Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PERADILAN ISLAM

PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI ABBASIYAH

OLEH :

KELOMPOK 7

NAHARUDDIN SR (19.2100.026)

AFDITA GALUN KIRANA (19.2100.048)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PAREPARE
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah fiqih perbandingan ini dengan tema” PERADILAN ISLAM PADA MASA
DINASTI BANI ABBASIYAH”. Shalawat dan salam semogah senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan
yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi
seluruh alam semesta.

Penulis sangat bersyukur karna dapat menyelesaikan makalah ini. Disamping itu, kami
mengucapkan banyak terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama
pembuatan makalah ini berlangsung sehingga dapat menyelesaikanya makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semogah makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Kami mengaharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya
dapat kami perbaiki. Karna kami sadar makalh yang kami buat ini masih banyak terdapat
kekurangan.

Polman, 10 Juni 2021

Kelompok ok 7
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan dalam berbagai bidang. Dinasti ini
mengalami masa kejayaan intelektual, seperti halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah
dinasti itu berdiri. Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah ketiga, al-Mahdi
(775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi pada masa Harun al-Rasyid (786-
809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya terutama, karena dua khalifah yang hebat itulah Dinasti
Abbasiyah memiliki kesan dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti hebat dalam sejarah Islam dan
diidentikkan dengan istilah “the golden age of Islam” Tanpa meniadakan tatanan yang telah ditinggalkan
oleh Dinasti Umayyah, baik dalam ilmu pengetahuan dan pemerintahan, Abbasiyah mampu
mengembangkan dan memanfaatkan lembaga yang sudah pernah ada pada masa umayyah.

Kemajuan lain yang tak kala penting adalah dalam bidang peradilan dimana pada masa Abbasiyah
system administrasi peradilan pada masa ini sudah tersusun dengan rapi. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya lembaga lembaga peradilan yang terbentuk,. Pada masa ini. Makalah ini akan mencoba
memaparkan lebih jauh sejarah peradilan di masa Dinasti Abbasiyah.

B.Rumusan masalah

a.Bagaimanakah sejarah peradilan Islam ?

b.Bagaimanakah munculnya Mazhab-Mazhab pada masa Abbasiyah ?

c.Siapakah para hakim terkenal pada masa abbasiyah ?

d.Apa penyebab hancurnya tatanan peradilan pada masa Abbasiyah ?

C.Tujuan penulisan

a.Untuk mengetahui sejarah peradilan Islam

b.Untuk mengetahui munculnya Mazhab-Mazhab pada masa Abbasiyah

c.Untuk mengetahui para hakim terkenal pada masa abbasiyah

d.Untuk mengetahui penyebab hancurnya tatanan peradilan pada masa Abbasiyah

BAB II
PEMBAHASAN

A.Sejarah Peradilan Islam

Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan hukum yang telah
dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan Ummayah, seperti tetap dilestarikannya
badan hukum Nazar al-Mazalim. Dan Lembaga Hisbah. Sebagaimana Umayah yang melebarkan
kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus
membentuk pemerintah daerah di berbagai tempat.

Di bawah ini beberapa kebijakan Khalifah Dinasti Abbasiyah dalam bidang peradilan, antara lain, adalah:

1. Lembaga Qadiy al-Qudat (Mahkamah Agung)

Lembaga Qadiy al-Qudat yang merupakan instansi tertinggi dalam peradilan. Kalau untuk zaman
sekarang bisa disebut Mahkamah Agung. Badan hukum ini diputuskan pendiriannya sejak masa Harun
al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara dengan tugas sebagai pengangkat hakim-hakim daerah.

