Anda di halaman 1dari 18

PERADILAN PADA MASA PEMERINTAHAN BANI UMAYYAH

Syahrul, Dr. Asni, M. H.I., Dr. Zulhas’ari Mustafa, M. A.g


Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Email: syahrulswardi123@gmail.com

Abstrak
Dengan berakhirnya kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, maka era
pemerintahan Islam dari al-Khulafa al-Rasyidin berubah menjadi era kedinastian
yang diawalidengan pemerintahan Dinasti Umayyah dengan pemimpin
pertamanya yaitu Muawiyah bin Abi !ufyan" #ada periode Dinasti Bani Umayyah,
tata cara pemerintahan dan sistem ketatanegaraan sangat berbeda jika
dibandingkandengan sistem ketatanegaraan di era al-Khulafa al-Rasyidin,
termasuk sistem peradilan yang dijalankan di beberapa wilayah kekuasan yang
lebih luas" penulisan artikel ini bertujuan untuk mempelajari dan memahami
lebih lanjut terkait peradilan Islam pada masa Dinasti bani Umayyah" pada masa
Dinasti bani Umayyah, pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke
Damaskus,kemudian setelah itu dimulailah era baru dalam sejarah hukum Islam"
Padamasanya, jabatan khusus seorang hakim '(Qadhi) mulai berkembang
menjadi profesi tersendiri, (qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya" seorang
(qadhi merupakan figur yang berlaku adil dan mampu berijtihad dan sebagai
sumber refrensinya adalah Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’Sahabat" Kewenangan
(qadhi/hakim dibatasi hanya untuk memutus perkara dalam urusan
khusus"sedangkan yang berhak menjalankan keputusan hakim adalah penguasa
sendiri atau wakilnya dengan instruksi" lembaga peradilan pada masa Umayyah
bersifat independen" para penguasa tidak mencampuri urusan peradilan, dan
peradilan bebas memutuskan dengan seadil-adilnya" Terdapat tiga lembaga
peradilan, yakni wilayat al-mazhalim, wilayat al-hisbah dan al-qadhaa yang
memiliki kewenangan dan tugas masing-masing dalam penyelesaian suatu
perkara" pada masa Dinasti Umayyah ini mulai ada pencatat perkara dan panitera
serta pertamakali dilakukan pembukuan putusan hakim"
A. Pendahuluan

Seiring dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib maka berakhir pula sistem

kepemerintahannya pada masa Al-Khulafa al-Rasyidin, dan sekaligus

sebagai pemutus era dari al-Khulafa al-Rasyidin yang kemudian berubah menjadi

era kedinastian yang diawali dengan pemerintahan dinasti Umayyah

dengan pemimpin pertamanya yaitu muawiyah bin Abi Sufyan, yang pada zaman

khalifah Umar merupakan gubernur untuk wilayah Syam. Menurut ahli

sejarah,dinasti ini terbentuk pada tahun 661 M (41 H), bukan pada saat Umayyah

memproklamasikan diri menjadi khalifah di)liya (Palestina) pada tahun 660 M (40

H).

Pada periode dinasti bani Umayyah, tata cara pemerintahan dan sistem

ketatanegaraan sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan

diera al-Khulafa al-Rasyidin, perubahan yang sangat vital terjadi pada perubahan

sistem pemerintahan dan ketatanegaraan serta tata cara pengisian jabatan

kepalanegara yang menggunakan cara penunjukan oleh pemimpin yang akan

digantikan, atau bisa disebut dengan sistem pewarisan jabatan. Hal ini sangat

jauh berbeda dengan sistem yang digunakan di era al-Khulafa al-Rasyidin yang

cara pergantian jabatannya menggunakan sistem musyawarah. Dengan ini

kemudian muncul suatu sistem dan bentuk pemerintahan baru yaitu monarki

Absolut.

