Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur bagaimana proses
perpindahan harta seseorang kepada orang lain setelah manusia tersebut
meninggal dunia, dengan sebuah peraturan yaitu hukum kewarisan. Dalam
hukum kewarisan Islam, pembagian harta peninggalan harus diberikan kepada
para ahli waris sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam, 1 dan
Islam telah mengatur ketentuan-ketentuan tersebut dalam al-Qur‟an yang
diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi manusia, Setiap ayat dan
perintah hukum yang dikandungnya memiliki tujuan dan hikmah tersendiri
untuk kemaslahatan manusia. Disyari‟atkannya suatu hukum tentu memiliki
tujuan dan maslahat yang dikehendaki oleh hukum Islam, karena Allah
mensyariatkan hukum untuk kemaslahatan hamba-Nya.2
Hukum kewarisan merupakan salah satu persoalan yang penting dalam
Islam, dan merupakan hukum yang tercermin langsung dari teks-teks suci
yang telah disepakati keberadaannya. Teks fikih klasik menyebut hukum
kewarisan Islam dengan ilmu fara‟id yang diartikan dengan ilmu bagian yang
pasti.3
Munawir Sjadzali, menteri agama RI dua periode (1983-1993)
mengemukakan pemikiran yang di istilahkan dengan “Reaktualisasi Ajaran
Islam”, teori ini berangkat dari ketidaksepakatan Munawir terhadap ”Sikap
Mendua” umat terhadap ajaran Islam, yaitu dengan mengakui keberadaan
hukum Islam namun tidak melaksanakanya, seperti dalam hukum kewarisan
1
Abdul Qodir Djaelani, Keluarga Sakinah (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hlm. 57.
2
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmy (Bandung: Gema Risalah Press,
1996), hlm. 111.
3
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral
Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 15.
2

Islam. Teori reaktualisasi ajaran Islam yang dikemukakan oleh Munawir


Sjadzali menawarkan peninjauan kembali mengenai pembagian harta waris
2:1 bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Menurut Munawir, ketentuan
pembagian harta warisan 2:1 mempunyai latar belakang sosio-kultural dimana
ketentuan tersebut disyari‟atkan, sehingga dengan demikian dimungkinkan
adanya modifikasi yang dirasa lebih adil dan sesuai dengan kondisi masa
kini.4
Bagi Munawir Sjadzali, ketentuan pembagian waris seperti yang
terdapat dalam Q.S. an-Nisa' (4) tersebut masih belum mencerminkan
keadilan.5 Akan tetapi, menurut Munawir bukan beliau sendiri yang
menyatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang ditentukan oleh al-Qur‟an
itu tidak adil, tetapi justru Munawir menyoroti sikap masyarakat yang
tampaknya tidak percaya lagi kepada keadilan hukum fara‟id.6
Dalam mengkaji hukum kewarisan Islam, Munawir merujuk pada
keberanian khalifah Umar bin Khattab dalam berijtihad dan menerapkan
hukum yang berbeda dengan ketentuan al-Qur‟an, yaitu dengan
mengutamakan jiwa syari‟at Islam daripada formalisme teks al-Qur‟an dan
Hadits.7 Selanjutnya Munawir berpendapat bahwa penafsiran al-Qur‟an
hendaknya dilakukan secara menyeluruh, dan dilakukan dengan senantiasa
mengkaitkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, agar tidak terjadi
kekeliruan dalam memahami makna yang sebenarnya dari ayat al-Qur‟an.8
Dalam hal ini Munawir mengaitkan ayat-ayat kewarisan dimana terdapat
pernyataan bahwa anak laki-laki mendapatkan bagian dua kali lebih besar dari

