Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TARIKH TASYRI’ PADA MASA KHULAFAU AR RASYIDIIN

Disusun Oleh :
Abdurrazzaq Dzaky W 19323015

Dosen Pengampu :
Dr. Mukhsin Achmad, MA

PONDOK PESANTREN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2021
A. Pendahuluan

Pada masa ketika Rasulullah masih hidup, beliau adalah sosok yang paling dikagumi
dan dihormati oleh seluruh masyarakat, beliau juga sebagai sosok yang bertindak sebagai
pemutus suatu perkara dan penengah dalam suatu pertikaian. Dalam meminta fatwa dan
keputusan Rasulullah menjadi referensi nomer satu kala itu, keputusan yang dibuat pun bukan
atas dasar emosi dirinya sendiri melainkan itu atas dasar wahyu dan sunnah serta musyawarah
dengan para sahabat rasul. Sehingga pada masa Rasulullah segala persoalan dapat dengan
mudah dikembalikan pada Rasulullah.
Kemudian dengan wafatnya Rasulullah, wahyu yang selama ini turun sepanjang 22
tahun 2 bulan 22 hari telah berhenti. Begitu juga dengan sunnah, berakhir juga ketika masa
sepeninggal Rasulullah SAW. Kedudukan Rasulullah sebagai utusan Allah tidak mungkin
dapat terganti, akan tetapi tugas beliau sebagai pemimpin umat harus tetap ter-estafet kan pada
orang-orang pilihan. Maka dengan hal tersebut muncullah permasalahan tentang bagaimana
cara pemutus dan pelerai masalah dilaksanakan dan siapa sosok yang berhak hingga
mempunyai wewenang seperti itu.

B. Pembahasan

Untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin ummat


dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat
nabi sendiri. Seperti yang dijelaskan dalam alquran surat Al-Baqoroh:30, yang berbunyi :

ُْ ْْْ‫خ ل ي َ ة ً ۖ ق َ ال وا أ َت َ ُج ع َ ل ف ي هَ ا َم ُن ي ُ سْْْْ ِ ف ي هَ ا َو ي َ س‬
َ ‫اْل َ ُر ض‬
ُ ‫ج اع ٌل ف ي‬ َ ‫َو إ ذ ُ ق َ ا َل َر ب ُّ َ ل ل ُ َم ََل ئ ك َة إ ن ي‬
‫ك َو ن ق َ ِ س ل َ َ ۖ ق َ ا َل إ ن ي أ َ عُ ل َ م َم ا ََل ت َع ُ ل َ م و َن‬َ ِ ‫ح ُم‬ َ ‫الِ َم ا ءَ َو ن َ ُح ن ن س َ ب ح ب‬

Artinya :

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.” (Q.S. AlBaqarah: 30)

Maka dari itu, sebagai seorang pengganti nabi, ummat islam secara otomatis
menganggap bahwa khalifah juga bertugas untuk memutuskan perkara yang terjadi di
masyarakat. Selain itu, para sahabat yang terkenal dengan kedalaman ilmunya juga menjadi
pemutus perkara-perkara yang terjadi saat itu, semisal Abdullah ibnu abbas, zaid bin tsabit,
Abdullah ibnu umar di madinah. Abdullah ibnu mas’ud di kuffah., Abdullah ibn amr ibn ash
di mesir. Aisyah dan zadhi yang mashur. Abu musa al asyari dan muadz bin jabal. Mereka itu
terpencar di beberapa kota dan membimbing peletakan dasar fiqh islami dan
pengembangannya.

1. Metode Pengambilan Keputusan pada Masa Khulafaur Rasyidin


Pada masa ini sumber tasyri’ islam adalah alquran dan sunnah rasul. Keduanya disebut
nash atau naql. Apabila ada masalah yang tidak jelas di dalam nash, para sahabat di zaman
khulafaurrasyidin memakai ijtihad untuk memperolah hukum yang dicari. Jalan dalam
ijtihadnya adalah berpegang pada ma’quul-annash dan mengeluarkan illah atau hikmah yang
dimaksud dari pada nash itu, kemudian menerapkannya pada semua masalah yang sesuai
illahnya dengan illah yang dinashkan. Hal demikian kemudian dinamakan qiyash. Dalam hal
lain para sahabat bermusyawarah dalam mencari hukum yang tidak ada nashnya, kemudian
mereka sepakat dalam hukum yang mereka temukan dalam suatu masalah itu, yang kemudian
dinamai dengan al-ijmaa’.Para ulama telah menyebutkan bahwa dari praktek khlafaurrasyidin
itu terdapat perluasan dasar tasyri’ islam disamping khulafaur-rasyidin itu terdapat juga
alqiyaash dan al ijmaa’
Sumber hukum islam yang dipakai pada masa khulafaurrasyidin adalah :
1. Alquran
2. Sunnah Nabi
3. Ijtihad sahabat (ijma’ dan qiyash)