Munculnya dinasti bani Umayyah tidak terlepas dengan sejarah adanya peradilan

yang telah dikenal sejak masa silam, karena didorong oleh kebutuhan

kemakmuran hidup dan kejadian manusia itu sendiri, oleh karena itu peradilan

telah dikenal sejak masa-masa pertama dan tidak mungkin suatu pemerintahan

didunia ini, apapun bentuknya dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan. Pesan
utamanya adalah bahwa perdamaian harus diwujudkan dengan menegakan

keadilan, karena seperti kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah

ilusi.Kata tersebut menandakan bahwa perdamaian hanya bisa tegak, ketika tidak

ada pihak yang dipaksa dan ditindas untuk diam menerima kenyataan yang tidak

adil baginya. Hal ini tentunya tidak terlepas oleh adanya peradilan yang tertata

dengan rapi dan transparan sehingga dengan menegakkan peradilan maka akan

tercapai sebuah perdamaian. Pada dasarnya, manusia tidak dapat menhindari

persengketaan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu pula maka

peradilan dipandan suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat

kemajuannya. Menegakkan peradilan berarti memerintahkan kebaikan mencegah

bahaya kedzaliman.

B. Metodelogi Penulisan

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat studi kepustakaan, hal

ini berkaitan dengan hal—hal yang menitikberatkan pada masalah peradilan

masa bani umayyah. Sumber data dari penelitian ini berdasarkan dari buku-buku

serta jurnal-jurnal yang berkaitan langsung dengan pembahasan, serta hal-hal

penunjang lain yang berkaitan dengan masalah peradilan pada masa bani

umayyah.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan mencari, memilah,

menyajikan dan mengalisis data yang sesuai dengan tema penelitian. Setelah

data dikumpulkan kemudian dikategorikan data pustaka sebagai data primer atau

sekunder. Data yang didapat selanjutnya dideskripsikan dan diolah sehingga

mendapati data yang ringkas dan sistematis.


C. Pembahasan

1. Pengertian peradilan

Kata peradilan berasal dari kata adil dengan awalan per dan dengan imbuhan an.

Kata peradilan sebabai terjemahan dari ‘’qaadha”, yang berarti memutuskan,

melaksanakan, menyelesaikan. dan adapula menyebutkan bahwa, umumnya

kasus tidak membedakan peradilan pengadilan.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peradilan adalah segala sesuatu

mengenai perkara pengadilan.1 Dalam buku Kamus Hukum dijelaskan bahwa kata

peradilan berasal dari akar kata “adil-keadilan” (just- justice) yang berarti “tidak

berat sebelah” atau tidak memihak atau dapat juga memihak kepada yang benar,

berpegang pada kebenaran, sepatutnya dan tidak sewenang-wenang.2

Peradilan terkadang diartikan sama dengan pengadilan dan terkadang

dikemukakan pengertian berbeda. Sedangkan menurut istilah peradilan adalah

daya upaya untk mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang

dilakukan menurut peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga tertentu dalam

pengadilan.3

Peradilan dalam pembahasan fikih diistilahkan dengan qadha yang memiliki arti

selesai dan sempurnanya sesuatu, atau memerintahkan memutuskan,

menyempurnakan, menetapakan.4 Disamping arti memutuskan,

menyempurnakan, menetapakan. Arti qadha yang dimaksud juga berarti

“memutuskan hukum” atau “menetapkan seseuatu ketetapan”.

1
Depdikbud, Kamus Bedar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta , 1993), Hlm. 7.
2
Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Hlm. 17. Depdikbud, Kamus Bedar
3
Muhammad ibn Ahmad al-Syarbini, al-Iqna’ fi hilli Alfadzi Abi Syuja’ Hasyiyah,juz 2 (Bairut; Dar
alKutub al-„ilmiyah, 1998), Hlm. 602
4
Siska Lis Sulistiani, Peradilan Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2020), Hlm. 1.
2. Sejarah Bani Umayyah

Kelahiran Dinasti Umayyah (41-132 H / 661-740 M) Daulah bani Umayyah berdiri

sejak runtuhnya khalifah Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abu Sufyan tidak

sutuju terhadap Ali sebagai penguasa pemerintahan Islam. Ia melakukan

perlawanan terhadap Ali dengan tujuan untuk merebut kekuasaannya. Muawiyah

berhasil merebut pada tahun 661 M. Kemudian Muawiyah memproklamirkan

dirinya sebagai khalifah pemerintahan Islam yang sah.

Sistem pemerintahan khalifahpun dirubah, yang semula dengan cara demokrasi

diganti dengan sistem turun-temurun. Dalam Islam dikenal sebagai daulah

Islamiyah yang berarti kekuasaan Islam yang berciri ke-dinasti-an atau

Ashobiyah.5

Peradilan Islam bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga

negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat

mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan.