4
A. Rahman Zainudin, dkk. Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir
Sadjali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 293.
5
Rachmat Djatnika, dkk, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 87.
6
Djatnika, dkk, Hukum ..., hlm. 86.
7
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipator Hingga Emansipatoris
(Yogyakarta : LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 91.
8
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1990), hlm. 6.
3

yang diterima anak perempuan, dengan surat an-Nahl (16): 90 yang berisi
perintah untuk berbuat adil dan kebajikan.9 Dari dasar ini Munawir
memahami bahwa dalam ayat-ayat kewarisan sebenarnya terdapat ketentuan
pembagian 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan.10
Menurut Munawir Sjadzali, ketentuan 2:1 dalam pembagian waris
sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, baik secara langsung
maupun tidak langsung, seperti membagi harta kekayaan kepada para ahli
waris sebelum meninggal, masing-masing mendapatkan bagian yang sama
besar tanpa membedakan jenis kelamin sebagai hibah, dengan demikian jika
telah meninggal nanti, maka harta kekayaan yang tersisa dan harus dibagi
menurut ketentuan hukum waris Islam hanya tinggal sedikit atau sudah tidak
ada sama sekali untuk dibagi. Menurut Munawir, hal tersebut merupakan
kebijakan mendahului (pre-emptive), serta merupakan “penyimpangan” secara
tidak langsung atau menurut istilah beliau menghindar dari hukum waris
Islam.11 Dan fenomena ini menurut Munawir termasuk kategori bermain-main
dengan agama, serta merupakan masalah serius dan berbahaya bagi akidah
dan iman.12 Dari uraian di atas, maka penulis ingin mengungkapkan pendapat
Munawir Sjadzali yang digunakan dalam merumuskan konsep tentang
kewarisan dalam Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah biografi Munawir Sjadzali?
2. Bagaimanakah pandangan Munawir Sjadzali terhadap hukum kewarisan
Islam?

9
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 63.
10
Fuad, Hukum ..., hlm. 95.
11
Sjadzali, Ijtihad ..., hlm. 62.
12
Sjadzali, Ijtihad ..., hlm. 8.
4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Munawir Sjadzali


Munawir Sjadzali merupakan tokoh intelektual dan tokoh agama yang
lahir di desa Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, pada 7 November 1925. Ia
adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan
Sjadzali (putra Tohari ) dan Tas’iyah (putri Badruddin) yang setelah menikah
mendapat nama tua yaitu Mughafir. Dari segi ekonomi keluarga Abu Aswad
bisa dikatakan tingkatanya dibawah garis kemiskinan, tetapi dari segi agama
keluarga ini sangat taat beragama ayah Munawir Sjadzali dalam pemahaman
agama sangat menguasai akan tetapi beliau tidak mempunyai keahlian dan
ketrampilan. Sedangkan ibunya tidak mengenal bangku sekolah formal dan
ayahnya tidak mempunyai yang pekerjaan tetap.13 Kondisi ekonomi yang
serba kekurangan dan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu
keagamaan, menghadapkan Munawir pada satu pilihan pendidikan di
madrasah. Selain karena biaya pendidikan di lembaga pendidikan Islam ini
relatif murah, juga karena lembaga pendidikan ini mengutamakan ilmu-ilmu
tradisional Islam. Karena alasan ini pula, setelah menamatkan Madrasah
Ibtidaiyah di kampungnya yang didirikan oleh ayah bersama rekan-rekannya.
Kemudian Munawir melanjutkan pendidikan ke Mambaul Ulum, Solo namun
sebelum ke Mambaul Ulum Ia melanjutkan pendidikannya ke madrasah al-
Islam yang juga disolo karena pada saat Ia lulus dari MI Ia belum mendapat
kesemptan untuk masuk keskolah idamannya itu, Munawir Sjadzali harus
tinggal di salah satu rumah saudaranya karena keluarganya tidak mampu
untuk membiayai tinggal di pondok/asrama. Sehingga Munawir tinggal

