Anda di halaman 1dari 10

A.

Awal mula lembaga qadhil qudhah

Daulah Abbasiyah berdiri, sebenarnya dilatarbelakangi oleh penyelewengan-penyelewengan


pemegang-pemegang kekuasaan daulah Umayyah seperti delik, golongan, suku, kaum dan kawan,
begitu pula penindasan terhadap syiah, Hasyimiyah dan dikucilkan kaum Muslimin Ajam. Maka
timbullah gerakan bawah tanah untuk menentangnya. Pada sisi lain adalah yang penting bagi
Umayyah, bahwa dia yang pertama mengadakan penjara bagi yang dinyatakan bersalah setelah
divonis pada peradilan itu. Pada waktu itu pula ijtihad dilaksanakan dengan seluas-luasnya tanpa
terikat dengan satu pandangan, bahkan di dalam “al-Qadha fi al-Islām” dinyatakan qadhi
memutuskan perkara tanpa nash yang positif atau ijma’ ulama pendahulunya, baik berupa
pandangan maupun berupa ijtihad. Tetapi apabila ia mengalami kesukaran, maka ia minta tolong
pada fuqaha Mesir dan dari kalangan mereka banyak berpedoman pada khalifah dan pada wali
dalam hal ini menentukan pandangan. (Muhammad Salam Madkur, 1964)

Pada tulisan ini yang akan menjadi pembahasan adalah Qadha pada masa Abbasiyah dan dimana
dalam hal ini akan dibagi dua yaitu: pada daulah Abbasiyah I dan Abbasiyah II.

Pada zaman Abbasiyah ini terkenal sebagai puncak kejayaan Islam, tetapi pada awal-awal daulah
tersebut juga dikenal bahwa taasub mazhab sangat dipertahankan dan pada akhirnya mungkin
karena lamanya daulah tersebut (masa pemerintahan kurang lebih lima abad lebih) rajanya yang
silih berganti sehingga daulah tersebut kelihatan bahwa setelah maju, kemudian mundur dan pada
akhirnya runtuh.

Di Zaman Abbasiyah hukum berdasarkan agama dan untuk kepentingan agama pada zaman itu
kejayaan maju. Akibatnya terjadi pembaharuanpembaharuan karena perkembangan ilmu
pengetahuan ekonomi dan ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang pesat, maka terjadi pula
pertentanganpertentangan di kalangan fuqaha dengan mazhab, namun demikian pelaksanaan
hukum Islam berjalan menurut mazhab tertentu di wilayah tertentu seperti di Irak berdasarkan
mazhab Hanafi, di Syam dan Maghrib berdasarkan mazhab Maliki dan Mesir berdasarkan Mazhab
Syafi’i (Muhammad Salam Madkur, 1964)

Dan satu hal yang perlu diingat bahwa kalau yang berselisih tidak bermazhab menurut mazhab yang
ada di tempat dimana ia berselisih, maka ia harus meninggalkan mazhabnya dan perkaranya
diselesaikan berdasarkan mazhab di tempat itu. Tetapi keadaan ini hendak dirubah oleh ibnu
Muqaffa’ dengan penyampaiannya berupa tulisan kepada khalifah Abu Ja’far ibn Manshur, yang
pada masa pemerintahannya membentuk lembaga pemerintahan seperti:

1.al-ḥajib (Protokoler kenegaraan)

2.wizārah (Kementrian)

3.al-kātib (Sekretaris / Juru Tulis)

4.a.şahibu al-syurtah (Kepolisian)


5.al-jaisyu (Ketentaraan)

6.al-Qāḍī (Peradilan)

Dan pada waktu itu terbentuklah Qadht al-Qudhat oleh Khalifah di ibukota daulah yang bertindak
selaku jaksa Agung, yang diangkat pada waktu itu adalah Abu Yusuf. beliau adalah seorang faqih
yang bermazhab Hanafi. Maka pada pada waktu itu para qadhi menjalankan tugasnya berdasarkan
arahan Qadhi al-Qudhat karena pada waktu itu tiap wilayah (propinsi) mempunyai qadhi. Di
Andulusia terkenal dengan nama Qadhi al-jamā’at, yaitu pada tiap-tiap propinsi ada Qadhi sebagai
mahkamah Agung yang merupakan pimpinan semua qadhi yang ada di seluruh wilayahnya.

