BAB I
PENDAHULUAN
4
A. Rahman Zainudin, dkk. Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir
Sadjali, MA (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 293.
5
Rachmat Djatnika, dkk, Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hlm. 87.
6
Djatnika, dkk, Hukum ..., hlm. 86.
7
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipator Hingga Emansipatoris
(Yogyakarta : LKiS Pelangi Aksara, 2005), hlm. 91.
8
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI
Press, 1990), hlm. 6.
3
yang diterima anak perempuan, dengan surat an-Nahl (16): 90 yang berisi
perintah untuk berbuat adil dan kebajikan.9 Dari dasar ini Munawir
memahami bahwa dalam ayat-ayat kewarisan sebenarnya terdapat ketentuan
pembagian 1:1 antara anak laki-laki dan perempuan.10
Menurut Munawir Sjadzali, ketentuan 2:1 dalam pembagian waris
sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, baik secara langsung
maupun tidak langsung, seperti membagi harta kekayaan kepada para ahli
waris sebelum meninggal, masing-masing mendapatkan bagian yang sama
besar tanpa membedakan jenis kelamin sebagai hibah, dengan demikian jika
telah meninggal nanti, maka harta kekayaan yang tersisa dan harus dibagi
menurut ketentuan hukum waris Islam hanya tinggal sedikit atau sudah tidak
ada sama sekali untuk dibagi. Menurut Munawir, hal tersebut merupakan
kebijakan mendahului (pre-emptive), serta merupakan “penyimpangan” secara
tidak langsung atau menurut istilah beliau menghindar dari hukum waris
Islam.11 Dan fenomena ini menurut Munawir termasuk kategori bermain-main
dengan agama, serta merupakan masalah serius dan berbahaya bagi akidah
dan iman.12 Dari uraian di atas, maka penulis ingin mengungkapkan pendapat
Munawir Sjadzali yang digunakan dalam merumuskan konsep tentang
kewarisan dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah biografi Munawir Sjadzali?
2. Bagaimanakah pandangan Munawir Sjadzali terhadap hukum kewarisan
Islam?
9
Munawir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 63.
10
Fuad, Hukum ..., hlm. 95.
11
Sjadzali, Ijtihad ..., hlm. 62.
12
Sjadzali, Ijtihad ..., hlm. 8.
4
BAB II
PEMBAHASAN
13
Munawir Sjadzali, Dari Lembah Kemiskinan, dalam buku Kontekstualisasi Ajaran Islam,
70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA (Jakarta: Paramadina thun 1995) hlm. 8
5
dirumah bibinya saudara dari ibunya. Dan itu pun hanya bertahan selama tiga
bulan , bukan karena keluarga bibinya tidak baik namun kerena Ia ingin
bebas. Dengan berat hati ayahnya memindahkannya ke sebuah pondok kecil
yang bernama pasar kembang dibawah asuhan K.Ma’ruf yang juga seorang
guru di Mambaul Ulum dengan sistem menumpang dengan pungutan
sekedarnya untuk pembayaran listrik sedangkan keperluan pribadi dan sehari-
hari ditanggung sendiri.
Munawir belajar di al-Islam hanya satu tahun lalu Ia masuk Mambaul
Ulum, pada tahun 1943 tepatnya di usia 17 tahun, Munawir berhasil
menyelesaikan sekolahnya di Mambaul Ulum dengan mengantongi ijazah dari
madrasah terkenal ini.14 Melihat pendidikan yang ditempuh, Munawir tidak
hanya dapat dikategorikan sebagai santri secara formal, tetapi juga
substansial. Sebagai santri, ciri yang paling menonjol dari Munawir adalah
kemampuannya untuk memahami kitab-kitab klasik Islam. Pada gilirannya,
hal ini membawa implikasi pada luasnya wawasan keagamaan, karir
intelektual dan pemerintahan, serta kebijakan-kebijakan yang berkaitan
dengan jabatannya sebagai Menteri Agama. Setelah menyelesaikan
pendidikannya di Mambaul Ulum, Munawir melakukan pengembaraan
panjang yang membawanya ke Bandung, Magelang, Temanggung,
Yogyakarta, Semarang dan yang terahir di Selatiga dikota ini dalam keadaan
kehabisan bekal dan tidak mempunyai kenalan ia pun tinggal disebuah masjid.