Oleh karena itu, daulah ini membentuk lembaga hakim (Qothil / Qudhah).

Seorang hakim (qadhi) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim

menggali hukum berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Disamping itu

kehakiman itu tidak terpengaruh dengan politik.6

Konsep Peradilan Islam Daulah Umayyah, Masa daulah Umayyah dalam

memutuskan suatu perkara tidak jauh beda dengan masa-masa

Khulafaurrasyiddin. Ia memiliki konsep yang menjadi dasar suatu keputusan

yaitu:

1. Al-Qur'an
5
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: Ma‟arif, t.th.), Hlm. 30.
6
2. As-Sunnah

3. Ijtihad, ini dilakukan apabila di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak

ditemukan.

4. Bantuan para Qadhi yang hidup pada masa itu. Ini dilakukan karena

dalam berijtihad tidak ditemukan suatu kesepakatan terhadap masalah

tertentu.

5. Suatu keputusan dilakukan oleh Khalifah sendiri. Artinya sebuah

keputusan yang telah disepakati para hakim itu diserahkan kepada

Khalifah, lalu Khalifah akan melaksanakan sebuah keputusan tersebut

terhadap terdakwa.

6. Ancaman yang keras terhadap orang yang melanggar aturan yang telah

ditetapkan.

7. Memberikan hak dan perlindungan.

3. Sistem Peradilan Islam Daulah Umayyah

Sistem peradilan Islam pada masa bani Umayyah:

1. Khalifah sendiri yang mengangkat Qadli yang ditugaskan di Ibukota.

Sedangkan Qadhi yang bertugas di daerah diserahkan kepada penguasa

daerah.

2. Qadhi bekerja tanpa pengawasan dan masing-masing berdiri sendiri,

namun secara hirarki tetap dibawah Khalifah dan wakilnya.

3. Qadhi dibatasi wewenangnya hanya memutuskan perkara dalam urusan

khusus. Pada eksistensinya semua masalah yang memerlukan keputusan

tidak diserahkan pada Qadhi. Qadhi hanya menangani kasus atau masalah

baru yang belum ada hukumnya dan kasus tersebut belum pernah terjadi

(kajian terhadap masalah baru).


4. Yang dijadikan Qadhi seorang Mujtahid. Sehingga tidak ada hakim yang

memegang suatu pendapat tertentu. Jadi keputusan tersebut benar-

benar hasil mufakat ijtihad.

5. Keputusan hukum yang murni dan berwibawa. Hal tersebut dipengaruhi

adanya faktor:

a. Keputusan tidak dicampuri dengan urusan pribadi (non money

politic).

b. Pengawasan yang ketat dari Khalifah terhadap keputusan-

keputusan yang mereka keluarkan.

c. Adanya ancaman dan pemecatan bagi Qadhi yang melanggar.

6. Belum dikenal adanya pencatatan dalam pengadilan.7

Artinya hukum yang belum tertulis, maka apabila ada perkara, cara pengajuannya

adalah:

a. Perkara atau kasus diajukan ke Qadhi.

b. Qadhi meneliti kasus tersebut.

c. Terdakwa dihadapkan ke Qadhi.

d. Qadhi menyampaikan keputusan terhadap Khalifah.

e. Khalifah melaksanakan hasil keputusan terhadap terdakwa.

4. Bentuk-Bentuk Pengadilan Pada Masa Umayyah

Dalam peradilan dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti Umayyah ada

tiga kekuasaan kehakiman yang dikenal, yaitu:

7
1. Pengadilan Al-Qadha

Kata Al-Qadha secara harfiah berarti "memutuskan atau menetapkan",

sedangkan menurut istilah fikih, Al-Qadha berarti menetapkan hukum syara'

pada suatu peristiwa atau sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat.

Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk di dalamnya hukum

keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat). Selain perkara perdata dan pidana

pengadilan ini juga mendapat tambahan wewenang yang dalam pelaksanaannya

tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya menikahkan wanita yang tidak

punya wali, pengawasan baitul-maal dan lainnya. Orang yang menyelesaikan

perkara dalam pengadilan ini disebut Qadhi hakim. Misalnya Qadhi syureih yang

pernah memangku jabatan ini dalam dua periode yaitu pada penghujung

pemerintahan Khulafaurrasyiddin dan awal pemerintahan bani Umayyah.