Kalau masa Abbasiyah I ini terkenal dengan memuncaknya ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam,
maka penulis melihat justru pada masa itu adalah melemahnya Islam, sebagaimana dijelaskan lebih
awal bahwa pada zaman itu taasub terhadap 4 Mazhab besar adalah sangat tinggi, sehingga
pemikiran keIslaman pada waktu itu tidak berkembang karena harus mengacu kepada mazhab yang
di wilayah dimana orang itu berada, namun kita melihat bahwa yang maju adalah semangat Islam,
dimana khalifah pada waktu itu merangkul fuqaha tetapi menampik qadhi bahkan melarang fuqaha
berpedoman kepada mereka, karena ia kwatir terhadap fatwa mereka yang bertentangan antara
kehendak mereka (khalifah), begitu pula jangan sampai qadhi itu memberikan fatwa kepada fuqaha
yang bertentangan dengan kesenangan khalifah. Inilah sebabnya maka banyak para fuqaha tidak
mau menjadi Hakim sebagai contoh adalah Abu Hanifah yang menolak jabatan tersebut di masa Abu
Ja’far al-Manshur, sehingga Abu Hanifah dicambuk dan memenjarakannya sehingga beliau
meninggal (Hasbi Ash hiddieqy, 1964

Dengan melihat kejadian ini, kita mendapat suatu persepsi bahwa fuqaha dirangkul oleh khalifah
untuk memberikan fatwa-fatwa yang menjunjung tinggi/mendukung kehendak khalifah yang
senantiasa ingin menegakkan Islam tanpa memperhatikan apa itu sesuai atau mendukung ide
kegiatan khalifah atau tidak dengan kata lain bahwa para khalifah-khalifah Abbasiyah segala
perbuatan mereka dicelup dengan celupan agama.

Keistimewaan lain yang merupakan keunikan periode ini adalah diciptakannya pemisahan antara:

a.Jenis konflik sosial yang terdiri atas:

1Sengketa

2.Wakaf, dan

b.Wasiat

c.lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang memerlukan santunan

terdiri atas :

1.Orang gila

2.Anak Yatim

3.Orang bangkrut dan ahli Suffah

4.Wasiat dan waqaf orang muslim

5.Perkawinan randa (Kamus besar Bahasa Indonesia, 1990) yang tidak punya wali
d.Lembaga Yuridiksi yang terdiri dari:

1.Kepolisian

2.Mazhalim

3.Kisas

4.Hisbat

5.Dar al-Harb

6.Baitul mal

Sedangkan organisasi kehakiman dalam daulah Abbasiyah yaitu:

a.Dar Qadhi al-Quha (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh
Qadhi al-Qudha’ (Ketua Mahkamah

Agung). Semua badan-badan peradilan atau badan-badan lain yang ada hubungannya dengan
kehakiman berada dibawah diwan al-Qudha’

b.Qudna al-Aqadi (Hakim Kota yang mengetuai pengadilan negeri; alQadau atau al-Hisbah).

c. Al-Sultah al-Qadhaiyah yaitu jabatan kejaksaan. Di ibukota negara dipimpin oleh al-Mudda’it
Umumy (Jaksa Agung) dan di tiap-tiap kota oleh Naib Umumy (Jaksa).