a. Alquran dan Sunnah


Sepeninggal nabi, terjadi banyak permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan.
Padahal, para sahabat tidak bisa lagi menanyakan penyelesaian masalah pada nabi karena nabi
telah wafat. Sehingga, mereka sendirilah yang harus memutuskan penyelesaian masalah
tersebut. Keharusan untuk menyelesaiakan permasalahan yang terjadi ini mendorong umat
islam untuk menyelidiki Alquran dan Sunnah. Dalam berfatwa, para sahabat selalu berpegang
pada :
1. Alquran, karena dialah asas dan tiang agama. Mereka selalu memahaminya dengan jelas dan
terang karena Alquran diturunkan dengan lidah (bahasa) mereka serta keistimewaan mereka
mengetahui sebab-sebab turunnya dan ketika itu belum seorang pun selain Arab telah masuk
di kalangan mereka.
2. Sunnah rasulullah. Para sahabat telah sepakat untuk mengikuti sunnah nabi kapan saja
mereka mendapatkannya dan percara pada perawi yang benar periwayatannya. Hal ini
didasarkan pada hadist sebagai berikut :

‫تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب للا‬


‫و سنة نبي‬

Artinya:
Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang pada keduanya, niscaya tidak
akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”.

b. Ijtihad Shahabat
Namun ternyata ada masalah yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam Alquran
dan Sunnah. Hal ini disebabkan karena pada masa nabi, wilayah kekuasaan islam hanya sebatas
semenanjung arab. Tapi pada masa khulafaurrasyidin, kekuasaan islam mulai meluas dan
membentang keluar dari jazirah arab, meliputi: Mesir, Syiria, Persia dan Irak. Luasnya wilayah
tersebut menyebabkan kaum Muslimin menghadapi banyak kejadian dan persoalan yang
belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini mendorong umat muslim untuk berijitihad, yakni
mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’
sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah nabinya. Ijtihad para sahabat dalam arti luas adalah
bahwa mereka melihat dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap hal-hal lain dan lain
sebagainya.
Ijtihad ada dua:
1. Mengambil hukum dari dzahir-dzahir nash apabila hukum itu diperoleh dari nash-nash
itu.
2. Mengambil hukum dari ma’qul nash karena nash itu mengandung illat yang
menerangkannya, atau illat itu dapat diketahui dan tempat kejadiannya yang di
dalamnya mengandung illat, sedang nash tidak memuat hukum itu.
Sebab-sebab adanya ijtihad :
Sebelum adanya ijtihad dan qiyas itu perlu dijelaskan terlebih dahulu yaitu tentang
pemahaman dalil-dalil. Dalil-dalil tersebut terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Dalil yang bersifat Qath’i (pasti dan jelas)
2. Dalil yang bersifat dhanni (perkiraan dan dugaan berat)
Kalau pada dalil yang bersifat Qath’i, itu sudah pasti jelas maksud dan hukumnya.
Sedangkan pada dalil yang bersifat dhanni ini masih bisa menimbulkan berbagai macam
penafsiran-penafsiran, disebabkan karena pada dalil-dalil yang bersifat dhanni ini terdapat
ketidakjelasan tentang maksud dan hukumnya. Dalil yang bersifat dzonni inilah para ulama
membuat istilah ijtihad dan qiyas, dengan tujuan untuk menafsirkan maksud dan hukum yang
terdapat pada dalil-dalil dzanni tersebut.

c. Ijma’
Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad
kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hokum suatu masalah. Hasil
musyawaroh sahabat ini disebut ijma’. Kemudian rasulullah telah menyediakan metode-
metode buat ijtihad bagi mereka, melatih dan meridhoi mereka serta menetapkan pahala
ijtihadnya baik salah maupun benar. Tentang ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan dalil bahwa
seorang hakim ketika ia berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kemudian benar hasilnya,
maka ia mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia mendapatkan satu pahala.
Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram, yaitu
suatu gambaran cara-cara mereka melakukan istimbath hukum, ia berkata : apabila suatu
perselihan di ajukan kepada abu bakar, maka ia lihat kitab Allah. Apabila di temukan di sana
hukum yang dapat memutuskan masalah yang terjadi di antar mereka, maka ia putuskan dengan
hukum tersebut. Bila tidak ditemukan dalm kitab Allah, ia ketahui dari sunnah rasul tantang
masalah itu, maka ia putuskan dengan sunnah tersebut. Bila tidak di temukan jaga ia keluar
dan bertanya pada kaum muslimin: suatu masalah di ajukan padaku lalu apakah kalian
mengetahui bahwa nabi pernah memutuskan suatu hukum dalam masalah ini? Terkadang
semua golongan berkumpul dan menuturkan suatu kepusan dari rasulullah. Bila tidak di
temukan juga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang
terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh kesepakatan hukumnya, maka ia putuskan
masalah tersebut dengan hasil kesepakatan itu.
Langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar dalam mengambil keputusan adalah sebagai
berikut :
a. Mencari ketentuan hukum dalam Alquran. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan
ketetapan yang ada dalam Alquran.
b. Apabila tidak menemukannya dalam Alquran, ia mencari ketentuan hukum dalam
Sunnah. Bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada pada sunnah.
c. Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah
rasulullah telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia
memutuskan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah
memenuhi beberapa syarat.
d. Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar
sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada
kesepakatan diantara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.

