Anda di halaman 1dari 3

PEMBICARA KEDUA

“Keadilan selalu kejam bagi pihak yang melanggar, karena setiap orang tidak bersalah menurut
pandangannya sendiri” Daniel Defoe.
Assalamualaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera bagi kita semua
Shalom. Om Swastiyastu. Namo Budhaya.
Dan salam kebajikan.
Dewan juri yang terhormat, saya selaku pembicara kedua akan melanjutkan bangunan argumentasi
yang telah dipaparkan oleh pembicara pertama. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, perkanankanlah kami untuk
memperbaiki beberapa logical fallacy yang dilakukan oleh rekan-rekan kami dari tim kontra.
Pertama, rekan-rekan kami dari tim kontra tidak memahami mengenai status dari korporasi
sebagai subjek hukum. Padahal, UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup telah menetapkan bahwa korporasi merupakan subjek hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup.
Konsekuensi atas status subjek hukum tersebut, yakni munculnya hak dan kewajiban suatu korporasi dalam
melakukan perbuatan hukum. Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara” pada halaman 368 telah mendudukkan bahwa “kewajiban berkaitan erat dengan
pertanggungjawaban”. Dengan kata lain, status korporasi sebagai subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana, manakala dalam menjalankan hak dan kewajibannya, korporasi tersebut melanggar larangan-larangan yang
ada dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam konteks pengrusakan lingkungan hidup yang berakibat
pada terjadinya bencana alam.
Kemudian yang kedua, rekan-rekan kami dari tim kontra juga tidak mampu melihat urgensi
tanggungjawab pidana korporasi perusak lingkungan hidup terhadap kasus bencana alam. Dewan juri yang
terhormat, perkenankanlah kami untuk menyadarkan rekan-rekan kami dari tim kontra tentang urgensi
pertanggungjawaban pidana korporasi. Sri Wulandari selaku pakar Hukum Lingkungan dalam jurnalnya
mengemukakan, bahwa secara teoritis terdapat 2 motif kejahatan korporasi, yaitu:
Tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya; dan
Terjadinya kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kebutuhan para pesaing, negara, pekerja, konsumen,
dan masyarakat.
Untuk mewujudkan tujuannya, korporasi kadang menghalalkan segala cara dan mengabaikan larang-
larangan yang ada. Berdasarkan data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, pada tahun 2015 sampai 2016,
terdapat 30 korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana pembakaran hutan dan lahan serta pencemaran
lingkungan hidup. Kemudian pada tahun 2017 sampai 2018, terdapat 9 korporasi yang dimintai pertanggungjawaban
pidana. Serta pada tahun 2019, terdapat 19 korporasi yang dimintai pertanggungjawaban pidana dalam kasus yang
sama. Data tersebut sejatinya telah menegaskan bahwa kejahatan korporasi masih terus terjadi, sehingga sangat logis
kiranya jika korporasi dibebani pertanggungjawaban pidana sebagai upaya mewujudkan justice enforcement melalui
law enforcement.
Selain itu dewan juri yang terhormat, Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya yang berjudul
“Pertanggungjawaban Korporasi” pada halaman 169 sampai 170 telah mendudukkan beberapa alasan tentang
pentingnya pembebanan tanggungjawab pidana kepada korporasi, yaitu:
Tanpa adanya pertanggungjawaban pidana korporasi, korporasi-korporasi akan menghindarkan diri dari
peraturan pidana dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang
sebenarnya merupakan tindak pidana dan kesalahan dari kegiatan yang dilakukan oleh korporasi tersebut;
Apabila suatu korporasi telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha yang illegal, maka korporasi-lah
yang seharusnya menanggung beban pertanggungjawaban pidana, bukan pegawainya;
Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah menuntut suatu korporasi daripada pegawai-
pegawainya; serta
Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap suatu korporasi berfungsi sebagai alat
preventif bagi korporasi dalam melakukan kegiatan yang illegal.
Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat
beberapa model pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu:
Pengurus korporasi sebagai pembuat, dan pengurus-lah yang bertanggungjawab;
Korporasi sebagai pembuat, dan pengurus bertanggungjawab; dan
Korporasi sebagai pembuat, dan juga sebagai bertanggungjawab.
Dewan juri yang terhormat, urgensi pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sebagai pelaku
tindak pidana lingkungan menjadi penting mengingat aktivitas korporasi tidak hanya memberikan dampak positif
tetapi juga memberikan dampak negatif yang selanjutnya akan dielaborasi oleh pembicara ketiga. Oleh karena itu,
sampai detik ini kami tetap pro terhadap mosi perdebatan kita kali ini.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH.

Anda mungkin juga menyukai