Dari segi kebudayaan di sini dapat dilihat kemajuan Islam pada zaman Abbasiyah yaitu dengan
terbentuknya pemisahan jenis-jenis permasalahan sosial, begitu pula dengan terbentuknya lembaga-
lembaga sosial kemasyarakatan yang perlu mendapat penyantunan dan lembaga-lembaga
pemerintahan yang menangani kasus-kasus yang terjadi di masyarakat dalam rangka memelihara
stabilitas sosial kemasyarakatan dan membagi kemaslahatan dengan seluasluasnya.

B. KEBIJAKAN POLITIK PEMERINTAH TERHADAP LEMBAGA PERADILAN :

Pada masa ini ada beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara
lain adalah:

1.     Lembaga qadhi al-qudhah (Mahkamah Agung)

Lembaga qadhi al-qudhah yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Kalau untuk zaman
sekarang bisa disebut Mahkamah Agung. Badan hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa
Harun Al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-
hakim daerah. Apabila diidentikan dengan Indonesia, pada zaman Abbasiyah sudah ada Mahkamah
Agung dan Jaksa Agung serta peradilan-peradilan di tingkat perovensi dan kota/kabupaten. Artinya
setiap wilayah sudah memiliki peradilan. 1

2.     Wilayah Hisbah

Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksanaan kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas
untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat badan hisbah disebut muhtasib.
Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu segera, mengawasi hukum,
mengatur ketertiban umum seperti mencegah penduduk yang mengakibatkan sempitnya jalan-jalan

1 Hasbi Ash-Shiddieqi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, hlm. 98.


umum,mengganggu kelancaran lalu lintas, dan melanggar hak-hak tetangga serta menghukum orang
yang mempermainkan hukum syara‟.2 Misalnya menghukum orang yang melakukan hal-hal keji
seperti berzina, mengkonsumsi minuman keras, berbuat curang dalam muamalah melakukan jual
beli yang di larang syariat, penipuan dalam takaran dan timbangan dan lain sebagainya.

3.     Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)

Wilayah al-mazalim berarti “kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan
muhtasib, yang bertugas memeriksa kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan
oleh penguasa terhadap rakyat biasa.

4.     Al-Mahkamah Al-Askariyah

Pada masa pemerintahan Abbasiyah juga di bentuk mahkamah atauperadilan militer (al-Mahkamah
al-Askariyah) dengan hakimnya adalah qadhi al- ‘askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak
zaman Sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl,
terutama ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.

5.     Badan Arbitrase

Pada masa ini, di samping Lembaga Pengadilan, ada juga hakam-hakam (badan arbitrase) yang
memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas
dasar kerelaan kedua belah pihak. Nazhab tahkim ini, dibenarkan oleh Islam. Undang-undang
modern pun telah banyak mengambilnya. Tahkim dalam pegertian bahasa arab berarti
“Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima putusan itu” dalam pengertian istilah tahkim
adalah “dua orang atau lebih yang mengtahkim kepada seseorang diantara mereka untuk
diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara‟ atas sengketa mereka itu‟. Maka kedudukan
tahkim lebih rendah dari kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang
tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam. 3

6.     Tempat Persidangan, waktu dan pakaian untuk hakim

Persidangan-persidangan pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan di suatu majelis yang luas,
yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah -tengah kota, dengan menentukan pula
hari-hari yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan
memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu yang sama diadakan beberapa
perbaikan, seperti menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau
ulama‟ memiliki pakaian khusus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa
khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum. Dalam
pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal khusus yang
mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka.

Persidangan dilakukan di gedung tengah kota dengan hari persidangan yang sudah ditentukan. Pada
hari raya atau hari-hari besar tidak ada persidangan. Keputusan yang dijatuhkan pada hari selain
hari-hari yang ditentukan dipandang tidak sah.

Saat mengadili para hakim memakai pakaian khusus (jubah dan surban hitam sebagai lambang dari
Daulah Abbasiyah), berwibawa dan memiliki pengawal khusus yang mengatur pengajuan perkara
serta meneliti dakwaan-dakwaan mereka.

2 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 125.