Abu Yusuf dikenal sebagai orang pertama yang dipanggil sebagai qadi al-qudah (hakim agung). Jabatan
hakim agung itu diembannya selama tiga periode kekhalifahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad, yaitu pada
masa Pemerintahan Khalifah Al-Hadi, Al-Mahdi, dan Harun Al-Rasyid. Pada masa khalifah Harun Al-
Rasyid Abu yusuf diberikan suatu kehormatan, bahwa semua keputusan mahkamah baik di Barat
maupun Timur harus bersandar kepadanya. Jabatan hakim agung dijabat oleh Abu Yusuf hingga ia wafat
pada 182 H. Sebagai seorang hakim agung, Abu Yusuf telah banyak melahirkan karya-karya dalam
bentuk tulisan berupa kitab-kitab. Dalam “Kitab Al-Fihrist”, sebuah kompilasi bibliografi buku yang ditulis
pada abad ke-10 M oleh Ibnu Al-Nadim. Abu Yusuf telah menciptakan sejumlah karya tulis dalam
berbagai bidang, termasuk hukum Islam, hukum internasional, dan hadis. Di antara karyanya yang
monumental adalah kitab “Al-Athar” suatu narasi dari berbagai tradisi periwayatan hadis. Selain itu, Abu
Yusuf juga menulis “Kitab Ikhtilaf Abi Hanifa wa Ibn Abi Layla” yang isinya mengulas mengenai
perbandingan fikih. Tak hanya itu, ia juga menulis “Kitab Al-Radd 'Ala Siyar Al-Awza'i” yang merupakan
suatu kitab bantahan terhadap “Al-Awza'I” (seorang ahli hukum yang dikenal di Suriah) mengenai
hukum peperangan. Kitab lain yang ditulisnya berjudul “Al-Jawami” merupakan buku yang sengaja
ditulis untuk Yahya bin Khalid yang berisi tentang perdebatan mengenai ra'yu dan rasio.

Beberapa karyanya yang lain merupakan hasil penulisan kembali yang dilakukan oleh para muridnya dan
diteruskan melalui generasi penerusnya. Misalnya, kutipan dari buku Abu Yusuf berjudul “Kitab Al-Hiyal”
(Kitab Perangkat-Perangkat Hukum) yang ditulis kembali oleh salah seorang muridnya, Muhammad Al-
Shaybani, dalam buku berjudul “Kitab Al-Makharidj fi Al-Hiyal”. murid Abu Hanifah, dan yang lainnya
yang menjadi pejabat Qadiy al-Qudat adalah Muhammad Ibn Hasan al Syaibaniy.

2. Wilayah Hisbah

a. Pengertian Wilayah Hisbah


Wilayah hisbah dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, yang secara harfiah diartikan dengan
kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan. Upaya pendefinisian
wilayah hisbah telah banyak dilakukan seperti yang dikutip oleh alFarakhi, yaitu menyuruh berbuat baik
apabila nyata perbuatan itu ditinggalkan, dan melarang berbuat mungkar apabila nyata perbuatan itu
dikerjakan.

b. Satus Dan Wewenang Wilayah Hisbah

Pada masa Abbasiyah wilayah hisbah sudah terlaksana dengan baik, lembaga ini berada di bawah
lembaga peradilan dan berfungsi untuk memperkecil perkara-perkara yang harus diselesaikan oleh
wilayah qadha. hal ini dijelaskan oleh Schacht bahwa pada saat yang sama ketika hakim-hakim peradilan
menghadapi perkara yang semakin banyak, ada keharusan untuk akomodasi dan muhtasib. Artinya,
keberadaan lembaga ini pada periode Abbasiyah sudah melembaga seperti lembaga pemerintahan
lainnya, yang secara struktural berada di bawah lembaga peradilan (qadha). Pada masa ini kewenangan
mengangkat muhtasib sudah tidak lagi dalam kekuasaan khalifah, tetapi diserahkan kepada qadhi al-
qudhah, baik mengangkat maupun memberhentikannya.

Sistem penerapan wilayah hisbah, muhtasib tidak berhak untuk memutuskan hukum sebagaimana
halnya pada wilayah qadha, muhtasib hanya dapat bertindak dalam hal-hal skala kecil dan pelanggaran
moral yang jika dianggap perlu muhtasib dapat memberikan hukuman ta’zir terhadap pelanggaran
moral. Berdasarkan hal ini kewenangan muhtasib lebih mendekati kewenangan polisi, tetapi bedanya,
ruang gerak muhtasib hanyalah soal kesusilaan dan keselamatan masyarakat umum, sedangkan untuk
melaksanakan penangkapan, penahanan, dan penyitaan tidak termasuk dalam kewenangannya. Di
samping itu, muhtasib juga berwenang melakukan pencegahan terhadap kejahatan perdagangan dalam
kedudukannya sebagai pengawas pasar, termasuk mencegah gangguan dan hambatan, pelanggaran di
jalan, memakmurkan masjid, dan mencegah kemungkaran seperti minum-minuman keras, perjudian,
dan lain-lain.