D. Ro’yu
Untuk menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu para sahabat terlebih dahulu
menunjuk kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak menemukan ketetapan
hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat menggunakan akal
pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran islam. Sebagai contoh dapat diungkapkan siapa yang
menjadi khalifah sesudah Nabi Muhammad meninggal dunia. Permasalahan ini diselesaikan
berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagi pengganti nabi menjadi Imam shalat ketika
nabi tidak dapat menjadi imam karena sakit. Tentang qiyas boleh di pakai selama tidak
menyalahi dalil yang shohih. Hanya saja mereka menyebut kata ra’yu (pendapat) terhadap
sesuatu yang dipertimbangkan oleh hati setelah berpikir, mengamati, dan mencari untuk
mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang terlihat. Sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu
Qayyim. Dengan demikian, menurut mereka ra’yu tidak sebatas qiyas (analogi) saja,
sebagaimana dikenal sekarang, tetapi meliputi analogi, ihtisan, Baraah, Ashliyah, Saddu
Dzara’i dan Maslahah al-Mursalah.
2. Faktor Kondisional dan Situasional yang Mempengaruhi Tasyri’ Islam masa
Khulafaur Rasyidin

a. Akar masalah yang terjadi dalam pengambilan tasyri’


1. Luasnya wilayah islam masa khulafaurrasyidin
Periode kekuasaan pemerintahan nabi Muhammad SAW hanya meliputi semenanjung
Arabia tetapi periode khulafaur Rasyidin meliputi wilayah arab dan wilayah non arabsehingga
masalah yang muncul semakin kompleks sementara ketetapan hukum yang rinci di dalam
alquran dan alhadis terbatas jumlahnya. Oleh karena itu khulafaurrasyidin mengahadapi
banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di masyarakat arab. Misalnya masalah pengairan,
keuangan, cara menetapkan hukum di pengadilan, dan budaya hukum di Damaskus, Mesir,
Irak, Iran, Maroko, Samarkand, Andalusia.
2. Sahabat khawatir akan kehilangan Alquran karena banyaknya sahabat yang hafal alquran
meninggal dunia dalam perang melawan orang-orang murtad.
1. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat terhadap alquran akan
seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelumnya.
2. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah SAW.
3. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari hukum Islam.
4. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syariat
kerena islam petunjuk bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam
Alquran dan sunnah.

b. Pendapat sahabat dalam pengistimbatan tasyri’


Pengistimbatan pada masa ini sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka tidak
memprediksikan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira bahwa hal itu
akan terjadi lalu meneliti hukumnya sebagaimana ulama mutaakhirin. Sahabat membatasi pada
kasus-kasus yang perlu difatwakan saja. Mereka berpendapat bahwa
1. Sesungguhnya menyibukkan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi adalah sia-sia,
membuang-buang waktu untuk perbuatan baik dan bajik serta menyia-nyiakan waktu yang
berharga.
2. Mereka memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain untuk berfatwa
karena takut meleset dan salah. Oleh karena itu mereka menjauhi perluasan fatwa terhadap
kasus-kasus yang belum terjadi. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwasanya apabila ia
apabila dimintai fatwa dalam masalah yang ditanyakan. Bila kasusnya telah terjadi, maka Zaid
memberikan fatwanya, namun bila kasusnya belum terjadi ia berkata, “biarkanlah sampai
kasusnya terjadi.”
3. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat yang mengeluarkan fatwa dan
ra’yu (pendapat) pada masa ini adalah khalifah dan para pembantunya. Disamping kesibukan
mengatur negara Islam dan politik kaum muslimin; baik keagamaan maupun keduniaan. Inilah
yang membuat mereka sibuk sehingga menjauhi menentukan dan mengira-ngira.
Para ulama sahabat mengambil beberapa tindakan untuk menjamin kebenaran riwayat
diantaranya;
1. Para sahabat, termasuk sahabat Abu Bakar tidak menerima hadist yang tidak
disaksikan lebih dari satu orang.
2. Para sahabat tidak membukukan hadist sehingga terbagilah hadist-hadist berdasarkan
perawi-perawinya.
3. Para sahabat tidak membukukan hasil ijtihad mereka. Sehingga sulit sekali bagi
generasi seterusnya kesulitan untuk mengetahui pendapat mereka.