3 Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha fi al-Islam, terj. Imran A.M., hal. 171.
Pada masa ini pengadilan sudah memiliki gedung khusus dan sudah mulai memerhatikan
administrasi peradilan, seperti adanya penetapan hari sidang dan adanya semacam panitera
menurut Ibnu Khaldun, pada masa itu telah diadakan pembukuan putusan secara sempurna dan
pencatatan wasiat dan utang.

7.     Muculnya Mazhab-Mazhab

Pada masa Abbasiyah tepatnya pada masa khlifah Al-Manshur dari Khalifah Abbasiyah merintahkan
para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadits. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam
bidang fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan
tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah
dari kalangan Muhadditsin dan fuqoha‟. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al- Syafi‟i (w.204 H)
dari Makkah dan Madinah hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jami‟ Amru
bin Ash di Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa‟idah-Qa‟idah Ijtihad.
Kemudian dari Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al- Syafi‟i lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.
241 H) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadits. Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur sangat menjunjung
tinggi kebebasan berpikir sehingga terutama di Bagdad, pergerakan ilmu pengetahuan sangat
berkembang pesat. Pembukuan hadits sudah dimulai masa Umar bin Abdul Aziz, kemudian pada
masa itu khalifah selanjutnya menganjurkan kepada ulama untuk membukukan berbagai ilmu
pengetahuan. Masa ini lahirlah istilah-istilah fikih dan lahir pula mazhab-mazhab fikih.

Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi
memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali, maka
para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para
penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan perkara
dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab
Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi‟i. Dan apabila yang
berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan
putusan atau pemeriksaanmperkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.

Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran
mazhab, maka hakim yang diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari
mazhab Syafi‟i, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab Hanbali dan
bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih daripada itu seperti mazhab Syi‟ah,
Auza‟i, Daud az -Zhahiri, Ath-Thobari, dan lain sebagainya. Sehingga yang terjadi adalah apabila ada
dua pihak yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termasyur di negeri itu, maka
tunjuklah seorang qadhi yang akan memutuskan perkara itu sesuai dengan mazhab yang diikuti oleh
kedua belah pihak yang berperkara. Sehingga pada pemerintahan Harun al-Rasyid di bentuk suatu
jabatan penting dalam pemerintahannya yang disebut dengan Qadhi al-Qudhat’ (Hakim Agung).

Berkembangnya mazhab-mazhab karena adanya dukungan penguasa. Misalnya, mazhab Hanafi


mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qadhi dalam tiga masa
pemerintahan Abbasiyah, yaitu al-Mahdi, al-Hadi, dan Harun ar-Rasyid. Mazhab Maliki berkembang
atas dukungan al-Mansur di khilafah Timur. Ketika Yahya bin Yahya diangkat menjadi qadhi oleh
penguasa Andalusi, di Afrika, Muiz Badis mewajibkan seluruh penduduk mengikuti mazhab Maliki.
Sedangkan mazhab syafi‟i membesar di Mesir setelah Shalahuddin al-Ayubi merebut negeri itu.
Mazhab Hanbali menjadi kuat setelah al-Mutawakkil diangkat menjadi khalifah. Ketika itu
Mutawakkil tidak akan mengangkat seseorang qadhi kecuali atas persetujuanAhmad bin Hanbal.
Perkembangan selanjutnya adalah pada masa pemerintahan Sultan Al- Zahir Baybars (665 H/ 127
M), di mana ia membentuk sistem peradilan yang menggabungkan antara empat mazhab besar dan
dikepalai oleh masing-masing Hakim Agung. Untuk Hakim Agung mazhab Imam Syafi‟i, mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dari yang lain. Karena selain menangani urusan yuridiksinya, juga
diserahi tanggung jawab mengawasi penyantunan anak yatim piatu, perwakafan, dan menangani
masalah baitul mal. Sedangkan Hakim Agung yang lain mengurusi peradilan dan fatwa bagi rakyat
dari masing-masing mazhabnya.