Dikota itu menjadi permulaan kehidupannya walaupun dengan berbagai
rintangan. Pada suatu sore ia pun mendengar dari seorang pemuda anggota
jama’ah masjid bahwa sekolah rakyat Muhammadiyah dikota itu memerlukan
guru. Dan pada ahirnya Munawir menjadi guru disekolah itu dengan masa
percobaan dan langsung diberi uang saku karena melihat keadaannya.15
Setelah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah Selatiga dan kemudian
14
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 11.
15
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 19.
6
16
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 23.
17
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 45.
18
Munawir Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 46.
19
Q.S. An-Nisa>‟ (4): 11
7
20
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 88.
21
Sjadzali, Ijtihad ..., hlm. 61.
8
22
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 90.
23
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 91.
24
Q.S. Al-Baqarah (2): 106.
9
karena perbedaan waktu, tempat, dan situasi, yang hal ini memiliki
konsekwensi dapat dirubahnya tau dibatalkannnya suatu hukum dengan
hukum yang baru. Sayyid Qutbh, yang menyatakan bahwa surat al-Baqarah
ayat 106 diturunkan sebagai sanggahan atas tuduhan para yahudi terhadap
ketidak konsistensiaan Nabi saw. baik mengenai perpindahan kiblat maupun
perubahan petunjuk atau hukum-hukum karena adanya pertumbuhan
masyarakat dan kondisi mereka yang berkembang.25 Semua pendapat tersebut,
pada intinya mengarah pada dapat berubahnya suatu hukum di dalam al-
Qur‟an karena dirasa hukum tersebut kurang tepat untuk diterapkan.
Ketiga, pendapat para ahli hukum dari empat madzhab yang dapat
dikatakan mencapai kesepakatan bahwa dalam hukum yang menyangkut
muamalah duniawiyah, terdapat ruang gerak penalaran intelektual, dengan
kepentingan masyarakat sebagai dasar pertimbangan atau tolok ukur utama.
Pendapat tersebut merupakan kesimpulan Munawir dari beberapa pendapat
para ahli hukum mengenai hukum yang bertalian dengan kemsyarakatan. Para
ahli hukum tersebut yaitu: (1) Al-Izz ibn „Abd al-Salam, seorang ahli hukum
terkemuka dari golongan Syafi‟iyyah, menyatakan bahwa semua usaha itu
hendaknya difokuskan pada kepentingan masyarakat, baik kepentingan
duniawi maupun ukhrawi; (2) Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, dari golongan
Hanabilah, mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa atau pendapat
hukum dapat terjadi karena adanya perbedaan waktu, tempat (lingkungan),
situasi, tujuan, dan adat-istiadat; (3) Abu Yusuf, murid kesayangan Imam Abu
Hanifah, yang berpendirian bahwa apabila suatu pendapat hukum atau nash
sekalipun, kalau dahulu dasarnya adaalah sebuah adat, dan adat tersebut
kemudian telah berubah, maka gugur pula hukum yang terkandung dalam
nash itu.26
25
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 91.
26
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 92.
10
27
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 93.
28
Sjadzali, Dari Lembah ..., hlm. 94.
11
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur. 2005. Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan
Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press.
Fuad, Mahsun. 2005. Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Partisipator Hingga
Emansipatoris. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara
Khallaf, Abdul Wahab. 1996. Ilm Ushul Fiqh, terj. Masdar Helmy. Bandung: Gema
Risalah Press.
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press.