c. pengaruh pengambilan hukum masa khulafaurrasyidin terhadap perkembangan


tasyri’ islam
1. Fatwa-fatwa yang diungkapkan para sahabat pada zaman khulafaur rasyidin
mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum islam. Banyak para ulama dan
imam madzhab merujuk pada pendapat para sahabat besar.
2. Sahabat melakukan penelaahan terhadap Alquran dan Sunah dalam menyelesaikan
suatu kasus. Apabila tidak didapatkan dalam Alquran dan Sunnah, mereka melakukan
ijtihad. Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang
muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Dengan dimuainya ijtihad oleh para
sahabat, permasalahan-permasalahan kontemporer umat islam dapat terselesaikan
dengan bijak dan benar. Hal ini kemudian mendorong para ulama sesudah masa sahabat
besar untuk mengembangkan lagi ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian
permasalahan-permasalahan hukum islam, bahkan masalah yang belum dihadapi.
3. Sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang
dihadapi. Thuruq al-Istinbath tersebut digunakan dalam rangka menyelesaikan kasus
yang dihadapi. Sehingga generasi sahabat kecil dan tabiin mengikuti jejak shahabat
besar dalam menyelesaikan suatu perkara.
d. terjadinya perbedaan pendapat
Sebab-sebab Ikhtilaf pada Zaman Sahabat Ikhtilaf zaman sahabat disebabkan oleh tiga
hal yaitu :
1. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Alquran.
a.. Dalam alquran terdapat kata atau lafadz yang bermakna ganda (isytira’). Umpamanya
firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi :

‫ح ام ه َّن إ ُن‬ َ ‫ق َّللاَّ ف ي أ َ ُر‬ ُ َّ ‫َو ال ُ م ط َ ل َّ ق َ ات ي َ ت َ َر ب‬


َ ‫ص َن ب أ َن ُ س ه َّن ث َ ََل ث َ ة َ ق ر و ٍء ۚ َو ََل ي َ ح ُّل ل َ ه َّن أ َ ُن ي َ كُ ت ُم َن َم ا‬
َ َ‫خ ل‬
‫ح ا ۚ َو ل َ ه َّن م ث ُ ل ا ل َّ ذ ي‬
ً ‫ص ََل‬ُ ‫ق ب َر د ه َّن ف ي ذ َٰ َ ل َ إ ُن أ َ َر اد وا إ‬ ُ ‫ك َّن ي ُؤ م َّن ب اَّللَّ َو ال ُ ي َ ُو م‬
َ َ ‫اْل خ ر ۚ َو ب ع و ل َ ت ه َّن أ‬
ُّ ‫ح‬
ٌ‫ح ك ي م‬َ ‫ج ة ٌ ۗ َو َّللاَّ ع َ ز ي ٌز‬ َ ‫ع َ ل َ ي ُ ه َّن ب ال ُ َم ع ُ ر وف ۚ َو ل لر‬
َ ‫ج ال ع َ ل َ ي ُه َّن د َ َر‬

Artinya :
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(Q.S. Al-Baqarah: 228)

Kalimat “yang diceraikan oleh suaminya hendaklah menunggu tiga kali quru’,membuat
para sahabat berbeda pendapat. Perbedaan ini disebabkan kata quru’ mengandung dua arti
yakni Al-haidl dan at-thuhr. Adanya dua makna ini membuat terjadinya perbedaan pendapat.
Umar ibn Khattab memilih makna al-haidl sebagai makna quru’. Sedangkan sahabat Zaid bin
Tsabit menggunakan makna At-tuhr.

2. Perbedaan pendapat yang disebabkan oleh sifat Sunnah


Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama terhadap sunnah. Di antara mereka
ada yang penguasaan sunnahnya cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena
perbedaan mereka dalam menyertai nabi.Adayang intensif dan ada yang tidak, ada yang paling
awal masuk islam dan ada pula yang paling akhir.
Kadang-kadang riwayat telah sampai pada seorang sahabat tetapi tidak atau belum sampai
pada sahabat lain, sehingga diantara mereka ada yang mengamalkan ra’y karena ketidaktahuan
mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu Hurairah berpendapat bahwa orang yang masih
junub pada waktu shubuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, (man ashabaha junub (an) fa la
shaum lah). kemudian pendapat ini didengar oleh aisyah yang berpendapat sebaliknya. Aisyah
menjadikan peristiwa dengan nabi sebagai alasan. Maka Abu Hurairah menarik kembali
pendapatnya.
Sahabat berbeda pendapat dalam penakwilan Sunnah. Umpamanya, thawaf. Sebagian besar
sahabat berpendapat bahwa bersegera dalam thawaf adalah sunnah, sedangkan Ibnu Abbas
berpendapat bersegera dalam thawaf tidak sunnah. Perbedaan struktur masyarakat dan
perubahan zaman menimbulkan perbedaan dalam menetapkan sesuatu pendapat.