Dengan demikian pada masa ini Hakim Agung tidak hanya memiliki tugas memutus perkara pada
tingkat kasasi, akan tetapi memiliki tugas-tugas lain di luar yuridiksinya, bahkan dapat memegang
sampai tujuh jabatan sekaligus.

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa secara umum mazhab yang empatlah yang
menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh
karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam
Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim
dalam menggali hukum dari al-Qur‟an dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada
masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan
masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka
hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara. 4

C.QADHA’ DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM :

Pada masa Dinasti Abbasiyah Islam benar-benar mencapai puncak keemasan kebangkitan
kebudayaan dan peradaban, Islam mampu memberikan kontribusi yang sangat besar dan
spektakuler terhadap perkembangan peradaban dunia. Hampir semua perkembangan Ilmu
pengatahuan dasar-dasarnya telah di temukan pada masa dinasti ini. Kemajuan pengetahuan pada
masa Dinasti Abbasiyah menjadikan masyarakat dinasti Abbasiyah hidup makmur sejahtera,
tentram, perekonomian berjalan stabil, situasi politik stabil, para khalifahnya dapat mengatasi
musuh-musuhnya, masyarakatnya hidup aman tidak ada kekacuan yang berarti. Demikianlah
kemajuan ilmu pengetahuan yang membuat dinasti ini berhasil mencapai kemajuan hampir disemua
sektor kehidupan.5

Dan pada masa ini pula banyak terjadi kemajuan dibidang hukum islam,diantaranya digalakkannya
penerjemahan buku-buku asing,berdirinya sekolah,dan salah satu karya terbesar adalah berdirinya
Baitul Hikmah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Perkembangan dan kemajuan hukum Islam pada masa ini di tandai dengan kemajuan di bidang ilmu
fiqih yang menunjukkan dinamika ummat Islam dalam menjawab tantangan dan masalah yang
dihadapinya. Sejak Rasulullah SAW wafat keputusan hukum-hukum baru berkembang pesat, ini
dikarenakan sejak kekuasaan Islam di tangan Bani Ummaiyyah dan Abbasiyah terus mengalami
perluasan. Pada masa dinasti Bani Ummayyah mahzab-mahzab fiqih belum terbentuk meskipun
sebagian imam pendiri mahzab yang empat hidup pada masa Dinasti Ummayyah. Ketika Dinasti
Abbasiyah menguasai pusat-pusat peradaban dan mengambil khasanah atau kekayaan warisan
budaya yang dimiliki bangsa-bangsa itu, maka muncullah cara-cara baru membuat ijtihad hukum.
Ijtihad hukum adalah upaya mencari ketetapan hukum suatu masalah dengan mendasarkan pada

4 Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 160.


5 A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, hlm. 73.
ayat-ayat Alqur’an dan Hadits-hadits. Setelah dilakukan pengumpulan Hadits Nabi Muhammad SAW
pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah, maka pada masa Al-Manshur dari
Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadits. Kemudian
lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad ketujuh masehi yaitu Abu
Hanifah (w. 767 M) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq dan mazhab ini telah melahirkan al-
Auza’i (w.774 M) dan al-Zahiri (w.883 M). Kemudian Imam Malik bin Anas (w.795 M) sebagai ulama
mazhab Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqoha’ dengan karya monumentalnya al-
Mutawattho’. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.820 M) yang muncul sebagai jalan
tengah antara mazhab Irak yang liberal dan Mazhab Madinah yang konservatif dan mendominasi
daerah Mesir. Selanjutnya lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.855 M) yang ahli dalam bidang fiqh dan
hadits. Secara umum empat mazhab tersebut yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai
Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini.