13
Munawir Sjadzali, Dari Lembah Kemiskinan, dalam buku Kontekstualisasi Ajaran Islam,
70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina thun 1995) hlm. 8
5

dirumah bibinya saudara dari ibunya. Dan itu pun hanya bertahan selama tiga
bulan , bukan karena keluarga bibinya tidak baik namun kerena Ia ingin
bebas. Dengan berat hati ayahnya memindahkannya ke sebuah pondok kecil
yang bernama pasar kembang dibawah asuhan K.Ma’ruf yang juga seorang
guru di Mambaul Ulum dengan sistem menumpang dengan pungutan
sekedarnya untuk pembayaran listrik sedangkan keperluan pribadi dan sehari-
hari ditanggung sendiri.
Munawir belajar di al-Islam hanya satu tahun lalu Ia masuk Mambaul
Ulum, pada tahun 1943 tepatnya di usia 17 tahun, Munawir berhasil
menyelesaikan sekolahnya di Mambaul Ulum dengan mengantongi ijazah dari
madrasah terkenal ini.14 Melihat pendidikan yang ditempuh, Munawir tidak
hanya dapat dikategorikan sebagai santri secara formal, tetapi juga
substansial. Sebagai santri, ciri yang paling menonjol dari Munawir adalah
kemampuannya untuk memahami kitab-kitab klasik Islam. Pada gilirannya,
hal ini membawa implikasi pada luasnya wawasan keagamaan, karir
intelektual dan pemerintahan, serta kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan jabatannya sebagai Menteri Agama. Setelah menyelesaikan
pendidikannya di Mambaul Ulum, Munawir melakukan pengembaraan
panjang yang membawanya ke Bandung, Magelang, Temanggung,
Yogyakarta, Semarang dan yang terahir di Selatiga dikota ini dalam keadaan
kehabisan bekal dan tidak mempunyai kenalan ia pun tinggal disebuah masjid.
Dikota itu menjadi permulaan kehidupannya walaupun dengan berbagai
rintangan. Pada suatu sore ia pun mendengar dari seorang pemuda anggota
jama’ah masjid bahwa sekolah rakyat Muhammadiyah dikota itu memerlukan
guru. Dan pada ahirnya Munawir menjadi guru disekolah itu dengan masa
percobaan dan langsung diberi uang saku karena melihat keadaannya.15
Setelah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah Selatiga dan kemudian

14
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 11.
15
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 19.
6

pindah menjadi guru di Gunungpati, Semarang atas tawaran dari seorang


tokoh Muhammadiyah setempat. Dari Gunungpati inilah keterlibatan
Munawir dalam kegiatan-kegiatan umat Islam dalam skala nasional dimulai.
Kegiatan Munawir yang tadinya hanya mengajar, berkembang ke arah
kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial. Munawir hampir selalu dilibatkan
dalam kegiatan yang diadakan oleh badan-badan resmi maupun swasta.
Bahkan di Gunungpati inilah untuk pertama kalinya Munawir bertemu dengan
Bung Karno yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Putera (Pusat
Tenaga Rakyat). Dan berkunjung ke Gunungpati, sebagai penghargaan atas
suksesnya Kecamatan ini dalam mengumpulkan dukungan untuk Putera.16
Seusai muktamar Munawir mempergunakan waktu luangnya untuk mencoba
menelaah konsepsi politik Islam yang berkembang di masa klasik. Dengan
memanfaatkan perpustakaan KH. Munawar Kholil, yang penuh dengan kitab-
kitab Islam klasik, Munawir berhasil menulis buku “Mungkinkah Negara
Indonesia Bersendikan Islam” Buku itu itu pun Ia cetak sebanyak 5000 kopi
dan habis terjual dalam waktu empat bulan.17 ini pula membuat Bung Hatta
tertarik pada Munawir, lalu Bung Hatta memfasilitasinya memperoleh
pekerjaan sebagai staf Seksi Arab/Timur Tengah Deplu (1950). Jadi, buku
inilah yang mesngantarkan Munawir meniti karir yang lebih tinggi,
Kementerian Luar Negeri.18

B. Pandangan Munawir Sjadzali tentang hukum kewarisan dalam Islam


Dalam hukum kewarisan Islam, pembagian harta warisan antara anak
laki-laki dan perempuan 2:1 merupakan sebuah ketentuan yang baku,
sebagaimana diterangkan di dalam surat An-Nisa‟ ayat 11.19 Namun, menurut
Munawir Sjadzali, di Indonesia sistem kewarisan tersebut masih diragukan