3. Perbedaan pendapat dalam menggunakan wahyu


Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang disebabkan oleh penggunaan ra’yu
diantaranya perbedaan pendapat antara Umar dan Ali tentang permepuan yang menikah dalam
waktu iddahnya. Menurut Umar, apabila seorang wanita menikah dalam masa iddahnya, tetapi
ia belum dukhul, maka pasangan itu wajib dipisah. Dan perempuan itu wajib menyelesaikan
waktu tunggunya. Apabila sudah dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan
dua waktu tunggu. Waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu tunggu dari suami
berikutnya. Sedangkan menurut ali, perempuan itu hanya diwajibkan menyelesaikan waktu
tunggu yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan Umar berpegang pada
tujuan hukum, yakni agar orang tidak lagi melakukan pelanggaran.

3. Keputusan-keputusan yang Ditetapkan pada Masa Khulafaur Rasyidin

a. Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Khalifah Abu Bakar adalah seorang ahli hukum yang tinggi mutunya dan dikenal
sebagai orang yang jujur dan disegani. Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. sebelum
masuk islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan
dan menyiarkan islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka yang
memeluk agama islam dan kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan islam yang ternama.
Dan kerena hubungannya yang ssangat dekat dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai
pengertian yang dalam tentang isalm dibanding yang lain. Karena itu pula pemilihannya
sebagai khalifa pertama tepat sekali.

a. Tindakan-tindakan Penting yang Dilakukan Abu Bakar:


a. Pidatonya pada waktu pelantikan yang berbunyi:
“Aku telah kalian pilih sebagai khalifah, kepala Negara. Tetapi aku bukanlah orang yang
terbaik diantara kalian. Kerena itu, jika aku melakukan sesuatu yang benar, ikutilah, dan
bantulah aku. Tetapi jika aku melakukan kesalahan, perbaikilah. Sebab menurut pendapatku,
menyatakan yang benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah pengkhianat.” Selanjutnya
beliau berkata, “Ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasulnya. Kalian
berhak untuk tidak patuh kepadaku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian.”
Kata-katanya itu sangat penting artinya dipandang dari sudut hukum ketatanegaraan dan
pemikiran politik islam. Sebab, kata-katanya itu dapat dijadikan dasar dalam menentukan
hubungan antara rakyat dengan penguasa, antara pemerintah dan warga negara.
b. Cara yang dilakukan dalam memecahkan persoalan yang timbul di masyarakat. Mula-mula
pemecahan masalah itu dicarinya dalam wahyu tuhan. Kalu dalam wakyu tuhan tidak ada,
dicarinya dalam wahyu nabi. Kalau dalam sunnah nabi tidak diperoleh pemecahan masalah,
Abu bakar bertanya kepada para sahabat nabi yang dikumpulkan dalam majelis. Mejelis ini
melakukan ijtihad lalu timbullah konsesus bersama yang disebut ijma’ mengenai masalah
tertentu. Dalam masa abu bakar inilah apa yang disebut dalam kepustakaan sebagai ijma’
sahabat.
c. Pembentukan panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Alquran yang
telah ditulis pada zaman nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah-pelepah kurma, tulang-
tulang unta, kemudian dihimpun dalam satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh Zaid bin Tsabit,
salah seorang sekretaris nabi Muhammad. Sebelum diserahkan kepada Abu Bakar, himpunan
naskah Alquran itu diuji dahulu ketepatan pencatatannya dengan hafalan para penghafal
Alquran yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah Khalifah Abu Bakar meninggal dunia,
naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab. Dan sesudah Khalifah Umar meninggal pula,
naskah Alquran itu disimpan dan dipelihara oleh Hafshah, janda nabi Muhammad.