Dan oleh karena itu, masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab
dan pada masa ini pula disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali
hukum dari al-Quran dan al-Sunnah. Sebenarnya perkembangan suatu hukum memiliki hubungan
antara madzhab fiqh dengan penguasa politik sangat erat. Artinya, bahwa kebutuhan penguasa
terhadap suatu bentuk sistem hukum negara yang berdasarkan syara’ cukup memacu
perkembangan hukum fiqh. Sebaliknya, suatu aturan atau pembatasan-pembatasan yang dibuat
oleh para mujtahid tidak serta merta dilaksanakan oleh mujtahid lain sebelum ada tekanan atau
pemberlakuan secara resmi oleh penguasa. Oleh karena itu, sesunggguhnya perkembangan suatu
hukum tergantung kepada kebutuhan praktis masyarakat, yang dalam hal ini terformulasi dalam
bentuk pengusa. Apabila penguasa menghendaki suatu hukum tertentu, maka jadilah. Begitu pula
sebaliknya, bila penguasa bermaksud menghapus suatu hukum tertentu, maka gugurlah hukum itu.

A. Pengertian Wilayah al-Mazalim

Kata wilayah al-mazalim merupakan gabungan dua kata, yaitu wilayah dan al-mazalim. Kata wilayah
secara literal berarti kekuasaan tertinggi, aturan, dan pemerintahan. Sedangkan kata al-mazalim
adalah bentuk jamak dari mazlimah yang secara literal berarti kejahatan, kesalahan, ketidaksamaan,
dan kekejaman.1

Secara terminologi wilayah al-mazalim berarti kekuasaan pengadilan yang lebih tinggi dari kekuasaan
hakim dan muhtasib, yang bertugas memeriksa kasus-kasus yang tidak masuk dalam wewenang
hakim biasa, tetapi pada kasus-kasus yang menyangkut penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa
terhadap rakyat biasa.2

Wilayah al-mazalim adalah lembaga peradilan yang secara khusus menangani kezaliman para
peguasa dan keluarganya terhadap hak-hak rakyat.

Al-nizam al-mazalim atau wilayah al-mazalim yaitu lembaga yang bertugas memberi penerangan dan
pembinaan hukum, menegakkan ketertiban hukum baik di lingkungan pemerintahan maupun di
lingkungan masyarakat, dan memutuskan perkara. Lembaga ini mempunyai tiga macam hakim, al-
qadi, al-muhtasib, dan qadi al-mazalim atau shahib al-mazalim dengan tugas yang berbeda. Qadi
bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa,
perselisihan, dan masalah wakaf. Pada masalah ini di setiap wilayah diangkat beberapa hakim. Setiap
perkara diselesaikan menurut mazhab yang dianut oleh masyarakat. Misalnya, qadi Irak mengikuti
mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Maghrib (Afrika) menurut mazhab Malik, dan di Mesir menurut
mazhab Syafi’i.6
Adapun pejabat al-muhtasib bertugas mengawasi hukum, mengawasi ketertiban umum,
menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang perlu penanganan segera. Al-muhtasib juga bertugas
menegakkan amar makruf dan nahi munkar, mengawasi ketertiban pasar, mencegah terjadinya
pelanggaran hak-hak tetangga, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum syariat.7

Sedangkan qadi al-mazalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadi
dan muhtasib, meninjau kembali keputusan-keputusan yang dilakukan oleh dua hakim tersebut,
atau menyelesaikan perkara banding. Badan ini memiliki mahkamat al-mazalim. Sidangnya selalu
diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang :

1. Para pembela dan pembantu sebagai juri yang sekuat tenaga berusaha meluruskan
penyimpangan-penyimpangan hukum,

2. Para hakim mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang berhak,

3. Para fukaha tempat rujukan qadi al-mazalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan
masalah yang muskil dari segi hukum syariat,

4. Para katib mencatat pernyataan-pernyataan dalam sidang dan keputusan sidang, dan

5. Para saksi memberi kesaksian terhadap masalah yang diperkarakan, dan menyaksikan bahwa
keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil. Agar para hakim melaksanakan tugasnya
dengan sebaik-baiknya, mereka diberi tunjangan yang tinggi dan dilarang melakukan pekerjaan
sampingan yag dapat menggangu kelancaran tugasya, seperti berdagang.8