16
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 23.
17
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 45.
18
Munawir Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 46.
19
Q.S. An-Nisa>‟ (4): 11
7

pemberlakuannya. Keraguan munawir setidaknya memiliki beberapa alasan:


Pertama, ketika menjabat sebagai Menteri Agama RI, Ia mendapatkan laporan
dari para hakim Pengadilan Agama di berbagai daerah, termasuk daerah yang
kuat keislamannya seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, tentang
banyak terjadinya penyimpangan aturan pembagian tersebut. Menurut para
hakim, fatwa waris yang diberikan oleh Pengadilan Agama, mengenai
pembagian harta warisan dari seorang keluarga Muslim yang meninggal,
seringkali tidak dijalankan, padahal fatwa tersebut telah mengacu pada
ketentuan pembagian waris menurut hukum Islam. Sebaliknya, justru ahli
waris tersebut kembali meminta fatwa kepada pengadilan Negeri, yang dalam
hal ini menggunakan sistem pembagian yang berbeda. Praktek tersebut
disamping dilakukan oleh orang awam, juga dilakukan oleh tokoh organisasi
Islam yang cukup menguasai ilmu-ilmu keIslaman.20
Kedua, budaya penyimpangan secara tidak langsung terhadap
ketentuan pembagian waris dalam al-Qur‟an yang dilakukan oleh kepala
keluarga semasa hidupnya. Budaya yang dimaksud adalah perilaku kepala
keluarga yang semasa hidupnya membagikan harta kekayaan mereka sebagai
hibah kepada anak-anaknya, dengan bagian yang sama tanpa membedakan
jenis kelamin. Sebagai konsekwensinya, maka harta kekayaan mereka yang
harus dibagi kepada ahli waris tinggal sedikit atau hampir habis. Realita ini
berdasarkan pengalaman Munawir sendiri ketika meminta nasihat atau fatwa
tentang masalah pembagian harta miliknya jika kelak Ia telah meninggal,
kepada seorang ulama yang dipandangnya memiliki integritas dan penguasaan
ilmu agama yang tinggi,.21
Berangkat dari dua alasan tersebut, selanjutnya Munawir Sjadzali
memandang perlunya reaktualisasi kembali ketentuan pembagian waris 2:1.
Gagasan mengenai reaktualisasi tersebut, pertama kali ia kemukakan pada

20
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 88.
21
Sjadzali, Ijtihad ..., hlm. 61.
8

tahun 1950-an, dan kembali disuguhkan kepada mayarakat publik setelah


menjadi Menteri Agama pada tahun 1980-an.
Dalam menyampaikan gagasannya, Munawir menggunakan dua
landasan, baik secara rasional maupun teoritis. Pertimbangan secara rasional,
bahwa penyimpangan ketentuan pembagian 2:1 bukan disebabkan oleh
tipisnya keIslaman seseorang, melainkan atas pertimbangan yang dirasa
bahwa budaya dan struktur sosial masyarakat membuat pelakasanaan
pembagian waris secara utuh kurang dapat diterima oleh rasa keadilan.22
Pertimbangan ini simpulkan dari kedua realita yang terjadi di masyarakat
seperti di atas.
Adapun secara teoritis, diperbolehkannya atau tidak merubah
ketentuan yang telah digariskan secara jelas di dalam al-Qur‟an, Munawir
mengemukakan beberapa alasan. Pertama, adanya hukum naskh dalam al-
Qur‟an maupun hadits Nabi saw. Dalam al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang
berisikan pembatalan atau pergeseran terhadap hukum-hukum yang diberikan
kepada Nabi saw. pada waktu sebelumnya. Begitu pula di dalam hadits, juga
terdapat beberapa hadits yang berimplikasi terhadap ditariknya kembali
petunjuk-petunjuk yang pernah Nabi berikan. 23
Kedua, pendapat para ahli hukum mengenai ayat 106 surat al-
Baqarah24, yang menjadi landasan adanya naskh dalam al-Qur‟an. Seperti
Ibnu katsir yang menyatakan tidak tertolaknya hukum naskh dalam hukum-
hukum yang telah ditetapkan oleh Allah. Al-Maraghi yang menyatakan bahwa
apabila suatu hukum dipandang telah tidak sesuai dengan kebutuhan, maka
tindakan bijaksana yang perlu dilakukan adalah menghapus hukum tersebut
dan menggantikannya dengan hukum lain yang sesuai dengan kebutuhan
tersebut. Pendapat Rasyid Ridla tentang dapat berubahnya suatu hukum