b. Masa Khalifah Umar bin Khattab


Setelah khalifah Abu bakar meninggal dunia, Umar bin Khattab menjadi khalifah tahun
13 H/634 M. Dalam masanya daerah islam berkembang dan meluas antara lain: Mesir, Iraq,
Adjebijan, Parsi, Siria. Umar telah mengusir orang-orang Yahudi dan Jazirah Arab. Dan
Umarlah yang pertama kali menyusun adsministrasi pemerintahan, menetapkan peradilan dan
perkantoran, serta kalender penanggalan.
Umar dkenal sebagai Imam Mujtahiddin. Pada masanya ida berijtihad antara lain tidak
menghukum pencuri dengan potong tangan karena tidak ada illat untuk memotongnya. Pencuri
itu merupakan pegawai dari majikannya yang kaya raya yang tidak memberikan gaji secara
wajar. Maka umar menjalankan istislah, yang kemudian dinamai almaslahatul mursalah. Umat
tidak memberikan zakat kepada almullafatu qulubuhum karena tidak ada illat untuk
memberikannya, maqashid yang terdapat dalam ayat ma’qulun-nash itu tidak terdapat. Yang
kemudian dianamai dengan al-ihtihsaan dll.
Selain itu yang perlu dicatat dari Umar adalah sikap tolerannya terhadap pemeluk
agama lain. Hal itu terbukti ketika beliau hendak mendirikan masjid (yang sekarang terkenal
dengan masjid Umar) di Jerussalem. Karena di tempat itu telah berdiri suatu tempat ibadah
umat Kristen dan Yahudi, sebelum mendirikan masjid tersebut, Umar turun terlebih dahulu,
memberitahukan maksudnya dan memohon kepada pemimpin agama golongan Kristen dan
Yahudi di tempat itu. Padahal sebagai seorang khalifah atas seluruh daerah tersebut, Umar
tidak wajib melakukan hal itu. Namun, ia melakukan hal tersebut karena sikapnya yang toleran
terhadap pemeluk agama lain.
Karena usianya yang masih relatif muda dibandingkan dengan Abu Bakar, Umar lama
memegang pemerintahan. Sikapnya keras dan sebagaimana biasanya orang yang mempunyai
sikap keras, selalu berusaha bertindak adil melaksanakan hukum. Terkenal keberaniannya
dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan keadaan nyata pada suatu saat tertentu. Ia
mengikuti Abu Bakar dalam menemukan hukum. Namun demikian, Khalifah Umar terkenal
keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan ketentuan hukum yang terdapat dalam
Alquran untuk mengatasi sesuatu masalah yang timbul dalam masyarakat berdasarkan
kemaslahatan atau kepentingan umum.

a. Tindakan-tindakan Khalifah Umar ;


a. Turut aktif menyiarkan agama Islam sampai ke Palestina, Syiria, Irak, danPersiaserta ke
Mesir.
b. Menentukan tahun Hijriyah sebagai tahun islam yang terkenal berdasarkan peredaran bulan
(qamariyah). Dibandingkan dengan tahun Masehi yang didasarkan pada peredaran matahari
(syamsiyahh), tahun Huijriyah lebih pendek. Perbedaan pergeserannya 11 hari lebih dahulu
dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun hijriyah ini dilakukan pada tahun 638 M dengan
bantuan para ahli hisab (hitung) pada waktu itu.
c. Menetapkan kebiasaan shalat tarawih, yaitu salat sunnah malam yang dilakukan sesudah
shalat isya, selama bulan Ramadhan.

Tindakan Umar dalam bidang hukum, ada beberapa contoh ijtihad Umar antara lain sebagai
berikut :
a. Talak tiga, yang diucapkan sekaligus di suatu tempat pada suatu ketika dianggap sebagai
talak yang tidak mungkin rujuk (kembali) sebagai suami istri. Kecuali salah satu pihak (dalam
hal ini bekas istri) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ini ditentukan oleh
Umar berdqsarkan kepentingan wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah
mnegucapkan talak tiga sekaligus kepada istrinya, untuk dapat bercerai dan kawin lagi dengan
wanita lain. Tujuannya dalah untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaan hak talak
yang berada di tangan pria. Tindakan ini dilakukan oleh Umar agar pria berhati-hati
mempergunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga sekaligus yang di
zaman nabi dan Khalifah Abu Bakar dianggap (jatuh sebagai) talak satu. Umar menetapkan
garis hukum yang demikian untuk mendidik suami supaya tidak menyalahgunakan wewenang
yang berada dalam tangannya.
b. Pemberian hak zakat kepada mualaf (orang yang baru masuk islam) seperti yang ditetapkan
dalam Alquran. Dikarenakan ia perlu dilindungi karena masih lemah imannya dan (mungkin)
terputus hubungan dengan keluarganya. Pada zaman rasulullah, golongan ini memperoleh
golongan zakat, tapi Umar menghentikan pemberian zakat kepada muallat berdasarkan
pertimbangan, islam lebih kuat sehingga tidak perlu diberi keistimewaan.
c. Menurut alquransuratAl-Maidah (5) ayat 38, disebutkan tentang hukuman potong tangan
bagi pencuri. Pada masa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat di
semenanjung Arabia. Dlam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman
hukuman pencuri yang disebut dalam alquran tidak dilaksanakan karena pertimbanagn keadaan
darurat dari kemaksiatan (jiwa) masyarakat.
d. Di dalam alquran suratAl Maidah Ayat 5 terdapat ketentuan yang memperbolehkan pria
muslim menikahi wanita ahlulkitab (wanita yahudi dan Nasrani). Akan tetapi khalifah Umar
melarang kawin campur antara lelaki islam dengan wanita yahudi atau nasrani demi
melindungi kedudukan wanita islam dan keamanan Negara.