2. Pengadilan Al-Hisbah

Lembaga pengadilan resmi negara ini wewenang utamanya adalah

menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut

sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara

yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar,

menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas

kendaraan. Asal-muasal lahirnya pengadilan ini berakar dari praktek Rasulullah

SAW yang mana pada waktu itu beliau berjalan di pasar dan mendapatkan

penjual bahan makanan yang mengandung cacat tersembunyi. Lalu beliau

berkata: "Mengapa cacat ini disembunyikan sampai orang tidak

mengetahuinya?". Kemudian beliau melanjutkan dengan memberi nasehat: "Hai


orang-orang! Janganlah ada diantara kaum muslim yang berlaku curang.

Barangsiapa berlaku curang, maka ia bukanlah dari pihak kami". (Al-Hadits).

Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang

tidak terpuji. Kekuasaan / pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa

pemerintahan Umar bin Khattab yang kemudian berkembang pada masa bani

Umayyah.

3. Pengadilan Al-Madzalim

Kata Al-Madzalim adalah jama' dari Al-Madzlamat yang menurut bahasa berarti

nama bagi sesuatu yang diambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi

pengadilan itu dibentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum

(teraniaya) akibat sikap semena-mena dari pembesar / pejabat negara atau

keluarganya, yang dalam penyelesaiannya sulit untuk diselesaikan oleh

pengadilan biasa (Al-Qadha), dan pengadilan (Al-Hisbah).

Pengadilan ini menyelesaikan perkara suap dan tindakan korupsi. Orang yang

menangani / menyelesaikan perkara ini disebut wali al-madzalim. Adapun syarat

mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau

pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup dilakukan oleh

hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa. Dalam

pelaksanaannya, bentuk seperti ini sudah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW di

masa hidupnya. Namun, pembentukan lembaga secara khusus baru didirikan

pada masa pemerintahan bani Umayyah, terutama pada masa Abdul Malik bin

Marwan. Menurut Mawardi dalam kitabnya al-ahkam al-sulthaniyatwa al-walayat

al-diniyat, Abdul Malik bin Marwan adalah orang pertama yang menjalankan /

mendirikan lembaga pengadilan al-madzalim dalam pemerintahannya.


Demikian halnya pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang

pertama kali ia lakukan adalah mengutus dan membela harta rakyat yang pernah

didzalimi oleh para pejabat / penguasa sebelumnya.

5. Khalifah-Khalifah Dinasti Umayyah

1. Muawiyah ibn Abu Sufyan atau Muawiyah I (41-60 H / 661-679 M)

Nama lengkapnya Abu Abdurrahman Muawiyah bin Abu Sufyan. Ibunya, Hindun

binti Rubai'ah binti Abdi Syam. Sebagaimana disebutkan di bagian pendahuluan

bahwa Muawiyah seorang seorang politisi ulung dan pendiri dinasti Umayyah. Ia

pantas disebut raja terbesar bani Umayyah karena jasa-jasanya dalam

membangun fondasi dinasti Umayyah sehingga sanggup bertahan sampai 91

tahun.

Demi kelancaran jalannya pemerintahan baik ekonomi, politik, dan sosial, ia

menegakkan keadilan dengan mendirikan berbagai lembaga peradilan dengan

menunjuk Mujtahid untuk dijadikan hakim. Dalam diri Muawiyah seni berpolitik

berkembang hingga tingkatan yang mungkin lebih tinggi (dibandingkan dengan:

penulis) khalifah-khalifah lainnya. Menurut para penulis biografinya, nilai

utamanya yang ia miliki adalah al-hilm, kemampuan luar biasa untuk

menggunakan kekuatan hanya ketika dipandang perlu dan sebagai gantinya lebih

banyak menggunakan jalan damai. Kelembutan yang sarat dengan kebijakan,

yang ia gunakan agar tentara meletakkan senjata dan membuat kagum

musuhnya, sikapnya yang tidak mudah marah dan pengendalian diri yang sangat

tinggi, membuatnya mampu menguasai keadaan.