22
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 90.
23
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 91.
24
Q.S. Al-Baqarah (2): 106.
9

karena perbedaan waktu, tempat, dan situasi, yang hal ini memiliki
konsekwensi dapat dirubahnya tau dibatalkannnya suatu hukum dengan
hukum yang baru. Sayyid Qutbh, yang menyatakan bahwa surat al-Baqarah
ayat 106 diturunkan sebagai sanggahan atas tuduhan para yahudi terhadap
ketidak konsistensiaan Nabi saw. baik mengenai perpindahan kiblat maupun
perubahan petunjuk atau hukum-hukum karena adanya pertumbuhan
masyarakat dan kondisi mereka yang berkembang.25 Semua pendapat tersebut,
pada intinya mengarah pada dapat berubahnya suatu hukum di dalam al-
Qur‟an karena dirasa hukum tersebut kurang tepat untuk diterapkan.
Ketiga, pendapat para ahli hukum dari empat madzhab yang dapat
dikatakan mencapai kesepakatan bahwa dalam hukum yang menyangkut
muamalah duniawiyah, terdapat ruang gerak penalaran intelektual, dengan
kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolok ukur utama.
Pendapat tersebut merupakan kesimpulan Munawir dari beberapa pendapat
para ahli hukum mengenai hukum yang bertalian dengan kemsyarakatan. Para
ahli hukum tersebut yaitu: (1) Al-Izz ibn „Abd al-Salam, seorang ahli hukum
terkemuka dari golongan Syafi‟iyyah, menyatakan bahwa semua usaha itu
hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik kepentingan
duniawi maupun ukhrawi; (2) Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, dari golongan
Hanabilah, mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa atau pendapat
hukum dapat terjadi karena adanya perbedaan waktu, tempat (lingkungan),
situasi, tujuan, dan adat-istiadat; (3) Abu Yusuf, murid kesayangan Imam Abu
Hanifah, yang berpendirian bahwa apabila suatu pendapat hukum atau nash
sekalipun, kalau dahulu dasarnya adaalah sebuah adat, dan adat tersebut
kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung dalam
nash itu.26

25
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 91.
26
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 92.
10