Sepintas lalu keputusan-keputusan (dalam kepustakaan terkenal dengan ijtihad) Umar


itu seakan-akan bertentangan dengan ketentuan Alquran. Namun, kalau dikaji sifat hakikat
ayat-ayat tersebut dalam kerangka tujuan hukum Islam keseluruhannya, ijtihad yang dilakukan
Umar bin Khattab itu tidak bertentangan dengan maksud ayat-ayat hukum tersebut.Pokok-
pokok pikiran mengenai peradilan; yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-
Asyari. Isinya antara lain :
a. Kewajiban seorang hakim adalah memutuskan suatu perkara;
b. Hakim mempelajari dahulu berkas perkara itu sebaik-baiknya. Setelah jelas duduk
perkaranya, keputusan hakim harus seadil-adilnya.
c. keadilan harus diwujudkan dalam praktik, sebab kalau ia tidak diwujudkan, keadilan tidak
ada artinya. Hakim harus menyamakan kedudukan kedua pihak yang bersengketa haruslah
disamakan kedudukannya. Dengan demikian, orang yang kuat tidak akan dapat mengharapkan
sesuatu dan yang lemah tidak akan sampai putus asa karena mendambakan keadilan hakim;
d. Hakim harus berperan mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa
e. Hakim tidak boleh menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
f. Tidak ragu dalam mengambil keputusan dan tidak ragu mengubah keputusan tersebut jika
ternyata keputusan tersebut salah;
g. Bila hakim tidak mendapat ketentuan hukum suatu perkara dari Alquran dan sunnah, hekim
menggunakan hukum qiyash.
h. Memilih penyelesaian perkara yang lebih diridlai Allah dan lebih sesuai serta mendekati
kebenaran.

c. Masa Pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan

Panitia pemilihan khalifah memilih Utsman menjadi khalifah ketiga menggantikan


Umar bin khattab. Pemerintahan Utsman ini berlangsung dari tahun 644 sampai 655 M. Ketika
dipilih, Utsman telah berusia 70 tahun. Ia seorang yang mempunyai kepribadian yang lemah.
Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang di sekitarnya untuk mengejar keuntungan
pribadi, kekayaan dan kemewahan. Hal ini dimanfaatkan utamanya oleh keluarganya sendiri
dan golongan Umayyah. Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-jabatan penting dikuasai
oleh familinya. Pelaksanaan pemerintahan seperti ini dalam bahas orang-orang sekarang
disebut nepotisme(kecendrungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara/
keluarga sendiri). Timbullah klik system dalam pemerintahan.

a. Tindakan-tindakan Khalifah Utsman:


1. Membentuk kembali panitia yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Zubair,
Said bin Ash, dan Abdurrahman bin Harrits menjalin kembali naskah-naskah Alquran kedalam
lima mushaf (kumpulan lembaran-lembaran yang ditulis, dan alquran itu sendiri juga disebut
mushaf), kemudian dikirim ke ibukota provinsi (Makkah, Kairo, Damaskus, Bagdad). Naskah
itu disimpan di masjid besarnya masing-masing seperti umat Indonesia menyimpan Alquran
pusakanya di masjid Baiturrahim di komplek Istana Merdeka Jakarta. Satu naskah disimpan di
Madinah untuk mengenang jasa Utsman. Hal itu terjadi pada tahun 30 H/ 650 M. Naskah
mushaf Usmany adalah naskah yang dikirim pada masanya. Sebagai kenang-kenangan atas
jasa-jasanya, Utsman disebut juga Al-imam. Mushaf Usmany di salin dan diberi tanda-tanda
bacaan di Mesir seperti yang kita liat sekarang ini.
Penelitian terhadap kitab-kitab suci agama di dunia sekarang menunjukkan bahwa diantara
kitab-kitab suci yang ada, hanya Alquran yang tidak dapat dibuktikan telah pernah dipasulkan
oleh tangan manusia. Ia tetap asli seperti waktu diturunkan dahulu, tanpa perubahan sedikitpun
baik dalam surah maupun dalam ayat dan kalimat-kalimatnya.

b. Menyalin dan membuat alquran standar yang disebut dengan kodifikasi Alquran.
Standarisasi Alquran ini perlu diadakan. Karena, pada masa itu, wilayah Islam sangat luas dan
didiami oleh berbagai suku bangsa dan dialek yang tidak sama. Karena itu, di kalangan
pemeluk agama islam terjadi perbedaan ungkapandan ucapan tentang ayat-ayat alquran yang
disebarkan melalui hafalan. Perbedaan cara mengungkapakan itu menimbulkan perbedaan arti.

c. Meluaskan daerah pemerintahan sampai ke baros, Maroko, India dan Konstantinopel.