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa wilayah al-mazalim adalah salah satu komponen peradilan
yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi penyelesaian perkara perselisihan
yang terjadi antara rakyat dan negara. Selain itu menangani kasus-kasus penganiayaan yang
dilakukan oleh para pejabat tertinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat
biasa.9

B. Pengertian Wilayah Al-Hisba

Wilayah Al-Hisbah berasal dari kata al-Wilayah yang berarti kekuasaan atau kewenangan. Dan al-
Hisbah berarti imbalan, pengujian melakukan suatu perbuatan dengan penuh perhitungan.3 Definisi
berbeda dikemukakan Ibnu Taimiyah dengan menambahkan dalam definisi Wilayah al-Hisbah yang
kewenangannya tidak termasuk dalam wewenang penguasa, peradilan biasa dan Wilayah al-
Mazalim.5

C. Tugas Wilayah Al-Hisbah

Secara garis besar tugas dari lembaga al-Hisbah adalah memberi bantuan kepada orang-orang yang
tidak dapat mengembalikan haknya tanpa bantua dari petugas lembaga al-Hisbah. Sedangkan tugas
dari al-Muhtasib adalah mengawasi berlaku tidaknya undang-undang umum dan adab-adab
kesusilaan yang tidak boleh dilanggar oleh seorangpun. Terkadang Muhtasib ini memberikan
putusan-putusan dalam hal-hal yang perlu segera diselesaikan.10

Ibnu Taimiyyah dalam karyanya al-Hisbah Fii al-Islam merumuskan tugas-tugas lembaga al-Hisbah
secara negatif. Dengan singkat ia katakana bahwa lembaga al-Hisbah bertugas untuk menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar yang berada di luar kewenangan penguasa wilayah lembaga peradilan,
kantor keuangan, dan semacamnya.

Akan tetapi pada bagian lain, Ibnu Taimiyyah mengajukan ringkasan tugas-tugas yang diemban oleh
lembaga al-Hisbah. Ibnu Taimiyyah menulis “petugas lembaga al-Hisbah hendaknya memerintahkan
orang-orang menegakkan shalat jum’at, shalat berjamaah lainnya, berkata benar, menyampaikan
amanah kepada yang berhak, melarang tindakan-tindakan yang tercela, seperti berdusta,
berkhianat, berlaku curang dalam takaran dan timbangan, memalsukan produk industrui,
perdagangan, dan urusan-urusan keagamaan”.11
D. Wewenang Wilayah Al-Hisbah

Di samping Wilayah al-Hisbah bertugas mengawasi, menyadarkan, dan dan membina. Wilayah al-
Hisbah juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti
melanggar syari’at. Tentu hukuman itu berbentuk ta’zir, yaitu hukuman yang diputuskan
berdasarkan kearifan sang hakim di luar bentuk hukuman yang dtetapkan syara’.

Ulama’ fiqh menetapkan bahwa setiap pelanggaran kasus al-Hisbah dikenai hukuman ta’zir, yaitu
hukuman yang tidak ditentukan jenis, kadar dan jumlahnya oleh syara’, tetapi diserahkan
sepenuhnya kepada penegak hukum (al-Muhtasib) untuk memilih hukuman yang sesuai bagi pelaku
pelanggaran.

Ada sejumlah langkah-langkah yang dapat diambil oleh al-Muhtasib. Langkah-lagkah ini dapat
berupa saran seperlunya, teguran, kecaman, pelurusan dengan paksa (taghyir bi al-yad), ancaman
penjara, dan pengusiran dari kota. Al Muhtasib diharuskan untuk memilih sanksi terberat hanya
apabila sanksi yang lebih ringan tidak efektif atau tampaknya tidak berpengaruh terhadap orang
yang dihukum.

Anda mungkin juga menyukai