3. Wilayah Al-Mazalim (penyelewengan dan penganiayaan)

Lembaga ini dipisahkan dari wilayah peradilan. Awalnya, penanganan masalah segala bentuk
penyelewengan dan penganiayaan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah yang masuk perkara al-
mazalim waktu itu ditangani langsung oleh khalifah. Ketika dinasti Abbasiyah muncul, pada mulanya
lembaga tersebut dipegang langsung oleh khalifah. Tapi kemudian khalifah menunjuk seorang wakil
yang disebut Qadi al-Mazalim atau Sahib al-Mazalim.

Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-madhalim
bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau
kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara
banding. Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke
dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh
para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-
perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang
teraniaya.
Badan ini memiliki mahkamat al-madhalim. Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota
sidang:

a. Para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-
penyimpangan hukum.

b. Para hakim yang mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang berhak.

c. Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi al-madhalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan
masalah yang musykil dari hukum syari’at.

d. Para katib yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dalam sidang dan keputusan sidang.

e. Para saksi memberi kesaksian pada masalah yang diperkarakan dan menyaksikan bahwa keputusan
yang diambil hakim adalah benar dan adil.

Pemegang jabatan ini sendiri tidak mesti seorang hakim, memang hakim lebih didahulukan karena
pemahamannya terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Namun khalifah seringkali
menunjuk pejabat lain yang lebih berwibawa, amanah, dan mampu memberikan perlindungan terhadap
masyarakat sehingga kebobrokan dalam tubuh negara bisa dihentikan. Karena itu pejabat lembaga ini
kadang kala adalah seorang menteri peperangan. Selain itu, tugas Nazar al-Mazalim adalah:

a. Mengawasi penegakan hukum yang dijalankan oleh khalifah/wali terhadap warga negara, pegawai
perpajakan/departemen tertentu, jika mereka menyalahgunakan wewenangnya.

b. Mengawasi terhadap distribusi bantuan pemerintah terhadap orang miskin dari pengurangan,
keterlambatan atau mungkin tidak sampainya bantuan tersebut.

c. Membantu qadhi melaksanakan keputusan-keputusan yang dibuat di pengadilan.

d. Mengawasi atau menjaga keberlangsungan praktik-praktik ibadah dan akhirnya mengembalikan


barang hasil curian pada orang yang berhak.

Pada masa Abbasiyah juga ditentukan syarat-syarat qadhi al-mazalim yang menangani persoalan al-
siyasat al-syari’at. Adapun para ahli dibidang itu mengemukakan syarat-syarat qadhi al-mazalim sebagai
berikut:

a. Berkemampuan tinggi (jalil al-qadr)

b. Berkemampuan melaksanakan keputusan (nafiz al-amr)

c. Memiliki wibawah dan pengaruh besar (‘azhim al-haibat)

d. Terkenal bersih dan lurus (zhahir al-iffat)

e. Tidak serakah (qalil al-thama’)

f. Sangat wara’.
4. Al-Nidham Al-Madhalim

Al-Nidham Al-Madhalim adalah yaitu lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan
dalam hukum, menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang
berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.

5. Badan Arbitrase

Pada masa ini, di samping Lembaga Pengadilan, ada juga hakam-hakam (badan arbitrase) yang
memutuskan perkara antara orang-orang yang mau menyerahkan perkara-perkara kepadanya atas
dasar kerelaan kedua belah pihak. Nazhab tahkim ini, dibenarkan oleh Islam. Undang-undang modern
pun telah banyak mengambilnya.

6. Hakim

a. Luasnya wewenang hakim

Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa Khulafa’ al-Rashidin dan masa
Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi
terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-
perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka
para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti
mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik,
baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi untuk membina
peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad
dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’ al-Rashidin yang
disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.

Pada pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh
peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya
ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka,
seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan
independenitas yang tinggi. Kalau dalam masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu
luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di samping
memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan
pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan
juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah,
pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu
adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.

Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan peradilan selain untuk menyelesaikan
perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-
anak di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum, seperti anak yatim, orang gila,
orang failit, dan lain-lain, serta mengurus harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita
yang tidak memiliki wali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan dan
memeriksa keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan yang tidak.