Beberapa keberhasilan Muawiyah selain perluasan daerah Islam:


a. Penciptaan stabilitas nasional. Pada masa pemerintahannya, tidak ada

pemberontakan yang berarti kecuali letupan-letupan kecil saja.

b. Pendirian departemen pencatatan administrasi negara, termasuk

pembuatan stempel pertama kali dalam sejarah pemerintahan Islam.

c. Pendirian pelayanan pos untuk menghubungkan wilayah-wilayah

kekuasaan dan untuk melakukan konsolidasi diantara pemimpin-

pemimpin wilayah tersebut. Pelayanan ini diantaranya menggunakan

kuda dan keledai.

d. Pembangunan departemen pemungutan pajak. Departemen ini

mendorong kesejahteraan dan stabilitas ekonomi masyarakat.

Muawiyah meninggal pada bulan april tahun 60 H / 679 M. Dunia telah

mencatatkan namanya sebagai pemimpin yang paling berpengaruh pada

zamannya. Ia telah membangun fondasi kekuasaan yang sangat kokoh. Kelak para

penerusnya melanjutkan cita-citanya dengan bertumpu pada fondasi yang sudah

dibangunnya.

2. Yazid bin Muawiyah (60-64 H / 679-683 M)

Namanya Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan. Ia khalifah kedua dinasti Umayyah

yang dibaiat langsung oleh ayahnya untuk menggantikannya.pembaiatan ini

menjadi yang pertama kali terjadi dalam sistem politik Islam dan semakin

mempertegas sebuah sistem pemerintahan turun-temurun (Monarki) dinasti

Umayyah.

Mayoritas masyarakat membaiatnya, namun ibn Zubair, ibn Abu Bakar, ibn Abbas,

ibn Umar dan Husein bin Ali tidak mau membaiatnya. Namun karena dipaksa

untuk membaiat, tokoh-tokoh tersebut kecuali ibn Zubair dan Husein akhirnya
membaiat Yazid sebagai pemimpin pemerintahan. Moralitas kepemimpinannya

sangat buruk, tidak ada yang menonjol dari diri seorang Yazid. Bahkan pada masa

pemerintahannya, terjadi dua tragedi yang mencoreng sejarah Islam.

Pertama, tragedi Karbala memerah. Pada waktu itu, seorang panglima Yazid yang

sangat bengis, Ubaidillah ibn Ziyad dan pasukannya mencegat rombongan Husein

beserta pengikutnya di Karbala. Pasukan Ziyad membunuh Husein dan

pengikutnya dengan cara yang sangat sadis. Kepala Husein diserahkan kepada

pemimpinnya, Yazid ibn Abu Sufyan.

Kedua, peristiwa Hurrah dan penghalalan Madinah. Peristiwa ini terjadi karena

Abdullah ibn Zubair tidak mau membaiat Yazid. Ibn Zubair malah mengumumkan

pencopotan Yazid di Madinah dan membaiat dirinya sendiri sebagai pemimpin

pemerintahan. Yazid pun mengirimkan pasukan untuk menumpas kelompok ibn

Zubair. Ratusan sahabat ibn Zubair dan anak-anak meninggal dunia. Yazid

menghalalkan pertumpahan darah untuk membasmi pemberontakan.

Dari fakta di atas bahwa sistem peradilannya sudah mulai melemah. Ia tidak

mampu lagi menghentikan berbagai masalah dengan jalan diplomasi. Hakim yang

semula taat dan tunduk terhadap aturan kini sebaliknya bermain-main dengan

aturan.

Yazid meninggal dunia pada tahun 64 H / 683 M dengan masa kepemimpinannya

selama dua tahun. Ia telah menjadi contoh buruknya moralitas seorang

pemimpin pemerintah Islam.


3. Muawiyah bin Yazid (64 H / 683 M)

Khalifah ketiga dinasti Umayyah ini tidak banyak diceritakan sejarah. Hal ini

dikarenakan pemerintahannya yang sangat pendek. Ia menggantikan ayahnya

sebagai raja, namun ia mengundurkan diri karena sakit. Ia meninggal pada tahun

pengangkatannya sebagai raja ketiga dinasti Umayyah.