Selain ketiga argumen di atas, Munawir Sjadzali juga mengemukakan


fakta sejarah yang membuktikan bahwa tidak selamanya ayat-ayat yang
bersifat qath‟i selalu berlaku dan diterapkan oleh umat Islam. Ayat-ayat
qath‟i tersebut: pertama, ayat-ayat mengenai pemberian izin penyaluran
kebutuhan biologis pria terhadap budak yang diterangkan dalam surat An-
Nisa‟, Al-Mu‟minun, Al-Ahzab, dan ayat Al-Ma‟arij. Pada dasarnya Nabi
SAW. selalu menghimbau agar para pemilik budak bersikap manusiawi
terhadap budak-budak mereka atau membebaskannya. Namun, sampai Nabi
saw. wafat, perbudakan belum secara tuntas dihapuskan di dalam Islam.
Ketika umat Islam terus memegang dan memberlakukan ketentuan ayat
tersebut, dengan kata lain tidak berani menyelesaikan proses yang telah
dirintis oleh Nabi saw itu, maka hal itu akan memperburuk citra Islam di mata
dunia dikarenakanl pada abad XX ini umat manusia sepakat untuk mengutuk
perbudakan dan segala manifestasinya, sebagai musuh kemanusiaan.27
Kedua, ayat 41 surat al-Anfal dan ayat 60 surat al-Taubah yang
keduanya oleh sahabat Umar ibn Khattab tidak dijalankan, namun justru
beliau mengambil kebijaksanaan sendiri. Meskipun kebijaksanaan sahabat
Umar yang tidak membagi harta rampasan perang berupa tanah kepada para
pejuang, yang hal ini berarti tidak diberlakukannya ayat 41 surat al-Anfal,
mendapat tentangan dari sahabat Bilal, „Abd al-Rahman ibn „Awf dan Zubair
ibn „Awwam, akan tetapi dilain pihak kebijaksanaan tersebut mendapat
dukungan dari sahabat „Ustman ibn „Affan dan „Ali ibn Abi Thalib.
Mengenai tidak diberikannya bagian zakat pada mu‟allaf, yang hal ini
bertentangan dengan apa yang diterangkan dalam surat al-Taubah ayat 60,
bukan karena keadaan darurat, melainkan situasi yang telah berubah, sehingga
menurut sahabat Umar tidak diperlukannya lagi bagian zakat untuk muallaf.28

27
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 93.
28
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 94.
11

Demikianlah pertimbangan dan dasar-dasar yang dijadikan argumen


oleh Munawir Sjadzali sebagai pendukung gagasannya mengenai reaktualisasi
hukum kewarisan 2:1, yang pada akhirnya dapat dipahami bahwa Ia
menghendaki pembagian yang seimbang antara bagian laki-laki dan
perempuan.
12

BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, berkaitan dengan pemikiran Hazairin, dapat


disimpulkan bahwa: Pertama, sistem kewarisan yang terdapat dalam al-Qur‟an adalah
sisitem kewarisan individuil bilateral. Kedua, ahli waris pengganti, ketentuan dimana
anak laki-laki maupun perempuan dapat menggantikan orang tuanya yang telah
meninggal terlebih dahulu dalam mewarisi, merupakan seuatu hal yang di atur dalam
al-Qur‟an. Ketiga, ayat yang berkenaan dengan dapat tidaknya wasiat kepada ahli
waris, pada dasarnya telah dibatalkan, akan tetapi dalam keadaan tertentu ayat
tersebut tetap dapat dijalankan. Sementara itu, melalui pemikirannya tentang
reaktualisasi hukum kewarisan, pembagian 2:1, Munawwir Sjadzali mengharapkan
adanya penyeimbangan pembagian harta warisan antara laki-laki dan perempuan.
Dari argumen-argumen yang diajukan dalam menguatkan pendapatnya,
terlihat bahwa terdapat perbedaan pendekatan yang digunakan oleh Hazairin dan
Munawwir Sjadzali. Jika Hazairin hanya menggunakan pendekatan yang termasuk
dalam cakupan pendekatan normatif, pendekatan kebahasaan dan ushul fikih, maka
Munawwir Sjadzali, disamping menggunakan pendekatan yang ternasuk dalam
cakupan pendekatan normatif, pendekatan ushul fikih, juga menggunakan
pendekatan-pendektan yang termasuk dalam pendekatan ilmu-ilmu sosial, yaitu
pendekatan sosilogi dan sejarah.
13

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur. 2005. Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan
Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press.

Djaelani, Abdul Qodir. 1995. Keluarga Sakinah. Surabaya: Bina Ilmu.

Djatnika, Rachmat. 1991. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan


Pembentukan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Fuad, Mahsun. 2005. Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipator Hingga
Emansipatoris. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara

Khallaf, Abdul Wahab. 1996. Ilm Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmy. Bandung: Gema
Risalah Press.

Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press.

----------------------. 1995. Dari Lembah Kemiskinan, dalam buku Kontekstualisasi


Ajaran Islam, 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA. Jakarta:
Paramadina.

----------------------. 1997. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina.

Zainudin, A. Rahman. 1995. Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H.


Munawir Sadjali, MA. Jakarta: Paramadina.

Anda mungkin juga menyukai