b. Penyebaran hakim di beberapa wilayah

Pada awalnya, di tiap-tiap daerah diangkat seorang hakim. Akan tetapi pada masa akhir kekuasaan
Abbasiyah jumlah Qadiy al-Qudat tidak hanya satu, melainkan lebih dari satu hal ini disebabkan
munculnya beberapa pusat kekuasaan baru baik di Mesir (Dinasti Fathimiyyah) di India (Dinasti Mughal)
di Iran (Dinasti Safawiy) di Teluk Balkan (Dinasti Ilkhan) sehingga di masing-masing tempat itu terdapat
seorang Qadli al-Qudhat yang memiliki otorita hukum untuk menangani perkara banding yang diajukan
kepadanya dalam batas wilayah negri tersebut. Bahkan pada masa dinasti Mamluk di Mesir setiap
mazhab memiliki seorang Qadiy al-Qudat yang wewenangnya hanya terbatas di kalangan pengikut
mazhabnya saja.

c. Tempat Persidangan, waktu dan pakaian untuk hakim

Persidangan-persidangan pengadilan pada masa Abbasiyah dilaksanakan di suatu majelis yang luas, yang
memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari
yang dipergunakan untuk persidangan memeriksa perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan
perkara di tempat-tempat yang lain. Dan dalam waktu yang sama diadakan beberapa perbaikan, seperti
menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna. Bagi para qadhi atau ulama’ memiliki pakaian
husus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun al-Rasyid,
dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum. Dalam pelaksanaannya para qadhi
mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan
waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka

d. Tugas Hakim

-Memberi penyelesaian terhadap suatu perkara yang diajukan ke mahkamah.

-Melimpahkan hak kepada pihak yang dinyatakan benar dalam persidangan dengan keputusan qadhi.

-Menetapkan perwalian bagi yang berada di bawah pengampuan.

-Mengkoordinir serta mengurus semua yang berhubungan dengan harta wakaf.

-Mentanfizkan wasiat bila yang berwasiat berhalangan.

-Menikahkan anak yatim serta orang yang dinyatakan tidak mempunyai wali.

-Menjatuhkan hukuman hudud bagi orang yang melanggar atau melakukan tindak pidana.

-Menangani masalah yang berhubungan dengan masyiarakat yang berkaitan dengan peradilan.

-Menetapkan saksi dalam persidangan yang diselenggarakan diperadilan yang berada di bawah
kekuasaannya.
B. Munculnya Mazhab-Mazhab pada masa Abbasiyah

Pada masa Abbasiyah tepatnya pada masa Khalifah Al-Manshur dari Khalifah Abbasiyah merintahkan
para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang
fiqh pada pertengahan abad kedua hijriyah yaitu Abu Hanifah (w. 150 H) yang dikenal dengan tokoh
Ahlul Ra’yi di Iraq. Kemudian Imam Malik bin Anas (w.179 H) di Hijaz sebagai ulama Madinah dari
kalangan muhadditsin dan fuqoha’. Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.204 H) dari
Makkah dan Madinah hingga markaz keilmuan di Bagdad Iraq kemudian ke Masjid Jami’ Amru bin Ash di
Mesir untuk meletakkan dasar-dasar Ushul Fiqh Islam dan Qa’idah-Qa’idah Ijtihad. Kemudian dari
Madrasah Ahlul Muhadditsin dan halaqah Al-Syafi’i lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.241 H) yang ahli
dalam bidang fiqh dan hadis.

Para ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan
dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu
merumuskan macam-macamnya, pembahagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat
tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak
yang berperkara dan lain sebagainya.

Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi
memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para
hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa,
atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu
Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para
hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab
sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada
hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.

Dan terkadang pada daerah-daerah yang luas dan penduduknya heterogen dari segi aliran-aliran
mazhab, maka hakim yang diangkatpun ada yang berasal dari mazhab Hanafi, ada yang berasal dari
mazhab Syafi’i, ada yang berasal dari mazhab Maliki, dan ada yang berasal dari mazhab Hanbali dan
bahkan ada yang berasal dari mazhab Ismaili. Dan bahkan lebih daripada itu seperti mazhab Syi’ah,
Auza’i, Daud az-Zhahiri, Ath-Thobari, dan lain sebagainya.

Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah
sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah
sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi
pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Perlu menjadi catatan bahwa
para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut
oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab
hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang
berperkara.
C. Para Hakim Terkenal pada Masa Abbasiyah

Beberapa qadhi yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah sebagai berikut.

1. Abu Yusuf, Ya’qub bin Ibrahim (Lahir tahun 131 H/731 M)- WAFAT Tahun 182 H/789 M) beliau adalah
qadhi al qudha’ Harub al Rasyid.