4. Marwan ibn Hakam (64-65 H / 683-684 M)

Marwan diangkat menjadi khalifah keempat setelah Muawiyah ibn Yazid

mengundurkan diri. Ia memerintah hampir satu tahun. Pada saat

pemerintahannya, posisinya goyah karena mayoritas masyarakat lebih

mempercayai Abdullah ibn Zubair sebagai pemimpin yang sah. Sehingga hal ini

menyebabkan dualisme kepemimpinan, yaitu kepemimpinannya yang berpusat di

Suriah, Damaskus dan kepemimpinan Abdullah ibn Zubair yang berpusat di

daerah Hijaj (Makkah dan Madinah).

5. Abdul Malik bin Marwan (73-86 H / 692-702 M)

Abdul Malik bin Marwan merupakan tokoh yang menata kembali pemerintahan

dengan tujuan agar kekuasaan bisa berfungsi sebagaimana semestinya. Ia

merintis lagi sistem peradilan Islam dengan cara yang tidak jauh beda dengan

Muawiyah. Beberapa kemajuan pada masa Abdul Malik adalah membangun

nasionalisasi Arab dengan membuat mata uang sendiri dan menjadikan bahasa

Arab menjadi bahasa resmi administrasi pemerintahan. Ia meninggal pada tahun

86 H / 705 M dan memerintah secara resmi selama 13 tahun.


6. Walid ibn Abdul Malik (86-96 H / 705-714 M)

Walid terkenal sebagai seorang arsitektur ulung pertama dalam sejarah Islam. Dia

banyak mendirikan bangunan-bangunan yang megah dalam skala besar,

diantaranya membangun masjid Damaskus, Qubbat al-Shakhrah di Yerusalem

dan memperluas masjid Nabawi.

Selain terkenal dengan membangun infrastruktur yang megah, pada masa

pemerintahannya, penaklukan kawasan Islam diperluas. Pasukannya berhasil

menaklukkan Sisilia dan Merovits, Afrika dan Andalusia di bagian barat. Pada

masa ini hidup seorang panglima besar Islam asal Barbar, yang bernama Thariq

ibn Ziyad. Ia berhasil menduduki Andalusia pada tahun 92 H / 710 M. Di kawasan

timur, pasukan Walid berhasil menguasai Asia Tengah dengan panglimanya yang

terkenal, yaitu Qutaibah ibn Muslim al-Bahili. Sind dan India pun berhasil

ditaklukkan dibawah pimpinan Muhammad ibn Qasim Ats-Tsaqafi. Penaklukan ini

menjadikan wilayah Islam semakin luas.

Walid berkuasa sampai tahun 96 H / 714 M. Ia salah satu negarawan besar dinasti

Umayyah. Ia dikenal dengan jasa-jasanya membangun peradaban Islam yang ada

sampai sekarang. Penerusnya tidak mampu melakukan apa yang telah

dilakukannya.
7. Sulayman ibn Abdul Malik (96-99 H / 714-717 M)

Sulayman diangkat oleh ayahnya, Abdul Malik untuk menjadi pemimpin

pemerintahan Islam. Ia saudara laki-laki Walid. Namun Walid telah bersekongkol

untuk menurunkan Sulayman dari jabatannya dan menunjuk anak pamannya,

Umar ibn Abdul Aziz untuk menggantikan. Tidak banyak yang bisa dijadikan

sebagai bukti kemajuan pemerintahannya, kecuali keputusannya untuk menunjuk

Umar ibn Abdul Aziz sebagai penggantinya. Keputusannya itu menjadi karya

Sulayman yang paling hebat. Ia meninggal pada tahun 99 H / 717 M.

8. Umar ibn Abdul Aziz (99-101 H / 717-719 M)

Masa pemerintahannya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahun, namun banyak

perubahan yang lakukan. Diantaranya ia melakukan komunikasi politik dengan

semua kalangan, termasuk kaum Syi'ah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh

saudara-saudaranya sesama dinasti Umayyah. Ia banyak menghidupkan tanah-

tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid. Yang

tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh,

sehingga pada zamannya tidak ada lagi kemiskinan.

Bahwa sistem peradilan pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz dianggap sukses

menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh

Khulafaurrasyiddin sebelumnya yakni dapat menegakkan keadilan di wilayah al-

Qadha, wilayah al-Hisbah dan al-Madzalim serta menempatkan hakim lebih mulia

daripada seorang gubernur. Ternyata hasilnya mereka dapat merasakan

perlakuan hukum secara adil tanpa ada tebang pilih antara satu dengan lainnya.

