbeda pendapat. Perbedaan ini disebabkan kata quru’ mengandung dua arti
yakni Al-haidl dan at-thuhr. Adanya dua makna ini membuat terjadinya perbedaan pendapat.
Umar ibn Khattab memilih makna al-haidl sebagai makna quru’. Sedangkan sahabat Zaid bin
Tsabit menggunakan makna At-tuhr.
Khalifah Abu Bakar adalah seorang ahli hukum yang tinggi mutunya dan dikenal
sebagai orang yang jujur dan disegani. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. sebelum
masuk islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan
dan menyiarkan islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka yang
memeluk agama islam dan kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan islam yang ternama.
Dan kerena hubungannya yang ssangat dekat dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai
pengertian yang dalam tentang isalm dibanding yang lain. Karena itu pula pemilihannya
sebagai khalifa pertama tepat sekali.
Tindakan Umar dalam bidang hukum, ada beberapa contoh ijtihad Umar antara lain sebagai
berikut :
a. Talak tiga, yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika dianggap sebagai
talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri. Kecuali salah satu pihak (dalam
hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh
Umar berdqsarkan kepentingan wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah
mnegucapkan talak tiga sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan
wanita lain. Tujuannya dalah untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak
yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati
mempergunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di
zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu. Umar menetapkan
garis hukum yang demikian untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang
yang berada dalam tangannya.
b. Pemberian hak zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk islam) seperti yang ditetapkan
dalam Alquran. Dikarenakan ia perlu dilindungi karena masih lemah imannya dan (mungkin)
terputus hubungan dengan keluarganya. Pada zaman rasulullah, golongan ini memperoleh
golongan zakat, tapi Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallat berdasarkan
pertimbangan, islam lebih kuat sehingga tidak perlu diberi keistimewaan.
c. Menurut alquransuratAl-Maidah (5) ayat 38, disebutkan tentang hukuman potong tangan
bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di
semenanjung Arabia. Dlam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman
hukuman pencuri yang disebut dalam alquran tidak dilaksanakan karena pertimbanagn keadaan
darurat dari kemaksiatan (jiwa) masyarakat.
d. Di dalam alquran suratAl Maidah Ayat 5 terdapat ketentuan yang memperbolehkan pria
muslim menikahi wanita ahlulkitab (wanita yahudi dan Nasrani). Akan tetapi khalifah Umar
melarang kawin campur antara lelaki islam dengan wanita yahudi atau nasrani demi
melindungi kedudukan wanita islam dan keamanan Negara.
b. Menyalin dan membuat alquran standar yang disebut dengan kodifikasi Alquran.
Standarisasi Alquran ini perlu diadakan. Karena, pada masa itu, wilayah Islam sangat luas dan
didiami oleh berbagai suku bangsa dan dialek yang tidak sama. Karena itu, di kalangan
pemeluk agama islam terjadi perbedaan ungkapandan ucapan tentang ayat-ayat alquran yang
disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengungkapakan itu menimbulkan perbedaan arti.
D. PENUTUP