4. Ali bin Abi Thalib


Setelah Utsman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi Thalib
menjadi khalifah keempat. Ia memerintah dari tahun 656 sampai tahun 662 M. Sejak kecil ia
diasuh dan didik oleh nabi Muhammad, oleh karena itu, hubungannya rapat sekali dengan
nabi. Ali adalah keponakan dan menantu Nabi SAW, setelah ia menikah dengan putri nabi,
Fathimah Az-zahra. Ketika nabi Muhammas masih hidup, Ali sering ditunjuk oleh nabi
menggantikan beliau menyelesaikan masalah-masalah penting. Nabi Muhammad sendiri
pernah menyatakan bahwa hubungan nabi dengan Ali dapat dimisalkan seperti Nabi Musa dan
Harun. Dan karena itu pula, orang berkata bahwa Ali telah mengambil suri teladan, ilmu
pengetahuan, budi pekerti, dan kebersihan hati Nabi Muhammad Saw. Karena itu banyak orang
yang berpendapat bahwa ia lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lainnya. Yang
berpendapat demikian terkenal dengan golongan syi’ah. Ali terkenal dengan kemahirannya
sebagai qadli, sejak zaman Nabi.
Semasa pemerintahan Ali, tidak banyak yang diperbuat untuk mengembangkan hukum islam.
Hal ini dikarenakan keadaan Negara tidak stabil. Di sana sini timbul bibit-bibit perpecahan
yang serius dalam tubuh umat islam yang bermuara pada perang saudara dan timbulnya
kelompok-kelompok besar umat islam sekarang ini, antara lain :
1. Kelompok Ahlussunnah waljamaah (suni), yaitu kelompok atau jamaah yang
berpegang teguh pada sunnah nabi Muhammad;
2. Kelompok syiah yaitu pengikut ali bin Abi Thalib.
Dasar perpecahan adalah perbedaan pendapat mengenai masalah politik, yakni siapa saja
yang berhak menjadi khalifah, masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, system
hukum dan kekeluargaan. Golongan syiah banyak terdapat di Lebanon, Irak, Pakistan, dan
India. Bekas pengaruhnya terdapat di Indonesia, tepatnya di Tanjung Priok, di Pasar Koja.

D. PENUTUP

Setelah sepeninggal Rasulullah SAW, pengambilan keputusan dilakukan oleh sahabat,


utamanya khulafaur rasyidin juga dengan sahabat-sahabat besar yang lain seperti Zaid bin
Tsabit, Ibnu Masud dll. Pada masa khulafaurrasyidin, terjadi berbagai permasalahan yang
belum pernah terjadi pada masa Rasulullah. Sehingga, timbullah penafsiran nash-nash ayat dan
terbukalah pintu istinbath terhadap masalah-masalah yang tidak ada nash yang jelas.
Ketika mengambilan keputusan, khulafaur rasyidin dan para shahabat tetap berpegang pada
Alquran dan Sunnah namun jika penyelesainya tidak ditemukan dalam alquran dan sunna maka
shahabat melakukan ijtihad berupa ijma’ dan qiyash. Hal ini dilakukan bila tidak ada
penyelesaian tertulis dalam Alquran dan Sunnah.
Pengambilan keputusan pada masa khulafaur Rasyidin ini menjadi rujukan bagi ulama-
ulama mutaakhirin dan menjadi dasar pijakan bagi generasi setelahnya dalam mengambil
keputusan untuk menyelesaikan masalah syari’at. Akan tetapi fatwa-fatwa yang muncul pada
zaman khulafaurrasyidin tersebut amat terbatas. Dikarenakan sahabat lebih memilih untuk
tidak membicarakan pengambilan keputusan jika tidak ada terjadi masalah. Para sahabat juga
tidak membukukan fatwa mereka sehingga menyulitkan generasi setelahnya untuk
mendapatkan pendapat para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA

Bik, H. (n.d.). Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Al-Hidayah.


Bik, H. (1980). Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Terjemah Muhammad Zuhri. Cet IV,. Semarang:
Darul Hidayah.
Wahab, A. h. (2005). Sejarah Hukum Islam. Cet I. Bandung: Maljah.
Ramulya, I. (2004). Asas-asas Hukum Islam. Cet.I. Jakarta: Sinar Grafika.
Zuhri, M. (1980). Tarikh Tasyri’ Al-Islam. Cet II. Semarang: Darul Ikhya.
Alquran Al Kariim. (n.d.).

Anda mungkin juga menyukai