Pada masa pemerintahannya, tidak ada perluasan daerah yang berarti.

Menurutnya, ekspansi Islam tidak harus dilakukan dengan cara imperealisme


militer, tapi dengan cara dakwah. Oleh karena itu, ia mengirim para mubaligh ke

daerah kekuasaan Islam, yang otoritas agamanya bukan Islam. Demikian halnya

pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abdul Aziz, yang pertama kali ia

lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah didzalimi oleh

para pejabat / penguasa sebelumnya.

9. Yazid ibn Abdul Malik (101-105 H / 719-723 M)

Konsepsi pemerintahan yang telah dibangun Umar "dihancurkan" oleh cara

kepemimpinan Yazid II. Ia memperkaya diri dan suka menghambur-hamburkan

uang untuk memenuhi hasrat duniawinya. Penguasa yang satu ini terlalu

gandrung dengan kemewahan dan kurang memperhatikan kehidupan rakyat.

Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketentraman dan kedamaian, pada

masanya berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan kepentingan etnis

politik, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap pemerintahan Yazid ibn

Abdul Malik. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan khalifah

berikutnya, Hisyam ibn Abdul Malik.

10. Hisyam ibn Abdul Malik (105-125 H / 723-742 M)

Beliau memimpin selama hampir dua puluh tahun memerintah, negara

mengalami kemerosotan dan memelah. Hal ini disebabkan banyaknya

rongrongan dari luar diantaranya pemberontakan oleh Zaid ibn Ali ibn Husein

sebagai refresentasi dari kelompok Syi'ah Zaidiyah dan seruan pembentukan

pemerintahan Abbasiyah. Dari dalam karena adanya konflik orang-orang Arab

dan Arab utara.

Dari fakta di atas, maka dapat ditarik benang merah, kalau sistem peradilan

khalifah Hisyam tidak begitu berfungsi.


11. Walid ibn Yazid ibn Abdul Malik / Walid II (125-126 H / 742-743 M)

Penerus Hisyam, Walid ibn Yazid tidak mampu mengembalikan pemerintahan

menjadi lebih baik. Keadaan pemerintahan menjadi lebih buruk. Alasannya,

selain musuh semakin kuat, ia juga meniru gaya hidup ayahnya dan ia banyak

menciptakan permusuhan. Oleh karena itu, saudara sepupunya, Yazid ibn al-

Walid yang kelak menjadi pengganti Walid memerintahkan untuk mencopot

Walid dari jabatannya. Setelah hampir tiga tahun memerintah, Walid pun

dibunuh oleh pasukan Yazid ibn al-Walid dan ia menggantikan kedudukan Walid.

12. Yazid ibn Walid / Yazid III (126 H / 743 M)

Pada masa jabatannya, pemerintah semakin kacau. Pemberontakan di mana-

mana. Keluarga khalifah pun sudah terpecah. Akhirnya Yazid III meninggal dunia

akibat penyakit tha'un setelah memerintah selama enam bulan.

13. Ibrahim ibn Walid ibn Abdul Malik (127 H / 744 M)

Dia hanya memerintah selama 70 hari. Oleh karena itu, ada yang tidak

memasukkannya sebagai salah satu khalifah dinasti Umayyah. Pada masanya,

tanda-tanda dinasti Umayyah semakin jelas. Perpecahan diantara keluarga

semakin terbuka. Ia dituntut oleh Marwan ibn Muhammad ibn Marwan untuk

mempertanggungjawabkan kematian Walid II yang dibunuh oleh Yazid III, kakak

Ibrahim. Ia melarikan diri ke Damaskus.

14. Marwan ibn Muhammad ibn Marwan / Marwan II (127-132 H / 744-749

M)

Setelah dibaiat sebagai raja, ia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan

yang sudah kacau balau. Ia mencoba menjalankan roda pemerintahan yang


sudah lemah. Namun roda pemerintahan sudah sangat rusak, sehingga

pemerintahan bukan menjadi baik, akan tetapi menjadi hancur.8

Anda mungkin juga menyukai