2. Yahya bin Aksam (Lahir tahun 159 H/755 M- wafat tahun 242 H/857 M) Beliau adalah seorang Qadhi
al Qudha’ al Makmun.

3. Ahmad bin Abu Daud (Lahir tahun 160 H/777 m- Wafat tahun 240 H/854 M) beliau adalah qadhi’ al
Mu’tashim.

4. Sahnunal Maliki (Lahir tahun 160 H/777 M-Wafat tahun 240 H/854 M) beliau adalah Qadhi Maghrib.

5. Al ‘Izz bin Abd. As Salam (Lahir tahun 578 H/1181 M- wafat tahun 660 H/1282 M) beliau adalah qadhi
Mesir.

6. Ibnu Khillikan (Lahir tahun 625 H/1211 M- wafat tahun 660 H/1282 M) beliau adalah Qadhi Damaskus.

7. Ibnu Daqiqi ‘Ied (Lahir tahun 625 H/1228 M- wafat tahun 702 H/1302 M) beliau adalah qadhi Mesir
dan Sha’id.

Inilah sebagian dari qadhi-qadhi besar yang banyak mendspst perhstisn umum terkenal dalam
masyarakat fikih dan di pandang sebagai pemimbing ilmu al furu’ dalam periode kedua dari Bani
Abbasiyah.

D. Hancurnya Tatanan Peradilan Pada Masa Abbasiyah

Kemerosotan nilai peradilan dan kekuasaan hakim merupakan pemicu hancurnya tatanan peradilan
pada masa Dinasti Abbasiyah yang telah tertata dalam waktu yang tidak singkat seirirng dengan keadaan
pemerintahan sudah sangat rusak. Kerusakan telah merata dan urusan peradilan pun tidak luput dari
kerusakan. Orang-orang yang diangkat menjadi hakim, diharuskan membayar sejumlah uang kepada
pemerintah pada tiap-tiap tahun.

Dengan lemahnya pemerintahan, maka lemah pula kekuasaan hakim dan berangsur-angsur surut daerah
hukum yang menjadi wewenang hakim. Terus-menerus keadaan ini berangsur-angsur surut, hingga
merosot sampai pada hanya menyelesaikan soal-soal sengketa dan soal-soal ahwal al-shahshiyah
(hukum keluarga) saja.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah
mengalami puncak perkembangannya karena lahirnya empat madzhab dan konstruk peradilan
dilaksanakan secara sempurna, sebagai bagian dari institusi pemerintah, dan lebih rapi secara
administratif dengan dibentuknya badan-badan penunjang lainnya, Di antara perubahan-perubahan
yang lahir dalam dunia peradilan di masa ini, adalah :

a. Lahirnya bebrapa lembaga, seperti wilayah hisbah, wilayah al-mazhalim, alnizam Qadhil Qudhah yang
pada masa sekarang ini dapat kita katakan sebagai Menteri kehakiman dan lain lain.

b. Membagi daerah-daerah kekuasaan seorang hakim.

c. Menggunakan tempat yang memenuhi syarat untuk Mahkamah.


d. Adanya Bidang-bidang wewenang hakim.

Beberpa Hakim yang terkenal adalah: Abu Yusuf, Ya’qub bin Ibrahim, Yahya bin Aksam, Ahmad bin Abu
Daud, Sahnunal Maliki, Al ‘Izz bin Abd. As Salam, Ibnu Khillikan, Ibnu Daqiqi ‘Ied.

B. Penutup

Demikianlah makalah ini penulis buat semoga bermamfaat dan apabila terdapat kesalahan dan
kekurangan penulis mohon untuk dimaafkan.

DAFTAR PUSTAKA

Koto Alaiddin, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011).

T.M Hasbi Al-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, op.cit.

http://anshorudin.blogspot.com/2012/06/peradilan-islam-setelah-rosul-dan.html

Teuku Muhammad Hasbi as-Shiddiqie, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2001)

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/18/majncx-abu-yusuf-hakim-agung-di-
era-abbasiyah-2

Louis Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa al-Ilm (Beirut: alMaktabah al-Syarqiyah, 1986).

Abu Ya’la Muhammad Ibn al-Husein al-Farakhi, Al-Ahkam al-Sulthaniyah (Mesir: Dar al-Fikr, TT).

Joeseph Schacht, An Introduction, to Islamic law, Clarendon Press, 1964.

Hassan Ibrahim Hassan, Tarikh al-Daulah al-Fathimiyah (Kairo: Al-Maktabah al-Mukhashshah


alMishriyah, 1993).
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan ( Bandung: Remaja Rosda karya, 2007),

Anda mungkin juga menyukai